Kamis, 14 April 2011

"WASEKJEN KORPRI PUSAT YANG WAFAT PADA SAAT MENJABAT"



(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (103)

 Drs. H. Soeroso Hadisoerjo


Released by mastonie, Saturday, June 19, 2010 at 00.07 am



      'Guyon parikeno' dipelataran kantor....

Minggu terakhir bulan Januari 1998 adalah awal bulan Romadhon 1418 H.
Beberapa hari sebelum bulan puasa tiba, sehabis menjalankan ibadah salat Jum’at di Masjid BRI yang dekat dengan kantor Setjen Korpri Pusat di Jl. Kramat VI, Pak Roso mengajak beberapa staf untuk makan sop buntut kesukaan beliau di dekat Masjid Cut Muti’ah Menteng. 

Sejak masih jadi Kepala Biro Umum di Depdagri, Pak Roso sangat menyukai sop buntut Cut Muti’ah yang memang lezat dan terkenal banyak penggemarnya.
Ketika sambil lalu saya mengingatkan bahwa sop buntut adalah makanan yang mengandung kolesterol tinggi, dengan santai Pak Roso menjawab:
“Dik Tonny tahu ndak, segala macam pantangan makan itu sudah tidak berlaku untuk mereka yang usianya sudah ‘over sex’, diatas enam puluh tahun, kalau masih ‘under sex’ seperti Dik Tonny, nah masih harus banyak berpantang tuh”. 
Semua tertawa mendengar kata-kata Pak Roso itu. Yang dimaksud dengan ‘under sex’ itu adalah ‘dibawah seket’. Seket itu bahasa Jawa yang artinya limapuluh. Saya waktu itu memang belum genap berumur limapuluh tahun.
Sore itu beberapa saat sebelum jam kerja berakhir, Pak Roso dengan beberapa Kepala Biro dan saya, berdiri dihalaman depan Kantor Sekjen Korpri, sambil berbincang-bincang kesana-kemari diselingi kelakar tanpa ujung pangkal. Pak Roso memang akrab sekali dengan para stafnya.  
Entah bagaimana, materi pembicaraan bisa menjadi berbelok, membicarakan masalah Wakil Sekjen Korpri Pusat yang selalu meninggal dunia pada saat masih menjabat. 
Selama ini memang sudah ada dua orang Wakil Sekjen yang wafat saat masih menjabat. Salah satunya adalah Pak Darsono, yang kemudian digantikan oleh Pak Roso.  
'Guyon Parikena’ (sendau gurau yang agak kelewatan) tentang ‘kursi panas’ diruangan Wakil Sekjen itu membuat kita tertawa terbahak-bahak. 
Justru karena salah satu diantara yang ‘ngrasani’ (membicarakan) orang yang meninggal karena ‘menduduki’ kursi panas itu adalah Pak Roso, yang sekarang mendapat giliran duduk di ‘kursi panas’ itu, karena beliau menjabat sebagai Wakil Sekjen Korpri juga!
Tak ada seorangpun diantara kita yang berfirasat jelek pada saat itu.
Bulan puasa tahun 1998 (1418 H) pun  tiba. Suasana kantor jadi agak mengendor. Karena nyaris tak ada kegiatan, kantor menjadi sepi.  
Pak Roso juga agak jarang datang kekantor karena penyakit rheumatik nya (atau asam urat?) sering kambuh.
Hari Jum’at pagi tanggal 23 Januari 1998, Pak Roso datang kekantor sebentar. Saya sempat ngobrol berdua dengan beliau diruangannya yang terdapat banyak sekali kursi, tapi sepi. 
Wajahnya yang selalu senyum kini terlihat agak pucat.
“Bapak ketingalipun radi gerah nggih (kelihatannya agak tidak enak badan ya)?” saya bertanya
Ah, mboten koq dik, biasa…balung tuwa (ah tidak dik, biasa tulang sudah tua)”
Lalu beliau bercerita tentang asam uratnya yang agak tinggi akhir-akhir ini.
Saya sarankan beliau untuk pulang saja, karena tidak ada acara penting. Lebih baik beristirahat dirumah, apalagi masih permulaan bulan puasa.
Rupanya beliau mau menerima saran saya. Sekitar pukul setengah sebelas beliau pamit pulang.
Saya tidak pernah menyangka bahwa ternyata hari itu adalah pertemuan  saya yang terakhir dengan Pak Roso.

      Pak Roso berpulang dengan tenang dibulan Ramadhan.

Hari Senin Legi, 26 Januari 1998. Saya datang agak siang kekantor, saya tengok ruang kerja Pak Roso masih kosong. Pak Jito, staf bagian TU memberitahu saya bahwa tadi Pak Roso sempat telepon kekantor untuk memberitahu kalau hari ini beliau berhalangan datang karena masih sakit. Saya menerima pemberitahuan itu dengan biasa-biasa saja. Memang lebih baik kalau Pak Roso beristirahat saja dirumah, toh selama bulan puasa ini dikantor juga tidak ada kegiatan apa-apa.
Siang harinya saya pergi kekantor Depdagri bertemu dengan teman-teman lama.
Ketika sedang dalam perjalanan pulang kerumah, istri saya menelpon ke hape.
“Papa dimana? Sudah mendengar kabar kalau Pak Roso seda (wafat)? Tadi Pak Jito telepon kerumah mencari Papa untuk memberitahukan kabar duka itu”
Bagaikan tersambar halilintar saya bahna kaget.
Lemas seluruh anggota badan saya.
Belum kering benar luka hati saya akibat wafatnya Pak Pardjo, kini ada lagi kabar duka cita. Tentang Pak Roso, salah seorang yang saya anggap mentor, seorang yang penuh pengertian dan perhatian, seorang yang selalu tersenyum tulus tanpa pernah memperlihatkan kemarahan, seorang yang saya anggap senior dikantor Depdagri, kantor kedua saya setelah Pemda Provinsi Jawa Tengah.
Kini beliau telah berpulang kehadirat Illahi Rabbi.
Innalillahi wa inna ilaihi roji’un.
Luka hati saya seperti terbuka lagi. Perih sekali. Tanpa pikir panjang saya langsung menuju kediaman beliau dikomplek Perumahan Depdagri di Cipinang. 
Almarhum telah memperjuangkan saya untuk menduduki jabatan sebagai Protokol di Setjen Korpri Pusat. Jadi sebagai Protokol saya  merasa harus terlibat langsung mempersiapkan prosesi pemakaman beliau sebaik-baiknya sebagai tanda ucapan terima kasih dan penghargaan saya atas semua jasa dan budi baik beliau selama ini.
Alhamdulillah. Rupanya Biro Umum Depdagri cukup tanggap dengan berita berpulangnya salah seorang mantan Kepala Bironya. Dirumah almarhum sudah tampak kesibukan orang memasang tenda dan menata kursi yang dipersiapkan untuk kedatangan para pelayat. 
Semuanya tampak sudah ada yang mengatur, jadi saya hanya tinggal berkoordinasi saja.
Malam harinya saya kembali lagi dengan istri dan beberapa teman dari komplek perumahan Depdagri di Pondokgede untuk mengikuti acara  tahlilan. Banyak sekali pelayat yang datang untuk ikut tahlil dan membacakan doa. Subhanallah.
Tanda bahwa beliau adalah orang baik dan mempunyai banyak teman.
Almarhum Drs. H. Soeroso Hadisurjo wafat di  usianya yang ke 67 tahun,  dengan meninggalkan seorang istri, wanita asli Lahat (Sumatera Selatan) bernama Hajjah Zoudah,  5 orang putra/putri yang semuanya sudah menikah dan 8 orang cucu. 
Tampak hadir melayat dirumah duka Bapak Menteri Dalam Negeri beserta ibu Yogi S.M, beberapa Pejabat Eselon I dan II Depdagri, Kantor Korpri Pusat, BAKN dan para Pengurus Korpri Tingkat Pusat yang kantornya ada di Jakarta dan sekitarnya.
Menurut rencana keluarga, jenasah almarhum akan dikebumikan di Tempat Pemakaman Umum Penggilingan didaerah Rawamangun, Jakarta Timur, pada hari Selasa siang, 27 Januari 1998.
Malam itu ditengah acara pembacaan doa dan tahlil, saya merenung.
Allah SWT ternyata telah mengabulkan doa almarhum Pak Roso.
Pada suatu hari saya dapati beliau sedang melaksanakan salat Dhuha dipojok ruang rapat yang juga merupakan ruang kerjanya. Lalu setelah itu beliau bercerita bahwa sepanjang hidupnya senantiasa melakukan salat Dhuha dua rakaat yang diakhiri dengan doa yang isinya:  
Pertama adalah permohonan kepada Allah untuk dapat mengantarkan semua putra-putrinya  agar bisa ‘mentas’ (hidup berkeluarga) dalam sebuah keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah.
Yang kedua adalah, agar kelak apabila sampai waktunya, ia dapat meninggal dalam keadaan ‘khusnul khotimah’, tanpa merepotkan keluarga yang ditinggalkannya. 
Sungguh sebuah doa sederhana dari seorang ayah yang juga selalu tampil sederhana dan apa adanya.
Seingat saya hanya beberapa bulan sebelum beliau mangkat (tidak sampai setengah tahun), Pak Roso masih sempat menikahkan putra bungsunya, mas Ari Hardono. 
Saya menjadi satu-satunya staf Kantor Setjen Korpri Pusat yang beliau minta untuk menjadi anggota panitia pernikahan putra terakhirnya itu. Dengan demikian memang betul-betul sudah paripurna tugas beliau sebagai seorang ayah, menghantarkan putra-putrinya memasuki jenjang kehidupan berkeluarga.
Pada malam tahlilan itu saya juga yakin bahwa Pak Roso sebagai seorang muslim yang sangat saleh dan meninggal pada bulan puasa dalam keadaan sedang menjalankan ibadah puasa pula, Insya Allah akan langsung dibukakan pintu sorga bagi beliau. Aamiiiin. 
Ditengah alunan pembacaan do’a dan surah Yasin, kenangan-kenangan manis saya bersama Pak Roso semasa hidup beliaupun saling berkelebatan.

      Priyayi Jawa sederhana yang tak pernah marah.

Ketika pertama kali masuk kegedung kantor Departemen Dalam Negeri pada pertengahan bulan Maret 1983, saya langsung berkenalan dengan Pak Roso. Pejabat Eselon II yang tidak tampak seperti seorang pejabat. Serba sederhana, orang Jawa dengan perawakan ‘sedang-sedang saja’ dan halus budi bahasanya itu menyiratkan aura priyayi Jawa yang sangat kental. 
Saya tidak menyangka kalau Pak Roso ternyata “kera Ngalam” (Arek -orang- Malang, Jawa Timur), karena menguasai Bahasa Jawa halus dengan sangat baik. 
Sama seperti saya kalau sedang berbicara berdua saja dengan Pak Pardjo, Pak Roso juga memilih memakai bahasa Jawa halus kalau berbicara berdua dengan Pak Pardjo.  Kalau dengan saya Pak Roso memilih bahasa ‘gado-gado’, campuran bahasa Indonesia dengan selipan bahasa Jawa ‘krama’ (halus).  Penampilannya sangat tenang, ‘cool’, kata anak jaman sekarang. Pak Roso juga mempunyai ‘ilmu’ pengendalian diri yang sangat prima. 
Selama hampir sepuluh tahun (dengan terpisah sementara waktu saat saya pindah kekantor Menko Kesra), belum pernah saya melihatnya marah. Senyum lebih banyak tersungging dibibirnya. Walaupun begitu semua bawahannya sangat hormat kepada Pak Roso, justru karena ia jarang marah. 
Satu lagi yang membuat saya terkejut. Entah bercanda atau serius, Pak Roso bilang bahwa ia tidak bisa mengemudikan mobil. Kalau sedang tidak dijemput sopir, beliau memilih naik taksi untuk pergi kekantor. Begitu juga kalau harus keluar kantor untuk rapat ditempat lain, taksi adalah kendaraan pilihannya.  
Selalu serius tapi juga bisa bercanda, itu kesan saya. Dengan senyumnya itu, Pak Roso membuat lawan bicaranya menjadi segan. 
Ia adalah orang yang sangat pandai menyimpan rahasia dan dapat dipercaya. Selama menjadi Kepala Biro Umum dijaman Mendagri Soepardjo,  Pak Roso sangat dipercaya Pak Pardjo. Semua uang ‘lumsum’ (uang harian perjalanan dinas) dan uang representasi yang menjadi hak Mendagri tak pernah diterima Pak Pardjo, tapi langsung diserahkan kepada Pak Roso untuk disimpan sebagai ‘dana khusus’. Dana ini bisa dikeluarkan sewaktu-waktu untuk keperluan apa saja pada saat Pak Parjo membutuhkannya. Diruang kerja Pak Roso ada bilik khusus yang oleh para stafnya disebut sebagai ‘kamar gelap’, dimana Pak Roso konon menyimpan uang tersebut.
Ketika saya sudah berada di Jakarta lebih dari setengah tahun tapi istri dan anak-anak saya masih berada di Semarang, saya pernah main-main meng’ultimatum’ Pak Roso untuk minta rumah dinas. Dan berhasil. Saya mendapat jatah kapling untuk Eselon I, yang akhirnya saya tukar dengan sebuah rumah di Komplek Depdagri Pondokgede. 
Pak Roso adalah tipe seorang pemimpin yang sangat peduli kepada bawahannya. Sewaktu saya sudah bertugas di Kantor Menko Kesra, Pak Roso masih tidak berkeberatan kalau saya meminta tolong beliau untuk hal-hal yang tidak bisa saya mintakan bantuan kepada staf Kantor Menko Kesra. Contohnya ketika saya minta tolong membuatkan Paspor Dinas untuk istri saya. Padahal saya minta tolong hanya melalui telepon, karena saat itu saya sedang dinas keluar negeri. 
Disaat saya bersedih karena merasa terabaikan dan datang menemui beliau di Kantor Korpri Pusat saat beliau telah menjabat sebagai Wakil Sekretaris Jenderal, dengan serta merta beliau langsung menawarkan kepada saya untuk bekerja di Kantor Pusat para “Abdi Negara” itu. 
Saya juga masih ingat ketika (sebagai Wasekjen Korpri) beliau akan mengurus SK pensiun sebagai PNS di Kantor Pusat PT Taspen di jalan Cempaka Putih Jakarta. Waktu itu beliau meminta tolong saya untuk menemaninya menemui pengurus Korpri PT Taspen guna mengurus hak beliau sebagai pensiunan. Tapi Pak Roso kukuh menolak saya antar memakai mobil saya, ia lebih memilih untuk naik taksi. Lebih nyaman katanya. Jadilah kita berdua naik taksi dengan santai. 
Setelah urusan selesai semua pada hari itu juga dan beliau menerima uang rapel pensiun yang menjadi haknya, walaupun saya menolak dengan keras, diselipkannya secara paksa beberapa lembar uang kesaku saya sebagai “uang lelah” menemaninya.
Dilain waktu, beberapa hari menjelang Idul Adha (hari raya qurban), anak laki-laki saya bersama remaja komplek DDN Pondokgede mencoba untuk berjualan hewan kurban.
Saya lalu menghadap beliau untuk menawarkan apakah beliau bersedia membeli, Pak Roso tanpa banyak bertanya langsung merogoh kantong dan tanpa menawar membeli dua ekor kambing ditambah ongkos transportnya. 
Yang sering membuat saya heran, kantong Pak Roso seperti tidak pernah ‘kosong’. Saya perhatikan kalau ada bekas staf beliau dari Depdagri yang datang menghadap, pasti Pak Roso akan merogoh kantong dan dengan senyum ikhlas memberikan ‘sangu’ (bekal pulang). 
Sungguh sifat dermawan yang patut dicontoh tapi (sayangnya) sungguh susah untuk  dilaksanakan.
Sebagai manusia biasa, menurut saya kelemahan Pak Roso hanya satu, ia tidak bisa marah dan terlalu baik kepada semua orang.
Lamunan saya buyar seiring dengan selesainya doa yang dibacakan oleh ustad  yang memimpin tahlilan pada malam itu.


    “Sapaan terakhir” Pak Roso.

Hari Selasa Pahing, 27 Januari 1998 pukul 09.00 WIB pagi hari  saya sudah berada lagi dikediaman almarhum Pak Roso. Jenasah beliau direncanakan akan diberangkatkan ke TPU Penggilingan sesudah waktu salat dhuhur. 
Sewaktu saya memasuki ruang tengah, saya lihat jenasah almarhum sedang dimandikan oleh petugas dan keluarga beliau. Saya hanya menyaksikan diruang tengah, kira-kira hanya berjarak 2 meteran dari tempat jenasah dimandikan. Saya berdiri sendirian. Ruang tengah itu kosong karena semua keluarga besar yang tidak ikut memandikan berkumpul diruang tamu untuk menerima kedatangan para pelayat yang terus mengalir. 
Tiba-tiba saya merasa pundak saya digamit oleh seseorang. Padahal saat itu tak ada seorangpun yang berada disekitar tempat saya berdiri.
Lalu terdengar sapaan halus ditelinga saya, suaranya JELAS sekali:
“Apa kabar Dik Tonny?”.
Saya terperanjat. JELAS itu adalah suara Pak Roso. Suara khasnya sangat akrab dan sangat saya hafal. Disiang hari bolong itu bulu kuduk saya langsung berdiri. Tidak salah lagi. Bertahun-tahun saya bergaul, bercakap dan bersendau-gurau dengan beliau, saya hafal betul semua tekanan suara dan aksennya. Saya yakin betul, suara tadi adalah suara Pak Roso yang ingin menyapa saya untuk terakhir kali. Subhanallah.
Saya bacakan surah Al-Fatihah dan Ayat Qursi untuk arwahnya.
Semoga Allah SWT membukakan pintu sorga baginya. Amin.

Dan pada siang hari yang mendung itu, saya sendiri yang bertindak sebagai Pembawa Acara pada upacara pelepasan jenazah Bapak Drs. H. Soeroso Hadisurjo, Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Korpri Pusat, dirumah duka, dimana Sekretaris Jenderal Depdagri selaku Ketua Pengurus Korpri Pusat bertindak sebagai IRUP dalam acara pelepasan jenasah almarhum.
Saya juga yang menjadi Pembawa Acara pada upacara pemakaman jenasah di TPU Penggilingan, Rawamangun, Jakarta dimana yang bertindak sebagai IRUP adalah Sekretaris Jenderal Korpri Pusat.



bersambung.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar