Selasa, 12 April 2011

"PAK PARDJO WAFAT......"



(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung ( 100 )




Alm. Letjen TNI (Purn) H. Soepardjo Roestam
 

Released by mastonie, Sunday, April 4, 2010 at 01.45 am


      Saya merasa  ‘ditilapke’ (ditinggal pergi tanpa diberitahu)….

Dua hari setelah hari ulang tahun ke 61 Bu Pardjo, yang diselenggarakan pada tanggal 4 April 1993 secara sederhana namun menyentuh hati (karena diadakan diruang tunggu ICU RS. MMC, dimana Pak Pardjo masih dirawat), saya mohon ijin untuk pergi sebentar ke Semarang karena ada sepupu istri yang menikah.
Pada waktu berpamitan kepada Bu Pardjo, saya lihat dari balik kaca ruang ICU, kondisi Pak Pardjo masih saja seperti biasa. Belum tampak ada kemajuan berarti. 
Saya juga masih tidak diperbolehkan untuk masuk ke ruangan ICU. Sebab dikhawatirkan emosi Pak Pardjo akan terusik, karena teringat (lagi) pada pekerjaan  apabila melihat ‘tampang’ saya. 
Selama ini saya  memang sudah dianggap identik dengan tugas dan pekerjaan, saking lamanya saya bertugas mendampingi beliau.
Hanya tiga hari saja saya berada dikota Semarang. 
Hari Minggu, 11 April 1993 pagi, saya beserta istri kembali ke Jakarta dengan menumpang kereta api Senja Utama. 
Sepanjang perjalanan Semarang-Jakarta, pikiran saya sangat gelisah. Saya merasa bersalah karena beberapa hari meninggalkan tugas, tidak ‘piket’ di kantor PMI Salemba. Disitulah saya bertugas mengawasi jalannya pengambilan darah dari para donor yang akan diambil eritrosit dan trombositnya untuk disumbangkan kepada Pak Pardjo. Tugas yang akhir-akhir ini telah menjadi “pekerjaan baru” saya.
Turun di Stasiun Jatinegara, saya segera bergegas naik taksi untuk pulang kerumah. Belum sepenuhnya melangkahkan kaki masuk kerumah, saya sudah disambut isak tangis kedua anak perempuan saya.
“Papa, Yang (Jw: Eyang = kakek) Pardjo kakung sudah seda (wafat)”.
Begitu kata anak perempuan saya dalam isak tangis tertahan.
Istri saya langsung meledak tangisnya.
Saya sendiri merasa bak tersambar semilyar halilintar mendengar kabar duka itu.
Dunia seperti berputar. Saya terhuyung mencari tempat duduk seadanya.
“Darimana kamu mendengar berita itu?”, saya bertanya masih tidak percaya.
“Tadi pagi piket di Gatot Subroto (maksudnya dari Widya Chandra, rumah dinas Menteri) menelepon mencari Papa untuk memberitahu Yang Pardjo kritis. Siang ini berita duka tentang wafatnya Yang Pardjo sudah disiarkan di televisi”.
Lemas seluruh badan saya. Hancur terasa hati saya. Menyesal sekali saya tidak dapat menyaksikan saat-saat terakhir orang yang selama ini begitu dekat dengan saya. Bahkan lebih dekat dibanding dengan ayah saya sendiri. Sedih saya berganda, selain karena merasa kehilangan seseorang yang sangat berharga dalam hidup, merasa bersalah karena tidak bisa menunggu saat akhirnya, juga  karena saya merasa seperti “ditilapke” (ditinggal pergi tanpa diberitahu).
Siang hari ini, Minggu Kliwon, 11 April 1993 (tepat sepekan setelah hari ulang tahun Bu Pardjo), pukul 13.05 di RS. MMC Jakarta, Pak Pardjo yang saya ‘pundi-pundi’ (agungkan) sebagai sesepuh yang sangat saya hormati, betul-betul telah menghembuskan nafas terakhir beliau, dan pergi untuk selama-lamanya.
Bergegas saya meluncur bersama istri saya kekediaman dinas Pak Pardjo di kompleks Menteri Jl. Widya Chandra I/4, Gatot Soebroto Jakarta Selatan. Saya menyetir mobil seperti orang linglung (hilang pikiran). Mengemudikan mobil begitu saja menurut insting, melalui rute yang selama lebih dari sepuluh tahun telah saya jalani tiap hari, pagi, siang, sore, malam, entah telah berapa ribu kali.
Pikiran saya kosong plong.
Rumah dinas mantan Mendagri/Menko Kesra Soepardjo Roestam yang terletak paling pinggir dikompleks Menteri itu sudah penuh sesak dengan pelayat. Ratusan karangan bunga besar kecil bertumpukan disekitar halaman rumah sampai kepinggir jalan.
Istri saya menangis dipelukan Ibu Soepardjo yang walaupun dengan mata sembab, masih bisa berkata lirih:
“Maafkan Bapak ya Pak Tonny”
Saya tak bisa menjawab. Air mata saya seolah kering. Belum pernah saya merasakan kesedihan begitu mendalam seperti sore hari ini
Betul-betul tak bisa saya percayai, hari ini, tepat sepekan setelah hari ulang tahun Bu Pardjo, istri yang sangat dicintainya dengan segenap jiwa raga,  Pak Pardjo, lelaki lembut hati, penyayang keluarga dan suami yang sangat setia itu berpulang ke Rahmatullah.  
Purnawirawan Jenderal berbintang tiga yang memiliki Bintang Gerilya, Bintang Mahaputera Adipradana serta sederet bintang jasa baik dari dalam maupun dari luar negeri  antara lain: The Order of Sikatuna Magino’o (dari Filipina), Johan Mangku Negara (dari Malaysia, yang sekaligus memberikan Gelar Kehormatan “Tan Sri”) dan The Most Honorable Order of The Crown (dari Kerajaan Muangthai), akhirnya beristirahat dengan tenang memenuhi takdirnya dipanggil pulang keharibaan Allah SWT.  
Innalillahi wa inna ilaihi roji’un....


      Pak Harto datang melayat.

Rumah Dinas Pejabat Tinggi Negara yang berada di Widya Chandra sebetulnya bukan sebuah rumah yang sangat besar. Hanya karena kebetulan Pak Pardjo mendapatkan jatah rumah yang terletak paling pinggir, jadi kelihatan halaman rumahnya agak luas. Lebih luas daripada rumah dinas lain yang berada disampingnya.
Sore hari itu, setelah kabar wafatnya Pak Pardjo tersiar luas melalui media elektronika,  rumah dinas almarhum jadi penuh sesak dengan ribuan pelayat yang datang bergelombang seperti tak putus-putusnya.
Saya harus menepis kedukaan untuk membantu Bu Pardjo menerima ucapan bela sungkawa dari para pelayat. Mulai dari para Pejabat Tinggi Negara, baik yang sudah pensiun maupun yang masih aktif, silih berganti memberikan tanda simpati kepada Bu Pardjo dan putra-putranya. 
Kabar resmi dari Protokol Istana menyebutkan bahwa Presiden Soeharto akan hadir sendiri untuk melayat sesudah Magrib. Jadi saya harus ikut mempersiapkan menyambut kedatangan orang nomor satu di Indonesia itu. Tak dimanapun, kehadiran Presiden selalu membutuhkan ‘pengamanan’ khusus. 
Oleh sebab itu ruang tamu rumah dinas yang tidak terlalu luas, dimana jenazah almarhum Pak Pardjo disemayamkan, sesuai prosedur tetap, harus segera “disterilkan” oleh Paswalpres, guna menyambut kehadiran Pak Harto.
Tepat pukul 19.00, Pak Harto memasuki ruangan. Mengenakan kemeja batik lengan panjang dan berpeci, Pak Harto langsung menyalami Bu Pardjo yang terlihat larut dalam kesedihan. Kini tak ada senyum yang tampak diwajah ‘The Smiling General’ itu. Kerutan diwajah sepuhnya menampakkan duka mendalam. Sungguh, Pak Harto telah kehilangan salah seorang andalannya, yang terakhir kali dalam sepuluh tahun ini telah dipercayainya menjabat sebagai Menteri di dua pos yang berbeda. 
Mungkin karena secara pribadi, Pak Harto telah mengenal Pak Pardjo sejak jaman masa perang merebut kemerdekaan dulu, sehingga kedekatan emosional keduanya juga tampak nyata.
Pak Harto pulalah yang telah memberikan persetujuan untuk memberikan dua ‘kavling’ makam yang letaknya tepat bersebelahan di TMP Kalibata (sesuai permintaan pribadi Pak Pardjo sebelum wafat), dimana nantinya jasad Pak Pardjo dimakamkan. Setahu saya, ‘kebijaksanaan’ atau ‘keistimewaan’ seperti ini belum pernah diberikan untuk pejabat tinggi yang lain. Setidaknya sampai saat Pak Pardjo wafat pada bulan April tahun 1993 itu.
Sedemikian dalamnya cinta Pak Pardjo kepada istrinya, sehingga sampai wafatpun beliau ingin berdekatan dengan wanita yang telah dinikahinya lebih dari empatpuluh tahun itu.
Bagi Pak Pardjo, “Dien” (panggilan akrab Ibu Soepardjo) adalah segala-galanya. Oleh sebab itu Pak Pardjo bahkan rela tidak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata, seandainya permohonan beliau untuk mendapatkan tempat yang bersebelahan di TMP Kalibata tidak disetujui oleh Pemerintah.
Bahkan jauh hari, sewaktu masih menjabat sebagai Menko Kesra, Pak Pardjo telah tertarik hatinya untuk membeli beberapa bidang tanah dipemakaman yang dikelola oleh PWRI didaerah Tonjong,  yang berada dipinggir kota Bogor.
Disanalah beliau merencanakan untuk disemayamkan bersebelahan dengan sang istri tercinta.
Akan tetapi rupanya Pak Harto, yang selain sangat mengerti betapa dalam kecintaan Pak Pardjo kepada istrinya, juga mempertimbangkan bahwa Bu Pardjo adalah sosok seorang pejuang dimasa perang kemerdekaan, sehingga  Bu Pardjo (yang juga memperoleh tanda jasa berupa Bintang Mahaputera) memang pantas berdampingan dengan suaminya di TMP Kalibata.
Oleh karena itulah sangat wajar apabila kemudian permohonan Pak Pardjo (untuk dimakamkan berdekatan dengan istri tercintanya di TMP Kalibata) akhirnya dikabulkan.

      Hilangnya sepatu orang-orang terdekat……

Sampai menjelang larut malam suasana di rumah duka masih belum surut oleh datangnya para pelayat.
Di teras rumah dinas yang sangat sempit itu tampak berserakan ratusan pasang sandal dan sepatu berbagai jenis, merek dan ukuran. Semua pelayat yang datang tampak tak peduli, (walaupun tak ada yang meminta) mereka melepas alas kakinya begitu saja sebelum masuk kerumah duka untuk bertaksiah.
Tak ada yang sempat memperhatikan keberadaaan ratusan pasang sandal dan sepatu diteras rumah duka pada malam itu. Semua hadirin terpusat perhatiannya pada niat untuk memberikan penghormatan terakhir pada jasad almarhum Pak Pardjo yang disemayamkan ditengah ruang tamu.
Ketika malam semakin larut dan pelayat yang datang bertaksiah semakin berkurang, maka tinggallah beberapa orang keluarga dan kerabat dekat yang masih tetap bertahan untuk membaca surat Yasin dan doa bagi arwah almarhum Pak Pardjo. Beberapa orang santri yang datang dari masjid terdekat tampak khusyuk membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an. Mereka duduk didekat jenazah Pak Pardjo yang terbaring tenang.

Tak seorangpun pernah menyangka dan mengira bahwa ditengah suasana duka itu ada orang yang sempat menggunakan kesempatan (walaupun jelas bukan ditengah kesempitan), untuk menukar alas kakinya! Barangkali saja mereka terobsesi dengan petuah para ustad:  “Ambil yang baik-baik saja dan tinggalkan lah yang buruk-buruk”.   
Memang yang tampak tertinggal diteras rumah dinas Pak Menteri pada tengah malam itu hanyalah alas kaki (sandal dan sepatu) yang terlihat usang dan kumuh saja.
Lucunya, beberapa orang yang menjadi korban adalah orang-orang yang termasuk mempunyai hubungan sangat dekat dengan almarhum Pak Pardjo!
Korban pertama adalah Pak Jayus Adisaputra (seorang pengusaha dari Semarang yang dekat dengan Pak Pardjo sejak masih menjabat sebagai Gubernur).
Korban kedua adalah Bu Karmaliah (pernah jadi Ajudan dan Sekpri Bu Pardjo, sama-sama berasal dari Pemda Jawa Tengah) dan korban yang terakhir adalah saya sendiri. Pak Jayus kehilangan sepatu merk “Bally” yang baru saja dibelinya diluar negeri, Bu Karmaliah kehilangan sepatu kesayangannya. Sedangkan saya hanya kehilangan sepatu biasa saja, buatan dalam negeri yang pabriknya (kebetulan) berada didekat TMP Kalibata.


     PEMAKAMAN SANG PAHLAWAN.

    Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata Jakarta, 12 April 1993.

Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata Jakarta, yang (akan) menjadi tempat peristirahatan terakhir Pak Pardjo, sesungguhnya adalah tempat yang tidak pernah dikehendakinya.
Jauh sebelum saat terakhirnya tiba, Pak Pardjo telah memilih sendiri sebuah Tempat Pemakaman Umum biasa, yang berada didaerah Tonjong, Bogor. Dengan tujuan  agar dikelak kemudian hari pada saat beliau wafat, bisa dimakamkan berdampingan dengan Ibu Soepardjo, istri tercintanya. 

Pak Pardjo telah membeli beberapa bidang tanah yang cukup untuk pemakaman sebuah keluarga besar, dipemakaman milik Persatuan Wredatama Republik Indonesia (PWRI). Sebuah komplek pemakaman didaerah yang memang masih tenang karena berada dipinggiran kota Bogor. 
(Tentang pembelian tanah untuk pemakaman keluarga ini, saya pernah di’sentil’ -diingatkan- oleh dokter Fahmi Syaifuddin, Staf Ahli Menko Kesra:
“Dik Tonny, sesuai ajaran agama, sesungguhnya tidak baik kalau jauh-jauh hari kita sudah mempersiapkan sebuah tempat pemakaman untuk diri kita sendiri.
‘Ora ilok’ kata orang Jawa. Karena hal itu seolah kita telah memastikan kapan dan dimana kita akan dikuburkan. Padahal hanya Allah SWT yang tahu rahasia kapan dan dimana seorang manusia akan dipanggil menghadapNya. Cobalah dik Tonny matur Pak Pardjo”.
Tentu saja saya tak bisa memenuhi imbauan itu. Kalau dokter Fahmi yang Staf Ahli saja tidak berani menyampaikan langsung kepada Pak Menko, apalagi saya yang hanya seorang Ajudan).

Dan Pak Pardjo memang terkenal sebagai orang yang sangat kukuh pendiriannya.
Begitupun dengan niat membeli tanah untuk makam beliau sendiri beserta keluarga besarnya itu.
Apalagi niat untuk selalu berdampingan ‘sehidup semati’ dengan Bu Pardjo.
Namun setelah Pemerintah memberikan persetujuan bahwa Bu Pardjo kelak juga bisa dimakamkan tepat disampingnya di TMP Kalibata (karena Bu Pardjo, juga memiliki Bintang Mahaputera), maka Pak Pardjopun akhirnya setuju, apabila beliau berpulang nanti, jasadnya akan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata Jakarta.
Siang hari itu, ditengah cuaca mendung, Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata di Jakarta Selatan penuh sesak dengan para pelayat. Banyaknya pelayat menimbulkan kemacetan parah dijalan Pasar Minggu Raya dan jalan Kalibata.
Sekitar pukul 12.30 siang hari (bakda duhur), setelah diturunkan dari kendaraan jenazah milik Garnisun Kodam Jayakarta, peti jenazah almarhum Pak Pardjo yang diselimuti bendera Sang Merah Putih langsung dibawa memasuki TMP Kalibata oleh satu regu Pasukan Kawal Kehormatan TNI AD dengan didampingi oleh Tiga Kepala Staf Angkatan dan Kapolri yang semuanya berpangkat Jenderal berbintang empat.
Pemerintah telah menugaskan kepada Menko Polkam Jenderal TNI -hor- (Purn) Soesilo Soedarman (sesama mantan prajurit PETA yang berasal dari Banyumas) untuk bertindak sebagai Inspektur Upacara (IRUP) di TMP Kalibata.

Ribuan pelayat yang memenuhi TMP Kalibata pada siang hari itu menunjukkan betapa almarhum Pak Pardjo seorang yang sangat dihormati dan mempunyai banyak teman serta sahabat.
Hampir semua sejawat mantan Menteri di Kabinet Pembangunan IV dan V, hadir pada hari berkabung itu. Termasuk diantara pelayat adalah para Kepala Daerah (Gubernur dan Bupati/Walikota) serta Ibu-ibu Ketua PKK dari seluruh Indonesia yang kebetulan sedang mengadakan Raker Gubernur dan Munas PKK di Jakarta.
Jajaran Menteri Kabinet Pembangunan VI (yang baru saja sebulan dilantik) juga tampak hadir. Seingat saya, anggota Kabinet baru yang hadir antara lain adalah: Menhankam/Pangab Edi Sudradjat, Mendagri Yogi S. Memet, Menko Kesra Azwar Anas (yang menggantikan Pak Pardjo), Menko Ekku Wasbang Saleh Affif dan Menpera Akbar Tanjung. Ribuan pelayat lain yang hadir adalah teman, sahabat, kerabat dan handai taulan almarhum yang merupakan  tokoh-tokoh partai politik, tokoh masyarakat dan lain-lain.
Hari itu, Senin Legi, 12 April 1993, Indonesia berduka lagi.
Salah satu putra terbaik bangsa telah kembali keharibaan Ibu Pertiwi menghadap Sang Khalik.
Dalam suasana haru penuh rasa duka, jenazah Almarhum Letnan Jenderal TNI (Purn) Haji Soepardjo Roestam diturunkan keliang lahat dalam naungan bendera Merah Putih yang dibentankan oleh 4 orang Jenderal didahului bunyi Salvo senapan dari Pasukan Kawal Kehormatan. 
Jenazah mantan Menteri di dua Kabinet dalam dua jabatan berbeda itu kini telah dimakamkan dengan Upacara Kehormatan Militer sepenuhnya di Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata Jakarta.
Disinilah terjadi sebuah keunikan.
Pak Pardjo wafat pada bulan 4 (April) tahun 93 (1993) dan Nomor Urut Pusara (makam) almarhum Pak Pardjo di TMPN Kalibata adalah 493. Sebuah kebetulan  yang sangat langka.

Selamat jalan Letnan Jenderal TNI (Purn) H. Soepardjo Roestam..
Semoga Allah SWT memberikan tempat yang terbaik sesuai amal ibadah dan amal bakti yang selama ini telah engkau persembahkan kepada nusa dan bangsa. Amin. 



bersambung.....    

1 komentar:

  1. selamat jalan bp. supardjo ....smogl diampuni dosanya...diterima disisi allh swt ..khusnul khotimah.amin.terima kasih pak tonny.(saya mengenal anda waktu dinas di jateng dan pernah kliah di appd/stik semarang.)sehat ya mas tonny.....

    BalasHapus