Minggu, 10 April 2011

"SEMUA TERGANTUNG 'AMAL IBADAH'..........SUBHANALLAH!!..."




(dari draf buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (88)


Released by mastonie, Wednesday, June 9, 2010 at 05.32 pm


      Suka duka di tanah suci.....cobaan buat calon haji

Konon sering sekali kita mendengar kisah ‘seram’ dan ‘aeng-aeng’ (aneh-aneh), tentang orang yang sedang menunaikan ibadah haji. Menurut kabar burung itu, amal dan ibadah apapun yang telah kita lakukan dimasa lalu, akan langsung dibalas tuntas dan lunas serta lugas (oleh Allah SWT) ditanah suci. Wallahu ‘alam bissawab.
Oleh sebab itu banyak kita jumpai orang yang walaupun secara fisik dan materi sudah mampu (yaitu syarat bagi mereka yang wajib untuk pergi haji),  tapi tetap belum terketuk hatinya untuk pergi haji. Alasan yang disampaikan sangat klasik tapi klise: belum SIAP atau belum mendapat PANGGILAN! Padahal mereka (barangkali saja) sebetulnya merasa takut terhadap bayangan kelakuan atau ‘amal ibadah’ mereka sendiri selama ini!
Memang ternyata di tanah suci banyak sekali terjadi kisah dari yang sekedar ‘tidak biasa’ sampai yang ‘aeng-aeng’ alias aneh bin ajaib. 
Saya akan mulai berkisah soal kejadian-kejadian yang terkadang tidak masuk akal itu. Saya mulai saja sedikit flash back dari saat keberangkatan kloter saya (kloter 106 HPK) dari tanah air.
Ketika bis sudah bergerak dari asrama haji Pondokgede menuju bandara Halim, ada seorang rekan anggota TPOH yang tiba-tiba berteriak menyuruh sopir bus untuk berhenti. Belum habis keheranan jemaah satu bus, rekan tersebut sudah berteriak lagi minta kepada sopir agar bus diputar balik kembali ke asrama haji, karena kacamata bacanya ketinggalan. Tentu saja semua penumpang protes. Mana mungkin bus memutar balik, sedangkan kita semua ada dalam satu barisan konvoi yang terdiri dari beberapa bus? Apalagi hanya gara-gara sebuah kacamata baca! Maka buspun terus saja melaju mengikuti konvoi menuju Bandara. Jadi bagaimana nasib kacamata baca itu?  
"Wassalam”!  Itu meminjam istilah Pak Asmuni dari Srimulat.

Hari sudah menjelang ashar ketika kloter 106 Halim PK mendarat di Terminal haji Bandara King Abdul Azis Jeddah. Perjalanan yang memakan waktu sekitar 10 jam, dengan sekali refuel di Bandara Abu Dhabi terasa cukup melelahkan. Ketika mengikuti prosedur pemeriksaan barang oleh Petugas Imigrasi Kerajaan Arab Saudi, terjadi beberapa hal yang mengesalkan, mengesankan sekaligus juga lucu dan unik. Mengenakan seragam coklat muda dengan baret warna hijau, Petugas Imigrasi Arab Saudi terkesan sangat “berkuasa” dan cenderung berlaku seenaknya. Menghadapi ratusan jemaah calon haji dari berbagai usia yang sudah kelelahan setelah terbang begitu lama, mereka tampak santai-santai saja. Terkadang tanpa alasan yang jelas, mereka tiba-tiba saja turun dari counter pemeriksaan dokumen (paspor dll) dan raib entah kemana. Padahal antrian jemaah calon haji begitu meng’ular’ panjangnya. Ini barangkali termasuk salah satu ujian kesabaran dari Allah SWT. Lolos dari pemeriksaan Imigrasi, kita harus menunggu barang dan kopor yang juga bisa berlangsung berjam-jam. Sesudah itu jemaah langsung berhadapan dengan petugas lain yang akan memeriksa seluruh kopor jemaah calon haji dengan cara yang luar biasa saksama. Disinilah ujian kesabaran dimulai lagi. Perlakuan petugas pemeriksa kepada para jemaah calon haji memang kadang terasa seperti “tebang pilih”, atau kalau jaman sekolah dulu disebut “pilih kasih”. Ada jemaah calon haji yang kopornya dibuka sambil diaduk-aduk seluruh barangnya seperti ada kecurigaan si jemaah membawa B3 (Barang Beracun dan Berbahaya)! Ada yang kopornya seakan cuma dielus-elus dan ditekan-tekan sedikit (tanpa dibuka sama sekali), dan lolos. Bahkan ada juga yang kopernya hanya ditengok, lalu dibiarkan lolos. Melihat perlakuan itu, pantas kalau ada jemaah yang nyeletuk:
“Semua itu memang terpulang kembali kepada amal ibadah masing-masing”. 
Wallahu ‘alam.

Subhanallah! kopor saya sendiri termasuk yang tidak dibuka dan diaduk-aduk. Hanya dibuka ruitsleting nya, lalu diintip sedikit dan “halas” (sudah)! Padahal saya sudah khawatir kalau persediaan obat-obatan yang saya bawa dari tanah air tidak diijinkan ‘masuk’, karena diantaranya saya membawa ‘neuralgin’. Padahal konon obat yang memakai nama “gin” diharamkan masuk ke tanah suci.  Alhamdulilah.

 Terminal Haji Bandara "King Abdul Aziz"    
Terminal haji Bandara King Abdul Azis termasuk  bangunan yang sangat besar dan luas sekali ukurannya. Terbagi dalam beberapa puluh “Gate” (pintu masuk) untuk menerima jemaah calon haji dari Negara-negara diseantero penjuru dunia. Setelah keluar dari ruang pemeriksaan (yang full AC), saya rasakan terpaan angin jazirah Arab yang kencang dan menyengat panasnya. Tapi hal itu tak mengurangi kepasrahan dan rasa syukur saya yang luar biasa kepada Allah Swt. Oleh karena itu saya bermaksud melaksanakan salat sujud syukur sebelum salat asar. Disini terjadi lagi peristiwa yang menimpa rekan yang tadi pagi bermaksud menghentikan bus karena kacamata bacanya tertinggal di asrama haji, sebut saja namanya dengan “Pak Abu”. Setelah mengambil air wudhu yang harus antri dengan puluhan jemaah lain, maka kita melaksanakan salat sujud syukur dilanjutkan dengan salat ashar berjamaah. Kita mengambil tempat dimana saja, yang penting menghadap kiblat. Soalnya kalau harus ke mushala terminal, masih harus antri dan menunggu lagi. Selesai salat ashar, astagfirullah, Pak Abu tiba-tiba baru tersadar kalau jasnya tertinggal di tempat wudhu. Padahal jaraknya lumayan jauh. Sebagai wujud solidaritas antar teman TPOH, saya ikuti Pak Abu kembali keruang wudhu yang bahkan tempatnya dimanapun tadi dia sudah lupa! Alhasil setelah pusing tujuh keliling, jas itu berhasil ditemukan dengan selamat, teronggok dengan santainya di atas kran! Alhamdulilah.
Sebetulnya saya senang berteman dengan Pak Abu karena ia orang Sunda yang asli kocak. Akan tetapi saya tidak pernah menyangka bahwa nantinya Pak Abu akan terus mendapat cobaan.
Tidak seperti jemaah Kloter 106 HPK yang lain, anggota TPOH harus tinggal di Jeddah dulu untuk beberapa hari (jumlahnya baru 19 dari 21 orang -karena yang 2 orang adalah pejabat teras Depag yang berangkat terakhir dengan kloter VIP-). Ini dalam rangka pemantauan pelaksanaan penerimaan kedatangan dan pengiriman Jemaah Calon Haji Indonesia ke Mekah atau Madinah.

      Lagi-lagi cobaan kesabaran bagi salah seorang calon haji…

Penginapan yang disediakan Konjen RI di Jeddah untuk anggota TPOH adalah Wisma yang juga ditempati oleh TPHI dan TKHI. Mereka ini sudah datang lebih dahulu, beberapa hari sebelum Kloter pertama Jemaah Calon Haji Indonesia tiba di Jeddah.
Pada tahun 1992, dengan biaya ONH yang mencapai Rp. 6.475.000,-, jumlah jemaah haji Indonesia secara keseluruhan tercatat 104.361 orang, ditambah petugas dari Departemen Agama (TPHI, TKHI dan TPOH) yang semuanya berjumlah 1.155 orang. Indonesia memang selalu merupakan pengirim Jemaah Calon Haji yang terbesar dibanding dengan Negara lain dari seluruh dunia. Oleh karena itu memang dibutuhkan penanganan dan pengaturan oleh petugas yang secara teknis harus ‘qualified’ (memenuhi syarat) dan dapat menguasai ‘medan’.
Mengingat keterbatasan tempat, maka semua petugas mendapatkan kamar yang berisi sekitar  4 sampai 6 orang. Dipintu masing-masing kamar sudah tertera nama-nama penghuninya. Alkisah, pada malam hari itu semua anggota TPOH sudah mendapat jatah kamar kecuali …. Pak Abu!  Terjadi sedikit kegaduhan, dimana letak kesalahannya, karena jumlah anggota TPOH dan daftar namanya sudah dikirim jauh hari dari Jakarta. Bagaimana bisa ada yang tidak kebagian kamar? Usut bin usut, ternyata nama Pak Abu ditemukan berada di daftar kamar untuk petugas wanita! Konon hal ini terjadi karena nama depan Pak Abu (nama khas Sunda) yang memang sama dengan nama seorang wanita. Untuk mencegah terulangnya kejadian serupa, maka wisma Indonesia di Aziziah Mekah dan Madinah yang nantinya menyiapkan akomodasi untuk TPOH, segera diberitahu tentang kekeliruan nama (laki-laki dianggap perempuan) tersebut.
Kira-kira selama 3 hari, TPOH bermarkas di Jeddah. Kegiatan kita antara lain memonitor pergerakan jemaah calon haji Indonesia dan persiapan petugas TPHI di “Madinatul Hujaj” yang akan mengelola kepulangan jemaah nantinya. 

kota Mekah dan 'Masjidil Haram', foto: islamicfinder.org

Selanjutnya kita menuju Mekah. Langsung menuju Wisma Indonesia yang terletak di Aziziah. Daerah ini agak jauh dari Masjidil Haram. Tapi mudah dicapai karena dilewati trayek bis kota. Kalau terpaksa harus berjalan kaki ke Masjidil Haram (lewat jalan tembus Mina – Mekah, yang dibuat khusus untuk jemaah haji), hanya makan waktu  kira-kira sekitar setengah jam saja! Di Wisma Indonesia Aziziah ini tak disangka terjadi lagi peristiwa sama yang menimpa Pak Abu. Semua anggota TPOH sudah mendapat kamar, kecuali beliau. Karena sudah ada ‘pengalaman’ serupa di Jeddah, maka kita beramai ramai mencari nama Pak Abu dikamar yang disediakan untuk petugas perempuan. Ternyata betul! Nama Pak Abu tercantum (sebagai “Ibu” Abu) disalah satu kamar yang isinya perempuan semua. Kali ini kita betul-betul tidak mengerti, karena pemberitahuan tentang kekeliruan nama itu sudah diberitahukan oleh Konjen RI di Jeddah ke Mekah dan Madinah. Saya mencatat, ini adalah cobaan yang kesekian kali buat Pak Abu. Untungnya beliau (paling tidak pada saat itu) bisa menerima kenyataan itu dengan tersenyum-senyum saja ditengah gelak tawa kita (karena geli) yang tak berkesudahan. Akhirnya Pak Abu mendapat tempat satu kamar dengan saya dan empat orang yang lain di Wisma Indonesia Aziziah.
Hari pertama pemantauan yang dilakukan TPOH di daerah kerja (Daker) Mekah, kita banyak menemukan terjadinya penyimpangan. Baik dalam skala kecil yang bisa dimaklumi sampai skala yang seharusnya tidak bisa ditolerir.  Kasus yang banyak kita temui adalah mengenai keadaan pemondokan jemaah haji yang seharusnya tidak layak dihuni. Hal lain yang sangat memprihatinkan adalah banyaknya terjadi jemaah Indonesia yang tersesat. Bahkan sampai “hilang”. Terutama jemaah yang berasal dari pelosok daerah (yang mengalami kendala bahasa) dan jemaah lanjut usia. Padahal seluruh jemaah calon haji Indonesia sudah mendapat sebuah gelang pengenal (berisi identitas diri) yang harus dikenakan dipergelangan tangannya. Untuk mengantisipasi masalah jemaah hilang dan atau tersesat ini, Daker (Daerah Kerja) Mekah sudah membuat sebuah Pos khusus di sektor 7 yang terletak di Masjidil Haram. Di Pos ini selama 24 jam disiagakan beberapa petugas dengan kendaraan sepeda motor, khusus untuk menyisir jalan dan daerah disekitar Masjidil Haram. Tetapi ternyata kasus jemaah tersesat ini tetap saja sering terjadi dari tahun ketahun.
Sebagai petugas TPOH, kita memang mempunyai banyak waktu untuk melakukan ibadah sesudah tugas-tugas pemantauan selesai. Karena tugas pemantauan relatif lebih banyak dilakukan pada siang hari, maka biasanya pada malam hari tersedia waktu yang cukup bagi kita untuk pergi ke Masjidil Haram.
Pada suatu malam sesudah salat Magrib berjamaah serta makan malam di Wisma, saya beserta teman satu kamar (termasuk Pak Abu) berniat melakukan salat Isya di Masjidil Haram. Sesudah itu kita bermaksud melaksanakan tawaf sunah dan bertafakur di Masjidil Haram sampai saat salat Subuh tiba. Untuk memburu waktu, kita menuju Masjidil Haram dengan mengendarai taksi yang banyak lewat didepan Wisma Indonesia.
Sekedar untuk diketahui, naik taksi di Mekah termasuk hal yang gampang-gampang susah. Kalau kebetulan mendapatkan sopir ‘mukimin’ -orang yang sudah lama menetap di Arab Saudi- dari Indonesia (ternyata banyak juga jumlahnya), atau sopir yang mampu berbahasa Inggris, urusan jadi mudah. Termasuk tawar menawar harga. Maklum di Mekah (pada tahun 1992) tidak ada taksi yang memakai argo. Jadi pandai pandai kitalah dalam bernegosiasi. Tapi kalau mendapatkan sopir yang asli Arab, atau bahkan pendatang dari negeri lain yang hanya mengerti bahasa Arab, bisa runyamlah urusannya. Kalau saya pergi sendirian, hal begini (naik taksi) lebih baik saya hindari saja. Apalagi saya juga sering mendengar kisah-kisah menyeramkan tentang sopir taksi tak dikenal yang membawa lari penumpangnya (terutama wanita)!

      Ada anggota  yang “hilang” pada saat tawaf sunah…

Masjidil Haram diwaktu malam
foto: NGS tourtravel


Saya berlima (termasuk Pak Abu) tiba di Masjidil Haram tepat pada saat adzan Isya berkumandang. Beruntung di Masjidil Haram antara adzan dan iqamat terdapat tenggang waktu yang cukup lama. Karena di Masjidil Haram tidak ada salat “tahiyatul masjid” (diganti dengan tawaf sunah), maka sambil menunggu iqamat kita berunding mengenai kemungkinan terpisahnya kelompok kita pada saat menjalankan tawaf. Pada saat itu (tahun 1992, mudah-mudahan sampai saat ini), ada sebuah lampu neon panjang berwarna hijau yang dipasang pada dinding didalam Masjidil Haram. Lampu neon hijau ini terletak dalam satu garis lurus tepat kearah ‘Hajar Aswad’.  Dilantai dibawah lampu ada sebuah garis berwarna kuning kecoklatan yang dipasang menuju kearah Hajar Aswad juga (konon sekarang -tahun 2010- garis ini telah dihilangkan). Lampu neon dan garis itu sengaja dipasang sebagai penanda tempat dimulainya prosesi tawaf. Karena dapat dilihat dengan sangat mudah dari segala pelosok manapun di Masjidil Haram, maka kita putuskan saja lampu neon hijau itu sebagai ‘meeting point’ atau tempat pertemuan kita seandainya sampai terpencar. Siapapun dia (kalau terpisah) setelah menyelesaikan tawaf harus menunggu dibawah lampu itu sampai semua anggota kelompok lainnya tiba. 


tawaf, foto: mastonie

Salat Isya berjama’ah telah selesai dilaksanakan. Maka mulailah kita berangkat melaksanakan ibadah tawaf sunah. Dimulai dengan mengangkat tangan kearah Hajar Aswad sambil mengucapkan kalimat: “Bismillaahi Allahu Akbar”  sebanyak tiga kali, maka kita berlima langsung terseret arus jemaah lain yang juga sedang melaksanakan tawaf. Pada musim haji, jumlah jemaah yang melaksanakan tawaf ini seperti tidak pernah berkurang. Dalam  suatu waktu saja, terutama pada malam hari karena cuaca agak kurang panas, maka jumlah jemaah yang melaksanakan tawaf bisa mencapai ribuan orang. 
(Bermacam tawaf dapat dilakukan di Masjidil Haram, tawaf qudum –tawaf saat pertama kali tiba di Mekah-, tawaf sunah, tawaf umrah dan tawaf wada’ -tawaf pamitan-. Ditambah satu buah tawaf  lagi yang merupakan rukun haji, yaitu tawaf ifadah -tawaf haji- yang dilakukan setelah usai melaksanakan wukuf). 

Pada saat tawaf itulah apa yang kita khawatirkan benar-benar terjadi. Rombongan kita terpecah belah dengan tanpa disengaja. Saya kompak, tetap terus berdua bersama Pak Sadik, anggota TPOH dari Kejaksaan Agung, (mungkin karena masih sama-sama muda usianya), jadi bisa satu irama langkah. Yang lain terpisah dan entah pecah jadi berapa rombongan.
Setelah lengkap tujuh putaran, saya dan Pak Sadik melaksanakan salat sunah dua raka’at, menghadap Multazam. Kemudian sesuai kesepakatan, kita berdua menunggu dibawah lampu neon hijau setelah puas minum air zam zam.

(Pada tahun 1992, sumur zam-zam masih terbuka untuk umum. Kita bisa masuk ke area sumur dan dapat sepuasnya ‘bermain’ dengan air zam-zam. Mau mandi sekalipun bisa. Saya bahkan sempat mencuci kain ihram saya dengan air zam-zam setelah semua rukun dan wajib haji saya selesaikan. Yang unik pada saat itu belum ada gelas minum plastik sekali pakai -dispossable-, jadi kalau kita minum air zam-zam masih harus memakai cangkir terbuat dari aluminium yang diberi rantai logam supaya tidak hilang!)

Hari telah lewat larut malam. Tawaf sunah sudah pula selesai dilaksanakan. Semua sudah berkumpul dibawah lampu neon hijau, kecuali satu orang…..Pak Abu! Merasa kasihan, kita putuskan untuk tetap menunggu beliau sampai selesai salat Subuh. Akan tetapi sesudah salat Subuhpun kita tak berhasil juga menemukan Pak Abu! Walaupun -sesuai kesepakatan- sudah menunggu lagi cukup lama dibawah lampu neon hijau. Akhirnya karena khawatir kesiangan, kita putuskan saja untuk pulang ke Wisma di Aziziah. Entah bagaimana nasib Pak Abu, nanti saja kita urus.
Pada saat makan pagi, kita sekamar membicarakan ‘hilangnya’ Pak Abu. Tanpa diduga, tiba-tiba beliau masuk keruang makan dengan muka kusut masai. Pakaiannya juga lusuh dan jelas beliau tampak lelah sekali.
 “Ah, pada nggak setia…masa saya ditinggal di Masjidil Haram, saya pulang sendiri dengan jalan kaki nih”  itu komentar pertamanya ketika melihat kita semua sudah dalam keadaan rapi dan sedang menikmati makan pagi. Lho koq? Tentu saja kita bengong dan menolak keras ‘tuduhan’ beliau itu. Sebab semalam sudah cukup lama kita menunggu Pak Abu. Bahkan sampai salat Subuh selesai. Tapi justru beliau yang tidak muncul.
Menurut penuturan Pak Abu, malam itu sesudah menyelesaikan tawaf, hampir semalaman ia berusaha mencari letak lampu neon hijau, -tempat yang kita sepakati untuk berkumpul- tapi tidak berhasil menemukannya! Astagfirullah. 
Padahal hampir semalaman juga kita menunggu beliau dibawah lampu neon hijau yang sebetulnya tampak jelas dilihat dari bagian mana saja di Masjidil Haram.
Sampai saat ini saya masih tidak mengerti apa yang telah menimpa Pak Abu dan apa yang sesungguhnya terjadi. Wallahu ‘alam bissawab.



bersambung.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar