Sabtu, 02 April 2011

"DANCING WITH THE GIRL FROM PYONGYANG...."



(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (56)

Released by mastonie, Thursday,  June 3, 2010 at 11.32 pm


(saya ikuti gadis penari itu turun kejalan dan 
menari bersamanya nyaris setengah malaman
diudara nyala  kembang api berpendaran
dijalanan saya menari bersama gadis Pyongyang cantik rupawan dalam pelukan
sangat mengherankan, malam itu  bahkan lapar tak saya rasakan)


      Pyongyang I’m coming…

Akhirnya  tiket penerbangan pesawat Aeroflot (maskapai penerbangan Uni Soviet) jurusan Moskow – Pyongyang PP kita peroleh juga. Berkat perjuangan ekstra keras Bapak R.G.S Koesoemodigdo, Duta Besar RI untuk Soviet beserta stafnya. Maklum penerbangan ke Pyongyang tidak setiap hari ada. Menjelang keberangkatan ke Pyongyang ternyata Ibu Soepardjo agak terganggu kesehatannya. Maka diputuskan Delegasi RI (sebagai Utusan Khusus Presiden RI) yang berangkat ke Pyongyang hanya tiga orang: Menko Kesra Soepardjo Roestam, Bapak Andi Syamsu (Pejabat Deplu) dan saya (Sekpri Menko Kesra).

 foto: google

Hari Selasa, 6 September 1988, pukul 21.00 waktu Moskow pesawat Il-62 Aeroflot akhirnya lepas landas menuju Pyongyang. Penerbangan ini sudah terlambat 3 sampai 4 jam dari jadwal yang seharusnya. Baru sekali ini saya terbang memakai pesawat buatan Uni Soviet. Ada sedikit rasa was-was, akan tetapi melihat bentuk Il-62 yang tidak jauh berbeda dengan DC-9, membuat saya agak tenang. Yang membuat perbedaan terbang dengan pesawat milik Maskapai Uni Soviet adalah diputarnya lagu-lagu perjuangan mereka dengan keras saat pesawat lepas landas maupun pada saat mendarat. 
Mungkin ini ciri khas Negara sosialis/komunis, saya kurang jelas.  Pelayanan didalam kabin hampir sama saja dengan maskapai penerbangan lain. Menurut perkiraan, pesawat akan mendarat di Pyongyang sekitar pukul 8 pagi waktu setempat. Jadi saya pergunakan waktu untuk tidur saja. Saya terbangun ketika lagu-lagu perjuangan diputar lagi keras-keras. Saya melihat keluar jendela, semburat warna jingga mentari pagi sudah terlihat. Sarapan pagi pun dihidangkan. Omelet, sosis dan sari jeruk. Tidak terlalu istimewa. Tapi yaaa not bad laaah.....Untung bukan kaviar dan Vodka. Kapok saya!
Akhirnya pesawat Il-62 Aeroflot mendarat dengan mulus di Bandara Internasional Sunan Pyongyang, yang terletak sekitar 24 kilometer diluar kota. Hari telah terang benderang, sekitar pukul 8 pagi waktu setempat. Tampak kesibukan luar biasa dimana-mana. Deretan mobil Mercedes terbaru berwarna putih perak tampak diparkir rapi dikejauhan. Lengkap dengan kendaraan Polisi Pengawalannya. Hari ini pasti banyak sekali tamu Negara yang datang ke Pyongyang. Menko Kesra yang mewakili Presiden RI juga dapat jatah satu mobil Mercy, tapi kelasnya sedikit dibawah jatah untuk Kepala Negara/Pemerintahan yang hadir sendiri. Pemerintah Korea juga menyediakan seorang Petugas Liaison Oficcer yang fasih bicara bahasa Indonesia dan sedikit bahasa Inggris. Petugas LO bernama Park Kim Soo ini ternyata pernah bertugas di Kedutaan Korea Utara di Jakarta selama beberapa tahun. Berpotongan tubuh atletis dan berambut cepak, saya agak sedikit curiga dia merangkap sebagai agen rahasia yang ditugaskan memata-matai kegiatan kita. Beruntung orangnya ramah dan senang bercerita.
Sebagai Delegasi resmi, kita mendapatkan akomodasi gratis yang ditanggung Pemerintah Korea disebuah hotel bertingkat 30 bernama “Pyongyang Koryu Hotel”. Hotel ini betul-betul masih “kinyis-kinyis” (baru).  Tampaknya memang dipersiapkan untuk menampung tamu-tamu Negara yang akan datang dalam rangka Perayaan 40 Tahun Kemerdekaan Republik Rakyat (Demokrasi) Korea. Pak Pardjo mendapat satu buah kamar Suite dilantai 12. Pak Andi satu kamar dengan saya di kamar Junior Suite dilantai 9. Semua perlengkapan yang ada dikamar tampak baru gres. Tapi jangan tanya tentang pelayanannya. Sama sekali tidak tersedia room service. Makanan disiapkan secara prasmanan di sebuah ruangan mirip ballroom.  Pengelola hotel sudah menetapkan   waktu tertentu untuk makan pagi, siang dan malam. Diluar waktu yang sudah ditentukan itu jangan harap bisa minta makan. Beruntung ada sebuah restoran ‘Korean food’ di hotel.  Jadi saya dan Pak Andi lebih sering nongkrong di restoran itu. Saya suka makanan Korea karena cukup lezat, didominasi dengan menu panggang dan bakar dengan rasa yang agak pedas.

      40 Tahun Kemerdekaan Republik Rakyat (Demokrasi) Korea.

Pyongyang (artinya tanah datar) kota yang bersih. Sebuah sungai yang juga bersih bernama Taedong membelah ibukota Korea Utara ini dan bermuara ke Teluk Korea (sekitar 50 kilometer). Pada bulan September cuaca di Pyongyang cukup nyaman, sekitar 14 – 20 derajat celcius. Tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin. Meski matahari bersinar cerah sepanjang hari. Oleh karena itu Upacara Perayaan Peringatan 40 tahun Proklamasi Kemerdekan Korea Utara yang jatuh pada tanggal 9 September 1988, dilaksanakan setelah makan siang. Upacara berlanjut dengan pesta rakyat pada malam harinya ditempat yang sama. Saya jadi teringat Lapangan Merah di Moskow, karena  Lapangan Upacara di Pyongyang ini mirip sekali dengan Lapangan Merah. 

Pada siang hari itu sekeliling lapangan penuh dengan bendera nasional Korea Utara yang berwarna merah dengan dua buah garis biru ditepi atas dan bawah serta sebuah bintang segi 5 warna merah didalam sebuah lingkaran. berwarna putih. Umbul-umbul berwarna merah berkibaran diantara ratusan foto diri Sang Pemimpin Revolusi Kim Il Sung. Tamu undangan duduk berjajar di tribun yang disediakan dipinggir jalan raya yang membelah lapangan upacara. Rakyat Pyongyang penuh sesak menyaksikan diseputar lapangan. Hari itu jalanan dikota Pyongyang macet total.
Pak Pardjo selaku Menko Kesra yang mewakili Presiden RI dan Pak Dubes Sanadji mendapatkan tempat duduk VVIP bersama Tamu Negara yang lain. Saya bersama pak Andi Syamsu dan beberapa staf KBRI duduk berjejer di tribun sebelah kanan VVIP,  ikut menyaksikan jalannya Upacara. 

foto: google


Diawali dengan sambutan dan orasi yang sepenuhnya tidak saya fahami, maka Pawai ‘Alegoris’ dan Parade Militerpun dimulai. Angkatan Bersenjata Korea Utara tampil diawali dengan Pasukan ketiga Angkatan (Darat, Laut, Udara) yang berjalan kaki dengan langkah tegap diiringi lagu-lagu mars yang gegap gempita. Sorak sorai membahana setiap mereka lewat di Tribun kehormatan dimana Presiden Kim Il Sung berada. Barisan ‘hentak-hentak bumi’ ini begitu lengkap dan banyaknya, sehingga menimbulkan kesan bahwa Korea Utara memang mempunyai personil Angkatan Bersenjata yang sangat besar! Setelah itu keluarlah barisan kendaraan dan peralatan tempur mereka. Mulai dari kendaran pengangkut personil, panser, truk berisi roket dan rudal serta tank tank canggih yang mirip tank buatan Soviet. Diudara meraung-raung pesawat terbang dan helikopter tempur milik Angkatan Udara Korea Utara yang sedang melakukan ‘fly pass’. Saya bukan pengamat militer dan ahli senjata, tapi kelihatannya memang “alutsista” Angkatan Bersenjata Korea Utara (termasuk pesawat tempurnya), didominasi peralatan ‘made in’ USSR (Uni Soviet). 

Menari di jalanan bersama gadis-gadis Pyongyang. 

Selama parade berlangsung, diseberang lapangan yang berhadapan dengan tribun tamu undangan ada tribun raksasa lain yang berisi ribuan pelajar dan mahasiswa yang tak berhenti bernyanyi dan membuat konfigurasi huruf maupun lukisan yang terbuat dari kertas berwarna warni. Tentu saja tak ketinggalan foto diri Sang Bapak Pembangunan: Kim Il Sung. Sangat memikat.
Satu hal yang bisa saya catat: semangat orang Korea (Utara) sungguh sangat dahsyat dan berkobar-kobar. Mungkin karena banyak makan ginseng. Praktis dalam kurun waktu sekian jam, tak terlihat sedikitpun ada keletihan. Dengan sangat bersemangat mereka terus berteriak dan bertepuk tangan. Luar biasa. Ketika senja berganti malam, ribuan kembang api mulai dinyalakan. Menampilkan aneka suara dan bermacam bentuk bunga api dilangit yang indah menawan. Dijalanan dan ditengah lapangan ditampilkan tarian rakyat yang diperagakan secara massal oleh ribuan orang. 

Belum habis saya terpesona ketika tiba-tiba ratusan gadis belia cantik jelita berpakaian adat Korea (semacam kimono), menyerbu kearah tribun tamu undangan dan menarik siapa saja untuk diajak menari bersama…dijalanan! Seketika saya teringat acara “tayub” di Jawa yang juga menampilkan penari wanita yang mengajak tamu untuk menari bersama dengan mengalungkan sampur (selendang) nya. Saya lihat pak Andi Syamsu sudah ‘terbang’ bersama seorang gadis ketengah jalan. Tentu saja saya tak mau ketinggalan. Tangan saya ditarik oleh seorang remaja putri berkimono merah muda dengan tata rias wajah bak penari Kabuki. Tapi sungguh mati, dia cantik sekali! Jelas saya tak mau menyia-nyiakan kesempatan.
Saya ikuti gadis penari itu turun kejalan dan menari bersamanya nyaris setengah malaman. Diudara nyala kembang api berpendaran, dijalanan saya menari bersama gadis Pyongyang  cantik rupawan dalam pelukan. Sangat mengherankan, malam itu  bahkan lapar tak saya rasakan! 
Berbaring didalam kamar hotel, tak berhenti kekaguman saya kepada rakyat Korea Utara yang begitu mencintai negaranya dan sekaligus kepada Sang Pemimpin Besar mereka: Kim Il Sung!
Itu terbukti dengan terwujudnya sebuah pesta rakyat yang meriah dan amat sangat memikat.

(Lama sesudah acara berlangsung saya baru menyadari, mengapa Kim Il Sung seolah ‘ngotot’ merayakan Proklamasi Kemerdekaan negaranya yang “baru” berusia 40 tahun dengan acara besar-besaran. Yang dirayakan secara besar-besaran biasanya adalah ulang tahun ‘emas’ -50 tahun-. Presiden Kim bahkan mengundang hampir seluruh Pemimpin Negara yang bersahabat dengan Korea Utara diseluruh dunia. Termasuk Presiden Republik Indonesia. Rupanya pada bulan yang sama -September 1988-, di Seoul, ibukota Republik Korea Selatan, sedang berlangsung pesta olahraga sedunia: Olimpiade Seoul! Jelas Kim Il Sung tak mau kehilangan ‘muka’ dan membuat acara ‘tandingan’ dengan caranya sendiri!).



bersambung.....



Tidak ada komentar:

Posting Komentar