Sabtu, 02 April 2011

"TIGA HELIKOPTER PUMA SERENTAK MENDARAT DARURAT"


    
  (dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (52)


      Kunjungan ‘rame-rame’ ke Provinsi Sumut dan DI Aceh.

Sebagai seorang mantan Diplomat (pernah jadi Direktur Asia-Pasifik di Deplu dan dua kali jadi Duta Besar, di Yugoslavia dan Malaysia), Pak Pardjo sangat akrab bergaul dengan para anggota CD (Corps Diplomatic) yang bertugas di Indonesia. Tidak hanya menerima Courtessy Call dan mengadakan jamuan makan malam saja. Kalau sedang mengadakan kunjungan kerja kedaerah sebagai Mendagri, beliau sering sekali mengajak para Duta Besar kenalannya untuk ikut pergi kedaerah. Semua atas tanggungan Depdagri.
Sekitar tahun 1987, setelah kesehatan Pak Pardjo nyaris pulih 90 persen, ‘hobi’ mengajak para Duta Besar Negara sahabat untuk pergi kedaerah guna melakukan kunjungan kerja, ‘kambuh’ lagi. 
Pak Pardjo adalah seorang pejabat yang sangat dekat dengan para Duta Besar negara sahabat. Barangkali karena beliau pernah juga menjabat sebagai Duta Besar.

foto: dok. suaramerdeka

 
Kali ini tidak tanggung-tanggung, sekitar 12 orang Duta Besar (!) diajak Pak Pardjo untuk mengunjungi wilayah Provinsi Sumatera Utara dan D.I.  Aceh. Saya ingat diantara para Duta Besar itu terdapat YM. Bill Morrison, Dubes Australia. Dengan menggunakan pesawat komersial Garuda, Pak Pardjo mengunjungi Medan, ibukota Sumatera Utara. Beliau beserta rombongan disambut oleh Gubernur Kaharuddin Nasution, seorang Perwira Tinggi Angkatan Darat, mantan Komandan Resimen Korps Baret Merah RPKAD (kini Kopasssus) dan pernah menjadi Gubernur Riau (tahun 1960-1967) serta Dubes RI untuk Korea Selatan (1978-1982). Pak Kaharuddin termasuk salah satu Gubernur yang dilantik Pak Pardjo diawal masa jabatan beliau sebagai Mendagri. Saya masih ingat ‘perjuangan’ Pak Pardjo membujuk Pak Kaharuddin, sebagai rekan sesama “mantan Dubes” agar bersedia menjadi Gubernur di Sumatera Utara. Setahu saya hubungan beliau berdua memang sangat erat.
Setelah menginap di Medan semalam, keesokan harinya dengan menggunakan pesawat carter milik Smac (Sabang Merauke Raya Air Charter), Rombongan Mendagri meneruskan perjalanan menuju Lhok Seumawe, yang sejak tahun 1956 menjadi ibukota Kabupaten Aceh Utara. Dikota inilah terdapat ladang (sumber) gas alam “Arun”, yang membuat Lhok Seumawe terkenal dan berkembang pesat.
Bupati Aceh Utara, Ramli Ridwan menyambut tamunya di”guest house”  milik Pertamina (PT. Gas Alam Arun) yang pada tahun 1987 merupakan bangunan termewah dikota itu. 
Sebenarnya Lhok Seumawe bukan tujuan akhir kunjungan kerja Mendagri, karena Pak Pardjo bermaksud untuk meresmikan beberapa proyek di kota Sigli, di Kabupaten (Aceh) Pidie, sebelum menuju Banda Aceh, ibukota Provinsi Daerah Istimewa Aceh (kini Nanggroe Aceh Darussalam). Tetapi karena Pak Ramli Ridwan adalah mantan pejabat di Ditjen PUOD Depdagri yang berhasil menjadi Kepala Daerah Tingkat II (Bupati) di Aceh Utara, beliau sangat ingin dikunjungi oleh Mendagri walau hanya singgah sebentar saja. Di kota Lhok Seumawe ini acara Mendagri terpisah dengan acara Ibu Soepardjo, yang oleh Ibu Ramli Ridwan diajak meninjau kegiatan Tim Penggerak PKK di Aceh Utara.
Pada waktu menunggu tibanya jam makan siang Pak Ramli sudah mengingatkan, bahwa sebaiknya rombongan Mendagri harus sudah meninggalkan kota Lhok Seumawe sebelum pukul 14.00. Karena cuaca disekitar Aceh Utara sampai ke Pidie sesudah tengah hari biasanya berubah sangat buruk. Padahal rombongan Mendagri akan menuju Sigli dengan menggunakan tiga buah helikopter Super Puma.

foto: google

Helikopter yang versi awalnya dibuat oleh pabrik gabungan milik Pemerintah Perancis dan Inggris (Aerospatiale dan Westland) ini disebut sebagai helikopter tangguh yang bisa terbang disegala cuaca dan iklim. Terbang pertama kali pada bulan September 1968, Puma bisa menjadi helikopter untuk mengangkut pasukan/penumpang sampai maksimal 20 orang. Mempunyai dua buah mesin Turmo IV masing-masing berkekuatan 1.500 daya kuda, kecepatan jelajah heli ini adalah sekitar 270 km/jam.

{Saya sangat tahu bahwa Pak Pardjo sebetulnya mempunyai jiwa ‘avonturir’ (petualang) yang cukup tinggi. Sudah beberapa kali saya mengalami sendiri peristiwa ‘vivere pericoloso’, -nyerempet-nyerempet bahaya- yang terkadang dilakukan Pak Pardjo. Diantaranya naik speed boat di sungai Batanghari dalam keadan hujan lebat dari kota Jambi menuju Muaro Bungo, Kabupaten Bungo Tebo. Juga pada tahun 1984 sewaktu melantik Gubernur Kalimantan Tengah Gatot A.S. Amrih. Walaupun Depdagri sudah mencarter pesawat Fokker 27, akan tetapi Pak Pardjo tetap ‘ngotot’ memilih naik speed boat mengarungi sungai Barito dalam perjalanan dari kota Palangka Raya (ibukota Kalimantan Tengah) menuju Banjarmasin (ibukota Kalimantan Selatan). Dalam kondisi hujan sangat lebat pula! Perjalanan disiang hari itu ditempuh dalam waktu hampir 8 jam, dari pagi sampai sore.
Padahal kalau naik pesawat terbang perjalanan itu bisa ditempuh hanya dalam waktu sekitar satu jam saja}.

Jamuan makan siang di Lhok Seumawe ternyata agak mundur waktunya karena menunggu rombongan Ibu Soepardjo yang karena keasyikan meninjau kegiatan ibu-ibu PKK jadi agak terlambat datang.
Sudah mendekati pukul 15.00 sore ketika ketiga helikopter Puma yang membawa Rombongan Mendagri dan para Duta Besar mengudara dari Bandara Malikus Saleh, Lhok Seumawe.
Belum setengah jam terbang diudara, cuaca mulai memburuk. Hujan turun rintik-rintik, semakin lama semakin deras. Saya yang berada satu heli dengan Pak Pardjo teringat pengalaman beberapa tahun lalu sewaktu naik helikopter BO 105 menuju daerah Brebes, yang juga terjebak dalam hujan sehingga terpaksa mendarat darurat dan Pak Pardjo meneruskan perjalanan dengan naik ojek.
Dalam kondisi deru heli bercampur suara halilintar yang menyambar, saya mulai bergidik.  Heli mulai terbang terguncang-guncang. Akan tetapi saya menjadi tenang karena katanya helikopter Puma termasuk pesawat all weather yang ‘tahan banting’ dalam arti mampu terbang dalam segala keadaan cuaca, seburuk apapun. Namun cuaca diatas Bukit Barisan itu  ternyata tidak menjadi baik malah semakin buruk. Apalagi heli dalam keadaan terbang formasi, konvoi bertiga. Jarak pandang yang semakin pendek bisa membahayakan ketiga helikopter. Saya melihat wajah-wajah penumpang yang  terlihat pucat. Diantara teman teman Dubesnya, tentu Pak Pardjo terlihat paling tegar. Ditengah guncangan yang semakin sering dan semakin keras, Pak Pardjo melangkah menuju kokpit.
“Bagaimana kep, apakah kira-kira masih bisa terbang mencapai Sigli?”
“Mohon maaf Pak Menteri, kalau jarak pandang semakin pendek, mungkin lebih baik kita mendarat saja. Saya sedang berunding dengan dua pilot heli yang lain. Kita sudah menerima berita bahwa Sigli juga dalam kondisi ‘closed’ dan mereka tidak mempunyai alat pemandu pendaratan dalam cuaca buruk. Kami mungkin bisa tetap terbang dalam cuaca buruk Pak Menteri, tapi kami tidak bisa mendarat dalam cuaca buruk jika tanpa bantuan peralatan pendaratan”. Kapten Pilot menjelaskan dengan panjang lebar. Jadi Heli Puma memang mampu terbang dalam cuaca buruk, Tapi ia butuh dipandu dari landasan kalau hendak mendarat dalam cuaca buruk itu. Padahal ‘airstrip’ (lapangan terbang perintis) di Sigli jelas tidak punya peralatan pemandu (VOR dan ILS) yang dibutuhkan. Jadi kemungkinan besar helikopter terpaksa harus melakukan pendaratan darurat.
Waduh, sejarah akan berulang lagi nih, pikir saya. Tapi sekarang keadaannya lebih ‘seru’ karena helikopternya berukuran lebih besar dan jumlahnya lebih dari satu.  Jadi para pilot helikopter harus berusaha mencari tempat pendaratan darurat yang sangat luas.
Persoalannya sekarang, adakah tempat pendaratan yang cukup luas bagi tiga pesawat helikopter sekaligus? Terasa ketegangan yang semakin memuncak. Dari jendela heli tak bisa terlihat apapun. Semua tampak gelap. Hujan semakin deras, kilat bersabung dan halilintar menggelegar. Tubuh Puma jelas jauh lebih besar daripada Bolkow, jadi meskipun guncangannya tidak sehebat Bolkow yang hanya muat menampung lima penumpang itu, nyali saya ‘melorot’ juga. Untungnya (orang Jawa selalu beruntung) saya -dan Pak Pardjo- sudah punya pengalaman mendarat darurat dengan pesawat helikopter. Jadi bisa agak tenang sedikit dibanding penumpang helikopter lain, yang kini semuanya membisu. Walaupun tak ada yang memberi aba-aba:”Berdoa, mulai!”, tampaknya semua penumpang helikopter sudah khusyuk berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing.

     Tiga helikopter serentak mendarat darurat.

Helikopter mulai terbang berputar-putar. Makin lama makin rendah. Sayup-sayup saya mendengar pembicaraan antar ketiga pilot yang bersahut-sahutan. Intinya mereka akan saling menjaga jarak dan ketinggian terbang agar terhindar dari bahaya saling bertubrukan. Mereka kini benar benar harus terbang dengan mengandalkan peralatan navigasi karena tak bisa lagi terbang dengan mengandalkan pandangan mata (visual). Istilah awamnya barangkali terbang dalam keadaan ‘buta’. Ini sangat berbahaya. Kalau pilot salah perhitungan sedikit saja, barangkali ketiga heli akan saling bertubrukan diudara.  
Astagfirullah. Saya tak berhenti berdoa.
Semakin rendah heli terbang maka semakin tampak jelas daratan dibawah, walaupun hujan tetap tak berhenti. Nampak sebuah tempat terbuka yang mirip lapangan bola, atau mungkin lapangan upacara. Tapi sekelilingnya banyak sekali bangunan dan pepohonan, tanahnya juga seperti berkontur, tidak sangat rata. Sebagai pesawat heli ‘komando’ (karena ditumpangi Mendagri), maka heli berpenumpang VVIP yang juga saya naiki ini menjadi pelopor pendaratan darurat yang akan segera dilakukan. Beberapakali pilot mengadakan ‘manuver’, gerakan terbang berputar-putar sambil sesekali ‘hovering’ (terbang ditempat).  Suasana sangat mencekam. Saya yakin para Duta Besar itu juga ketakutan.
Mungkin karena mendengar suara gemuruh dan angin yang bertiup kencang dari baling-paling helikopter, maka penduduk sekitar segera berhamburan keluar, padahal hujan belum reda. Pemandangannya mirip sekali dengan waktu heli BO 105 akan mendarat darurat di Bumiayu dulu, bedanya disini tidak nampak seorangpun Hansip. Jadi tidak ada ‘petugas’ yang mengatur para penonton “burung besi” yang hendak mendarat mendadak ini. Hanya karena sapuan angin dari baling-baling yang sangat besar, membuat mereka tidak berani datang lebih dekat. Helikopter pertama berhasil mendarat dengan selamat. Alhamdulillah.
Teknisi Puma langsung berloncatan turun untuk membuka semua pintu. Sebagian mengatur penduduk agar menjauh karena sebentar lagi heli kedua dan ketiga juga akan menyusul mendarat darurat. Saya tidak tahu persis nama daerah tempat pendaratan darurat ini. Yang pasti masih jauh dari Kota Sigli, ibukota Kabupaten Pidie. Dalam sekejap mata lapangan terbuka itu penuh dengan manusia. Berselang sekitar lima menit, helikopter kedua dan ketiga mendarat pula dengan selamat. Sungguh jadi pemandangan yang sangat luar biasa bagi penduduk daerah itu. Mimpi apa mereka semalam, dihari hujan begini mendadak kedatangan  tiga burung besi raksasa. Membawa Menteri Dalam Negeri dan duabelas orang Duta Besar lagi!
Ternyata bangunan yang ada didekat lapangan itu adalah sebuah Sekolah Dasar.
Hujan masih rintik-rintik, tapi Pak Pardjo nekat turun diikuti para tamunya. Saya dan petugas Protokol Depdagri segera mencari tempat yang mempunyai pesawat telepon. Daerah pedalaman Aceh ditahun 1987 jelas masih jarang ada telepon. Hari semakin sore, sementara cuaca tetap tidak berubah. Mendung tebal menggelayut diangkasa. Akhirnya Protokol bisa juga menghubungi Bupati Pidie untuk memberitahukan peristiwa darurat ini. Pak Bupati Nurdin AR berjanji secepatnya mengirim kendaraan penjemput, mungkin paling cepat satu jam baru sampai ditempat pendaratan heli ini. Waktu satu jam itu dipergunakan oleh Pak Pardjo untuk meninjau sekolah dan beberapa rumah penduduk disekitar daerah pendaratan darurat itu.
Menjelang magrib kendaraan yang membawa rombongan yang tertimpa ‘musibah’ baru masuk kekota Pidie, langsung menuju ke Pendopo Kabupaten. Acara peresmian proyek yang seharusnya diselenggarakan pada sore hari itu terpaksa ditunda sampai besok pagi.
Tercatat dalam sejarah hidup saya, dari puluhan kali naik helikopter bersama Pak Pardjo, sudah dua kali ini helikopter terpaksa harus melakukan pendaratan darurat. Dua-duanya karena dihadang cuaca buruk. Yang pertama ketika jadi Ajudan Gubernur Jawa Tengah, yang kedua sebagai Ajudan Mendagri. 



bersambung.....



Tidak ada komentar:

Posting Komentar