Sabtu, 02 April 2011

"JADI AJUDAN MENKO KESRA"


(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (53)
 

     Ikut "boyongan" ke Kantor Menko Kesra

Ketika masa jabatan Kabinet Pembangunan IV selesai pada akhir bulan Februari 1988, ternyata Pak Pardjo (diluar dugaan banyak orang) masih dipercaya lagi oleh Presiden Soeharto untuk menduduki jabatan sebagai Menteri dalam Kabinet Pembangunan V. 
Pada hari Senin Pon, tanggal 21 Maret 1988, secara resmi Presiden Soeharto melantik Kabinet Pembangunan V di Istana Negara Jakarta.
Kini  Letjen TNI (Purn) H. Soepardjo Roestam menduduki jabatan baru sebagai Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat.
Secara hirarki organisasi, beliau mendapatkan promosi, dari Menteri yang memimpin sebuah Departemen, menjadi Menteri yang mengkoordinir Menteri lain dibidang Kesejahteraan Rakyat. 
Akan tetapi banyak juga yang berkomentar ‘miring’ tentang kenaikan jabatan ini. Jabatan memang (mendapat) ‘promosi’ (naik), tapi penghasilan ter ‘degradasi’  (turun). Secara kasat mata memang demikian. Depdagri adalah Departemen yang mempunyai dan bisa mengelola anggaran sendiri. 
Kantor Pusatnya yang berada di Jalan Medan Merdeka Utara nomor 7, adalah sebuah bangunan kantor yang besar dan megah. Seluruh Gubernur, Bupati dan Walikota adalah bawahan langsung dan menjadi tanggung jawab Mendagri. Sedangkan Kantor Menko Kesra mendapat anggaran yang di”jatah” dari anggaran milik Sekretariat Negara. Kantornya yang berada dijalan Medan Merdeka Barat adalah sebuah bangunan ‘kuno’ bekas kantor perusahaan minyak dijaman Belanda. Bangunan kantor yang sederhana itu ‘hanya’ satu lantai. Bahkan staf dan karyawan Kantor Menko Kesra lebih sedikit dari staf seorang Direktur Jenderal (Pejabat Eselon I) di Depdagri.
Sewaktu Pak Harto selesai mengumumkan susunan Kabinet Pembangunan V, Pak Pardjo langsung memanggil saya.
“Bagaimana menurut pendapat Tonny, apakah kira-kira saya bisa mendapat Ajudan dari Kantor Menko Kesra?”
Saya dalam posisi yang agak sulit. Sudah hampir sepuluh tahun saya ‘mengabdi’ pada Pak Pardjo. Jadi saya bisa menebak kearah mana maksud pertanyaan beliau.
“Lajeng kersanipun bapak kados pundi? (lalu kehendak bapak bagaimana)” saya menjawab dengan membalas bertanya. Hening beberapa saat. Saya perhatikan wajah Pak Pardjo nampak semakin sepuh (tua). Rambutnya semakin memutih dan menipis. Semakin banyak kerutan nampak diwajahnya. Tapi semangat yang menyala masih berkobar disorot matanya.
“Maksud saya, susah kalau saya harus mendidik orang baru lagi”. Pak Pardjo meneruskan lagi kata-katanya dengan suara yang tampak berat untuk dikeluarkan.
“Apakah jij masih mau ikut saya ke kantor Menko? Disana tidak ada apa-apa lagi. Lagipula bagaimana dengan nasib kepegawaianmu”.
Saya bak tersedak. Tebakan saya tepat.  Jadi itu rupanya yang menjadi beban pikiran beliau.
“Bapak mboten sisah menggalih bab kawontenan dalem, bilih bapak taksih ngersakaken dalem ladosi, dalem nderek Bapak dhateng pundi kemawon (Bapak tak perlu memikirkan nasib saya, sekiranya masih menghendaki saya layani, saya akan ikut kemanapun Bapak pergi)”. Tak terasa air mata saya sudah menetes. Pak Pardjo juga sudah memerah matanya. Malam hari itu didalam ruang kerja dirumah dinas Menteri, Pak Pardjo dan saya sama-sama tak kuasa menahan air mata.
Keesokan harinya saya menghadap Drs. Soeroso Hadisuryo, Kepala Biro Umum Depdagri, untuk minta dibuatkan surat penugasan ke Kantor Menka Kesra. Akhirnya malah bukan hanya saya yang ikut pindah. Dik Syaiful (Ajudan Mendagri yang baru saja sembuh dari sakit levernya) dan para pengemudi, Kasem dan Jajang (keduanya orang Sunda dan asli PNS Depdagri) ternyata juga ikut menyatakan kesetiaannya, ingin ikut Pak Pardjo, bedhol kantor pindah ke Jalan Medan Merdeka Barat. Saya bersyukur. Setidaknya kita berempat sudah bekerja sama selama hampir lima tahun terakhir ini. Jadi sudah kompak dan sudah saling mengerti karakter satu sama lain. 
Bagi saya pribadi, yang paling penting adalah, Pak Pardjo tidak merasa ditinggalkan, karena kita telah menyatakan siap untuk mengikuti beliau, pindah ‘rame-rame’ ke Kantor Menko Kesra.

     Dari Merdeka Utara pindah ke Merdeka Barat.

Ruang kerja Menko Kesra di jalan Medan Merdeka Barat berada di ‘lantai’ satu. Karena memang hanya itu satu-satu nya lantai yang ada. Menempati ruangan cukup luas dan terletak disisi paling depan. Apabila jendela kamar dibuka, maka lalu lalang mobil dan kendaraan lain di jalan raya bisa terlihat dari dalam ruang kerja.
Kamar Spri dan Ajudan berada didepannya lagi dengan sebuah ‘doorloop’ (pintu penghubung) keruang kerja Menko. Semua peralatan tampak sangat sederhana. Tak pernah ada renovasi besar (yang dananya diperoleh) dari Setneg untuk kantor kuno ini,  karena terbatasnya anggaran. Pada saat Menko Kesra dijabat oleh Bapak Alamsyah Ratuperwiranegara, ada beberapa perbaikan. Konon biayanya berasal dari kantong pribadi beliau yang memang berasal dari keluarga kaya, dan sebagian dari …SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) yang kontroversial karena ada yang menganggap ‘berbau’ judi.

Setelah beberapa waktu bertugas  di Kantor Menko Kesra, saya tahu dengan persis bagaimana Pak Pardjo berjuang sekuat tenaga untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan di Kantor Menko Kesra. Harap maklum, waktu itu SDSB (yang biasanya dikelola oleh Kantor Menko Kesra) di’boyong’ pengelolaannya oleh Laksamana Soedomo (yang menjabat Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan) ke Kantor Menko Polkam.
Meskipun bertugas untuk mengkoordinir hampir 9 Menteri dan Menteri Negara, tapi volume pekerjaan di Kantor Menko jauh lebih sedikit dibanding pekerjaan di Departemen Dalam Negeri. Sesama rekan Ajudan Menteri  bahkan ada yang tega memperolok: “Dari 10 buah surat yang masuk ke Kantor Menko, dapat dipastikan 9 buah adalah surat tembusan, dan yang 1 buah surat undangan Rapat!”
Mungkin saja olok-olok itu memang betul adanya.
Tapi saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa Menko Kesra Soepardjo Roestam tak pernah kendor semangatnya. Walaupun pernah terserang ‘stroke’ sewaktu menjabat Mendagri, nyatanya Pak Pardjo samasekali tak mengubah gaya “speed and power game” nya dalam bekerja. 
Itulah barangkali yang menjadi bahan pertimbangan Presiden Soeharto memberikan promosi. 
Bahkan Pak Harto termasuk paling sering mengutus Menko Kesra untuk mewakili Presiden pada acara-acara yang dilaksanakan diluar negeri.
Dengan demikian maka daftar Negara sahabat yang dikunjungi Pak Pardjo menjadi semakin banyak. Adapun saya sendiri Alhamdulillah dapat ikut menikmati sebagian besar kesempatan pergi keluar negeri itu. Sampai saat inipun saya tidak pernah mengerti, apa yang menggerakkan hati Pak Pardjo untuk selalu membawa saya pergi keluar negeri. Hampir sembilan puluh persen kepergian beliau ke luar negeri, selalu ada saya yang mendampinginya. 
Namun saya yakin bahwa itu adalah berkah  (bukan hanya karunia) yang saya terima dari “the invisible hands of God” yang diturunkan Nya melalui tangan Pak Pardjo.
Dalam merenungi hakikat hidup inipun kadang saya juga tidak mengerti, mengapa ada orang yang seakan bisa begitu mudah bepergian, kemanapun, dengan jalan apapun. Sementara itu ada pula orang lain yang hanya berkutat dengan kesibukannya disatu tempat sehingga bak kata pepatah: “Seperti katak dalam tempurung”. Itukah yang dinamakan takdir?
Sejatinya apakah manusia sebagai mahluk paling mulya ciptaan Allah SWT, bisa menguak takdirnya sendiri? Saya tetap berpendirian bahwa takdir adalah sebuah ketentuan Allah SWT, yang tak akan berubah walau sekuat apapun kita berupaya untuk mengubahnya. Tidak. Takdir seperti rel kereta yang akan membatasi kita untuk tetap berjalan dijalur yang ada. Sekali kita berusaha keluar darinya, maka yang terjadi adalah malapetaka. Dan takdir bukan sesuatu yang bisa kita minta. 
Allah yang Maha Mengetahui Segala memberikannya kepada hambaNya secara cuma-cuma. Apakah hamba yang diberi akan menerima atau menolaknya, Allah tak akan pernah mempermasalahkannya. Karena sesungguhnyalah Ia juga tak akan pernah sekalipun mengubah takdirNya. Kita memang harus menerima, seperti apa yang diyakini oleh orang Jawa: “Nrima ing pandum” .(menerima apa saja yang menjadi 'jatah'nya). Barangkali inilah yang disebut dengan ikhlas dan tawakal.

Satu hal yang membuat saya tak pernah berhenti bersyukur kepada Allah SWT adalah kenyataan ini: Untuk ukuran seorang Pegawai Negeri Sipil biasa yang bukan pejabat tinggi, maka saya boleh berbesar hati, kalau tak boleh disebut bangga, soal jumlah Negara dan Benua yang sudah saya kunjungi bersama Mendagri dan (kemudian) Menko Kesra Soepardjo Roestam!
Belum genap setahun menjabat sebagai Menko Kesra, Pak Pardjo sudah beberapa kali mendapat tugas pergi keluar negeri mewakili Presiden Soeharto. Salah satunya adalah kunjungan ke Republik Rakyat (Demokrasi) Korea (Utara).



bersambung.....




Tidak ada komentar:

Posting Komentar