Selasa, 12 April 2011

"TAHUN TERAKHIR SAYA BERSAMA PAK PARDJO...."



(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (97)


Released by mastonie, Friday, June 11, 2010 at 00.11 am


      Saya tak dapat ikut terbang ke Jerman.

Pemilu tahun 1992 telah berakhir dan sekali lagi pemenang Pemilunya sudah jelas. Pasti Golkar, bukan yang lain. Oleh karena itu pasti tinggal menunggu saja saatnya Pak Harto dilantik lagi menjadi Presiden RI untuk yang kelima kalinya.
Itu berarti masa jabatan Kabinet Pembangunan V, dimana Pak Pardjo menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, akan segera berakhir. 
Biasanya Pak Harto melantik Kabinet barunya pada bulan Maret.
Sepulang dari tanah suci untuk menunaikan ibadah haji, sekitar bulan Juli 1992, saya mendapati kenyataan bahwa kondisi kesehatan Pak Pardjo semakin hari semakin memburuk. Hasil pemeriksaan kesehatan beliau di RS Walter Reed Washington, DC pada bulan Februari 1992, seperti yang tertera dalam ‘medical record’ menyebutkan bahwa Pak Pardjo menderita komplikasi penyakit pada sumsum tulang belakangnya. Penyakit itu disebutkan sebagai ‘not deadly’, tidak (serta merta) membahayakan jiwa, namun bisa saja berkembang kearah yang tak terduga. Oleh sebab itu Pak Pardjo harus betul-betul bisa menjaga kesehatannya.
Akan tetapi rupanya situasi politik menjelang, selama dan pasca Pemilu, mau tidak mau mempengaruhi, bahkan memperburuk kondisi kesehatan Pak Pardjo.
Apalagi beliau tetap saja memacu irama kerjanya dengan gaya ‘speed and power game’, seperti ketika masih dalam keadaan sehat wal afiat saja. Padahal usia beliau jelas semakin bertambah. 
Akibatnya bisa diduga, sejak pertengahan tahun 1992, Pak Pardjo mulai sering keluar masuk rumah sakit. Kalau tidak dirawat di RSPAD, beliau dirawat di RS Metropolitan Medical Center (MMC) Kuningan, karena di RS ini Pak Pardjo menjadi salah seorang Dewan Penasihat.
Pak Harto yang sangat memperhatikan kesehatan para menterinya juga meminta Tim Dokter Kepresidenan untuk merujuk Pak Pardjo berobat keluar negeri lagi.
Karena diagnose awal dari penyakit Pak Pardjo adalah HNP (Hernia Noucleus Polpusus) yang mengakibatkan nyeri pinggang hebat, maka atas saran Prof. Mahar Mardjono, Ketua Tim Dokter Kepresidenan, serta dukungan dari Bapak Rusmin Nuryadin, mantan Menteri Perhubungan, yang juga pernah berobat ke Jerman, Pak Pardjo direncanakan akan dibawa ke sebuah RS yang dokter ahli bedah syarafnya sangat terkenal di Frankfurt Jerman. 
Itulah sebabnya  Anggota Tim Dokter Kepresidenan yang ditugaskan mendampingi ke Jerman adalah juga seorang dokter ahli bedah syaraf terkemuka, Prof. Padmo Santjojo. Kebetulan di RS di Frankfurt itulah Prof. Padmo mendalami ilmu bedah syarafnya. Kepergian Pak Pardjo untuk berobat ke Jerman kali ini didampingi oleh Bu Pardjo dan kedua putranya serta hampir semua keluarga dekat (adik dan kakak) Bu Pardjo. Malam itu di ruang tunggu VIP Room Bandara memang saya lihat ada Pak Sungkono, Pak Saguro dan Pak Pong Nugroho (kakak dan adik-adik Bu Pardjo). Selain itu disamping Prof. Padmo Santjojo, saya juga melihat Drs. Suhardi ikut berada dalam rombongan.  
Pak Hardi adalah  seorang ahli fisioterapi (sekaligus pemilik klinik fisioterapi “Sasana Husada”) yang telah dengan setia merawat Pak Pardjo di RSPAD Gatot Soebroto, sejak pertama kali beliau terserang stroke. Selama ini Pak Pardjo juga rutin melakukan perawatan fisioterapi diklinik Pak Hardi yang terletak di Jl. Maja diseberang RS. Pusat Pertamina Jakarta. Tidak mengherankan kalau Tim Dokter menyertakan seorang fisioterapis yang sudah biasa merawat Pak Pardjo.
Karena jumlah rombongan yang ikut ke Jerman kali ini sudah cukup banyak, maka kehadiran saya (sebagai Ajudan) tidak diperlukan lagi.
Malam hari diawal bulan Januari 1993 itu saya hanya bisa mengantarkan Pak Pardjo sampai ruang tunggu VIP Bandara Soekarno-Hatta. Saat itu beliau bahkan sudah tidak sanggup lagi duduk, apalagi berdiri, sehingga harus berbaring di kereta dorong yang khusus didisain untuk bisa masuk kedalam kabin pesawat.
Ketika saya pegang kedua tangan beliau untuk mengucapkan selamat jalan, kentara sekali wajah Pak Pardjo menahan sakit yang amat sangat. Raut mukanya sembab dan pucat pasi. Rambutnya yang sudah nyaris memutih semuanya tampak  tak tersisir rapi.
“Dalem nderekaken sugeng tindak (saya mengucapkan selamat jalan) Pak” kata saya takzim didekat wajah beliau. Saya melihat selarik pandangan mata kecewa diwajahnya. Saya bisa merasakannya. Selama ini saya sudah sangat terbiasa menebak kemana arah pembicaraan yang beliau maksudkan, bahkan tanpa perlu dikatakannya. Air mata saya menitik tak terasa, ketika saya lihat mata Pak Pardjo berkaca-kaca. Saya maklum Pak Pardjo sudah tak bisa banyak berkata-kata.
“Mugi-mugi Bapak enggal dangan, tansah pinaringan kawilujengan dening Allah SWT (Mudah-mudahan Bapak segera sembuh dan senantiasa mendapatkan  karunia keselamatan dari Tuhan YME)”, kata saya melanjutkan tanpa berharap mendapat jawaban lagi dari beliau.

foto: airliners.net
Ketika pesawat Boeing 747-300 Lufthansa yang membawa Pak Pardjo terbang membelah angkasa malam yang gelap pekat menuju Frankfurt, hati saya seolah tersayat.
Pikiran saya ikut terbang dalam kegelapan malam. 
Ah, seandainya saya bisa ikut mendampingi beliau saat itu. 
Tapi penyesalan selalu tak ada gunanya.



      Susu kuda yang membawa petaka.

Sekembalinya Pak Pardjo dari pengobatan di RS Jerman, ternyata tak membawa banyak perubahan. Pak Pardjo masih tampak lemah. Bedah syaraf yang dilakukan di RS Frankfurt memang berhasil, akan tetapi ternyata ditemukan adanya penyakit kelainan darah dalam tubuh Pak Pardjo yang sudah dalam keadaan parah. RS Frankfurt menyatakan bahwa mereka tidak berkompeten lagi, karena sekarang yang diderita Pak Pardjo adalah penyakit yang menyerang sistim peredaran darah. 
Oleh karena itu mereka menyarankan agar sebaiknya Pak Pardjo dirawat di Jakarta saja. 
Maka Pak Pardjo secara bergantian dirawat di RSPAD dan di RS MMC Jakarta. Hanya karena “semangat juang ’45” nya saja yang membuat Pak Pardjo masih memaksakan diri aktif masuk kantor, walaupun tidak penuh waktu. Itupun terkadang harus dengan memakai kursi roda. Beliau masih terus berusaha menyusun memori serah terima jabatan kepada Pejabat Menko Kesra yang nantinya akan menggantikan beliau. Rasa tanggung jawabnya yang besar mengalahkan penderitaannya karena sakit.
Sejak Pak Pardjo secara luas diketahui menderita sakit, banyak sekali perhatian yang diberikan oleh para sahabat, kerabat, teman sejawat dan handai taulan. Banyak diantaranya yang memberikan saran, pendapat, bahkan segala macam jejamuan dan obat-obatan. Baik modern, herbal, tradisional sampai kehal-hal yang tak masuk akal. Tentu semuanya bermaksud baik, mengharap agar Pak Pardjo bisa segera mendapatkan kesembuhan. 
Saya kadang-kadang sampai tercengang kalau ada yang datang dengan membawa ‘ahli’ pengobatan alternatif maupun supranatural dengan  menjalankan ritual yang (menurut saya) tidak dapat diterima akal, selain malah membuat orang hilang akal.
Tapi saya maklum bahwa keluarga besar Pak Pardjo (terutama Ibu Soepardjo) tentu tak bisa menolak maksud baik seseorang. Semuanya harus diterima dengan tangan terbuka tanpa berprasangka buruk.
Pada kurun waktu itu (tahun 1990-an) sedang ada ‘tren’ pengobatan dengan minum ‘susu kuda liar’ yang katanya didatangkan langsung dari Nusa Tenggara dan punya khasiat luar biasa mujarab untuk menyembuhkan hampir segala macam jenis penyakit, terutama kanker. 
Banyak orang yang ‘katanya’ telah mencoba khasiat susu kuda itu dan ‘katanya’ pula, berhasil sembuh.
Pokoknya ‘susu kuda liar’ itu bisa membuat semua penyakit jadi “wes ewes ewes, bablas…larane”, seperti kata iklan jamu yang kocak itu.
Oleh sebab itu sewaktu ada yang mengirimkan  paket susu tersebut untuk Pak Pardjo, tak ada yang bisa menolaknya. Sekali lagi karena landasan berpikirnya adalah menghargai niat baik seseorang. Walaupun terkadang niat baik untuk menghargai orang lain itu bisa berubah menjadi bumerang yang menuai petaka. 

RS MMC Jkt                                   foto: websiteMMC
Saya tidak tahu dengan tepat bagaimana kejadian yang sesungguhnya, tapi pada suatu pagi Pak Pardjo mengalami diare  (murus atau mencret) yang hebat. Konon sehabis minum susu kuda dari Nusa Tenggara itu. Karena diare nya tidak juga berkurang, malah semakin parah, terpaksa beliau dilarikan ke UGD RS MMC Kuningan. Hari itu juga Pak Pardjo diharuskan untuk menjalani rawat inap. Sejak saat itu kondisi kesehatan Pak Pardjo sangat ‘fluktuatif’, naik turun tak menentu.



      Ada yang ingin memisahkan saya dan Pak Pardjo.

Kalau dihitung secara matematis, jumlah waktu yang saya habiskan untuk "melayani" Pak Pardjo, barangkali ada orang yang tidak percaya. Saya sudah bertugas sebagai Protokol Gubernur Jawa Tengah sejak akhir tahun 1976. Dua setengah tahun kemudian saya dipercaya menjadi Ajudan Gubernur Soepardjo. Dan jabatan itu terus saya pegang sampai tahun 1993. 
Pada saat Pak Pardjo menjelang habis masa tugasnya di Kantor Menko Kesra dan kemudian jatuh sakit (awal tahun 1993), berarti saya sudah menghabiskan waktu selama hampir 17 tahun (nyaris tanpa jeda) melayani Pak Pardjo! Itu berarti lebih dari separuh masa dinas saya sebagai PNS sampai tiba saatnya saya pensiun kelak. Sungguh bukan waktu yang pendek.
Sampai saat beliau sakit itu, hanya saya satu-satunya staf ‘bawaan’ Pak Pardjo yang memegang rekor ‘terlama mengabdi’ tersebut. Dan saya juga maklum kalau kemudian ada ‘kecemburuan’ yang timbul melihat kedekatan saya dengan Pak Pardjo. Beberapa staf  “asli” Kantor Menko Kesra memang ada yang secara diam-diam maupun terang-terangan melakukan ‘manuver’ carmuk (cari muka) kepada Pak Menko. Dalam kondisi kesehatan beliau yang sedang tidak menentu itulah orang-orang yang ‘carmuk’ tersebut berhasil menggunakan kesempatan untuk 'masuk'. 
Mereka seolah-olah ingin menunjukkan kesetiaan dan darma baktinya yang luar biasa dan merasa paling dekat dengan Pak Pardjo. Saya paling muak dengan tingkah laku seperti itu. Selama lebih dari 15 tahun melayani Pak Pardjo saya tak pernah menggunakan cara-cara naïf seperti itu. 
Bagi saya istilah “ngawula nanging dudu abdi” tetap menjadi  sebuah prinsip yang tidak bisa saya ubah lagi. Tidak ada dalam kamus saya untuk ngathok, ngaret, ngolor atau apapun namanya yang bertujuan untuk cari muka. Hubungan saya dengan Pak Pardjo adalah hubungan ‘chemistry’ antar manusia. 
Bukan antara tuan dan jongosnya, ataupun majikan dengan buruhnya. 
Dan menurut saya selama ini Pak Pardjo juga memaklumi hal tersebut.
Oleh karena itu ketika ada usaha untuk menjauhkan saya dari Pak Pardjo, saya terpana.  
Sejatinyalah setiap kali Pak Pardjo melihat keberadaan saya didekatnya,  entah kenapa secara otomatis beliau langsung teringat kepada pekerjaan kantor. (Terkadang memang ada orang yang tega menganggap saya sebagai “barang inventaris” kantor). Dan dengan serta merta beliau lalu memberikan instruksi-instruksi kepada saya. Inilah yang dijadikan alasan (dengan berlindung dibalik ‘perintah’ dokter) bahwa kehadiran Ajudan (dik Syaiful dan terutama SAYA) hanya akan membuat Pak Pardjo tidak bisa mengistirahatkan pikirannya karena selalu ingat pekerjaan kantor. Hal itulah yang ‘kata dokter’ menjadi salah satu faktor penyebab yang membuat kesehatan beliau dari hari kehari malah semakin menurun.
Dalam situasi terpojokkan seperti itu saya tak ingin berdebat, karena menurut saya hal itu tidak akan menyelesaikan masalah.
Waktu itu kondisi kesehatan Pak Pardjo sedang sangat menurun. Beliau butuh tambahan eritrosit (sel darah merah) dan trombosit yang harus ditransfusikan kedalam tubuh. Jumlah eritrosit dan trombosit yang dibutuhkan dari hari kehari semakin banyak, sehingga setiap hari harus dicari beberapa orang donor yang rela menyumbangkan darah untuk diambil eritrosit maupun trombositnya.
Saya menurut saja ketika mendapat ‘perintah dokter’ untuk mengawasi orang-orang yang akan mendonorkan darah bagi Pak Pardjo. Dan satu-satunya tempat yang bisa mengambil darah dan kemudian menguraikannya menjadi eritrosit maupun trombosit ini adalah digedung PMI yang berada dijalan Salemba Raya (diseberang FKUI, sekarang jadi Pertokoan Kenari Baru). 
Jaraknya terpisah sekitar 10 kilometer dari RS MMC di Jl. Kuningan.
Saya punya ‘pekerjaan’ baru sekarang. Mendaftar nama para donor, mencatat alamatnya, mengawasi jalannya pengambilan darah yang kemudian diproses lagi untuk hanya diambil eritrosit dan trombositnya saja. Setelah terkumpul cukup banyak, baru dikirimkan ke RS MMC, untuk ditransfusikan ketubuh Pak Pardjo.
Praktis sehari penuh saya menjadi ‘centeng’ donor darah di kantor PMI Salemba itu. Dari pukul 8 pagi sampai proses pemisahan eritrosit selesai sekitar pukul 4 atau 5 sore. Sehingga dengan demikian terputuslah hubungan saya dengan Pak Pardjo. 
Boleh dikatakan usaha untuk membuat  saya terpisah dengan Pak Pardjo berjalan dengan ‘sukses’.
Sakit sekali hati saya mendapat perlakuan seperti itu, tapi saya berusaha menghibur diri, toh pekerjaan saya ini juga salah satu bagian dari usaha untuk memperoleh kesembuhan bagi Pak Pardjo.
Dikantor PMI itu tidak banyak orang yang bisa diajak berkomunikasi. Para donor datang silih berganti, para petugas PMI sibuk dengan pekerjaannya sendiri. Tidak ada hiburan, baik radio, apalagi televisi. Selain tasbih untuk zikir, saya sampai membawa mainan ‘tetris’ milik anak saya untuk membunuh waktu selama menjadi ‘centeng’ darah. Kalau tiba saatnya makan siang, saya berjalan kaki kewarung tenda kaki lima yang banyak bertebaran sampai kedepan FKUI di pertigaan Salemba. Tapi saya ikhlas. Semua ini saya lakukan demi Pak Pardjo. Saya tak peduli lagi kepada orang-orang “PPM” (Para Pencari Muka) itu. Sekarang memang mereka yang sedang menguasai ‘medan’, karena telah berhasil menyingkirkan  saya, bahkan tak tertutup kemungkinan mereka malah sudah mendiskreditkan nama baik saya dengan berbagai cara. Termasuk melaporkan hal-hal yang negatif tentang saya kepada Ibu Soepardjo. Semua saya terima dengan bertawakal kepada Tuhan Yang Maha Tahu,  Sang Maha Pencipta Alam Semesta dan segenap mahlukNya.
Mungkin tahun ini memang saatnya ujian yang harus dihadapi kaum shio Macan. Pak Pardjo berjuang melawan rasa sakitnya. Sementara saya mendapat ujian sendiri menghadapi intrik jahat dan konspirasi yang berniat membunuh karakter saya, yang sekaligus juga nyaris menghabiskan seluruh ‘stok’ kesabaran saya.
Tapi saya tetap bergeming: selama kurun waktu pengabdian saya yang sekian lama kepada Bapak dan Ibu Soepardjo (beserta seluruh keluarga), tentu saya harus mengakui kalau saya pernah berbuat khilaf. Itu pasti, karena walau bagaimanapun saya tetap seorang manusia biasa, bukan malaikat. Tapi saya sangat yakin tak pernah sekalipun saya berbuat khianat terhadap kepercayaan yang beliau berdua bebankan dipundak saya.
Ini akan saya pertanggung jawabkan dunia akhirat, karena hal itu menyangkut masalah kaidah, akidah dan iman saya. Juga karena saya selalu yakin bahwa: “Gusti Allah ora sare”.
Jadi dengan hati remuk redam (karena merasa disingkirkan dengan sebuah rekayasa licik) saya jalani hari-hari terakhir mengabdi kepada Pak Pardjo dalam situasi yang sungguh sulit itu.
Saya tetap berpendirian, akan datang pada suatu saat nanti,  kebenaran yang hakiki.  
Seperti pitutur dan piwulang sesepuh saya: “Sing sapa salah, seleh”




bersambung.....


1 komentar:

  1. Ternyata dimanapun ada ya intrik2 atau hal hal yg cenderung semacam 'fitnah', yang itu menjadi 'kendala'kita dalam berkarir.
    Sayapun pernah mendapatkan perlakuan seperti itu, yg sempat membuat saya hampir putus asa...dan jelas sudah, bekerja dengan baik,disiplin saja tidak cukup menjadi tangga yg mulus untuk peningkatan karir, tapi seperti mas Koes bilang sing sapa salah seleh......

    BalasHapus