Sabtu, 02 April 2011

"SAYA TERBANG KENEGERI 'MATAHARI TERBIT'..."



      (dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (48)

New Tokyo International Airport, Narita


      Pertama kali mendarat di Negeri ‘Saudara Tua’.

Sesuai dengan petunjuk Pak Pardjo sebelum berangkat ke Amerika, akhirnya pada akhir Agustus 1986 saya jadi berangkat ke Tokyo Jepang.  Bergabung dengan Gubernur Jambi beserta Ibu Maschun Sofwan dan Tim Penggerak PKK Provinsi Jambi.
Saat Pak Pardjo menjabat Gubernur Jawa Tengah, Pak Maschun Sofwan adalah  Bupati Temanggung (dua periode). Karena prestasinya yang baik, beliau dipromosikan oleh Pak Pardjo menjadi Residen (istilah sekarang: Pembantu Gubernur) Kedu. 
Oleh karena itu saya juga sudah cukup lama mengenal pribadi beliau.
Pada waktu Pak Pardjo diangkat menjadi Mendagri, Pak Maschun Sofwan lalu diusulkan oleh Mendagri kepada Presiden Soeharto untuk dapat di’promosi’ kan menjadi Gubernur Jambi. Dan berhasil.
Hari Rabu, 27 Agustus 1986, Pesawat Boeing 747-200 Garuda Indonesia yang terbang pada malam hari ke Tokyo ternyata transit di Denpasar. Rupanya banyak sekali wisatawan asal Jepang yang berkunjung ke Bali memilih rute terbang pulang kenegaranya langsung dari Bali. Tanpa lewat Jakarta. 
Jadi untuk meraup penumpang asal Jepang (yang kaya-kaya) itu, Garuda membuat rute Jakarta – Denpasar – Tokyo pulang-pergi.
Kamis, 28 Agustus 1986 sudah menjelang pagi, ketika pesawat mendarat di Bandara Internasional Narita, Tokyo. Nama yang dipakai secara resmi adalah “New Tokyo International Airport” untuk membedakannya dengan “Tokyo International Airport”, Bandara lama Tokyo yang ada di Haneda. Tapi nama populer Bandara baru itu tetap “Tokyo Narita Airport”.

Alhamdulillah. Ditengah cuaca sejuk dingin diakhir bulan Agustus itu, saya untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di negeri ‘Matahari Terbit’. Negeri yang pernah mengaku sebagai ‘Saudara Tua’ tapi ternyata malah menjadi Negara penjajah. Walaupun hanya ‘seumur jagung’.

Bandara Internasional Narita (dalam bahasa Jepang disebut: Narita Kokusai Kuko) terletak sekitar 58 kilometer disebelah timur Tokyo. Kota yang menjadi ibukota Jepang ini berada di bagian timur Pulau Honshu. Tepat berada didepan teluk Tokyo (konon nama asli Tokyo adalah “Edo” artinya pintu gerbang yang terletak di muara).
Tokyo termasuk diantara kota Megapolitan dunia, seperti London, Paris, New York dan sebagainya. Namun walaupun sudah menjadi kota yang sangat (bahkan ultra) modern, penduduk Tokyo (sama seperti warganegara Jepang lainnya) masih memegang erat tradisi dan adatnya. Ini satu hal yang istimewa. 
Ambil satu contoh saja. Soal etika dan kesopanan, orang Jepang memang terkenal jagonya. 
Lihat dari cara mereka membungkukkan badan (seikere = memberi hormat) kalau bertemu dengan orang lain. Itu bedanya dengan penduduk kota besar lain didunia.
Dalam perjalanan pagi hari menuju hotel yang terletak di daerah Shinjuku, Tokyo memperlihatkan “jatidiri” nya sebagai ibukota sebuah Negara berteknologi tinggi dan pusat kegiatan industri: padat penduduknya dan macet lalu lintasnya!  
Yang saya sukai disini adalah, walaupun jalanan sangat macet, para pengemudi tetap tertib berlalu lintas. Jarang terdengar bunyi klakson.
Kendaraan bermotor yang lalu lalang dijalanan tampak sangat beragam. Namun didominasi oleh kendaraan buatan dalam negeri dengan merk-merk yang sudah akrab dikenal di Indonesia dan dunia. Walaupun mobil buatan Eropa dan Amerika ada juga, tapi jumlahnya tak sebanyak mobil ‘made in Japan’. Hebatnya lagi, mobil buatan negeri bunga Sakura itu banyak sekali bentuk dan tipenya. Saya tercengang-cengang karena mobil yang berseliweran dijalanan semuanya tampak baru. Sampai ke taksinya. Konon pemerintah Jepang membatasi usia kendaraan bermotor sampai paling lama lima tahun saja. Pantas. Lalu kemana mobil-mobil yang sudah tua atau usang? Dikirim ke tempat penghancuran untuk didaur ulang logamnya guna dijadikan mobil baru lagi!

      Keluyuran di Shinjuku dan  Ginza dengan kalkulator ditangan…

Rombongan PKK Pemda Jambi ternyata telah memesan penginapan di sebuah hotel bernama “Keio Plaza” di Shinjuku.  Hotel berbintang lima ini mempunyai “twin towers” (menara kembar) yang sama bentuknya, tapi berbeda jumlah lantainya.  Anda bisa tersesat kalau keliru naik lift di tower yang salah.
Daerah Shinjuku dimana hotel Keio Plaza berada, merupakan daerah yang dekat dengan Akihabara pusat perbelanjaan barang elektronik. 
Sambil menunggu kedatangan rombongan Mendagri dari Amerika, Pak Maschun beserta istri mengajak saya ‘pusing-pusing’, berkeliling kota Tokyo. Keluar dari hotel bisa langsung menuju ke stasiun ‘subway’ (kereta bawah tanah) yang menjadi moda transportasi utama rakyat Jepang. Stasiun subway di Jepang rata-rata dibuat dengan teknologi yang sangat canggih. Hampir semuanya mengandalkan perangkat elektronik. Mulai dari loket pembelian tiket, pintu masuk ke peron, petunjuk arah tujuan kereta sampai semua perlengkapan yang ada didalam gerbong kereta, dan lain-lainnya. 
Saya tidak bisa membayangkan seandainya suatu ketika terjadi pemadaman aliran listrik di Tokyo. 
Betapa kacaunya kota megapolitan itu!
Stasiun kereta di Shinjuku sendiri dibangun tujuh tingkat……menembus kebawah tanah! 
Walaupun hampir semua petunjuk dibuat dalam aksara ‘Kanji’, tapi para turis bisa mendapatkan rute KRL gratis dari Dinas Pariwisata Jepang yang dilengkapi dengan peta rute berwarna. Warna-warna itu sangat memudahkan penumpang yang buta aksara Kanji untuk mencari jurusan keretanya. Kecuali bagi yang buta warna. 
Setiap lima menit kereta datang dan pergi. Cepat, tertib dan tepat waktu, itu yang agaknya akan sangat susah ditiru oleh bangsa kita. Selain KRL yang melayani penumpang dari stasiun ke stasiun dalam kota, terdapat juga kereta api antar kota. Salah satu kereta api yang paling terkenal didunia karena kecepatannya adalah “Shinkasen”, yang saking cepatnya sampai disebut sebagai “the Bullet Train” (kereta peluru).
Tokyo (dan saya kira juga kota-kota besar lain di Jepang) sangat memanjakan mata para pembelanja. Di “Ginza”, daerah pusat perbelanjaan terkenal di Tokyo, bukan hanya toko serba ada dan toko elektronika, bahkan semua restoran (besar maupun kecil) memajang replika -contoh- menu makanan (terbuat dari plastik) yang nyaris persis seperti aslinya. Semuanya lengkap dengan keterangan harga dalam mata uang Yen. 
Yang sangat menarik adalah, harga barang mulai dari cindera mata, kaos oblong, pakaian dan makanan ditawarkan dalam kisaran harga antara 3500 sampai 10.000 Yen, terkesan sangat “murah meriah”. 
Tapi bagi turis asal Indonesia, harus cermat menghitungnya, karena perbedaan kurs mata uang antara rupiah dan Yen yang begitu besar.
Tak urung kemana-mana saya membawa kalkulator untuk menghitung harga dalam satuan mata uang rupiah. Hasilnya? Sangat mengejutkan. Yang tampak murah meriah (dalam Yen) itu setelah saya kurs menjadi rupiah bisa membuat orang bengong karena bisa menguras kantong.
Pak Maschun Sofwan sempat berkomentar:
“Dik Tonny kalau mau belanja disini tidak usah pakai dihitung kursnya, kalau dihitung bisa-bisa tidak jadi membeli apa-apa”.
Pak Maschun memang betul. Ya, tapi beliau kan seorang Gubernur, uang dan kurs tak jadi masalah. Tetapi bagi saya yang hanya mengandalkan uang saku, bisa bangkrut “sak nalika” (seketika)! 
Walaupun kamar hotel saya sudah ditanggung oleh Pak Maschun.
Seingat saya kurs rupiah terhadap Yen pada tahun 1986 itu berkisar antara 80 sampai 100 rupiah per satu Yen. Jadi kalau saya makan gohan(nasi) dikedai kaki lima Shinjuku seharga 500 Yen saja (ini sudah ‘murah’), itu nilainya hampir sama dengan 40 - 50 ribu rupiah. Dengan jumlah uang yang sama, pada waktu itu saya bisa makan enak di restoran Padang di jalan Sabang Jakarta dengan seluruh anggota keluarga.
Padahal itu 'cuma' makan dikedai kaki lima. Apalagi kalau nekat makan direstoran didalam hotel. Jangan pernah coba-coba. 
Mungkin Pak Maschun jatuh iba, ajudan Mendagri koq tidak mampu beli apa-apa. Jadi saya sering diajak pergi dan ditraktir makan oleh beliau berdua. Sungguh “romantis” (rokok makan gratis), eh, tapi karena saya tidak merokok, barangkali istilahnya lebih tepat jadi…. ”pragmatis” (pergi, akomodasi, gaji -uang saku-, dan makan gratis). He..he..he…
Alhamdulillah.

      Naik-naik..ke Gunung Fuji…

Satu hari sebelum Pak Pardjo tiba di Tokyo, Pak Maschun ikut program Tokyo City Tour, termasuk melihat gunung Fuji. Saya juga diajak ikut serta. Dengan memakai bus wisata yang besar dan nyaman (seperti bis greyhound dalam film Amerika) maka kita diajak keliling kota Tokyo. Melihat lokasi tujuan wisata dikota Tokyo seperti Disney Land Tokyo, Menara Tokyo dan sebagainya. Tanpa harus turun dari bus,  karena tujuan utama wisatanya adalah ke Fujiyama (Gunung Fuji). 
Orang Jepang sendiri lebih memilih menyebutnya dengan Fujisan, sebagai bentuk penghormatan kepada Gunung berapi yang terakhir kali meletus pada tahun 1707 itu. Gunung Fuji terletak disebelah barat Tokyo, diperbatasan antara prefektur (provinsi?) Shizuoka dan Yamanashi. 

'Mount Fuji'             foto: google
Jalan menuju Fujiyama (yama = gunung) hampir mirip jalan menuju ke Puncak. Berkelak-kelok naik turun. Dengan pemandangan yang sangat memukau. Saya bisa saksikan betapa sebetulnya lahan di Jepang sangat terbatas. Tapi mereka bisa mempergunakannya dengan sangat efisien. 
Seingat saya perjalanan menuju Fujiyama terbagi dalam beberapa etape. Setiap etape terdapat semacam ‘rest area’ (persinggahan) yang bisa menampung beberapa puluh bus besar. Disitu terdapat banyak kios penjual cinderamata khas Jepang dan segala pernak-perniknya. Juga restoran dan pompa bensin. Kerajinan tangan tradisional Jepang sangat beragam bentuknya. Semuanya serba menawan dan serba ‘murah’ (dalam Yen). Tapi ketika saya kurs kedalam mata uang rupiah, saya menyerah. 
Saya pikir ini yang namanya “laparnya mata terhambat dengan sempitnya saku celana”!
Bayangan saya waktu itu, bus akan naik sampai kepuncak Fuji. Tapi ternyata tidak. Etape terakhir yang menjadi tempat perhentian bus adalah sebuah taman wisata yang jaraknya masih jauh dari puncak gunung.  Untuk naik keatas puncak gunung ternyata diperlukan ijin dan harus melalui jalur khusus.
Tapi pemandangan dari taman wisata ini begitu elok memesona kearah puncak gunung Fuji (tinggi 3.778 meter dpl) yang memutih tertutup salju abadi. 
Gunung Fuji terkenal sebagai gunung yang kerucut puncaknya nyaris simetris, sehingga sangat cantik apabila dilihat dari kejauhan. Sayangnya wajah gunung yang sering dijadikan simbol negara Jepang dan digandrungi para turis itu hilang timbul tertutup kabut. Jarang sekali bisa memotret Fujiyama dengan puncak saljunya yang anggun pada bulan September. Karena cuaca cenderung selalu berkabut. Kalau ingin mendapatkan cuaca yang terang benderang, ya harus datang kesini pada musim panas.
Saya tidak tahu nama taman wisata ini, karena semua petunjuk tertulis dalam aksara ‘kanji’. Tapi sebagai gambaran perbandingan mungkin bisa disamakan dengan “Taman Safari Indonesia”  di Cisarua (saat ini). Terdapat banyak hutan, lembah dan ngarai. 
Suhu udara dibulan September memang cukup menggigilkan tubuh orang yang berasal dari negeri tropis, karena bisa mencapai kurang dari 10 derajat Celcius. Saya lihat turis domestikpun banyak yang memakai baju tebal. Yang istimewa di Jepang adalah banyaknya kuil (tempat ibadah agama Shinto). Begitu juga di taman wisata ini. Barangkali bisa disamakan dengan di Bali yang banyak puranya. 
Salah satu wahana disini yang membuat saya penasaran adalah ‘Sky lift’ (kereta gantung) nya. Benar-benar bisa memompa adrenalin sekaligus untuk menguji nyali. Jalur kereta gantung itu terpasang diantara beberapa buah bukit yang dipisahkan oleh lembah atau ngarai yang sangat dalam. Saya perkirakan jarak antara ujung stasiun keujung stasiun lainnya (dari bukit ke bukit) sekitar 1 ½ sampai 2 kilometer. 
Tergantung diketinggian lebih dari 300 kaki (100 meter) dalam buaian angin dingin yang berhembus kencang, kereta gantung seperti terombang-ambing bak pesawat terbang sedang memasuki wilayah turbulensi. Walaupun kereta tertutup rapat dengan kaca, tetap saja butuh nyali dan keberanian ekstra untuk memandang kesekitar atau kebawah kereta yang bisa ditumpangi oleh 4 orang dewasa itu. Ditambah dengan jalannya yang lambat dan kadang (seperti disengaja) berhenti sejenak, lalu terayun-ayun dengan ‘manis’nya diketinggian. Badan saya menggigil, bukan hanya karena dinginnya suhu udara, tapi juga karena….ketakutan! Tapi saya tidak sendirian rupanya. Banyak juga penumpang dikereta gantung lain yang bahkan sampai berteriak-teriak untuk menyalurkan emosinya. Rasanya perjalanan “tergantung diudara” itu seperti tak akan pernah berakhir.
Tiba di stasiun perhentian, semua penumpang berebut turun untuk berlari menuju ke toilet guna melepas hajat yang tertahan begitu lama diudara! Saya tidak tahu apakah diantara mereka ada yang sempat ‘kelepasan’ hajat diatas kereta gantung tadi saking takutnya.

      Piano berbunyi sendiri ditengah malam

Akhirnya Pak Pardjo beserta rombongan (termasuk ajudan “baru”) tiba di Tokyo dari Washington DC. Hanya semalam menginap di hotel Keio Plaza, Pak Pardjo kemudian diajak Pak Wiyogo Atmodarminto, Dubes RI untuk Kerajaan Jepang, untuk bermalam di rumah dinas Dubes. 
Sebelum meninggalkan hotel, Pak Pardjo memerintahkan pergantian ajudan. Ajudan ‘baru’ yang ikut ke Amerika telah selesai tugasnya di Tokyo dan diperintahkan pulang ke Jakarta. Saya yang bertugas lagi sebagai ajudan selama di Jepang.
Hubungan Pak Pardjo dan Pak Wijogo sangat akrab. Sewaktu Pak Pardjo menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah, Pak Wijogo adalah Pangkowilhan II yang membawahi wilayah Jawa. Oleh sebab itu pertemuan di Tokyo bak reuni saja. Dirumah dinas Pak Dubes inilah untuk pertama kalinya saya mengenal “karaoke”. Cara menyanyi dengan membaca teks di layar televisi itu konon memang hasil karya orang Jepang yang gemar menyanyi. Jamuan makan malam hari itu ditutup dengan acara Pak Wijogo pamer alat bantu menyanyi yang baru tersebut sekaligus pamer ‘suara emas’ nya juga.
Saya mendapat sebuah kamar dilantai dasar yang berdekatan dengan ruang keluarga dimana terletak sebuah ‘grand piano’ (piano besar) berwarna hitam. Hanya itu satu-satunya kamar yang ada. Kamar yang lain ada dilantai dua. Kalau boleh memilih, pasti saya akan memilih tidur dihotel, walau harus bayar sendiri. Tapi itu sudah ‘protap’ saya sebagai ajudan. Jadi mau tidak mau ya harus mau tidur dikamar sepi itu.
Saya seperti mimpi sedang berpesta sambil bernyanyi diiringi dentingan suara piano, ketika mendadak  terbangun dan mendapati bahwa suara piano yang saya dengar adalah suara piano asli. Bukan dalam mimpi. Saya lirik arloji. Pukul 01.30 dinihari! Siapa sih yang keranjingan main piano ditengah malam menjelang pagi begini?  Itu yang pertama terlintas dalam benak saya. Tapi tiba-tiba seluruh bulu kuduk saya serentak berdiri. Jangan-jangan ….saya tak berani melanjutkan bayangan seram saya sendiri. Pada dasarnya saya memang bukan seorang yang sangat pemberani. Latihan “jurit malam” yang sering saya lakukan di Pramuka dulu yang menggembleng mental menjadi (setidaknya) bukan penakut amat. 
Saya putuskan untuk menengok keruang keluarga, dimana suara lagu dari piano itu berdenting dengan kerasnya. Udara Tokyo dimalam hari bulan September sangat dingin. Tanpa AC pun hawa sudah membuat badan menggigil. Sekarang ditambah rasa penasaran setengah takut yang membuat bulu roma berdiri, dengan gigi gemeretak menahan dingin saya berjingkat kearah ruang keluarga. 
Tak ada lampu menyala! Siapa mau main piano dalam kegelapan seperti itu? Jelas itu suara piano asli, bukan suara piano dalam rekaman musik. Nyali saya mulai rontok. Sadar sepenuhnya bahwa sepertinya malam itu hanya saya yang masih terjaga. Sendirian disebuah ruangan yang gelap gulita tapi dipenuhi suara piano, samar-samar saya lihat tutup ‘tuts’ piano itu terbuka dan bilah berwarna putih dan hitam itu naik turun berloncatan, main sendiri! Jelas sudah. Saya balik badan 360 derajat dan mencoba lari kembali kekamar. Tapi kaki saya rasanya berat sekali diangkat. Ketakutan yang amat sangat membuat saya ‘ngoplok’ (gemetar hebat). Ketika berhasil masuk kembali kedalam kamar, saya tutupi seluruh tubuh dengan selimut tebal yang ada. Semalaman itu saya ketakutan dan tidak dapat memicingkan mata lagi. Akhirnya menjelang subuh suara piano itu berhenti dengan sendirinya. Mungkin ‘pemainnya’ takut melihat sinar matahari.
Barangkali melihat wajah saya pucat dengan mata sembab, Pak Giarto, Sekpri Pak Wijogo bertanya kepada saya sewaktu sedang sarapan diruang makan:
“Kayaknya kecapekan dan kurang tidur ya semalam?”
Saya hanya mengangguk saja, belum selera berkomentar apa-apa tentang kejadian ‘piano ajaib’ semalam.
“Ada yang tidak beres?” tanyanya lagi sambil tersenyum penuh misteri.
Kura-kura dalam perahu nih orang. Kata hati saya.
“Biasanya yang tidur dikamar dekat ruang keluarga itu siapa Pak” saya balik bertanya.
“Wah, itu kamar memang jarang sekali dipakai koq. Disediakan untuk tamu yang bermalam saja. Memangnya kenapa? Ada yang mengganggu ya?”
Saya sudah lama mengenal Pak Giarto. Seperti saya, dia juga orang “bawaan” Pak Wijogo sejak masih menjabat Pangkowilhan II di Yogyakarta dulu. Jadi saya agak jengkel karena merasa ‘dikerjain’.
Sesama staf pribadi kan dilarang saling mendahului….eh…menakut-nakuti.
“Kalau ya kenapa? Senang ya sampeyan?” jawab saya sengit.
Pak Giarto ketawa ngakak. Trembelane tenan (keterlaluan betul).
“Wis aja nesu, mengko tak kenalke karo sing ngganggu ya? (sudah jangan marah, nanti saya perkenalkan dengan yang mengganggu)”  katanya sambil tersenyum.  
“Mooooh…(tidak mau)” jawab saya sewot. Sengiiit aku!!
Siang itu sesudah makan siang, Pak Wijogo mengajak para tamunya untuk bersantai sambil nyanyi-nyanyi lagi diruang keluarga. Saya agak malas ikut sebetulnya, masih terkenang kejadian ‘horor’ semalam. Tapi Pak Giarto terus membujuk saya untuk ikut.
“Mas Pardjo, aku duwe alat anyar sing bisa gawe uwong mlongo lho (saya punya alat baru yang bisa membuat orang terkagum-kagum)” kata Pak Wijogo diawal acara. Lalu beliau menuju kemeja kecil disebelah piano. Menghidupkan sebuah alat yang tampak seperti alat pemutar video (VCR). Ada sebuah kabel menjulur tersambung kebelakang grand piano.
“Simsalabim….!!!” Teriak Pak Wijogo.
Belum habis teriakan Pak Wijogo, sekonyong-konyong grand piano itu berbunyi sendiri. Tuts nya menari-nari dengan lincahnya seiring lagu yang dimainkannya!
Astagfirullah!! Itulah yang saya lihat tadi malam! Yang membuat saya ketakutan setengah hidup!
Pak Pardjo dan Bu Pardjo yang menyaksikan serentak berdecak.
Tapi Pak Giarto malah tertawa terbahak-bahak.
“Ana apa (ada apa) Gik?” Tanya pak Wijogo pada sekprinya.
“Tadi malam ada orang ketakutan setengah mati Pak, melihat ada piano bisa ‘main’ sendiri” Jawab Pak Giarto. Semua yang mendengar tertawa.
Jangkrik! Muka saya merah padam bahna malunya!

      Nonton teater tradisional Jepang: ”Kabuki”

Malam hari berikutnya (sesudah ‘kasus’ piano) Pak Wijogo mengajak tamu-tamunya untuk menonton teater tradisional Jepang yang sangat terkenal: Kabuki.
Kabuki
Kabuki adalah pertunjukan drama yang (biasanya) mengangkat cerita perjuangan heroik para Samurai. Yang paling menarik dalam pagelaran Kabuki (selain busananya) adalah tata rias wajah para pemainnya. Rata-rata memakai make-up putih tebal sehingga wajah asli aktornya tak dapat dikenali lagi. 

Tidak ada aktris di Kabuki, sebab sama seperti kesenian Ludruk di Jawa Timur, seluruh pemain Kabuki adalah laki-laki. Akan tetapi ada bedanya, Kabuki tampak dipergelarkan secara profesional dan massal (banyak pemainnya). Tata panggung, tata lampu, tata suara, tata musik, tata busana dan tata riasnya sangat luar biasa. 
Walaupun semua dialog dibawakan dalam bahasa Jepang, tapi bagi penonton asing disediakan brosur sinopsis cerita dalam bahasa Inggris. Cukup membantu. 
Menonton pertunjukan teater Kabuki yang terdiri dari dua babak (diselingi sekali waktu istirahat) itu, saya diam-diam tercenung. Bukan karena rasa nasionalisme yang terkoyak saja yang membuat saya penasaran. Kalau Kabuki di Jepang bisa dipentaskan dengan begitu menawan, dan tetap banyak ditonton orang (baik penduduk lokal maupun turis), mengapa teater tradisional kita seperti Wayang Kulit, Wayang Orang dan Ludruk serta Ketoprak malah secara perlahan namun pasti hampir punah? Apakah itu karena tipisnya rasa kepedulian bangsa kita? Ataukah itu tanda telah lunturnya kebanggaan kita pada kesenian tradisional warisan adi luhung para leluhur kita sendiri? Ah, seandainya saja kepedulian kita terhadap kesenian tradisional bisa seperti kepedulian bangsa Jepang terhadap Kabuki.



bersambung.....

1 komentar:

  1. Untuk bisa seperti jepang dalam mempertahankan dan nguri uri kesenian tradisional, perlu sekali ada komitmen dari Pemerintah Pusat, shg progra,kegiatan, dukungan dana dan peraturan2 konsisten untuk mendukung missi pelestarian kesenian tradisional, kalau tidak....ya syusyahhh

    BalasHapus