Senin, 04 April 2011

"SCHEVENINGEN, PANTAI IMPIAN R.A. KARTINI"





  (dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung ((63)

Saya didipan kuno Orang belanda di Volendam

      Melihat pantai impian RA Kartini.


Dalam buku “Door Duisternis tot Licht” (diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi “Habis gelap terbitlah terang”), yang merupakan kumpulan surat menyurat RA Kartini dengan para sahabatnya dinegeri Belanda, putri Bupati Jepara yang dianggap sebagai pahlawan pejuang emansipasi wanita Indonesia itu menyatakan betapa inginnya dia melihat dan bermain-main pasir dipantai ‘Scheveningen’ yang ada dinegeri Belanda. 
Sayang keinginan atau cita-cita istri Bupati Rembang itu tidak pernah terlaksana sampai akhir hayatnya pada tanggal 17 September 1904.
Siapa yang pernah menyangka bahwa setelah 84 TAHUN LEBIH SATU HARI dari saat berpulangnya RA Kartini, tepatnya pada hari Minggu Wage tanggal 18 September 1988, saya justru telah berada ditepi pantai Scheveningen yang diimpikan putri bangsawan itu.
Padahal saya malah tidak pernah mengimpikannya sama sekali.

Cuaca di bulan September tidak terlalu dingin. Tapi angin pantai ”Noord Zee” (Laut Utara) bertiup cukup kencang, menebarkan aroma khas kesegaran angin laut. Pantai berpasir putih itu sebetulnya tidak terlalu istimewa. Mungkin hampir sama kondisinya dengan pantai Laut Jawa dikota Jepara dimana dulu RA Kartini sering bercengkerama, melamunkan Pantai Scheveningen nun jauh di negeri Belanda. (Oleh sebab itu pantai di Jepara tersebut kini diberi nama “Pantai Kartini”).
Tapi pantai Scheveningen (pada tahun 1988) lingkungannya sudah ditata rapi, dengan bangunan-bangunan pendukung disekitarnya, termasuk arena bermain untuk keluarga, dan sebuah dermaga kayu yang dibuat jauh menjorok ketengah laut, membuat suasana memang jadi berbeda. Padahal kalau melihat alam aslinya, menurut pendapat saya, pantai Kuta di Bali lebih elok karena masih banyak terdapat pohon kelapa yang melambai ditepi pantai.
Dipantai Scheveningen ini yang ‘melambai ditepi pantai’ justru cewek-cewek kece yang ada didalam kios penjual cinderamata. 
 'Noord Zee' (Laut Utara) nun jauh disana.      foto2: mastonie
Pantai Scheveningen memang dikelola dengan sangat baik. Sarana dan prasarana lingkungannya ditata, diseuaikan dengan kebutuhan para pengunjungnya. Ditepi pantai berderet restoran, kios/toko cinderamata, tempat bermain anak-anak sampai ke sarana olahraga pantai disediakan disini. Scheveningen memang jadi pantai yang sangat layak untuk dikunjungi wisatawan beserta keluarganya. Saya kurang yakin apakah pantai Scheveningen pada jaman RA Kartini dulu juga sudah tertata seperti ini.  Tapi saya yakin bahwa almarhumah RA Kartini hanya mendengar keindahan pantai Scheveningen dari cerita teman-temannya di Belanda lewat surat menyurat saja.
Akan tetapi sesungguhnyalah, pantai dan angin laut (dimana saja) memang selalu akan mendatangkan rasa sentimentil bagi siapapun yang memandangnya. Tak terkecuali saya. 
Ditepi pantai Scheveningen, sekonyong bayangan anak-anak dan istri saya berkelebatan. Seolah-olah mereka sedang berlarian bermain pasir dan air laut disana! 
Dan diujung dermaga yang terbuat dari kayu itu saya seakan melihat bayangan RA Kartini sedang duduk termenung, memandang kelaut Utara yang luas membentang entah sampai dimana batasnya.

      “Koffie met gebak 3,5 gulden” 

Makan poffertjes (“apem Londo”) di Volendam.

Sesudah menyaksikan keindahan pantai Scheveningen di Den Haag, Pak Pardjo meneruskan perjalanan menuju kota Volendam. Sebuah kota kecil ditepi ‘Marker meer’ (danau Marker) yang bermuara kelaut Wadden. Daerah disekitar kota Volendam merupakan salah satu penghasil keju yang terkenal di Belanda. Sementara produksi keju diseluruh negeri ‘dibawah permukaan laut’ itu (menurut statistik tahun 1986) adalah sekitar 470 ribu ton disamping 170 ribu ton mentega. Itu bisa tercapai karena di negeri Belanda terdapat banyak sekali peternakan sapi perah yang menghasilkan ratusan ribu liter susu sapi sebagai bahan baku keju dan mentega. 
Perjalanan dari Den Haag menuju kota Volendam melewati daerah yang bernama Zaanse Schans, dimana terdapat banyak ‘wind mollen’ (kincir angin) yang fungsi utamanya sebetulnya untuk menggerakkan turbin pembangkit listrik. Banyaknya kincir angin yang ada dinegeri Belanda menyebabkannya dijuluki sebagai “Negeri  Kincir Angin”. 
Menjelang masuk kota Volendam, ada daerah bernama “Edam”. Inilah daerah penghasil keju Edam yang sangat terkenal didunia. Beberapa pabrik keju tradisional berada disepanjang jalan, yang “show room” nya terlihat jelas dari dalam kendaran yang melaju. Orang Belanda sangat efisien menata lahannya yang memang tidak terlalu luas. 
Saya mejeng dirak keju Edam
Diruang pamer yang sempit itu ditata produksi keju hasil olahan pabrik yang dikelompokkan sesuai tanggal produksi dan jenis kejunya. Itu sebabnya dikenal istilah ‘keju tua’ dan ‘keju muda’. Keju tua jelas harganya lebih mahal. Disamping itu disekitar Volendam juga terdapat banyak pabrik  kelom (sepatu kayu) yang selain menjual kelom berbagai ukuran, juga menjual berbagai pernak pernik cinderamata khas negeri Belanda. Ada juga kelom yang terbuat dari keramik dengan warnanya yang khas: biru putih. Tentu saja mereka juga menjual replika kincir angin, karena benda yang satu ini sudah jadi trade mark  (merek dagang) Negeri Belanda. 

Pak Pardjo dan saya dipantai Volendam
Pantai Volendam sangat ramai. Pada siang hari banyak perahu layar dan kapal pesiar yang sedang bersandar didermaga sepanjang pantai. Dikiri kanan jalan banyak sekali toko souvenir dan penjual makanan. Gebak (kue) yang terkenal disini adalah ‘poffertjes’ (semacam apem) yang dijual per enam buahnya seharga 2,5  gulden. Kalau mau ditambah dengan kopi harganya jadi 3,5  gulden saja (harga  tahun1988, dimana pada saat itu belum dikenal mata uang "Euro"). 
Jadi jangan bingung kalau dimana-mana ada tulisan “Koffie met gebak 3,5 gulden” (kopi dan kue 3,5 gulden). 
Saya tentu tak ketinggalan membeli dan mencoba makan ‘apem Belanda’ itu. 
Sambil menikmati rasanya yang manis-manis gurih, saya pikir-pikir koq agak jauh berbeda dengan nikmatnya ‘apem Jowo’. Apalagi serabi Solo!
Namanya saja “Apem Londo”.
Selain itu yang banyak dicari para turis di Volendam adalah kios tukang foto, yang juga bertebaran disepanjang jalan.  Disinilah para turis bisa bebas menyalurkan bakat ‘narsis’ nya. ‘Mejeng’  (berfoto) dengan memakai pakaian adat tradisional Belanda yang bisa disewa. Sekali jepret biayanya 15 gulden. Setelah jadi, foto akan dikirim kealamat dimanapun anda berada, diujung dunia sekalipun, secara gratis. Pada masa itu (tahun 1988) memang belum ada fotografi digital. Jadi semua tukang foto masih memakai klise (film negatif). Oleh karena itu hasil fotonya tidak bisa ditunggu. 
Entah kalau pada jaman yang sudah serba digital sekarang.



bersambung.....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar