Rabu, 30 November 2011

"DHAUP AGENG" (PERNIKAHAN AKBAR)


Tulisan lepas:
Bagian kedua (terakhir) dari dua tulisan.


“DHAUP AGENG”
KARATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT

 Acara "Bopongan" Penganten
.
Tamu Undangan berebut bus tumpangan........

Didalam undangan mewah dari Sri sultan HB X itu disebutkan bahwa para tamu undangan hanya diijinkan membawa kendaraan sampai ke Alun-alun utara saja. Selanjutnya kendaraan diparkir dan para tamu akan dibawa ke bangsal Kepatihan Danurejan dengan menggunakan beberapa buah bus dan kendaraan minibus yang khusus dipersiapkan oleh Panitia.
Saya pikir pengaturan seperti itu adalah keputusan yang tepat, karena tidak terbayangkan kalau ribuan tamu membawa sendiri kendaraan masing-masing ke Kepatihan Danurejan yang kapasitas tempat parkirnya sangat terbatas. Selain itu pasti juga akan menimbulkan kemacetan parah.
Semula saya agak ragu. Ada beberapa teman yang katanya diundang pukul 19.00 (tujuh malam). Saya sendiri mendapat undangan untuk pukul 20.00 (delapan malam). Padahal tempatnya jelas sama: Kepatihan Danurejan Jalan Malioboro. Tempat kumpulnya juga sama: Alun-alun Utara. Apakah undangan salah cetak? Pasti tidak! Apakah tamu dibuat bergiliran datang? Mungkin saja. Tapi bagaimana prosedurnya? Ah, repot amat mikirnya. Amat saja tidak repot mikir kaleeee......

"Ringin Kurung" di Alun-alun
Daripada bingung, selepas sholat magrib saya dan isteri sudah siap meluncur ke Alun-alun utara. Sampai disana ternyata sudah berjubel tamu undangan yang jelas satu tujuan. Dilihat dari busana dan lencana yang dikenakan didada kirinya. Semua pria terlihat gagah dalam balutan Pakaian Sipil Lengkap (PSL). Ibu-ibu mengenakan kebaya dan atau busana muslimah, kelihatan ayu, cantik serta gandes luwes. Semuanya sesuai dengan “dress code” seperti yang tertera di undangan. Masya Allah. Banyak sekali tamu yang menunggu bus pengangkut!
Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lebih, tapi belum ada satupun bus yang datang. Ketika ada sebuah bus ukuran 30 an penumpang yang datang, saya tarik isteri saya untuk maju lebih mendekat. Ternyata semua berpikiran sama. Jadilah bus yang baru satu-satunya itu jadi ajang rebutan. Persis seperti orang yang rebutan kendaraan untuk pulang mudik! Padahal semua berpakaian rapi. Perebutan kekuasaan...eh, bus itu akhirnya selesai juga. Dan saya beserta isteri bisa ikut terangkut, walaupun harus rela berdiri berdesakan. Semua kursi sudah berhasil diduduki oleh mereka yang lebih  kuat dan ‘perkasa’. Lumayan karena meski terlihat kumuh, tapi busnya ternyata memakai pendingin udara juga. Alhamdulillah.

Tarian “Bedaya Manten” ciptaan Sri Sultan HB IX mengawali Resepsi

Turun dari bus di Gerbang Kepatihan, sayup-sayup sudah terdengar suara gamelan mendayu-dayu melantunkan gending pengiring tarian. Selesai menyerahkan kartu hadir, para tamu mendapat souvenir (cindera mata) berupa sebuah buku berjudul “Dhaup Ageng”.
Berwarna hijau mirip dengan warna undangan, buku souvenir itu bergambar kedua mempelai yang tersenyum bahagia, persis seperti yang dipasang pada spanduk-spanduk dipinggir jalan. Saya baru saja menggandeng isteri, ketika mendadak seorang gadis manis penerima tamu menangkupkan kedua tangannya seraya tersenyum manis dan mengucapkan ‘Sugeng Rawuh’. Lalu langsung berjalan mendahului didepan kami berdua untuk menunjukkan arah tempat duduk yang masih kosong. Saya sedikit terpana. Tidak menyangka akan mendapat kehormatan layaknya tamu Very Very Important Person. 
Padahal...... hmmmm....belum tahu dia......
 "Bedaya Manten"
Dibangsal Kepatihan terlihat serombongan gadis muda dan ayu sedang menarikan tari “Bedaya Manten” yang konon diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yang tidak lain adalah kakek sang Pengantin Wanita. Rupanya itulah tarian andalan untuk menyambut para tetamu dalam setiap resepsi pernikahan kraton yang sakral itu.
Ketika telah mendapatkan tempat duduk, saya baru menyadari bahwa jam yang ditunjukkan dalam undangan ternyata memang dibedakan, sesuai dengan pangkat, harkat, martabat dan kedudukan yang diundang. Semakin awal diundang, berarti semakin terhormat tamu tersebut, karena akan mendapatkan tempat duduk terdepan. Yang mendapat undangan dengan jam paling akhir (jam 20.00 atau jam delapan malam) seperti yang saya dapatkan, itu berarti termasuk tamu yang (maaf) tentu paling rendah kedudukannya. Tempat duduknyapun berada dibarisan paling belakang.
Saya langsung teringat jaman masih suka menonton Wayang Orang di ‘Ngesti Pandowo’ dulu, semakin mahal karcis yang dibeli, semakin depan tempat duduk yang didapatkan. Yang duduk paling belakang didalam gedung pertunjukan Wayang Orang, artinya karcisnya paling murah dan disebut menduduki kursi “kelas kambing”.
Malam ini tampaknya saya juga mendapat jatah duduk di ‘kelas kambing’, maklum, saya hanya rakyat jelata. Tapi saya tetap merasa mendapat perlakuan yang tidak kurang terhormatnya. Dan memang sama sekali tidak ada perbedaan perlakuan pelayanan kerpada para tamu, kecuali masalah ‘tempat kedudukan’ itu.


Bangsal Kepatihan Danurejan,  tempat ‘Pasewakan’ yang penuh pesona...

Mendengar gending yang dilantunkan oleh para niyaga secara ‘live’ (langsung) dimalam hari disebuah bangsal seperti Kepatihan Danurejan ini, membuat bulu kuduk merinding saknalika.
Lampu-lampu ditenda tamu undangan dibuat redup dan hanya lampu dibangsal yang berupa chandellier (lampu robyong) berusia ratusan tahun yang dinyalakan kencar-kencar (sangat terang). Yang disebut sebagai “bangsal” itu adalah sebuah Pendopo Joglo berukuran sangat besar, ditengahnya empat soko guru tinggi menjulang. Lantainya terbuat dari pualam putih bersih nan mengkilat.

Dan  disitulah nampak Sri Sultan Hamengku Buwono X beserta permaisurinya,  Gusti Kanjeng Ratu Hemas (baca: Emas), Gusti Kanjeng Ratu Bendara (Pengantin Wanita), Kanjeng Pangeran Harya Yudanegara (Pengantin Pria) dan kedua besan Sri Sultan duduk menghadap kearah para penari dan para niyaga. Para niyaga ini duduk bersimpuh dilantai, yang menghabiskan tempat hampir separuh dari luas bangsal itu sendiri.
Tenda para tamu undangan dibangun diluar pendopo, dan agak lebih rendah kedudukannya. Semua tamu (dari tiga arah: kanan, tengah dan kiri) menghadap kearah bangsal dimana Sri Sultan duduk. Para tetamu super VVIP terletak diarah kanan dari tempat duduk Sri Sultan HB X. Yang membedakan dari undangan yang lain adalah, khusus bagi para tamu super VVIP ini disediakan round table (meja bundar). Mereka duduk mengelilingi meja yang diatasnya sudah penuh dengan hidangan. Sedangkan bagi tetamu lain, hidangan disediakan secara prasmanan dalam gubug-gubug yang tak terhitung jumlah dan macamnya.
Iringan gending yang bertalu menghanyutkan membuat suasana temaram menambah sakralnya ‘Pasewakan Agung’ itu. Sesudah tari Bedaya itu selesai dipentaskan, ternyata masih ada satu lagi tarian yang dipersembahkan pada malam hari itu. Yaitu tari “Lawung” yang menggambarkan tarian seorang Ksatria yang akan berangkat menuju medan perang. Dua buah tarian itu menghabiskan waktu nyaris satu jam penuh. Oleh sebab itu ditengah tarian yang kedua ini, entah dapat komando dari mana dan siapa, para tamu undangan mulai ‘menyerbu’ hidangan yang sudah tertata rapi dimeja prasmanan  dan aneka makanan yang disajikan dipuluhan  ‘gubug’ yang tertata rapi. Tentu saja semua hidangan sangat lezat rasanya, mengingat yang mengundang adalah seorang Raja.

Antri untuk memberikan ucapan selamat, dan singgasana yang haram di’ungkuri’.....

Saya tidak tahu persis jumlah undangan yang hadir pada malam itu, tapi saya yakin jumlahnya pasti ribuan orang. Hal itu terlihat ketika tiba saatnya para hadirin dan tamu undangan dipersilakan memberikan ucapan selamat. Saking banyaknya tamu undangan, antrian yang terbentuk sampai menyerupai susunan beberapa huruf “S”. Semuanya tampak rapi berbaris. Tidak terlihat ada yang saling mendahului. Tertib dan khusyuk. Walaupun rata-rata seorang tamu undangan harus sabar menanti giliran sekitar setengah sampai tiga perempat jam lamanya. Kecuali tentu undangan VVIP yang tempat duduknya paling dekat dengan singgasana Raja dan dipersilakan untuk mendahului mengucapkan selamat.

Karena waktu menunggu dalam antrian lumayan lama, maka beberapa tamu undangan menggunakan kesempatan langka itu untuk berfoto ria dengan latar belakang Bangsal Kepatihan yang memesona. Saya dan isteri tentu saja termasuk dalam barisan “narsis” grup itu. Dengan bekal kamera saku digital murahan, saya bergantian dengan istri saling memotret dengan mengambil latar belakang yang saya anggap sangat bagus dan ‘dramatis’, yaitu barisan tamu undangan yang sedang bersalaman dengan Sri Sultan dan pasangan Pengantin Kerajaan. Tak terduga tiba-tiba saya dihampiri oleh seorang petugas berpakaian setelan jas gelap berambut cepak. Dengan suara rendah tapi jelas dan tegas dia melarang istri saya dan saya sendiri yang sedang berdiri membelakangi singgasana Sri Sultan HB X.

“Mohon maaf Bapak, Ibu, silakan mengambil gambar tapi nuwun sewu jangan ngungkuri  dampar kencana (berdiri membelakangi kursi emas, maksudnya tempat duduk atau singgasana Raja)”
Tentu dengan segera saya memohon maaf, karena memang tidak mengetahui aturan protokoler Karaton Ngayogyakarto Hadiningrat. Maklum rakyat jelata yang belum pernah masuk Istana Raja, apalagi ikut acara resminya. Kalau menurut kata Tukul Arwana: “Ndesooooo....!”

Akhirnya tiba juga giliran saya dan isteri berhadapan dengan Ngarso Dalem beserta Garwo Padmi (Permaisuri) dan sepasang Penganten beserta besan Sri Sultan HB X. Dengan tersenyum ramah Raja dan Ratu Yogya itu menerima uluran tangan kami berdua sembari mengucapkan terima kasih. Kemudian tiba giliran bersalaman dengan kedua mempelai dan besan Sri Sultan HB X yang memang sudah kami kenal baik sebelumnya. Momen yang tidak sampai dua menit itu serasa menghilangkan rasa lelah akibat berdiri dalam antrian panjang selama sekitar setengah jam lebih.
Jam menunjukkan pukul sepuluh malam lewat beberapa menit ketika kami berdua harus antri lagi menunggu bus atau kendaraan lain yang disediakan oleh panitia untuk kembali ke Alun-alun Utara tempat berkumpul semula.

Bagaimanapun juga, pengalaman malam hari itu, menjadi saksi mata langsung ‘Dhaup Ageng’ Karaton Ngayogyakarto Hadiningrat adalah pengalaman berharga yang tak terlupakan seumur hidup bagi saya dan isteri.