Selasa, 12 April 2011

"KEMBALI KE DEPDAGRI (LAGI)......"



(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
 Tulisan bersambung (101)
 
Bersalaman dengan Mendagri Yogi S.M.


Released by mastonie, Monday, June 14, 2010  at 05.34 pm
      

Nyaris “dibuang”. 

Belum habis duka yang ada dihati saya karena kepergian Pak Pardjo, yang membuat saya malas mengerjakan apa saja. Setiap hari saya hanya merenung, mencoba mengumpulkan segala kenangan yang terajut selama hampir 16 tahun menjalankan tugas mendampingi seorang pejabat yang sudah saya anggap sebagai orang tua saya sendiri. Seperti ada sembilu yang menyayat kalbu. 
Dan tak ada yang bisa menghibur kepedihan akibat rasa kehilangan itu.
Namun saya kemudian seperti tersadarkan. Hidup harus terus berjalan. Masih ada beban tanggung jawab yang harus saya selesaikan. Setidaknya mengantarkan anak-anak saya menyelesaikan pendidikan.
Saya menghadap Sekretaris Menko Kesra, dr. Sujono Jahja. Seorang dokter yang aslinya adalah pegawai Departemen Kesehatan. Boleh dikatakan saat-saat akhir karirnya ‘diselamatkan’ oleh almarhum Pak Pardjo, (karena karirnya di Depkes sudah “mentok”) sehingga ia tertolong masih bisa diangkat (lagi) dalam jabatan Eselon I/A menjadi Sekretaris Menko Kesra.
Tak terduga saya mendapat ‘kata sambutan’ yang cukup menyakitkan:
“Saudara (!) datang saja ke Biro Umum. Saya sudah menanda tangani surat pengembalian saudara ke Depdagri”.
Astagfirullah. Inikah pejabat yang pernah ditolong oleh Pak Pardjo? 
Yang ketika almarhum Pak Pardjo masih hidup, tampak baik sekali sikapnya kepada saya? 
Saya langsung ‘balik kanan’. Tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Bahkan mengucapkan terima kasihpun saya tak sudi lagi. Sudah lama saya tahu ada beberapa orang di Kantor Menko Kesra yang secara pribadi tidak senang kepada saya (dan juga Dik Syaiful). Karena maksud hati mereka untuk lebih ‘dekat’ dengan Pak Pardjo menjadi kandas oleh sebab kehadiran saya dan Dik Syaiful yang bukan asli ‘orang’ Kantor Menko Kesra.
Tapi saya tak menyangka ‘intrik’ dari orang-orang itu termakan juga oleh pejabat yang berpendidikan cukup tinggi dan merupakan orang ‘nomor dua’ di Kantor Menko Kesra!

Siang itu juga dari Pak Martono, Kepala Biro Umum Kantor Menko Kesra, saya mendapatkan surat pengembalian ke ‘induk semang’, Sekretariat Jenderal Depdagri. Saya menerima perlakuan itu dengan rasa penuh syukur, walaupun dengan hati yang terluka. Bersyukur karena saya dikembalikan lagi ke Instansi induk yang memang ‘habitat’ saya. Tadinya saya mendengar dari staf Biro Umum Menko Kesra bahwa saya akan ‘dibuang’ ketempat yang bisa mematikan karir saya. Dan itu bukan cerita isapan jempol belaka. Saya diberi ‘bocoran’ konsep SK yang akhirnya batal itu.
Saya juga mendengar bahwa sebelum ‘dibuang’, Dik Syaiful sudah lebih dulu mengajukan permohonan untuk kembali ke Depdagri, hanya beberapa hari setelah Pak Pardjo wafat.
Saya akui bahwa saya agak terlambat mengambil langkah, mengurus status kepegawaian saya yang memang hanya diperbantukan di Kantor Menko Kesra. 
Dengan naifnya saya berangan-angan bisa menghabiskan sisa masa kerja saya dikantor Menko Kesra, kantor yang bagaimanapun pernah memberikan kemudahan dan penugasan kepada saya untuk mengikuti Pak Pardjo berkeliling kebeberapa Negara. Juga yang telah mengirimkan saya untuk pergi berhaji ke tanah suci.
Tapi keinginan saya itu hanya sebatas angan-angan saja.
Hari ini saya mendapat surat, isinya: 

Kembali ke Depdagri. 


Mendagri pada Kabinet Pembangunan VI adalah Bapak R. Moch. Yogi S. Memet (terkenal dengan sebutan Yogi S.M.),  mantan Panglima Kodam Siliwangi dan mantan Gubernur Jawa Barat.
Saya mengenal dengan baik Mas Bambang Budiarto yang sekarang menjadi Sekpri Mendagri, sejak ia masih jadi Ajudan Gubernur Jabar dimasa Pak Aang Kunaefi. Tapi saya tidak ingin menggunakan kedekatan saya dengannya untuk kepentingan pribadi. Jadi saya langsung menghadap Kepala Biro Umum Depdagri yang sekarang dijabat oleh Bapak Amur Muchasim, untuk menyampaikan surat pengembalian saya dari Kantor Menko Kesra.
“Selamat datang kembali ke Depdagri Dik Tony. Tapi sekarang suasananya sudah lain lho. Sudah ndak kayak dulu lagi” itu kata-kata pertama beliau ketika ‘menyambut’ kedatangan saya. 
Aksen Jawanya medhok (kental) sekali. 
Saya agak heran dengan kata “ndak kayak dulu lagi” itu. Tapi saya tidak ingin bertanya.
“Enaknya saya tempatkan dimana ya? Soalnya Staf Pak Menteri sudah penuh terisi. Semua berasal dari PNS Pemda Jawa Barat” lanjutnya. 
O, jadi itu yang dimaksud dengan ‘ndak kayak dulu lagi’. Saya mengerti sekarang.
“Maaf pak. Saya juga tidak mohon untuk ditempatkan sebagai staf Mendagri. Apa kurang lama saya menjalankan pekerjaan jadi ‘pesuruh Menteri’?” Jawab saya. Mungkin jawaban saya agak kurang sopan. Tapi saya pikir lebih baik begitu daripada disangka yang tidak-tidak.
“Lho, lha jadi dik Tony maunya dimana? Sudah milih saja sendiri, kira-kira dik Tony ‘sreg’ nya dimana, nanti saya dikabari, mudah-mudahan saya bisa membantu”.
Perasaan saya jadi campur aduk. Ada sedikit rasa diberi kemudahan, tapi yang terbanyak malah perasaan disepelekan, diremehkan.
Pikiran saya hanyut kemasa lalu, ketika masih mengikuti almarhum Pak Pardjo.
Peristiwa seperti ini pasti tak akan terjadi  sewaktu Pak Pardjo masih ada. 
Dulu saya seperti berada didekat ‘magnet’. Semua berusaha mendekati, kalau perlu menempel.
Semua ingin mengambil hati. Ekstrimnya, tanpa diminta, apapun  akan diberikan.
Bahkan saya juga pernah mengalami naik pangkat hanya dalam waktu sehari (Setelah Pak Pardjo tahu, gara-gara kepindahan saya ke Jakarta mengikuti beliau, saya terlambat naik pangkat sampai hampir 4 tahun). 
Walaupun setelah saya diperbantukan ke Kantor Menko Kesra (karena mengikuti Pak Pardjo juga), kenaikan pangkat saya kembali tersendat.
Kini (belum ada dua bulan Pak Pardjo wafat) didepan Kepala Biro Umum Depdagri, Pejabat yang (sebetulnya) dengan mudah bisa mengambil keputusan atas nasib salah seorang pegawainya, saya dibiarkan memutuskan nasib saya sendiri. Saya maklum mungkin Pak Amur agak bimbang karena saya terlalu lama jadi Ajudan Menteri, sehingga (mungkin) mengira saya tidak bisa bekerja ditempat lain selain melayani Menteri! Tapi semua itu harus saya hadapi karena itulah sejatinya hidup. 
Saya pernah merelakan karir saya (sehingga kenaikan pangkat saya selalu terhambat) demi untuk menjunjung tinggi kepercayaan yang diberikan oleh Pak Pardjo. Saya rela melakukan itu, semua dengan ikhlas. Dan saya mendapat banyak manfaat dan segudang pengalaman dari kerelaan saya itu.
Sekarang saya juga harus menerima kenyataan ‘diremehkan’ dengan ikhlas. 
Apalagi saya sudah pergi ketanah suci dan menyandang predikat “haji”.
Saya serahkan sepenuhnya nasib saya kepada Sang Maha Pencipta, Allah Subhanahu Wa Ta’ala
Saya tetap percaya bahwa Gusti Allah ora sare. Allah yang Maha Mengetahui tidak pernah tidur.

Dikantor Depdagri saya bertemu beberapa teman lama, salah satunya adalah Pak Gatot, yang senantiasa masih menganggap saya sebagai teman baik. Mereka memberitahu saya bahwa Pak Roso, mantan Kepala Biro Umum Depdagri, sekarang menjabat sebagai Wakil Sekretaris Jenderal KORPRI Pusat yang berkantor di Jalan Kramat VI/4.
Setitik harapan terbersit dihati saya. Selama ini hubungan saya dengan Pak Roso baik sekali. Sangat baik malah. Saya juga tahu beliau orang yang tulus dan lurus. Dan tanpa pamrih. Pak Roso pula (sebagai Kepala Biro Umum) yang menanda tangani surat perbantuan saya ke Kantor Menko Kesra, lima tahun yang lalu. Saya putuskan untuk menemui beliau secepatnya.


Memulai tugas di Kantor Pusat “Abdi Negara”.


Kantor Sekretariat Jenderal KORPRI Pusat yang berada di Jalan Kramat VI/4 didaerah Matraman adalah bangunan yang terdiri dari 3 (tiga) lokal. Ketiganya ‘hanya’ berwujud rumah biasa, bukan bangunan kantor. Rumah pertama adalah kantor Sekjen dan Wakil Sekjen Korpri Pusat. Didalam rumah ini masih ada satu ruangan lagi yang diisi oleh dua orang Kepala Biro. Rumah kedua untuk Sekretariat dan beberapa Kepala Biro, sedang rumah ketiga ditempati oleh Yayasan Korpri dan Biro Kesejahteraan..
Saya menghadap Pak Roso di”rumah” pertama yang jadi kantor Sekjen.
Yang dinamakan ruangan kerja Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) itu berupa ruangan yang cukup besar karena merangkap dipergunakan juga sebagai ruang rapat. Tidak ada sekat antara meja kerja Wasekjen dengan meja dan kursi untuk rapat. Semuanya tampak sangat sederhana. Padahal yang duduk diruangan itu adalah seorang Pejabat dengan pangkat tertinggi yang bisa diraih seorang PNS.
Pak Roso adalah pegawai dengan pangkat IV/e (Pembina Utama). Boleh dibilang ‘Jenderal’nya Pegawai Negeri. Tapi beliau rela duduk dalam satu ruangan dengan tempat rapat dan tanpa disekat. Saya mendengar dari teman-teman dikantor itu, kalau ada rapat yang tidak perlu dihadiri Sekjen,  Pak Roso mengalah, keluar ruangan dan “mengungsi” kekamar lain.
Pagi hari itu saya menghadap ‘Priyayi Jawa’ yang sumeh (murah senyum) dan nyaris tak pernah marah itu, tanpa membuat janji lebih dahulu. 
Saya biasa berbicara dengan beliau memakai bahasa ‘gado-gado’ Jawa Indonesia, seperti kalau saya berbicara dengan Pak Pardjo.

“Apa kabar Dik Tonny? Wah, sudah berapa lama ya kita tidak bertemu?” sambut beliau seraya menjabat tangan saya. Suaranya ramah seperti biasa. Pak Roso tampak agak lebih ‘tambun’ (gemuk) sekarang. Setidaknya dibanding ketika menjabat Kepala Biro Umum Depdagri dulu.
“Baik Pak, panjenengan kadosipun kraos, (bapak kelihatannya betah), ngantor disini, Bapak ketingal langkung seger (tampak lebih segar) dan awet muda” jawab saya.
Pak Roso tersenyum lebar.
“Ya, semua kan harus kita syukuri, dik Tonny.. Pasrahkan saja semua kepada Allah SWT. Masih ngantor di Kesra?” beliau bertanya.
Sampun mboten (sudah tidak), Pak. Saya sudah dikembalikan ke Depdagri”
Pak Roso tampak terkejut. Saya perlihatkan salinan surat dari Sekretaris Menko Kesra kepada beliau.
“Jadi ngantor dimana sekarang?”
Taksih kabur kanginan (masih terbawa angin), Pak. Belum dapat tempat yang layak” jawab saya bercanda seperti biasa. Pak Roso tertawa lebar.
Saya ceritakan pertemuan saya dengan Pak Amur. Beliau menyimak dengan seksama penuturan saya.
“Kalau dik Tony kersa (mau), monggo, silakan saja kalau mau ngantor disini. Tapi, ya dikantor ini ya begini ini keadaannya. Serba seadanya. Harus sabar, tawakal, prihatin, tatag (tabah) dan nrimo (menerima apa adanya)”
Itulah jawaban yang memang saya harapkan.
Lebih baik bekerja ditempat yang ‘tidak ada apa-apanya’, daripada makan hati bekerja ditempat dimana saya hanya dipandang sebelah mata dan bisa jadi malah sama sekali tidak dihargai.
Banyak staf dikantor Korpri pusat yang juga berasal dari Depdagri. Beberapa diantaranya sudah saya kenal dengan baik pula. Jadi saya harus segera berketetapan hati menentukam pilihan.
Tanpa menunggu waktu saya terima tawaran Pak Roso. Siang itu juga saya langsung ‘terbang’ ke Depdagri menemui Pak Amur Muchasim lagi untuk memberitahukan pilihan saya. 
Ternyata Pak Amur masih menyerahkan proses selanjutnya ke Biro Kepegawaian Depdagri.
Kata Pak Amur Biro inilah yang (sesuai aturan kepegawaian) berwenang membuat SK perbantuan saya sebagai PNS Depdagri menjadi pegawai di Kantor Sekjen Korpri Pusat. 
Padahal Pak Roso dulu (juga sebagai Kepala Biro Umum) bisa membuat surat perbantuan saya ke Kantor Menko Kesra. Saya tak mau berdebat. Saya ikuti saja semua prosedur yang diinginkannya.
Akhirnya setelah menunggu kurang lebih seminggu, saya dapatkan juga SK penempatan saya di Kantor Sekretariat Jenderal Korpri Pusat.
Babak baru dalam sejarah pengabdian saya sebagai PNS akan segera saya lakoni. Sebagai ‘abdi negara’ saya segera akan menjalankan tugas baru dikantor pusatnya ‘abdi negara' Alhamdulillah.

Jadi Protokol lagi. 

Dengan cepat saya beradaptasi masuk dalam lingkungan kerja yang baru. Banyak yang harus saya sesuaikan dikantor baru ini. Kalau selama hampir 16 tahun saya hanya bertugas melayani pimpinan dan menerima perintah saja, kini saya harus memulai dari awal untuk bekerja sendiri. 
Berpikir, bertindak, berinisiatif tanpa harus menunggu perintah. Sebetulnya saya sanggup bekerja dimana saja, dibagian apa saja. Saya punya ‘segudang’ sertifikat kursus yang saya peroleh sewaktu masih menjadi pegawai Kwarda Pramuka Jawa Tengah. Akan tetapi mungkin saya memang punya ‘potongan’ jadi petugas pengatur acara, jadi akhirnya saya ditugaskan di Sub Bagian pengaturan rapat dan acara. Artinya saya kembali lagi ke bidang pekerjaan yang pernah saya geluti selama jadi pegawai Pemda Provinsi Jawa Tengah dulu. Jadi petugas Protokol lagi.
Bak ikan masuk ke kolam, saya segera merasa nyaman.
Saya juga harus menata hidup kembali, menghilangkan kenangan yang membuat sedih dihati. Life must go on.
Termasuk menata hidup disesuaikan dengan kondisi kantor sekarang, dimana saya hanya mendapatkan gaji resmi sebagai Pegawai Negeri tanpa tambahan pendapatan. apa-apa lagi. Tidak (belum) ada tunjangan apapun lagi.
Dunia memang berputar. Orang Jawa percaya kepada yang disebut sebagai “Cakra Manggilingan” (roda berputar). Dan saya beranggapan biasa-biasa saja kalau sekarang roda kehidupan saya sedang berada ‘dibawah’. Saya merasa selama ini hidup dengan gaya mengikuti riak air mengalir. Tak pernah ‘ngoyo’ (memaksakan diri). 
Sudah sejak bujangan saya terbiasa hidup prihatin. Saya selalu percaya bahwa berikhtiar atau berupaya itu hal yang wajib hukumnya. Akan tetapi besar kecilnya rejeki yang diterima oleh seseorang, tetap Allah SWT yang menentukan. Tidak lebih tidak kurang. Itu sudah menjadi Sunatullah yang tidak bisa diganggu gugat. Walaupun kita jungkir balik berusaha, kalau bukan rejeki yang menjadi hak kita, maka semua akan sia-sia. 
Itu menimbulkan perasaan tawakal dan ikhlas menerima apapun ketentuan Allah terhadap hambaNya. 
Orang Jawa jaman dulu membuat istilah yang “pas”: Nrimo ing pandum. 
Menerima apapun yang menjadi ‘jatah’ kita yang diberikan olehNya.


      Ikut aktif menyelenggarakan Penataran “KBG-B”.

Dijaman Orde Baru, Korpri adalah ‘tiang utama’ birokrasi yang dipakai oleh Pemerintah untuk memenangkan Pemilu setiap lima tahun sekali. Oleh karena itu dibentuk sebuah “jalur” yang dinamakan “KBG” (Keluarga Besar Golkar). 
Jalur ini terdiri dari jalur “A” (ABRI/TNI), jalur “B” (Birokrat) dan jalur “G“ (Golkar).
Secara intensif ketiga jalur ini terus diupayakan untuk bersatu padu membina kader masing-masing guna menghadapi Pemilu. Tapi hanya dua jalur yang berani secara terang-terangan menjalankan ‘aksi’nya. Yaitu Jalur “G” dan jalur “B”. Sedangkan Jalur “A” (ABRI) melakukannya secara “diam-diam”. Karena yang didengungkan keluar adalah ABRI (kini TNI) harus bertindak netral. Artinya tidak memihak. Tapi teori sangat lain dengan praktek. Kenyataannya (meski secara diam-diam) Jalur “A” toh tetap dapat instruksi dari ‘atas’ untuk membantu Golkar. 
Namun demikian kekuatan terbesar tetap saja dari jalur “B” (Birokrasi). Jalur yang mewadahi para PNS dan karyawan BUMN ini jelas berjumlah banyak sekali, apalagi kalau ditambah dengan anak, istri dan keluarganya. Itu sebabnya jalur “B” ini dibuat ajang perebutan pengaruh partai politik peserta pemilu. Karena mau tidak mau mereka harus mengakui potensi jalur ini sangat besar dalam mempengaruhi hasil Pemilu di Indonesia. Istilah kerennya barangkali jadi “Primadona”. 
Untuk menjaga agar jalur “B” tidak ‘lari’, maka Pengurus Korpri Pusat menjalankan pembinaan ‘terselubung’ dengan nama “Penataran KBG-B”. Memang setiap jalur punya cara dan kiat sendiri untuk melakukan “pembinaan” terhadap para anggotanya. Tapi yang pasti jalur “B” melakukannya dengan cara yang sistematis dan terencana, sejak jauh-jauh hari sebelum Pemilu dilaksanakan. Tidak perlu ditanya berasal dari mana dananya. Karena itu sudah menjadi “Rahasia Umum”. Setiap Pimpinan Instansi yang berada di jalur “B” pasti sudah menyiapkan anggaran khusus untuk itu. Bahkan para Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) biasanya menjadikan ajang pembinaan anggota Korpri sebagai pertaruhan kredibilitasnya (agar bisa terpilih kembali) sehingga harus memasukkan biaya pembinaan itu kedalam RAPBD. Para Menteri juga tidak mau ketinggalan mempertaruhkan jabatannya untuk membina para PNS (yang notabene juga) anggota Korpri yang ada di Departemen masing-masing.
Sejatinyalah Korpri adalah kekuatan maha besar yang selama ini telah berjasa memenangkan Golkar dalam setiap Pemilu. Walaupun setelah Pemilu usai, nasib para PNS ‘pejuang’ Korpri itu kembali lagi nyaris tidak terurus. Yang beruntung tentu saja adalah para elit pelaku politik praktis yang mendapatkan kursi empuk di DPRD ataupun DPR-RI, karena anggota Korpri ‘dipasung’ tidak boleh menjadi anggota Partai Politik. Kalaupun ada anggota Korpri yang mau masuk Partai Politik juga harus mendapat ijin langsung dari  atasan dengan berbagai persyaratan yang berat. Biasanya yang mendapatkan ijin adalah mereka yang akan masuk Golkar. Kalau mau masuk Parpol selain Golkar mereka dihadapkan pada pilihan terus jadi anggota Korpri atau jadi anggota Parpol tapi harus bersedia keluar dari pegawai pemerintah (PNS/Pegawai BUMN). 
Setahu saya hanya sedikit saja kader Parpol sejati yang mau menerima pilihan sulit itu. Yang hanya kelas ‘ceremende’ biasanya menyerah, daripada nasibnya tidak jelas nanti. Sebab apabila parpolnya tidak mendapatkan banyak suara, bisa-bisa namanya tidak tercantum dalam daftar anggota legislatif yang “jadi” dan itu berarti dia juga langsung “jadi”….Jadi pengangguran maksud saya. Tapi itulah faktanya.
Pengurus Korpri Pusat menjadi fasilitator untuk menyelenggarakan Penataran KBG-B. Semua materi untuk penataran digodok dikantor Setjen Korpri Pusat, kemudian dicarikan Narasumbernya. Narasumber ini diambil dari berbagai macam Instansi yang memiliki pakar-pakar yang dianggap mampu bertindak sebagai Penatar.
Disinilah pengalaman saya sebagai petugas Protokol di Jawa Tengah dulu diuji. Diantaranya bagaimana mengatur jadwal Penataran sedemikian rupa disesuaikan dengan tersedianya tenaga Penatar dengan materi penataran dan juga alokasi waktu yang disediakan oleh Istansi yang sudah siap melaksanakan Penataran KBG-B. Lokasi gedung tempat  diselenggarakannya Penataran juga harus diatur sebaik mungkin disesuaikan dengan jumlah peserta Penataran.  
Beberapa gedung bisa dipinjam dengan cuma-cuma. Tapi ada juga yang harus disewa.
Selama tahun 1993 sampai dengan 1994 dipergunakan untuk mempersiapkan semua materi yang akan disajikan untuk Penataran KBG-B, termasuk bahan mentah dari para Narasumber yang berkompeten. Materi yang sudah dianggap matang segera digandakan. Begitu seterusnya. Itulah kesibukan yang ada dikantor Sekretariat Jenderal Korpri Pusat. Yang ternyata sangat menyita waktu dan membutuhkan tenaga ekstra. Menurut jadwal, pelaksananan Penataran KBG-B untuk anggota Korpri diseluruh Indonesia harus sudah selesai pada medio atau paling lambat akhir tahun 1996. Sedangkan Pemilu berlangsung pada tahun 1997.
Sebagai Kepala Sub Bagian Penyelenggaraan Rapat dan Acara, yang tidak lain sebetulnya adalah pekerjaan Protokoler juga, saya menjadi sangat sibuk. Beberapa Daerah (baik tingkat I ataupun Tingkat II) ternyata juga minta tenaga Penatar dan Narasumber dari Jakarta. Dengan demikian saya juga harus mendampingi para Penatar pergi kedaerah yang mengundang. Lengkap dengan tenaga administrasi yang berhubungan dengan penyiapan bahan atau materi.
Tak terelakkan, dikantor “pusat abdi Negara”  ini ternyata saya juga masih bisa menikmati ‘jalan-jalan’  gratis kebeberapa daerah lagi.  
Bagaimanapun, semuanya tetap saya syukuri.  
Alhamdulillah.

bersambung.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar