Jumat, 08 April 2011

"KELUYURAN DI KOTA MODE: PARIS..."




(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (81)

 Paris...I'm coming.....

Released by mastonie, Thursday, September 2, 2010 at 10.57 am


(Setelah usai melakukan ‘general check up’ di “Walter Reed Army Hospital”, -RSPAD nya Amerika-, Washington DC, Amerika Serikat, Menko Kesra Soepardjo Roestam bersama rombongan mengunjungi kota Paris, ibukota Perancis yang konon menjadi pusat mode dan parfum dunia).


Mendarat dikota mode dunia.....

 Hari Selasa, 2 Maret 1992 pagi, akhirnya pesawat Boeing 747-300 KLM mendarat dengan selamat di Bandara Internasional “Charles de Gaulle” (CDG, atau dalam bahasa Prancis disebut sebagai Aéroport Paris-Charles de Gaulle).
Bandara yang terletak sekitar 25 kilometer disebelah timur laut kota Paris ini adalah Bandara tersibuk kedua di Eropa setelah Bandara Heathrow, London. Diresmikan pada tanggal 8 Maret 1974, Bandara CDG memiliki 4 landas pacu dengan 6 terminal Kargo dan penumpang.
Ini kesempatan yang  pertama kali  saya menginjakkan kaki di Ibukota Perancis. 
Paris adalah sebuah kota yang gemerlapan penuh cahaya dimalam hari. Itu sebabnya ‘Wong Paris’ menyebut kotanya dengan nama “La Ville Lumiere” (The City of Light, Kota Cahaya). Cahaya yang dimaksud bisa berarti sinar yang sesungguhnya maupun arti kiasan dari ‘pencerahan’, karena kota ini juga merupakan pusat pendidikan dari bermacam ilmu pengetahuan.
Menurut data Dinas Pariwisata Perancis, setiap tahunnya rata-rata lebih dari 40 juta wisatawan (domestik dan mancanegara) ‘menyerbu’ kota Paris.

Selama berada di Paris, Menko Kesra beserta Ibu Soepardjo tinggal di Kediaman resmi Bapak Doddy A. Tisna Amidjaja, Duta Besar RI untuk Perancis. Sebagai Ajudan (merangkap Sekretaris Pribadi), saya bersama dr. Abdul Muthalib (dokter pribadi), menurut ‘protap’ yang berlaku, juga harus ikut bermalam dirumah Pak Dubes. Secara kebetulan dr. Muthalib adalah seorang haematolog (ahli penyakit darah) yang pernah memperdalam ilmunya selama beberapa tahun di Paris. Jadi dia hafal betul seluk beluk kota mode dunia itu. Dan tentu saja juga menguasai bahasa Perancis dengan cukup fasih.
Oleh karena -diluar acara resmi- kami selalu pergi kemana-mana berdua, dr. Muthalib seolah jadi semacam ‘mentor’ buat saya. Ia bertindak sebagai pendamping sekaligus jadi ‘interpreter’ pribadi!

Saya dan Polisi kota Paris                                dok:mastonie
Ini sangat bermanfaat karena bangsa Perancis sangat membanggakan bahasa nasionalnya. Agak susah berkomunikasi dengan ‘Wong Paris’ memakai bahasa lain selain bahasa Perancis. Bicara selain bahasa Perancis? No way! 
Bahkan Polisi Paris yang bertugas dijalanpun ogah (atau tidak bisa?) berbahasa Inggris. Apalagi diajak ngomong bahasa Jawa atau Sunda! Tak usah ya!

Cuaca kota Paris di awal bulan Maret itu cukup bersahabat. Terutama bagi mereka yang berasal dari negeri tropis seperti Indonesia. Menurut prakiraan cuaca, suhu kota Paris dalam seminggu ini (dibulan Maret) akan berkisar antara 5 - 11 derajat Celcius. Itu hampir sama dengan suhu udara di Puncak pada malam hari. Jadi saya masih berani keluyuran keliling kota Paris dengan hanya memakai Jas, tanpa ‘overcoat’.
Transportasi umum dikota Paris dikelola Pemerintah Kota secara professional dan sangat teratur. Dengan membeli satu tiket terusan saja, saya bisa keliling kota naik bis kota, trem dan atau ‘subway’ (metro -kereta bawah tanah-), tanpa harus membeli tiket lagi berkali-kali.

Saya pergunakan dengan baik kesempatan diluar acara resmi, dengan mengunjungi “point of interests” yang wajib dikunjungi dikota Paris, seperti Menara Eiffel, Istana Versailles dan Museum Louvre. Mumpung punya penerjemah dan tour leader gratis!
Eiffel dan Istana Versailles tuntas dalam satu hari kunjungan. Meskipun sebetulnya masih kurang lengkap karena Istana yang dibanggakan bangsa Perancis dan dibangun dijaman Dinasti Raja Louis itu sangat luar biasa luasnya. Tapi apa daya, kaki yang hanya sepasang ini sudah terasa sangat pegal.

Eiffel, menara yang diidam-idamkan orang didunia. 
 
Sudah sejak kelas 2 Sekolah Rakyat (SR, sekarang SD) saya mengenal nama Menara Eiffel, (bhs Perancis: La Tour Eiffel) dari cerita seorang Guru saya. Konon beliau sangat menginginkan bisa pergi ke Paris untuk naik ke menara yang (pada tahun 60-an) katanya paling ‘jangkung’ didunia itu.
Tapi sebagai anak orang tak berpunya, saya harus tahu diri. Saya justru tak pernah berani bermimpi untuk bisa melihatnya.

Tapi Subhanallah,  tak disangka, tak diduga, sekarang diawal bulan Maret tahun 1992, saya berdiri terkagum kagum melihat Menara Eiffel dengan mata kepala saya sendiri.
Siapa yang tak mengenal menara paling tersohor dimuka bumi ini. Dirancang oleh Gustave Eiffel, yang namanya kemudian diabadikan untuk menamai menara setinggi hampir 325 meter (sama tingginya dengan bangunan 80 tingkat), pada awal pembangunannya sebenarnya banyak ditentang oleh warga Paris karena khawatir akan ‘merusak’ pemandangan kota. Kini nama Menara Eiffel justru sudah identik dengan Kota Paris, bahkan Perancis. Ia menjadi ‘landmark’ (penanda) kota pusat mode dan parfum dunia itu.
Orang Perancis sendiri menamakan Menara Eiffel sebagai “La dame de fer” (si Wanita Besi).
Dalam cuaca dingin sejuk saya terkagum-kagum melihat menara yang tampak hanya seperti ‘kerangka’ baja itu. Padahal keseluruhan material yang dipakai oleh sekitar 300 orang pekerja untuk membangun menara itu (termasuk bahan lain), konon beratnya lebih dari 10 ribu ton!

Eiffel...saya mejeng didepannya
Diresmikan pada tanggal 31 Maret 1889, Menara Eiffel baru dibuka untuk umum pada tanggal 6 Mei ditahun yang sama. Sampai saat saya mengunjunginya ditahun 1992, pengunjung diperkenankan untuk naik ke menara (tentu setelah membeli karcis masuk) yang dibagi menjadi tiga tingkat. Dua tingkat terbawah bisa dinaiki lewat tangga yang masing-masing mempunyai 300 anak tangga. Tingkat ketiga (paling atas) hanya bisa dicapai dengan naik lift. Ditingkat satu dan dua pengunjung -yang kantongnya ‘gendut’- bisa bersantai melihat pemandangan kota Paris dan sungai Seine sambil ‘nongkrong’ di kafe dan restoran eksklusif yang dibuka disitu. Ada satu buah restoran di tingkat satu, bernama “Altitude 95”, karena letaknya memang diketinggian 95 meter dari permukaan. Dan satu lagi bernama “Jules Verne” ditingkat dua. Tapi saya meliriknyapun tidak berani. Restoran yang dari namanya saja sudah bikin saya merinding ‘disko’ membayangkan harga makanannya yang pasti tak akan terjangkau kantong. 
Saya terus terang tidak berani naik sampai tingkat ketiga yang nyaris berada dipuncak menara. Bukan karena tingginya benar yang menakutkan, tapi angin (diatas kota Paris) yang dingin dan kencang menerpa itu bisa menggoyang puncak menara Eiffel sampai sejauh 6 - 7 cm! Itu yang merontokkan adrenalin saya.
Apalagi konon puncak Menara Eiffel juga pernah tersambar petir pada tahun 1902.

Terus terang, terang terus, saya sungguh kagum dengan ‘tongkrongan’ Menara yang dirancang Pak Eiffel ini. Mungkin bukan saya saja yang terkagum-kagum, buktinya menurut data Dinas Pariwisata Paris, sampai tahun 1990-an pengunjung yang datang sudah hampir mendekati 175 juta orang. Nyaris sebanyak penduduk Indonesia (pada tahun yang sama)!
Waktu Pak Guru saya dulu bercerita tentang Menara Eiffel, saya sudah melongo sambil sibuk membayangkan bentuknya. Setelah itu saya baru bisa melihat gambarnya saja. Kemudian bentuk Menara Eiffel yang agak nyata bisa saya lihat lewat bermacam film Barat yang banyak sekali dibuat dengan latar belakang kota Paris, termasuk menara yang menjadi kebanggaannya.

Kini Menara Eiffel itu benar-benar berdiri anggun dan kokoh dihadapan saya. 
Dan sayapun tak terelakkan, melongo lebih lebar lagi.



bersambung.....

3 komentar:

  1. subhanallah . suatu saat nanti saya akan kesana :D

    BalasHapus
  2. alhamdulillah, mbak rys.tralala mau berkunjung ke blog saya. Trm ksh atas waktunya. Insya Allah akan terlaksana keinnginan anda. jangan pernah berhenti berdoa kepada Allah Swt. Salam kenal dan jangan lupa baca kisah2 lainnya.

    BalasHapus
  3. Insya Allah 2017 ✈️
    Hehe semoga dan amiinnn ��

    BalasHapus