Senin, 18 April 2011

"KISAH 'PASAR SENG' YANG LEGENDARIS ITU....."


(cuplikan dari: "kisah2 spiritual" mastonie)
( 7 )


Salah satu kios di "Pasar Seng" ( 2007)


Released by mastonie on Wednesday, May 5, 2010 at 10:15pm



 (Nama "Pasar Seng" barangkali hanya dikenal luas oleh Jemaah Haji atau Umroh yang berasal dari Indonesia saja. Pasar yang menjual nyaris segala macam barang kebutuhan ini dulu terletak persis bersebelahan dengan Masjidil Haram. Letaknya yang sangat strategis itulah yang membuat pasar ini selalu diserbu jemaah. Tentu karena harganya yang lebih 'miring' dibanding harga ditempat lain)


Pada saat  pertama kali mendapat kesempatan pergi ketanah suci dalam rangka Umroh Ramadhan  tahun 1992, saya sudah mendengar beberapa point of interest (tempat menarik) yang ‘wajib’ dikunjungi selama berada di Tanah suci. Tentu saja  selain kunjungan yang bersifat ibadah. 
Beberapa nama tempat yang disebutkan antara lain adalah Balad dan Makam “Siti Hawa” (di Jeddah), Pasar Seng (Mekah) dan Kebun serta Pasar Kurma (Madinah). 
Yang sangat menarik perhatian saya tentu saja adalah ‘Pasar Seng’. Dalam bayangan saya, Pasar Seng adalah pasar yang menjual material bahan bangunan (karena ada kata ‘seng’nya). 
Sayang pada kunjungan saya yang pertama ke tanah suci ini saya tidak sempat pergi mengunjungi Pasar Seng. Maklum waktu itu saya ikut dalam Rombongan Umroh Ramadhan Pejabat Tinggi Negara, jadi tidak bisa seenaknya sendiri membuat acara.
Namun pada bulan Haji tahun yang sama (1992 M), saya kembali mengunjungi tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Kali ini saya sungguh merasa puas karena bisa tinggal di tanah suci selama hampir 40 hari. 
Saya masuk dalam kloter (kelompok terbang) 106 HPK yang berangkat pada awal musim haji.
Walaupun anggota kloter yang lain langsung menuju Madinah,  namun saya dan seluruh anggota TPOH yang ditugaskan khusus oleh Menteri Agama untuk memantau penyelenggaraan haji, harus mulai bekerja dari kota Mekah dan tinggal di kota haram (suci) ini sampai selesai wukuf. Pemondokan saya berada di daerah Aziziah. Cukup jauh dari Masjidil Haram. Karena tinggal cukup lama di kota Mekah, maka saya punya banyak kesempatan untuk ‘pusing-pusing’ keliling kota. Tentu saja setelah selesai melakukan ibadah wajib. dan melaksanakan tugas-tugas TPOH. 
Sasaran utama saya (karena sudah lama saya impikan) adalah mengunjungi lokasi ‘Yang Terhormat Pasar Seng’ yang legendaris itu. Pada tahun 1992, kondisi Pasar Seng tampak masih ‘amburadul’. Banyak toko dan kios yang masih dalam kondisi gawat darurat. Kebiasaan ditanah suci, kalau adzan berkumandang, maka tidak peduli siapapun harus segera mendirikan salat. Yang berada disekitar Masjidil Haram tentu harus segera pergi ke masjid. Oleh sebab itu kalau para pemilik kios atau toko akan pergi ke masjid untuk mendirikan salat, mereka harus menutup kiosnya lebih dahulu. Beberapa diantaranya menutup kios begitu saja  dengan memakai seng. Nah, barangkali inilah yang menyebabkan Pasar ini lalu dijuluki sebagai "Pasar Seng". Wallahualam.
Walau tampaknya julukan Pasar Seng ini hanya populer dikalangan jemaah haji Indonesia saja.
Sudah sejak dari jaman dahulu kala jumlah jemaah haji Indonesia selalu sangat banyak. Saking dominan nya para jemaah haji dari Indonesia ini, maka banyak pedagang dan penjaga toko dan kios di Pasar Seng yang faham sedikit-sedikit bahasa Indonesia. Kata-kata “Andunisia toyib” (orang Indonesia baik-baik) dan “Soekarno” sering dilontarkan para pedagang kalau tahu orang yang belanja berasal dari Indonesia. 
Saya juga heran kenapa yang sering diucapkan malah kata “Soekarno”, padahal waktu itu Presiden RI sudah dijabat oleh HM Soeharto. Tampaknya Presiden pertama RI yang jago pidato itu sangat populer di Arab Saudi karena konon pada waktu Bung Karno naik haji, beliau membawa hadiah tanaman dari Indonesia untuk Raja Arab Saudi guna ditanam di tanah suci. (Sampai saat ini pohon-pohon hadiah Bung Karno yang sekarang sudah tumbuh besar dan rimbun itu masih ada dan dinamakan ‘Pohon Soekarno’).
Adapun posisi Pasar Seng ini memang sungguh sangat strategis. Sangat ‘mepet’ (dekat sekali) dengan Masjidil Haram (seingat saya pada tahun 1992, Pasar Seng malah menyatu dengan pelataran Masijidil Haram). Waktu pertama kali diajak teman untuk pergi ke Pasar Seng sesudah salat Isya berjamaah, saya sungguh kaget, karena baru saja melangkah keluar dari pintu Masjidil Haram sudah langsung ‘terperangkap’ dalam hiruk pikuk suara pedagang yang berteriak-teriak menawarkan barang dagangannya. 
Yang sangat unik adalah bahwa kegiatan jual beli di Pasar Seng akan  "kukut saknalika" (berhenti seketika) kalau terdengar adzan tanda waktu salat fardhu berkumandang. Semua pedagang tanpa kecuali langsung buru-buru menutup toko, lapak atau kiosnya dengan penutup seadanya (waktu itu banyak juga yang menutup lapaknya -nah ini dia- dengan seng). 
Begitu salat wajib selesai dilaksanakan, sontak ‘nyawa’ Pasar Seng hidup lagi. Konon ada Askar khusus yang mengawasi para pedagang ini untuk memantau kedisiplinan buka tutup toko pada waktu salat wajib ini. Sungguh sangat mengesankan. Rata-rata para pedagang (juga penduduk sekitar) di Pasar Seng sangat disiplin melaksanakan salat fardhu tepat waktu.
Pedagang Arab sok akrab.....                foto-2: mastonie
“Haji, komsah (lima) real, komsah real, haji, halal, halal” begitu yang sering saya dengar diteriakkan para pedagang Pasar Seng kepada siapapun yang lewat didepan toko/kiosnya. Tapi jangan keliru, di Pasar Seng ini anda wajib pandai menawar. Semua barang ternyata masih bisa di’nego’ harganya kalau anda pintar menawar. Jangan takut. Disini berlaku semua bahasa, termasuk ‘bahasa Tarzan’. Kalau pedagang berlagak pintar bahasa Indonesia, anda jangan kalah, harus juga berlagak pintar bahasa Arab. Meski cuma tahu angka saja! Kalau ‘mentok’, pakai bahasa isyarat juga boleh kok. Saya sendiri selalu nekat memakai bahasa Inggris (walau belepotan) untuk menawar, karena tahu tidak semua pedagang di Pasar Seng mahir bahasa ini. Jadi saya sudah ‘menang’ posisi duluan (cia elah). 
Alhamdulillah saya selalu berhasil mendapatkan barang dengan harga yang jauh lebih ‘miring’ dari harga yang didapat oleh teman-teman anggota TPOH yang lain. Maka sejak mereka tahu saya ahli menawar, teman-teman lalu sepakat menjuluki saya dengan sebutan “Boss Shopping”
Kalau mau belanja di Pasar Seng ataupun di tempat lain, mereka dengan rela akan menempatkan saya di garis depan untuk berperang, eh maksud saya untuk ‘perang mulut’ dengan para pedagang agar dapat harga miring. Pernah pada suatu hari saya berhasil membeli kamera foto asli ‘made in Japan’ (tahun 1992 belum ada kamera digital) di sebuah toko di Pasar Seng dengan harga yang sangat miring (jika dibandingkan dengan harga di Glodok Jakarta sekalipun). Kontan teman-teman se Kloter langsung minta kepada saya untuk mengantar mereka membeli barang serupa ditoko yang sama untuk mendapat harga yang sama murahnya. Alhasil, keesokan harinya kita semua nampang dengan kamera baru yang seragam! Ini lalu jadi kebiasaan. Kalau sang ‘Bos’ beli koper, semua ikut beli koper, sampai ke merek harus sama. 
Teman-teman sempat saya goda, pulang ke Indonesia nanti kita bisa dikira dari Panti Asuhan, karena barang yang dibawa mereknya semua sama! Hehehe.. mereka cuma ‘cengengesan’ saja.
Jadi itulah sedikit tentang ‘khas’nya Pasar Seng. Sekali anda masuk kesana, pasti sulit melupakan kenangannya. Dari hiruk pikuknya, sampai ke baunya! Jangan salah, Pasar Seng selalu menebarkan aroma khas ‘dupa Arab’, yang wanginya bisa ber simaharajalela kemana-mana, tapi sayang saya tidak tahu namanya. Hampir semua pedagang Pasar Seng kebanyakan melakukan kebiasaan ini. Entah untuk menarik pelanggan atau sekedar hanya untuk pewangi ruangan atau aroma terapi. Saya tidak tahu persis. 
Apalagi kalau anda masuk ke toko yang menjual parfum asli Arab seperti Hajar Aswad, Seribu Bunga atau Malaikat Subuh. Setahu saya merk ini adalah parfum yang banyak diburu jemaah haji Indonesia selain Misik. Parfum merek terkenal didunia juga banyak dijajakan di Pasar Seng, tapi saya selalu ragu akan keasliannya. Jadi biar aman kalau beli parfum merek terkenal ya sebaiknya di toko besar seperti Bin Dawood, misalnya.

Bulan Desember 2007 saya berkesempatan menunaikan ibadah haji yang kedua. Saat berada dikota Mekah, kebetulan saja saya mendapat tempat bermalam di hotel bintang empat bernama "Grand Saraya". 
Hotel ini terletak didekat ‘Masjid Kucing’ sekitar 100 – 150 meter dari Masjidil Haram. Tadinya saya heran, mengapa didekat Masjidil Haram masih ada mesjid lagi. Ternyata mesjid kecil ini digunakan oleh para pedagang untuk menunaikan salat wajib berjamaah. Memang jarak ke Masjidil Haram tidak terlalu jauh. Tapi bagi para pedagang yang kiosnya harus ditutup sementara untuk ditinggal menunaikan ibadah salat, kemudian nanti dibuka lagi sesudah selesai salat, berjalan ke ‘Haram’ (istilah untuk menyebut Masjidil Haram) pulang pergi tentu memakan waktu cukup lama.  Jadi agar praktis, mereka menunaikan salat wajib nya di Mesjid Kucing. Toh diluar musim haji mereka tentu sudah ‘kenyang’ ikut salat berjamaah di Masjidil Haram, yang konon pahalanya 10 ribu kali lipat dari salat di masjid manapun.
Hotel Grand Saraya -yang tepat berhadapan dengan mesjid kucing- berada diujung jalan Pasar Seng menuju Masjidil Haram. Subhanallah. Dari dalam kamar hotel (saya ada dilantai 3), saya bisa melihat -melalui jendela kamar- kegiatan Pasar Seng sehari-hari.

 Pasar Seng dilihat dari Hotel Grand Saraya (2007)   

Saya betul-betul ‘pangling’. Sekarang Pasar Seng telah berubah. Tidak seperti yang saya lihat lebih dari lima belas tahun silam. Kini (tahun 2007) Pasar Seng bukan lah kios kios kecil darurat yang -kadang- ditutup seng lagi. Pasar Seng telah berubah jadi deretan pertokoan yang semuanya dibangun permanen seperti yang kita lihat dipertokoan Glodok Plasa atau Blok M Mall di Jakarta. 
Hanya suasananya (istilah kerennya ‘atmosfer’nya) yang tidak berubah. Kini bahkan lebih ‘krodid’ (semrawut) lagi. Karena jalan yang melewati Pasar Seng adalah jalan yang menuju ke Ma’la dan Shi’b Amir, daerah dimana banyak pemondokan jemaaah haji. Termasuk hotel-hotel (berbintang maupun tidak) yang bertebaran disekitar Pasar Seng. Jika waktu menjelang saat salat wajib tiba, maka berduyun-duyun jemaah haji dari berbagai negara berjalan menuju ke Masjidil Haram melewati jalan yang membelah Pasar Seng, bercampur aduk dengan orang-orang yang sedang asyik belanja sampai lupa waktu. 
Demikian pula sebaliknya. Jika waktu salat wajib usai, maka jemaah yang bubaran keluar dari Masjidil Haram dengan  riuh rendah berduyun-duyun melewati lagi jalan ditengah-tengah Pasar Seng itu. Baik jemaah yang akan kembali ke pemondokan maupun jemaah yang siap menyerbu toko dan kios  dengan bekal uang real dikantongnya.
Meskipun saat waktu salat wajib tiba seluruh kegiatan pasar terhenti, namun tetap saja keramaian khas Pasar Seng masih terasa. Alunan suara pembacaan ayat suci dari alat perekam  kaset ditoko buku ditingkah percakapan -dalam bahasa Arab- yang saling berceloteh keras-keras (saya heran orang Arab kalau bicara biasa saja selalu berteriak seperti orang sedang berantem). Demikian pula semerbak harum mewanginya dupa Arab yang baunya sangat khas itu.
Pada saat makan siang di restoran hotel, saya mendengar cerita dari Pak Afief  (pemilik Anubi Travel) bahwa mungkin sebentar lagi Pasar Seng akan ‘musnah bin raib’, hilang ditelan rencana Pemerintah Kerajaaan Arab Saudi, yang akan memperluas area pelataran Masjidil Haram sampai radius 300 meter!.  
Masya Allah. Saya terhenyak. Bahkan katanya tidak hanya Pasar Seng. Hotel yang saat itu kita diami, juga akan diratakan dengan tanah guna perluasan Masjidil Haram. Jadi,  sekarang silakan berpuas diri belanja di Pasar Seng. Siapa tahu ini adalah saat saat terakhir melihat Pasar Seng dengan mata kepala sendiri. 
Entah mengapa saya jadi sedih. Bukan karena saya melankolis. Ingatan yang terpateri sangat dalam tentang segala macam barang souvenir yang hampir semuanya ada dan asyiknya seni tawar menawar di Pasar  Seng  sangat sulit saya hilangkan. Rasanya memang beda dengan suasana berbelanja di pasar yang lain. Sangat khas. Saya masih tidak percaya. Masa iya sih, pasar yang legendaris (setidaknya buat jemaah haji Indonesia) itu akan kena ‘gusur’?  
Ah, kayak nasib pasar tradisional di Jakarta saja nasib Pasar Seng ini. Ya tapi siapa sih yang bisa melawan kehendak Pemerintah Kerajaan yang sangat berkuasa?

Bulan Mei 2008 saya bertemu dengan seorang teman yang baru pulang menunaikan ibadah Umroh. 
Iseng saya tanyakan kepadanya apakah ‘oleh-oleh’ yang dibawanya dari Mekah dibeli di Pasar Seng. Singkat saja dia menjawab: ”Pasar Seng? Apaan tuh?” 
Walaupun saya sudah tahu  seperti apa nasib Pasar Seng nantinya setelah ada perluasan Masjidil Haram, jawaban teman saya itu tetap saja membuat saya ‘ngendelong’, merasa sedih karena ada sesuatu yang hilang dari khasanah ingatan saya. Ingatan tentang sebuah pasar yang seakan punya magnet yang dengan kuat menarik seseorang untuk datang dan berbelanja dalam suasana yang -seperti kata iklan mobil- MEMANG TAK ADA DUANYA. 
Tentu saja teman saya, yang baru pertama kali pergi ke tanah suci, tidak dapat bercerita tentang Pasar Seng. Lha wong pada waktu dia sampai di Mekah dan melakukan ibadah di Masjidil Haram, dia tidak melihat ada satupun kios atau toko yang berada diarah pintu Marwah, pintu keluar Masjidil Haram yang menuju Pasar Seng (dahulu). Yang dia lihat hanya hamparan tanah yang sedang diratakan oleh alat-alat berat. 
Bahkan -katanya- deretan Barber shop (kios tukang cukur) yang -dahulu- biasa diserbu jemaah haji untuk tahalul sampai gundul, kini tinggal kenangan belaka. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un.
Betapapun saya tetap bersyukur. Saya sudah pernah menyaksikan dengan mata kepala saya sendiri -bahkan lebih dari satu kali- sebuah legenda yang mungkin nanti akan tinggal jadi cerita untuk anak cucu saya: PASAR SENG.
Kalau masih ABEGE, barangkali saya akan meratap:
“Oh Pasar Seng, I really missed you, swear deeeh”

Walah sok mellow!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar