Rabu, 06 April 2011

"MAKAN BEBEK 'PEKING' DI RESTO 'CAHAYA KOTA' WASHINGTON"



(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (70)

Released by mastonie, Monday, August 16, 2010 at 09.40 am 

Makan bebek Peking di restoran "Cahaya Kota" Washington DC..
Pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh (general check-up) untuk Pak Pardjo yang dilakukan oleh para dokter ahli di  Walter Reed Army Hospital berlangsung selama beberapa hari. Hanya beberapa kali saja saya ikut mendampingi ke rumah sakit, diluar itu saya lebih banyak ‘bermain’ di Kantor KBRI di Washington, DC yang letaknya tepat berseberangan dengan Hotel “The Embassy Row”, di Massachusetts Avenue, NW no. 2015, Washington, DC 20036

Saya dan dr. Djarwo
Mejeng didepan KBRI Washington, DC 


Terkadang untuk menghabiskan waktu, saya jalan-jalan  mencari buku-buku bekas yang dijual dengan harga miring dilapak-lapak kaki lima disekitar K-Street. Saya juga sering mencetak foto distudio foto yang ada dibelakang kantor KBRI. Walaupun kalau dikurs dengan rupiah, harganya jauh lebih mahal dibanding jika mencetak di jalan Sabang Jakarta.
Saya dan dr. Jarwo menghindari makan di restoran hotel, kecuali untuk sarapan pagi yang memang dapat free (gratis), karena tahu yang membayar biaya hotel adalah Pak Pardjo sendiri. Oleh karena itu saya mencari tempat makan ‘murah meriah’ disekitar K-Street dan Massachusetts Avenue.
Saya mendapat bisikan dari teman-teman staf lokal KBRI, bahwa ada sebuah restoran Cina yang enak tapi murah, hanya beberapa blok dari kantor KBRI. Terletak di Connecticut Avenue, NW no. 1731, Washington, DC, restoran yang berada di basement sebuah toko itu bernama “City Light of China”. Saya langsung teringat restoran Cina “Cahaya Kota” di dekat rel kereta api sekitar  patung Pak Tani Jakarta, karena namanya yang hampir sama. 

Restoran Cina-Amerika yang tak terlalu besar ini sangat laris. Walaupun tempatnya terselip dan tidak terlalu luas, tapi kalau tiba waktu jam makan siang atau malam, pengunjung harus rela antri untuk mendapat tempat duduk. Menurut saya harganya masih masuk akal dan sesuai kantong. Menu makanannya lengkap dan rasanya jelas lebih tinggi daripada harganya. Terutama menu Bebek Peking (Peking Duck) nya. Ueeennaaak sekalii… 
Direstoran inilah saya dapat melihat bagaimana individualistis nya masyarakat Amerika. Para pegawai kantor biasanya datang beramai-ramai untuk makan siang. Tapi pada saat harus membayar, dengan cuek mereka membayar sendiri-sendiri, atau patungan tanpa merasa risih atau malu-malu. Padahal saat itu malah saya yang seringkali jadi ‘bandar’ kalau mengajak rekan-rekan staf KBRI yang dengan setia menjadi penunjuk jalan kemana saja. Tentu bukan dari kantong saya pribadi, tapi dari sebagian uang representasi Pak Pardjo yang selalu disisihkan sebagian untuk saya bawa, guna membayar hal-hal ‘tak terduga’. Termasuk nraktir makan itu.

Kalau sedang berjalan sendiri, saya juga suka makan dikantin dekat K-Street yang dikelola oleh orang Pakistan. Disitu dijual beberapa masakan a la timur (oriental) yang cukup memenuhi selera dan tidak mahal harganya. Ternyata banyak juga pegawai KBRI yang kadang-kadang makan disini.


Obral buku bekas di "K Street", DC
foto: dok.pribadi 


      Habis belanja di “PX”, kena tilang Polisi “Amrik”

fotos: google


Di Pentagon Mall  (yang memang terletak di Pentagon, Markas Besar Angkatan Bersenjata Amerika Serikat, yang gedungnya berbentuk segi delapan),  ada sebuah toko serba ada yang namanya singkat saja “PX”. Toko ini sebetulnya adalah toko ‘duty free’ (bebas bea) yang dikhususkan untuk para anggota militer dan keluarganya saja. Yang bisa masuk tentu saja harus anggota militer (dari Negara mana saja, asal sedang bertugas di Amerika Serikat) dengan menunjukkan bukti diri atau kartu tanda anggota Militernya. Untuk hal-hal begini orang Indonesia terkenal ‘kreatif’.  Para tamu dari Indonesia yang mengenal dekat pejabat KBRI, biasanya mempergunakan kartu anggota ABRI milik Atase Pertahanan KBRI atau stafnya, yang -mau tidak mau- harus ikut mendampingi rombongan (tidak dibatasi jumlahnya) untuk bisa masuk ke PX. Tidak berbeda dengan umumnya Department Store, PX menjual hampir seluruh kebutuhan hidup sehari-hari. Bedanya di PX tidak dikenakan pajak, jadi harga barangnya jauh lebih murah dibanding harga yang ditawarkan ditoko lain. Tidak heran kalau ‘katanya’ setiap ada rombongan tamu KBRI dari Indonesia yang berkunjung ke Washington, DC,  PX menjadi tujuan utama diacara peninjauan keliling kota. Terutama rombongan ibu-ibu.
Pada tahun 1990 itu, saya dan dr. Jarwo berhasil membeli sebuah kopor model terbaru dari “Samsonite” yang mempunyai tangkai tersembunyi dengan harga tak lebih dari 50 dolar AS saja. Saya juga sempat membeli beberapa arloji Timex asli yang rata-rata juga tak lebih dari 50 dolar AS. 
Karena keasyikan melihat barang-barang berharga ‘miring’, tak terasa hari sudah mulai petang. Petugas Protokol dan staf Athan yang mendampingi masih mau memamerkan keindahan kota Washington, DC dirembang petang. 

Maka meluncurlah kendaraan Van buatan GMC berplat nomor CD milik KBRI yang berisi 6 orang menjelajah ‘pedalaman’ kota Washington, DC yang mulai tampak lengang. Sang Pengemudi yang aslinya adalah seorang mahasiswa Indonesia, tapi sering diminta membantu KBRI sebagai staf lokal untuk mengantar tamu, sambil menyetir masih sempat  ngobrol berkisah tentang segala sesuatu yang dilewati hari itu. Ketika melewati rumah dinas Wakil Presiden AS yang terletak disebuah tikungan jalan, lampu lalu lintas mendadak menyala merah. Merasa tanggung dan sepi tak banyak kendaraan, sang pengemudi keluar sifat asli ‘sopir tembak Jakarta’ nya, bukannya berhenti di traffic light, dia malah tancap gas, kabur menyerobot lampu merah.
Tapi mendadak dia berteriak:”Wah, kayaknya kena nih kita!”, sambil sekonyong memperlambat jalan mobilnya. Sekilas saya seperti hanya mendengar suara “Nguiiik..nguiiiik..ngoook” (suara khas mobil patroli jalan raya Polisi Amrik, bukan memakai sirene yang nguing-nguing) disusul cahaya lampu berkelap kelip bergantian merah biru dari sebuah mobil yang ‘membuntuti’ dibelakang mobil dinas KBRI itu.
Mobil Van segera menepi, lalu berhenti dipinggir jalan. Saya bertanya:
“Ada apa mas?”
“Kita ketangkep polisi nih pak” sahut sang sopir.
Waduh, ini baru cerita. Ditangkap Polisi Amerika! Saya bayangkan adegan selanjutnya seperti difilm-film action Amerika, tapi ternyata tak terjadi apa2.
Parkir sekitar 10 meter dibelakang mobil van ‘tangkapan’nya, mobil Patroli Polisi itu hanya berhenti sambil terus menyalakan lampu merah biru kelap-kelip yang berada diatas atapnya.
Koq mereka diam saja?” saya mencoba bertanya memecah kebisuan.
“Ya, Pak. Sebelum bertindak mereka akan cek dulu identitas mobil yang mereka curigai ini kekantor pusat mereka. Kalau mobil tak bermasalah, biasanya mereka akan tanya baik-baik dan paling kita kena tilang. Tapi kalau mobil curian, urusan bisa runyam. Bagusnya mereka well informed dari kantor pusatnya Pak”.
Benar saja, tidak berapa lama seorang opsir Polisi mendekat kearah pintu pengemudi. Saya sempat membaca 'badge' dilengannya: "Metropolitan Police, District of Columbia". Dengan sopan dia menanyakan identitas dan surat ijin mengemudi, tentu dalam bahasa Inggris. Anehnya sipengemudi (yang asli mahasiswa dan sudah lama berada di Amerika) mendadak seperti baru belajar bahasa Inggris. Dia menjawab gagap dengan bahasa Inggris yang lebih ‘parah’ dari bahasa Inggris saya.
Tidak butuh waktu lama, setelah menuliskan surat tilang, sang opsirpun beranjak pergi. Begitu saja. Tak ada adu argumen, tak ada uang damai.
Hehehe, kena kibul dia….” Kata sipengemudi sambil menjalankan mobilnya.
Polisi disini paling sebel kalau berurusan dengan orang asing yang tidak bisa bahasa Inggris Pak, jadi daripada ribet, langsung saja dia kasih surat tilang”
O, pantes tadi dia jadi seperti orang yang baru belajar bahasa Inggris.
Rupanya itu adalah jurus untuk ‘ngakalin’ polisi Amerika.
Saya dan dokter Jarwo tertawa ngakak. Orang Indonesia dilawan…….



bersambung.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar