Rabu, 28 Desember 2011

"MASIH ADAKAH DISIPLIN LALU LINTAS?"


Tulisan lepas:

MENGAPA LALU LINTAS KOTA SELALU 'SEMRAWUT'?

Kemacetan di Jakarta

Benarkah disiplin berbanding lurus dengan tingkat pendidikan dan budaya suatu bangsa?
Mengapa lalu lintas  dikota besar di Indonesia selalu tampak seperti benang kusut ?
Ini adalah DUA dari sekian pertanyaan yang selalu mengganggu benak saya, jika melihat kondisi lalu lintas  di Indonesia.


Kisah “si Kabayan saba Singapura”

Akhir tahun 1993 saya berkesempatan ‘menyeberang’ ke Singapura dengan kapal ferry dari pelabuhan Sekupang Batam. Saya berangkat berdua dengan isteri menggunakan paspor dinas.
Ini bukan pertama kalinya saya datang ke Negara Kota berlambang Singa itu. Tapi ini kunjungan saya yang pertama lewat jalan samudra. Kunjungan saya yang sebelumnya adalah selalu kunjungan dinas dengan pesawat udara. Jadi semua diatur oleh Protokol KBRI Singapura.
Kali ini saya berkunjung sebagai free man (diIndonesiakan jadi preman, tapi lalu dikonotasikan sebagai ‘orang jahat’. Padahal sebetulnya maksudnya adalah seorang yang sedang bebas, tidak terikat dengan dinas). Semua saya atur sendiri. Saya hanya mengandalkan teman-teman yang kebetulan sedang berdinas atau sudah menetap di Singapura.

Turun dari ferry saya dan isteri mirip “si Kabayan saba kota”. Celingak-celinguk, seperti orang desa ‘kluthuk’ masuk kota besar. Yang lucu adalah, kami berdua merasa sangat canggung. Justru karena melihat ketertiban dinegara kota yang konon didirikan oleh Sir Thomas Stamford Bingley Raffles (Jamaica, 6 Juli 1781 – London, 5 Juli 1826). 

Terminal ferry Singapura tampak sangat bersih dan teratur. Begitupun dengan shelter atau halte kendaraan angkutan umum. Masyarakat yang heterogen ras nya menunggu dengan tertib. Tak tampak sampah dimanapun. Melihat antrian dalam shelter yang begitu padat, saya dan isteri memilih berdiri agak jauh. Maksud saya biar lebih dahulu mendapatkan taksi. Yang membuat saya heran, tak satupun taksi yang mau berhenti. Walau kedua tangan saya sudah melambai-lambai memanggilnya.
Sudah nyaris setengah jam berlalu. Panas semakin menyengat. Tak satupun sopir taksi mengindahkan lambaian saya. Saya lalu berpikir, apa yang salah? Ada apa dengan taksi yang tidak mau berhenti? Setelah saya perhatikan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, muka saya berubah merah padam.
Ternyata semua kendaraan umum hanya mau berhenti di shelter atau halte. Tak satupun sopir yang sudi berhenti menarik penumpang disembarang tempat. Alamaaaaak...malunya itu bah! Saya kelihatan persis seperti orang ‘primitif’ dari negeri yang primitif juga! Kalau waktu itu sudah ada Tukul Arwana, pasti dia akan berteriak: ”Ndesoooo....!!!”.
Sungguh pengalaman yang sangat memalukan. Hebatnya, saya tidak melihat ada orang yang tersenyum. Apalagi tertawa terbahak-bahak. Mereka tampak sangat tak peduli. It’s not my bussiness maaan. Begitu barangkali mereka menggerundel.
Belum lima menit berdiri di halte, saya akhirnya dapat taksi. Sopir taksi (dengan bahasa Inggris dialek Singapura yang penuh kata ‘laaaa’) lalu bercerita bahwa baik penumpang atau sopir kendaraan umum di Singapura sama-sama disiplin mentaati aturan. Mereka tidak akan naik dan turun disembarang tempat. 
Sangat mungkin si sopir sempat membatin:”Dasar Indon luuuh...!”.
Itu kisah saya jadi ‘Kabayan’ di Singapura. Pasti akan sangat berbeda ceritanya kalau terjadi di Singaparna.

Lalu lintas selalu ‘semrawut’

Saya teringat pada seorang teman yang sudah sangat lama bermukim di Perancis. Dia bercerita, bahwa kalau pulang ke Indonesia dia selalu menderita sakit ‘heran-heran’. Sakit apakah gerangan itu? Tak lain tak bukan ‘sakit’ karena melihat tingkah laku orang Indonesia yang ‘seenaknya’ berlalu lintas. Dia sangat ‘takjub’ melihat sopir angkutan kota yang bisa berhenti kapan saja, dimana saja. Demikian juga dengan ulah para penumpangnya. Sami mawon, sama saja. Setali tiga uang. Itu agaknya yang membuat lalu lintas selalu ‘semrawut’ seperti benang kusut.
Teman saya itu sangat jengkel kalau naik angkot. Dia melihat betapa penumpang angkot dengan seenaknya minta berhenti. Belum sampai dua meter sudah ada lagi penumpang yang juga minta turun. Tapi justru tak seorangpun penumpang minta turun atau berhenti di halte yang sudah tersedia! 

Apakah di Indonesia memang tidak punya aturan lalu lintas? Jangan salah, Indonesia juga mempunyai Undang Undang (UU) Lalu Lintas. Yaitu UU nomor 22 tahun 2009, yang baru mulai diberlakukan pada bulan Januari tahun 2010. UU itu mengggantikan UU nomor 14 tahun 1992. Sejatinya UU Lalu Lintas dinegara manapun mempunyai satu benang merah. Karena mengacu pada peraturan lalu lintas internasional.
Jadi kebiasaan buruk masyarakat Indonesia dalam berlalu lintas bisa dikategorikan menyalahi standar aturan internasional. 


Bahwa halte, rambu lalu lintas, traffic light (lampu ‘bangjo’) dan lain-lain adalah sesuatu yang sudah menjadi fakta sosial. Karena keberadaannya juga diatur dengan sebuah UU. Penyimpangan terhadap keberadaan fakta sosial tersebut berarti melanggar kekuatan hukum yang membatasi individu berbuat seenaknya.
Traffic light yang mempunyai lampu merah, kuning dan hijau misalnya. Masing-masing warna sudah disepakati secara internasional. Lampu merah artinya berhenti, kuning berarti siaga atau waspada dan hijau artinya boleh berjalan. Pengetahuan tentang warna lampu 'bangjo' ini bahkan sudah diajarkan sejak masih di Taman Kanak-kanak. Demikian juga dengan rambu-rambu lalu lintas yang ada. Misalnya tanda dilarang berhenti, dilarang parkir, dilarang memutar dan tanda larangan yang lain.
Tapi dikota-kota besar di Indonesia sering terlihat, betapa para pengendara kendaraan bermotor sangat suka melanggar rambu dan aturan. Secara ekstrim bisa dikatakan bahwa rata-rata pengguna jalan di Indonesia berani mengingkari fakta sosial yang ada.  Mereka secara sadar melanggar semua aturan yang mengarahkan tingkah laku individu di jalan raya dan tempat lain.

Yang terlihat sangat menonjol senang melanggar aturan adalah para pengemudi angkutan umum. Walaupun tidak kurang pengendara mobil pribadi dan sepeda motor yang juga ugal-ugalan.
Betapa seringnya kita melihat pengendara kendaraan bermotor yang ‘menyerobot’ lampu merah. Padahal perbuatan itu sangat berbahaya. Baik bagi diri sendiri atau orang lain. Lampu kuning yang berarti harus mulai mengurangi kecepatan dan berhenti, diartikan sebagai ‘tancap gas’. Para pengendara sepeda motor lebih ‘parah’ lagi. Jarang yang mau berhenti digaris batas yang ada dilampu merah. Kebanyakan mereka menjorok kedepan, kadang malah melewati lampu merah itu sendiri. Lampu kuning baru menyala tanda bersiap jalan, mereka sudah tancap gas. Saling berebut untuk ngacir lebih dahulu. Seolah dikejar hantu.

Undang-undang atau aturan dibuat untuk dilanggar.

Dibawah ini beberapa pasal dari UU Lalu Lintas yang sering sekali dilanggar:
Pasal 284 UU nomor 22/2009 menyebutkan para pengemudi kendaraan bermotor roda dua ataupun lebih, bila akan berbelok atau berbalik arah harus memberikan isyarat. Tapi dikalangan sopir Bajaj (kendaraan roda tiga), sudah terkenal pemeo: “Hanya malaikat dan sopir Bajaj yang tahu kapan dia akan berbelok”.  Hal itu karena seringnya mereka asal belok tanpa memberi isyarat apapun. Mereka tidak menyadari bahwa tindakan itu sangat membahayakan kendaraan lain. Baik yang datang dari depan atau terlebih lagi yang berada dibelakangnya. Yang melanggar pasal 284 ini akan dikenai pidana kurungan selama sebulan atau denda sebesar Rp. 250.000.
Adapun Pasal 295 UU yang sama menyebutkan: Para pengemudi yang akan berpindah jalur atau bergerak ke samping, wajib mengamati situasi lalu lintas di depan, samping dan dibelakang kendaraan serta memberikan isyarat. Jika tertangkap melakukan pelanggaran, akan dikenai sanksi paling lama satu bulan kurungan atau denda Rp 250.000. Tapi prakteknya para pengemudi angkot sering berpindah-pindah jalur semau gue. Mereka juga sangat sering berhenti seenaknya ditengah jalan untuk menaik turunkan penumpang.  
Pasal 297 menyebutkan, pengendara kendaraan bermotor yang balapan di jalan akan dikenai pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp 3.000.000. Ini termasuk salah satu pasal yang ancaman hukumannya tinggi. Tapi kenyataannya masih banyak juga yang berani melanggarnya. Para pengendara angkutan umum seperti tidak ada jeranya saling berpacu dijalan untuk berebut penumpang.


Namun pelanggar aturan tidak hanya didominasi para pengemudi. Para (calon) penumpang angkotpun tidak kalah ngawur. Mereka menunggu kendaraan disembarang tempat. Itu terlihat setiap hari pada saat jam masuk kantor atau pulang kerja. Dimana saja. Tak ada lagi  kata antri dalam kamusnya. Mereka saling berebut bila ada angkot yang datang. Bahkan untuk alat transportasi elit seperti taksi dan ‘busway’ di Jakarta.
Singkat kata, para pengemudi dan pengguna jalan serta para penumpang itu seperti punya semboyan: “Bukankah Undang-undang dan aturan itu dibuat untuk dilanggar?”
Tragisnya, kebiasaan buruk para pengguna jalan itu seolah ditolerir oleh petugas Polantas yang berada dilapangan. Jarang ada Polantas yang mau menegur atau menilang perbuatan para pengemudi yang jelas melanggar aturan itu. Kalaupun ditilang, pasti akan diselesaikan ‘secara adat’ ditempat itu juga.

Disiplin yang jadi Diselipin.

Inilah sebenarnya kunci dari semua permasalahan: 
Kita maklum bahwa ‘Law Enforcement’ (tindakan/sanksi hukum) di Indonesia terbukti sangat lemah. Termasuk untuk pelanggaran lalu lintas. Ditambah dengan adanya ‘denda damai’ yang sering terjadi antara sipelanggar dan petugas polantas, maka lengkap sudah ‘derita’ yang dialami negeri ini. (Hmmm ... seperti lirik lagu cengeng bikinan Cikebas saja).
‘Hobi’ melanggar hukum (apa saja) tampaknya erat kaitannya dengan disiplin. Dan disiplin tidak lahir begitu saja. Disiplin berkaitan dengan hal kepatuhan, ketaatan dan ketertiban. Oleh sebab itu disiplin adalah ilmu yang harus diajarkan. Kalau perlu sejak anak berusia dini. Anak-anak yang tidak pernah mendapat pelajaran disiplin akan tumbuh menjadi seorang anak yang tak terkendali. Tidak bisa diatur dan cenderung berbuat seenak perutnya sendiri. Apalagi kalau tidak ‘makan sekolahan’. 
Bisa dikatakan tingkat kedisiplinan seseorang itu berbanding lurus dengan tingkat pendidikannya. Contoh konkrit tentang hal ini adalah yang tampak pada warga Singapura. Mereka sangat disiplin dalam segala hal karena rata-rata tingkat pendidikannya lumayan tinggi. Bandingkan dengan masyarakat kita (terutama pengemudi angkot) yang kebanyakan masih rendah tingkat pendidikannya.

Akan tetapi fakta membuktikan, bahwa ternyata pelajaran disiplin saja tidak cukup. Buktinya aparat yang mau terima ‘salam tempel’ atau ‘denda damai’ itu. Kita tahu pendidikan berbasis militer sangat ketat dan disiplin. Jadi aparat yang mudah menerima suap itu apakah kurang mendapat pendidikan  disiplin? Tentu tidak. Karena itu perlu ditambahkan juga pendidikan mental dan moral agamanya. 
Kalau hal tersebut dilupakan,  jangan heran kalau DISIPLIN bisa berubah jadi DISELIPIN.
Demikian pula dengan para pengguna jalan. Tanpa disiplin, mereka bisa berubah menjadi ‘pembantu malaikat maut’. Artinya berpotensi mencelakakan diri sendiri, bahkan orang lain.

Lalu bagaimana sesungguhnya cara yang ampuh untuk mengatasi itu semua?
Kembali kepada kita sebagai warga negara Indonesia yang bertanggung jawab.
Bisakah kita membudayakan disiplin sebagai bagian dari hidup keseharian kita?
Artinya sanggupkah kita menjadi insan yang berbudaya?  
Budaya disini diartikan sebagai fakta sosial yang bisa mengarahkan kesadaran kolektif masyarakat. Dengan demikian masyarakat dapat bertingkah laku seperti yang ditentukan oleh aturan dan norma yang ada.
Mudah-mudahan dengan kembali menjadi manusia yang berbudaya, dapat mengeliminir sifat buruk manusia yang cenderung melanggar aturan. Termasuk aturan dalam hal ber lalu lintas.

Itulah sedikit 'urun rembug'  (saran) dari saya. Selanjutnya terserah anda.

Senin, 26 Desember 2011

"TENTANG KIAMAT" ( 2 )


Tulisan bersambung: (bagian kedua)

BENCANA AKIBAT ULAH MANUSIA

Es Kutub Utara mencair karena pemanasan global

 Released by mastonie, on Friday, December 24, 2010 at 11.13 pm

“Wa idzaa aradnaa an nuhlika qaryatan amarnaa mutrafiihaa fa fasaquu fiihaa fa haqqa ‘alaihal qaulu fa dammarnaahaa tadmiiraa”
(Surah Al-Israa’, QS. 17 : 16)
(Dan apabila Kami menghendaki untuk membinasakan suatu negeri, Kami menyuruh orang-orang yang hidup mewah -supaya taat kepada Allah-, lalu mereka berbuat kedurhakaan dalam negeri itu, maka benarlah berlaku atasnya ketentuan Allah -siksa Nya-, lalu Kami hancurkan -negeri itu- sehancur-hancurnya).

       Dengan tanpa bermaksud menghubung-hubungkan firman Allah SWT, mohon anda simak ayat Al-Qur’an tersebut diatas. Ayat itu adalah kutipan dari surah Al-Israa’, surah ke 17 ayat ke 16 atau biasa ditulis ( QS. 17:16 ). 

Merapi meletus Oktober 2010
Seperti kita ketahui, negeri kita Indonesia sangat sering tertimpa musibah bencana alam. Hari Selasa sore, 25 Oktober 2010  Gunung Merapi meletus dahsyat. Gunung yang berada diwilayah empat kabupaten itu (Sleman, Magelang, Boyolali dan Klaten) kali ini mengambil korban lebih banyak didaerah Kabupaten Sleman.  Konon menelan ratusan korban jiwa manusia, hewan dan harta benda. Termasuk jiwa Mbah Maridjan,  Juru Kunci Merapi yang di iklan selalu bilang “Rosa...rosa.....rosa” itu. 
 

Gempa bumi dahsyat yang paling akhir terjadi di Pulau Sumatera berkekuatan 7,6 SR (Skala Richter). Bencana alam  ini telah meluluh lantakkan daerah-daerah di Provinsi Sumatra Barat (Padang, Pariaman) disusul kemudian dengan gempa lain di Provinsi Jambi dan sekitarnya. Mohon anda perhatikan: gempa bumi di Sumatra Barat pada hari Rabu tanggal 30 September 2009, sangat kebetulan sekali terjadi tepat pada pukul 17:16 WIB! Hal itu langsung menimbulkan spekulasi dan rumor. Rumor yang langsung menyebar luas itu menghubungkan angka-angka (17:16) dengan ayat-ayat yang ada didalam kitab suci Al-Qur’an. 
Padahal ilmu “otak atik gathuk” (rekayasa untuk mencocokkan angka dan nomer) itu sejatinya cenderung berbau mistik. Ini berbahaya karena mistik sangat dekat dengan syirik.
Naudzubillahi min dzalik.
Yang jelas bencana alam itu adalah iradat yang memang dikehendaki dan atas ijin  Allah SWT. Apakah kejadian itu juga sebuah tanda untuk memperingatkan penguasa negeri ini?
 
Dalam kitab Al-Qur’an Terjemah Indonesia yang diterbitkan oleh PT Sari Agung, diberikan penjelasan khusus tentang ayat tersebut. Catatan itu menyebutkan bahwa yang dimaksud Allah SWT (dalam ayat itu) adalah: kehancuran suatu bangsa atau sebuah negeri bisa disebabkan antara lain karena kedurhakaan para pemimpinnya. 

Sesungguhnyalah saya kutipkan ayat Al-Qur’an diatas hanya sebagai semacam pengingat bagi kita. Bagi umat manusia pada umumnya dan bangsa Indonesia pada khususnya. Yaitu tentang peringatan akan datangnya azab Allah SWT terhadap sebuah negeri.
Dan azab yang sangat pedih itu akan dijatuhkan kepada suatu negeri,  apabila para pemimpinnya (mulai) suka hidup dan pesta bermewah-mewah. Ditambah dengan kelakuan yang ingkar kepada Allah SWT dan (apalagi) berbuat durhaka (terhadap rakyatnya).

 Tsunami Aceh, Desember 2004

Beberapa tahun belakangan ini beberapa daerah di tanah air kita yang tercinta, mendapatkan ‘cobaan’ berbagai bencana alam. Gempa bumi, tsunami, gunung meletus, tanah longsor dan banjir bandang adalah bencana yang paling sering melanda negeri kita. Menurut harian Kompas, pada kurun waktu antara bulan Desember tahun 2004 sampai Februari 2008, di jalur barat pulau Sumatera saja setidaknya telah terjadi 9 kali gempa bumi besar yang berkekuatan antara 7,0 SR sampai 8,9 SR. Seringnya terjadi bencana alam (terutama gempa bumi)  adalah  karena letak geografis gugus kepulauan Indonesia memang berada didaerah rawan gempa.  Demikian menurut para ahli geologi dan para ahli gempa Indonesia. Daerah yang membentang di pantai barat pulau Sumatera, pesisir selatan pulau Jawa sampai Nusa Tenggara adalah daerah paling rawan. Hal itu disebabkan karena daerah tersebut merupakan subduksi lempeng Eurasia yang menghunjam ke lempeng Indo-Australia dengan perkiraan kecepatan sekitar 5 – 7 cm per tahun. Angka tersebut menunjukkan  aktivitas yang cukup tinggi.   
Sesuai namanya. bencana alam itu boleh disebut sebagai bencana  yang terjadi karena faktor alam.
Namun ternyata ada faktor lain yang juga bisa mengakibatkan bencana alam.
Dan boleh percaya boleh tidak, faktor itu adalah ‘ulah’ manusia!

     Sejatinya, manusia adalah mahluk yang paling utama dan mulia didunia, meski diciptakan oleh Allah SWT hanya dari segumpal darah. (Al-‘Alaq, QS. 96 : 2).
Untuk menjamin kehidupan umat manusia didunia, Allah SWT juga menciptakan alam semesta sebagai ‘sarana pendukung’. Diantaranya adalah tanah, air, udara, tetumbuhan, binatang dan lain-lain. (An-Nahl, QS. 16 : 5-6)
Mengapa ciptaan Allah SWT yang lain itu bisa kita sebut sebagai sarana pendukung bagi kehidupan umat manusia didunia? Jawabnya sederhana saja. Apakah manusia bisa hidup tanpa air dan udara? Bisakah ia bertahan hidup tanpa makan dan minum? Dan dari manakah manusia mendapatkan bahan makanan dan minumannya kalau bukan dari alam semesta?
Bisakah manusia hidup tanpa udara (O2, oksigen)? Udara bisa kita nikmati sepuasnya untuk bernapas. Kapan saja, dimana saja, berapa saja. Udara disediakan (oleh Allah) berlimpah secara gratis. Apakah manusia mampu hidup tanpa udara (bernapas)?
Dua modal utama itu adalah hal paling pokok sebelum manusia berkembang biak dengan pesat seiring berkembangnya otak dan kemampuan nalarnya. Selain itu, akal budi,  pikiran dan nalar juga dihadiahkan Allah SWT kepada manusia. Akal dan nalar itulah yang kemudian dipakai manusia untuk memanfaatkan apa yang ada dialam sekitarnya. Bahkan tidak hanya untuk sekedar bertahan hidup.
Mari kita tengok kebelakang, mulai dari evolusi kehidupan manusia sejak jaman prasejarah dan seterusnya. Semula manusia adalah mahluk herbifora -pemakan tumbuhan-. Lalu kemudian berkembang menjadi mahluk omnifora -pemakan segala-. Harap dicatat,  yang disebut dengan “segala” itu dijaman sekarang bisa berupa aspal, semen, besi, bahkan alat-alat kantor! Itulah yang disebut dengan korupsi.
Justru karena manusia mendapat ‘hadiah’ akal dan pikiran, menjadikannya tidak pernah merasa puas. Kecerdasan otak yang dianugerahkan oleh Sang Pencipta dipergunakan manusia semaksimal dan seoptimal mungkin. Akal dan pikiran manusia didaya gunakan  untuk mencapai tingkat kehidupan yang semakin lama semakin tinggi tuntutannya. Antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan dirinya.
Diawal jaman, manusia hanya berbugil ria (maaf), sampai akhirnya bisa menutup aurat dengan daun dan kulit kayu. Kemudian lebih maju lagi, bisa membuat kulit binatang buruannya menjadi pakaian untuk menutup tubuhnya. Dan seterusnya sampai ditemukannya alat untuk memintal dan menenun benang.
Dari mana saja manusia mendapatkan bahan itu semua? Dari alam! Tapi pernahkah mahluk yang bernama manusia itu berterima kasih kepada alam semesta? Sebagian besar umat manusia malah cenderung kufur nikmat. Tidak pernah mensyukuri karunia yang dilimpahkan oleh Allah SWT, Sang Maha Pencipta. Manusia bahkan lebih mengutamakan sifat rakusnya dengan cara terus menerus ‘memerkosa’ alam untuk memenuhi hajat hidupnya yang semakin tak terpuaskan.

Hutan hutan dibabat tanpa ampun. Kita juga sering mendengar cerita tentang adanya pembalakan liar dihutan-hutan perawan. Terkadang malah ada yang dengan sengaja membakar hutan untuk sekedar memperoleh lahan untuk bermukim atau bercocok tanam. Atau hanya nafsu segelintir manusia yang ingin menguasai lahan untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Semua itu adalah bukti yang lain lagi dari keserakahan manusia. Yang dipikirkan oleh manusia hanyalah keuntungan materi, tanpa pernah memikirkan dampak dan   akibatnya pada ekologi dan lingkungan hidup.
Tambang-tambang terus digali seolah tak akan pernah habis cadangannya. Pemerintah dengan sengaja mengundang investor pertambangan dari luar negeri. Mereka diharapkan mendatangkan   keuntungan yang sebesar-besarnya. Entah untuk keuntungan siapa. Padahal semua hasil tambang  itu milik alam (ciptaan Allah) yang diperoleh dengan cuma-cuma.
Alam tak pernah meminta bayaran (mungkin hanya Alam -adik Vetty Vera- penyanyi dangdut yang minta bayaran, kalau diminta manggung).  Alam pasrah saja menyerahkan ‘harta kekayaannya’ kepada manusia. Manusia adalah satu-satunya mahluk yang memang ditakdirkan Allah SWT mendapat (walau hanya setitik) ilmu dari Sang Maha Pencipta. Oleh sebab itu manusia mampu menciptakan teknologi untuk mengeksplorasi alam. 
Sewaktu masih bocah saya sering disuruh simbah mengisi kendi dengan air masak. Kendi itu lalu diletakkan dipagar depan rumah. Siapapun yang lewat dan sedang haus boleh minum air dari kendi itu. Seratus persen gartis. 

Tapi dijaman sekarang, air (minum) saja sudah menjadi bahan komoditas yang sangat menguntungkan. Pernahkah  kita bayangkan  bahwa (sekarang ini) harga segelas air -dalam jumlah yang sama- bisa lebih mahal harganya dari minyak?
Keuntungan yang didapat dari bisnis air yang kemudian diembel embeli dengan predikat “mineral”, begitu menggiurkan. Maka bermunculanlah pabrik air mineral dimana-mana. Semua pabrik ‘air mineral’ mengaku mendapatkan air murni dari sumber air digunung. Entah dari gunung mana. Maka sumber mata air dari alampun disedot tanpa ampun.
Namun apakah para investor dan pemilik pabrik air mineral ini, pernah merasa  berhutang budi pada alam dan sekitarnya? Padahal mereka telah mendapatkan keuntungan materiil  yang sangat banyak.

Dijaman yang serba cepat ini, produksi kendaraan bermotor, baik sebagai alat transportasi (darat, laut, udara) maupun alat untuk persenjataan  semakin meningkat. Dan kendaraan-kendaraan bermotor itu mengeluarkan gas buang yang menyebabkan polusi udara. Bahkan berpotensi merusak ozon yang melindungi atmosfer kita. 
Pemanasan global (global warming) adalah contoh lain dari kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh manusia. Bongkahan es abadi di kutub mencair tak semestinya. Ini menyebabkan kenaikan permukaan air laut yang berpotensi menjadi ‘rob’. Banjirpun terjadi dikota-kota yang terletak dipinggir pantai. Termasuk Jakarta dan kota besar lainnya di Indonesia. 

Yang lebih nggegirisi (menakutkan) adalah pernyataan Stephen Hawking, Profesor di bidang Matematika dari Universitas Cambridge, Inggris. Ilmuwan jenius yang harus hidup diatas kursi roda ini suatu ketika membuat pernyataan kepada radio BBC. Katanya ia sangat percaya bahwa pada suatu ketika umat manusia justru akan memusnahkan dirinya sendiri.  Yaitu dengan semakin banyaknya ilmuwan yang mengembangkan senjata biologi untuk pemusnahan masal. Dalam jangka panjang, ia lebih khawatir terhadap senjata biologi. Senjata nuklir hanya bisa diproduksi di sebuah laboratorium yang besar dengan fasilitas sangat modern. Sedangkan senjata biologi bisa dibuat dilaboratorium kecil saja. Yang penting, rekayasa genetik untuk pembuatan senjata biologi ini  adalah otak ilmuwannya. Bayangkan akibatnya. Mungkin dibutuhkan hanya puluhan tahun bagi manusia untuk memusnahkan dirinya sendiri! Sangat mengerikan.

     Singkat kata, begitulah, manusia yang hidup dibelahan bumi manapun terus berlomba-lomba memanfaatkan kejeniusan para ilmuwannya. Manusia juga nyaris menguras semua sumber daya alam. Seolah tidak  menyadari bahwa segala sesuatu pasti ada batasnya. Termasuk alam.
Sejatinya memang Sang Maha Pencipta menganugerahkan akal pikiran kepada manusia. Namun Allah SWT juga menurunkan kitab suci Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia untuk menggunakan pikirannya dalam mengelola alam semesta ini. (Ar-Ra’d. QS. 13 : 3-4).
Akan tetapi ternyata banyak sekali manusia yang malah menggunakan pikirannya dengan membabi buta. Semua itu dilakukan dalam usahanya ‘mengeduk’ isi alam semesta yang berlimpah yang dikaruniakan Nya.
Manusia seolah tidak menyadari bahwa akibat perbuatannya, kemungkinan akan menjadi bumerang. Mengakibatkan bencana yang bisa memusnahkan umat manusia itu sendiri.

      Marilah kita renungkan: keserakahan dan kesewenang-wenangan manusia terhadap alam, mengakibatkan rusaknya alam semesta. 
Akhirnya malah menyebabkan terjadinya bencana yang justru  bukan berasal dari alam sendiri.
Lalu apakah banyaknya bencana  yang akan terjadi  (baik karena faktor alam maupun faktor manusia) tidak termasuk sebagai ‘kiamat kecil’?

Wallahu alam bishshawab.


(Disunting di awal Oktober 2010 dan disempurnakan pada akhir Desember 2011

bersambung....

Jumat, 23 Desember 2011

"TENTANG KEBERSIHAN"


Tulisan lepas:

“BERSIH BAGIAN DARI IMAN?"

Spanduk himbauan menjaga kebersihan

Diriwayatkan oleh Abu Malik Al Asy’ariy RA bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Membersihkan diri adalah sebagian dari iman”  (HR. Muslim).

Barangkali hadits itulah yang mengilhami slogan “Kebersihan adalah bagian dari iman”.  
Tulisan seperti itu sering kita jumpai terpampang dijalan, didinding masjid atau mushola
Bahkan ditempat fasilitas umum lain.
Maksudnya tentu untuk mengingatkan masyarakat akan pentingnya arti kebersihan. 

Slogan 'Pepesan Kosong'
 
Cukupkah slogan atau tulisan itu menggerakkan hati kita dan anggota masyarakat lain untuk menjaga kebersihan, terutama yang menyangkut kebersihan lingkungan secara umum?
Jujur harus kita akui bahwa tulisan itu, mirip 'pepesan kosong'. Karena walaupun berisi tentang peringatan bagi khalayak untuk menjaga kebersihan, ternyata tak mempunyai dampak yang ‘signifikan’. Bahkan nyaris tidak bermakna apa-apa.
Marilah kita tengok  lingkungan disekitar kita. Tidak usah jauh-jauh.
Mungkin lingkungan disekitar perumahan dimana kita tinggal saja dahulu. 
Sudah cukupkah kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan disekitar lingkungan tempat tinggalnya?
Anda mungkin tak perlu berkecil hati. Tampaknya secara umum kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungan memang masih rendah dan sangat memprihatinkan. Terutama -biasanya- kebersihan ditempat fasilitas sosial dan fasilitas umum seperti pasar tradisional, terminal atau tempat lain (termasuk tempat rekreasi) yang banyak dikunjungi oleh khalayak ramai.
Jikalau begitu darimana sebenarnya kesadaran tentang lingkungan hidup yang bersih harus dimulai? Kesadaran itu seyogyanya bisa dimulai dari unit terkecil dari masyarakat, yaitu keluarga atau rumah tangga.
Barangkali anda pernah mendengar kalimat ini:
“Kesadaran tentang arti kebersihan dari sebuah keluarga tampak dari kebersihan kamar mandinya”.

Jadi kalau ingin tahu apakah sebuah keluarga faham tentang arti menjaga kebersihan, tengok saja kamar mandinya. Mungkin ruang tamunya tampak bersih, karena itulah ruangan pertama yang akan dilihat oleh orang yang memasuki rumah. Jadi pasti akan dibersihkan setiap hari. Tapi kamar mandinya? Belum tentu.
Itu hanya sebuah ilustrasi saja tentang bagaimana seharusnya “ilmu” menjaga kebersihan itu diaplikasikan atau diterapkan sehari-hari.
Padahal sebagai seorang muslim yang (tentu saja) bertaqwa kepada Allah dan RasulNya, maka niscaya hal tentang menjaga kebersihan bukanlah sesuatu yang asing bagi kita. 
Sedikitnya 5 (lima) kali dalam sehari seorang muslim harus bersuci (berwudhu). Itu belum termasuk sholat sunah. Ditambah dengan mandi yang (biasanya) dua kali sehari.
Sejatinya untuk masalah kebersihan diri, Rasulullah SAW sudah memberikan tuntunan kepada umatnya tentang tata cara “thoharoh” (bersuci) dengan baik. Termasuk bagaimana caranya menghemat air.
Oleh karena itu sebuah keluarga muslim seharusnya bisa menjadi pelopor dalam meningkatkan kesadaran tentang kebersihan. Baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain dan lingkungan. 
Hal tersebut merupakan kesadaran seorang muslim untuk mengindahkan dan melaksanakan sabda Rasulullah:
“Membersihkan diri adalah sebagian dari iman”.
Bagi yang non-muslim, pasti mereka mempunyai pegangan dan aturan sendiri sesuai keyakinan masing-masing. Tak ada agama yang tidak mengajarkan kebersihan.  Rohani maupun jasmani. Semuanya jadi terpulang kembali kepada manusianya.

Harus diajarkan oleh orang tua sejak dini

Orang tua harus mulai mengajarkan kepada anak-anaknya tentang arti kebersihan sejak usia dini. Bagi pemeluk agama Islam bisa dimulai dari hal-hal sepele yang sering dilakukan dirumah. Misalnya berwudhu, sholat, mencuci tangan sebelum makan, sikat gigi, mandi.  
Yang tidak kalah penting adalah dalam hal menjaga kebersihan rumah dan lingkungan. Kalau perlu tata cara membersihkan diri dan buang hajat (toilet training) juga harus diajarkan. 
Termasuk didalamnya kesadaran untuk melakukan penghematan air. 
Anak-anak juga perlu diberikan pelajaran bagaimana makan dengan ‘tertib’ sehingga remah-remah sisa makanan tidak berceceran dimana-mana. Lalu dibuat aturan kemana mereka  harus membuang sampah.

Dijaman “Go Green” ini (artinya kesadaran untuk menjaga kelestarian lingkungan agar tetap ‘hijau’) anak-anak juga sebaiknya diberitahu bahwa tempat sampah harus dipisah antara sampah organik dan sampah non-organik.
Tidak cukup hanya dengan mengajarkan, tapi orang tua juga harus memberikan contoh dan teladan tentang hal tersebut. Teladan itu sekaligus untuk menanamkan kesadaran bahwa memelihara kebersihan selain berarti menjaga iman dan takwa juga berarti melatih  kedisiplinan diri pribadi.  

Sebagai seorang muslim, menjaga kebersihan pada hakekatnya adalah cermin dari takwa kita kepada Allah dan RasulNya. Demikian pula dengan pemeluk agama lain.
Insya Allah “ilmu menjaga kebersihan” apabila diajarkan sejak usia dini, akan dibawa sampai anak menginjak dewasa dan berkeluarga. Begitulah untuk seterusnya.  Diharapkan mereka juga akan meneruskan “ilmu warisanitu kepada anak-anaknya.
Sayang seribu kali sayang. Kesadaran untuk memberikan pelajaran tentang kebersihan ini belum dilakukan oleh sebagian besar dari masyarakat kita. Walau keluarga muslim sekalipun! 
Mungkin karena kesibukan kedua orang tua yang harus bersama-sama mencari nafkah, sehingga pengasuhan anak hanya diserahkan kepada ‘orang belakang’ alias pembantu. Atau memang mereka termasuk orang tua yang tidak peduli. Mungkin karena menganggap bahwa pengetahuan tentang kebersihan akan diperoleh anak-anak lewat mata pelajaran disekolah.


Sampah menumpuk dipinggir sungai
Oleh sebab itu, wajar jika kesadaran tentang arti kebersihan lingkungan belum sepenuhnya dihayati oleh seluruh anggota masyarakat. Hal itu bisa terlihat dari banyaknya sampah yang menumpuk diselokan, kali atau bahkan sungai besar. Mereka masih menganggap bahwa selokan, kali atau sungai adalah tempat sampah yang paling dekat, mudah, murah dan praktis. Tinggal buang sampah byuuuur….habis perkara.
Mereka tidak menyadari (atau tidak mau tahu) akan akibat yang bisa ditimbulkan dengan perilaku yang tak terpuji itu.  

Padahal salah satu akibatnya adalah banjir yang sering melanda wilayah sekitar bantaran sungai. Sangat mungkin juga melanda daerah yang lebih luas lagi. Kita tahu bahwa kalau sampai terjadi banjir besar, tentu akan mengakibatkan kerusakan lingkungan yang sangat parah
Demikianlah yang terjadi dimana saja. Dikota kecil atau kota besar. Bahkan tidak terkecuali kota metropolitan seperti Jakarta.
Maka jangan heran jikalau kita masih melihat ada saja orang yang membuang sampah sembarangan. Orang-orang yang naik mobil mewahpun masih ada yang tega dengan enteng membuang sampah melalui jendela mobilnya. 

Belum tampak ada rasa ‘melu handarbeni’ (ikut memiliki)...

Jikalau anda adalah seorang pengguna kendaraan umum, anda pasti juga ‘akrab’ dengan keadaan kotornya angkutan umum kita. Halte yang  semrawut dan jorok, terminal bus, stasiun kereta api, bahkan Bandara! Terutama kebersihan toilet umumnya. 
 Tulisan jorok didalam toilet umum
Tentang semua yang berlabel “umum” ini, entah kenapa masyarakat kita cenderung abai atau tak peduli. Yang paling parah memang kondisi toilet umum. Selain penuh dengan coretan dan tulisan -yang biasanya jorok-, keadaan klosetnya seringkali juga sudah amburadul. Padahal kita harus membayar untuk mempergunakan toilet umum itu. 
Demikian pula dengan fasilitas untuk umum yang lain.
Seringkali kita dapati telepon umum yang sudah tidak berfungsi. Ada yang tombolnya sudah berlubang, lubang koinpun tersumbat. Yang lebih ‘sadis’ lagi, ada yang kabel berikut gagang telponnya sudah raib entah kemana. Padahal sebenarnya telepon umum adalah alat komunikasi yang disediakan oleh pemerintah untuk membantu masyarakat. Terutama bagi masyarakat yang masih belum mampu membeli ponsel agar dapat berkomunikasi dengan mudah dan murah.
 
Semua itu menunjukkan bahwa sesungguhnya masyarakat kita masih sangat rendah kesadarannya dalam menjaga kebersihan dan memelihara fasilitas umum yang  disediakan untuk kepentingan bersama.
Masyarakat kita seperti tidak mempunyai sense of belonging, rasa ‘melu handarbeni’ atau rasa ikut memiliki. Ketidak pedulian ini sesungguhnya memang sangat pribadi sifatnya. Karena sangat tergantung dari sikap hidup, kebiasaan dan latar belakang pendidikan masing-masing individu. Apabila dari ‘sono’nya memang tidak pernah mendapatkan pelajaran tentang pentingnya kebersihan, maka memang tak banyak yang bisa diharapkan dari sikap mereka. Jangan pula berharap mampu bersikap memelihara milik bersama.

Jadi tulisan “Jagalah kebersihan”  dan “Kebersihan adalah bagian dari iman” ataupun "Buang sampah pada tempatnya" yang ada dimana-mana seolah dianggap sebagai 'angin lalu' belaka.
Sebetulnya kita harus mau menengok dan belajar dari negeri jiran. Belajar tentang bagaimana masyarakat dinegeri tetangga menjaga kebersihan lingkungan. Akan kita lihat bahwa faktornya adalah displin, kebiasaan, dan latar belakang pendidikan warga negaranya. Namun adanya peraturan pemerintah tentang kebersihan lingkungan ternyata merupakan faktor utama. Dan yang paling penting adalah bahwa pemerintah negeri jiran membuat peraturan dengan memberlakukan ‘law enforcement’ (penegakan hukum) secara tegas, konsisten dan tidak pandang bulu. Istilah politisnya tidak ada tebang pilih.

Peraturan yang menyangkut kebersihan lingkungan dilaksanakan dengan sanksi denda yang diberlakukan ditempat. Meludah disembarang tempat didenda, membuang sampah sembarangan didenda. Bahkan membuang sisa permen karet juga akan dikenakan denda. Apalagi berani merokok ditempat yang ada tanda “dilarang merokok” nya.
Tak pernah terjadi ‘denda damai’ ditempat, TST (tahu sama tempe) atau sebangsa itu. Masyarakat dan aparat hukumnya sama-sama patuh dan taat pada hukum dan aturan.
Pertanyaannya adalah: Kalau dinegeri jiran peraturan menjaga kebersihan lingkungan bisa berjalan sangat bagus, mengapa hal itu tak bisa dilaksanakan dinegeri kita? 
Anda pasti maklum, kira-kira apa jawabannya.