Kamis, 29 September 2011

"GENDER"


Tulisan lepas:

R.A. Kartini dan suaminya

Released by mastonie on Thursday, September 29, 2011 at 10.35 pm


(Gender -baca: jender- yang saya maksudkan dalam tulisan saya ini adalah kata serapan dari bahasa Inggris yang artinya ‘jenis kelamin’).

Bermula dari ‘tuntutan’ emansipasi

     Ketika mengikuti Lomba Pidato tanpa teks antar Mahasiswa se Kotamadya Semarang pada tahun 80-an, saya mengangkat tema (bebas) tentang emansipasi wanita. Emansipasi (dari kata bahasa Inggris Emancipation) berarti persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat. Pada waktu itu isu tentang kesetaraan gender belum marak terangkat kepermukaan seperti sekarang.
Entah bagaimana, topik tentang emansipasi wanita itu membuat juri memutuskan saya sebagai pemenang pertama.

     Tentu tokoh emansipasi yang saya tampilkan adalah Raden Ajeng Kartini (21 April 1879 – 17 September 1904), putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, Bupati Jepara. Kartini adalah perempuan (bangsawan) Jawa yang dikenal gigih memperjuangkan nasib perempuan untuk mendapatkan hak (utamanya pendidikan) yang setara dengan laki-laki.
Walaupun perjuangan beliau menuntut emansipasi wanita itu lebih banyak berupa tulisan dalam korespondensi (surat menyurat) dengan salah seorang sahabatnya yang bernama  Stella Zeehandelar di negeri Belanda.                 

     Kumpulan tulisan itulah yang kemudian dibukukan oleh Mr. J.H. Abendanon dan diterbitkan pada tahun 1911 dengan judul “Door duisternis tot licht”.
Buku tersebut kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh sastrawan Indonesia jaman Pujangga Baru bernama Armijn Pane dan diterbitkan sebagai buku yang terkenal dengan judul “Habis gelap terbitlah terang”.

      Tuntutan emansipasi wanita a la R.A. Kartini sebenarnya masih dalam batas kewajaran yang ditandai dengan masih diakuinya wanita atau perempuan sebagai pendamping suami atau laki-laki. Norma dan etika yang berlaku perihal kedudukan seorang wanita dalam sebuah keluargapun masih tetap ia pertahankan.
Intinya, Kartini hanya menuntut agar perempuan mendapatkan pendidikan dan ketrampilan yang setidaknya sama dengan yang diterima oleh kaum lelaki, namun ia masih bisa menerima hak dan kewajiban wanita seperti apa adanya. Hal tersebut dibuktikannya dengan kesediaannya menerima pinangan untuk menikah dengan seorang duda yang berusia jauh lebih tua darinya. Laki-laki yang beruntung tersebut adalah Raden  Adipati Joyodiningrat, Bupati Rembang.
     Kartini meninggal dalam usia relatip masih sangat muda (25 tahun) ketika melahirkan putra pertamanya. Namun jejak perjuangannya memajukan wanita (Jawa) bisa dilihat dari didirikannya tempat pendidikan khusus kaum perempuan yang diberi nama “Sekolah Kartini”.

     Sekolah ini berdiri dibeberapa kota besar di Jawa seperti Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang dan Madiun.
Berkat jasa-jasanya itulah, Pemerintah Republik Indonesia (pada masa Presiden Soekarno) secara resmi mengangkat Kartini sebagai “Pahlawan Kemerdekaan Nasional” pada tanggal 2 Mei 1964.
Dan hari lahirnya (tanggal 21 April) ditetapkan sebagai hari besar nasional yang harus diperingati setiap tahun dan dikenal sebagai “Hari Kartini”. 

     Diwaktu-waktu yang lalu “Hari Kartini” memang diperingati kaum perempuan disemua lapisan masyarakat (baik di sekolah maupun di kantor) dengan mengenakan busana nasional. Ini merupakan pertanda bahwa perempuan Indonesia masih mengenang dan menghormati ‘pejuang’ emansipasi wanita itu.

     Pada jaman Orde Baru keputusan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional mulai diperdebatkan karena masih banyak tokoh pejuang perempuan lain yang dianggap lebih besar jasanya dibanding Kartini. Oleh sebab itu peringatan Hari Kartini tampak sudah berkurang peminatnya. Terutama diluar pulau Jawa.
Pada jaman reformasi, peringatan Hari Kartini semakin nyaris tak terdengar karena semua terhanyut dengan euphoria kebebasan yang seperti tak terkendali. 

Munculnya tuntutan kesetaraan yang tidak masuk akal

“Wanita dijajah pria sejak dulu, dijadikan perhiasan sangkar madu…namun ada kala pria tak berdaya, tekuk lutut disudut kerling wanita”
(“Sabda Alam” lagoe tempo doeloe, cipt. Ismail Mz)

     Namun itu hanya lirik lagu. Seiring dengan kemajuan jaman dan pengaruh ‘globalisasi’ yang makin mendunia, maka tuntutan persamaan hak dari kaum perempuan (termasuk di Indonesia) sudah meningkat menjadi tuntutan “kesetaraan gender”.
Tuntutan kesetaraan hak dan kewajiban yang diajukan oleh kaum perempuan itu sudah sebegitu jauhnya. Sehingga nyaris meninggalkan norma dan etika bahkan fitrah dan kodrat kaum perempuan yang selama ini berlaku. Terutama apabila hal tersebut dikaitkan dengan ajaran agama.

     Ironisnya, semakin marak tuntutan kesetaraan jenis kelamin itu, semakin hilang gaung semangat emansipasi RA Kartini. Bahkan pada waktu sekarang sudah tidak banyak yang ingat untuk merayakan “Hari Kartini” lagi.
Padahal apa sih yang belum terpenuhi dari tuntutan kesetaraan gender (jenis kelamin) itu?

     Semua aspek BudekSospol (Budaya, Ekonomi, Sosial dan Politik) dinegeri ini tak mengandung perbedaan jenis kelamin lagi. Pendidikan, pekerjaaan, sampai hak dan kewajiban sebagai warga Negara sudah setara. Dari profesi paling keras seperti tukang batu, sopir kendaraan umum sampai jabatan terhormat seperti birokrat, politisi hingga Kepala Negara sudah bisa dinikmati kaum perempuan. Bahkan Indonesia juga sempat dipimpin oleh seorang Presiden perempuan. Namun mengapa masih saja tuntutan kesetaraan jenis kelamin itu terus didengungkan?

     Saya sedang tidak mengarang dan mengada-ada. Apalagi mencari sensasi.
Ada seorang novelis perempuan tersohor yang sebetulnya buku-bukunya sangat saya kagumi. Dia pernah menyatakan tidak setuju dengan pernikahan yang disebutnya sebagai lembaga yang hanya mendudukkan perempuan sebagai warga kelas dua. Bahkan kalau perlu dia tidak akan menikah. Tapi beberapa waktu lalu saya dengar akhirnya dia menemukan pujaan hati dan menikahlah dia. Entah karena tuntutan biologis atau mungkin dia lupa pada janjinya karena sudah merasakan indahnya terbuai asmara.

     Bukan pernikahannya itu yang merisaukan hati saya.
Tapi saya sungguh terkejut jut jut jut, ketika kemudian dia menulis artikel disebuah koran harian yang menyatakan alasannya menikah.
Dia MAU menikah karena pasangannya bisa sependapat dengan dia bahwa tidak akan ada yang menjadi ‘atasan’ dan ‘bawahan’ dalam rumah tangga mereka. Kedudukan isteri dan suami harus sama PERSIS. Begitupun hak dan kewajiban dalam mencari nafkah. Dia malah berpendapat bahwa tidak perlu ada kepala keluarga dalam sebuah rumah tangga. Dengan demikian tidak perlu lagi ada kartu Kepala Keluarga. Menurut pendapatnya, bisa saja terjadi seorang isteri akan menjadi kepala keluarga kalau si suami berpenghasilan lebih rendah, atau terkena musibah sehingga berhalangan tetap. Begitupun sebaliknya. Jadi mengapa harus dibakukan bahwa seorang kepala keluarga adalah HARUS seorang suami atau seorang laki-laki?

     Astagfirullah. Saya tidak bermaksud menilai pendapatnya itu dari segi agama. Agama apapun yang dia anut. Saya juga akan tetap menghormati pendapat seseorang.  Akan tetapi jalan pikiran (seorang perempuan) yang barangkali memang seniman yang ‘nyentrik’ itu kalau tidak ‘diluruskan’, menurut hemat saya justru akan merusak tatanan kehidupan bermasyarakat.

     Dia mungkin keukeuh dengan pendapatnya karena menurut jalan pikirannya sendiri, itulah yang diyakininya paling benar. Tapi apakah dia tidak memikirkan implikasinya terhadap kehidupan sosial disekitarnya, kalau idenya yang ‘aeng-aeng’ itu betul-betul diterapkan?
Tidak SEMUA perempuan mempunyai kapasitas dan pikiran serta bisa bertingkah aneh seperti dia yang seorang novelis kondang.
Baik secara materiil maupun secara moril apalagi onderdil!
Jangan jangan nanti dia juga tidak akan mau mengandung bayinya dan menyerahkan tugas alamiah seorang perempuan itu kepada suaminya yang (seharusnya) tentu berjenis kelamin laki-laki.

     Banyak lagi kita lihat dan dengar di media masa cetak dan elektonik, kecenderungan perempuan karir yang enggan memberikan ASI kepada bayinya. Berbagai dalih dan alasan diutarakan, diantaranya karena takut merusak keindahan tubuh dan menghalangi untuk bekerja atau berkarya.
Tidak usahlah merujuk kepada ajaran agama, tapi menurut hemat saya, mengingkari kodrat sebagai seorang perempuan itu bukanlah maksud dan tujuan dari tuntutan kesetaraan gender.
Kalau hanya menuntut prosentase agar perempuan bisa mendapat kursi  lebih banyak di parlemen atau kabinet, itu sebuah hal yang masih masuk akal dan bisa diterima.
Tapi janganlah tuntutan itu berubah menjadi sesuatu yang keluar dari tatanan, norma apalagi kodrat manusia.

     Betapa banyak perempuan jaman sekarang, yang karena merasa mampu berbuat apa saja setara (bahkan mungkin melebihi) kaum lelaki, memutuskan untuk hidup melajang. Itu sepenuhnya hak asasi manusia yang harus dihormati, walau mungkin tak sesuai dengan ajaran agama. Tetapi apa jadinya kalau semua perempuan berpikiran seperti itu? Bagaimana kelanjutan hidup seorang anak manusia yang seharusnya mempunyai tugas reproduksi untuk berkembang biak? Reproduksi jelas tidak akan terjadi oleh kaum lelaki sendiri tanpa kehadiran perempuan disisinya.

     Bayangan ketakutan super ekstrim kaum perempuan akan diinjak-injak hak dan kewajibannya oleh kaum lelaki, seperti lirik lagu “Sabda Alam” yang saya kutipkan diatas tadi, sejatinyalah sudah tak relevan lagi pada jaman manusia modern ini.
KDRT mungkin memang masih bisa  terjadi, kapan saja, dimana saja oleh siapa saja.
Tapi dinegeri ini, kita masih percaya adanya hukum. 
Dan jangan khawatir, kedudukan hukum seorang perempuan SETARA dengan seorang lelaki.

Jadi mau menuntut apa lagi?






Rabu, 28 September 2011

"AURA"


Tulisan lepas:


Lukisan  Aura Dewa Wisnu


released by mastonie on Tuesday, September 27, 2011 at 7:14pm


(Pernahkah anda bertemu dengan seseorang yang sama sekali belum pernah anda kenal, namun anda merasa begitu ‘nyaman’, sejuk, tenteram dan tenang? Atau barangkali malahan sebaliknya, anda merasa gerah, panas dan ingin bersegera meninggalkan orang yang baru saja anda temui? Tidak salah lagi. Kesan anda ketika bertemu dengan seseorang yang ‘baru’ dalam kehidupan pergaulan anda boleh jadi akan memberikan kesan mendalam melalui sesuatu yang tidak kasat mata. Kesan itu timbul bukan karena busana yang dikenakan, tutur kata yang bisa saja dibuat-buat, atau keramah-tmahan yang bisa saja semu. Kesan itu seperti timbul dari ‘dalam’ yang juga langsung menyentuh kedalam sanubari anda. Boleh jadi itulah yang dinamakan ‘aura’ yang memancar dari pribadi seseorang)


Tidak terdapat dalam kamus dan ensiklopedi ‘biasa”.

Kata “Aura” tidak bisa saya temukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Ensiklopedi Indonesia (EI) maupun Ensiklopedi Nasional Indonesia (ENI). Bahkan dalam buku Thesaurus Bahasa Indonesia (TBI) yang terbaru sekalipun. Dalam KBBI, EI dan TBI, setelah kata ‘aur’ yang berarti buluh atau bambu, langsung ke kata ‘aurat’ yang diberi penjelasan: bagian badan yang tidak boleh kelihatan (menurut hukum agama), telanjang, kemaluan, dst.


Lukisan tentang  aura Budha
Adapun dalam ENI setelah kata ‘Aum’ atau Om yang merupakann kata paling suci dalam agama Hindu, dibawahnya langsung tertulis kata ‘Aura Budha’ dengan penjelasan agak lengkap tentang sinar suci yang keluar dari tubuh Sang Budha Gautama pada saat pertama kali  mencapai ‘Penerangan Sempurna’ dibawah pohon Bodhi  di Uruvela pada tahun 508 SM.
Saya baru menemukan kata atau istilah ‘Aura’ itu dalam buku tentang paranormal dan parapsikologi. Didunia parapsikologi, paranormal dan penganut aliran spiritual lain, aura disebutkan sebagai sebuah lempeng cahaya yang bersinar menyelimuti tubuh manusia. Sinar ini tidak kasat mata, kecuali orang-orang tertentu yang mempunyai kemampuan (atau telah berlatih khusus) untuk melihatnya.
Secara ilmiah barangkali aura bisa didefinisikan dengan biolistrik yang merupakan suatu lapisan yang ada di sekitar tubuh manusia dan digunakan untuk melambangkan kondisi energi, kesehatan serta karakter seseorang.


Usaha untuk bisa melihat aura manusia

Ternyata sejak Budha diketahui bisa mengeluarkan sinar suci dari tubuhnya pada tahun 580 SM, manusia telah berusaha dengan keras untuk dapat melihat ‘sinar ajaib’ tersebut pada diri semua orang. Bahkan sudah lama pula ada usaha untuk bisa memotret sinar yang disebut sebagai ‘aura’ itu.
Pada saat sinar “X” atau rontgent ditemukan, memang sudah ada usaha untuk memotret ruh atau nyawa manusia dengan memakai sinar X yang dilakukan oleh Dr Duncan Mac Dougall pada tahun 1911. Percobaan itu dilakukannya pada seseorang ketika masih hidup dan sesaat kemudian setelah orang meninggal dunia. Namun tidak ada laporan pasti terhadap hasil penelitian dokter Duncan itu.
Barangkali diilhami oleh usaha tersebut, beberapa Ilmuwan terkemuka berusaha menemukan alat potret khusus untuk memotret aura. Diantaranya yang ditemukan oleh Semyon Davidovich Kirlian, seorang insinyur listrik, tahun 1939, yang disebut sebagai “Alat Potret Kirlian”.

Aura manusia berwarna warni

Konon aura yang terdapat pada tubuh manusia sangat berwarna-warni. Setiap orang tidak akan memiliki warna aura yang sama. Karena warna aura sangat ditentukan oleh perilaku dan sikap manusia itu masing-masing. Bahkan aura seseorang bisa saja berubah, sesuai dengan usianya yang makin bertambah. Suasana hati dan pengalaman hidup, bahkan lingkungan sekitarnyapun bisa membuat aura seseorang berubah pula.
Disebutkan bahwa warna aura dapat menunjukkan kepribadian seseorang. 
Konon kabarnya menurut hikayat, sinar suci yang keluar dari tubuh Budha berwarna biru, kuning, merah, putih, jingga serta gabungan dari kelima warna tersebut. Semua warna mempunyai arti tertentu. Biru pertanda baik, kuning melambangkan kebijaksanaan, merah menandakan cinta kasih, putih adalah lambang kesucian, sedangkan warna jingga adalah warna pertanda semangat. Dengan demikian gabungan dari lima warna tersebut berarti gabungan pula dari kelima sifat baik itu.
Gambar aura manusia
Pada tahun 1911, seorang dokter dari Inggris bernama Walter Kilner telah melakukan percobaan yang menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa badan atau tubuh manusia memang dikelilingi oleh sinar berwarna warni yang ia sebut sebagai “spectrum warna sinar ultra violet (UV)”. 
Akhirnya ia berhasil menyusun sebuah skema warna yang digolongkannya sebagai kelompok positip dan kelompok negatip sebagai berikut:  
* Kelompok warna yang melambangkan sifat positip:
Merah dadu melambangkan rendah hati atau sifat estetika
Orange (jingga) pertanda vitalitas atau dinamika
Kuning menunjukkan intelektual
Hijau melambangkan energy dan kreatifitas
Biru menunjukkan berkembangnya tingkat spiritual
Indigo pertanda kebijaksanaan
Perak melambangkan seseorang yang lincah dan multi talenta
* Adapun kelompok warna yang berarti sifat negatip adalah:
Merah tua memperlihatkan sifat rendah hati dan kurangnya rasa keindahan
Merah kecoklatan menandakan kebencian dan kekejaman
Merah asli pertanda nafsu
Kuning Tua memperlihatkan rasa curiga dan iri hati
Hijau tua melambangkan kecemburuan
Hijau zaitun menggambarkan pengkhianatan
Coklat pertanda seorang yang ambisius
Kelabu adalah lambang kepicikan dan kelicikan

Bagaimana mengetahui aura seseorang? Dijaman ilmu pengetahuan sudah sangat modern ini ternyata selain alat foto yang disebut sebagai Foto Kirlian, ada beberapa penemuan alat untuk melihat  aura yang jauh lebih sempurna yang diciptakan oleh para ahlinya.
Di Indonesia ada beberapa orang yang menyatakan diri sebagai ahli memotret aura yang menghasilkan foto yang dilengkapi pula dengan analisanya sekaligus. Tentu apabila anda berminat untuk mendapatkan foto dan analisanya, anda  harus membayar ongkos yang lumayan mahal. Karena perangkat lunak dan keras dari peralatan untuk ‘membaca’ aura juga membutuhkan investasi yang cukup besar.
Beberapa ahli yang lain menyatakan bisa melihat aura dengan mata telanjang. Bahkan mereka mau berbagi ilmu dengan memberikan petunjuk cara-cara untuk melihat aura diri sendiri dan orang lain. Untuk itu mereka rela menulis didunia maya (internet) dan menerbitkan berbagai macam buku tentang aura dan cara membaca atau melihatnya.

Saya menulis tentang aura ini hanya sekedar untuk membagi rasa ingin tahu tentang sesuatu ‘kata atau istilah’ yang sering jadi bahan pembicaraan tapi ternyata kata tersebut tidak terdapat dalam kamus dan ensiklopedi biasa di Indonesia.
Jadi jika anda tertarik membaca tulisan saya lalu berniat dan berminat mengetahui warna aura tubuh anda, silakan membuka situs di internet atau pergi ketoko buku untuk mencari buku petunjuknya.
Terus terang saya kurang berminat untuk tahu warna aura tubuh saya sendiri, karena saya tahu hasilnya pasti tidak bagus.
Saya telah berlaku jujur kan?
Dan ternyata jujur tidak dilambangkan dengan satu warna yang khusus.

Senin, 26 September 2011

"ANEKA BOGA PENGGUGAH SELERA" (11)

(Catatan tentang kuliner dari yang biasa sampai yang “aeng-aeng”)
-Bahan dan foto dari berbagai sumber-

Bagian Kesebelas

Ikan Hiu Raksasa ( Lat: Cetorhinus Maximus)


Hewan laut yang masih jarang dikonsumsi masyarakat Indonesia.

     Sesungguhnya perairan Indonesia lebih luas dibanding dengan daratannya. Sekitar lebih dari 70 %  keseluruhan wilayah Indonesia terdiri dari lautan dan atau perairan.
Itu sebabnya Indonesia disebut sebagai Negeri Maritim.
Lautan yang luas itu mengandung kekayaan alam yang sangat luar biasa. Tentu yang terbanyak adalah jenis ikannya disamping biota laut lainnya.
Begitu kayanya, sehingga laut Indonesia mengundang nelayan-nelayan dari negeri jiran untuk ikut menikmati keuntungan dari kekayaan lautnya. Pasti secara illegal, karena mereka menangkap ikan diluar wilayahnya.

     Namun sayang melimpahnya kekayaan hasil laut itu belum dimanfaatkan secara maksimal oleh sebagian besar penduduk Indonesia.
Kecuali hanya dijadikan mata pencaharian utama bagi para nelayan.
Data dari ahli pangan IPB menyatakan bahwa tingkat konsumsi masyarakat Indonesia yang gemar makan ikan per kapita per tahun masih tergolong rendah. Yang paling tinggi adalah orang Maluku (72 kg/orang/tahun). Sedangkan penduduk Yogyakarta menjadi yang paling rendah konsumsinya terhadap ikan (hanya 5kg/orang/tahun).
Mungkin letak geografis daerahnya ikut mempengaruhi animo masyarakat makan ikan.
Karena semakin jauh letak kotanya dari laut, semakin jarang ikan laut dan dengan demikian semakin mahal harganya. Sehingga tidak mengherankan jika ikan dianggap termasuk kedalam golongan makanan enak tapi ‘mewah’, dibanding dengan tahu dan tempe, misalnya.
     Bahwa ikan termasuk bahan makanan yang mengandung asam lemak omega 3 yang baik untuk melindungi kesehatan jantung, adalah sesuatu hal yang mungkin saja belum diketahui atau disadari oleh masyarakat luas.
Bagaimana mengubah animo masyarakat untuk gemar makan ikan? Pertanyaan yang sangat mudah, tapi sangat sukar dicari jawabannya. Karena masalahnya sangat komplek.
Sangat ironis bahwa keluarga nelayan sendiri mungkin lebih suka makanan instan (siap saji) daripada makan ikan, yang setiap hari tampak didepan mata. Alasannya sederhana saja: bosan tauk?

Laut Indonesia surganya ‘seafood’

     Perairan laut Indonesia sangat terkenal mempunyai begitu banyak jenis dan macam ikan. Hal itu juga diketahui oleh orang luar negeri, terutama para nelayan asing yang gemar main “selonong boy”, maling ikan diperairan kita.
Laut Indonesia memang penghasil bermacam ikan yang punya potensi ekonomi tinggi.
Yang paling mudah didapat dipasar dan relatip murah harganya biasanya adalah: Bandeng (lat: chanos-chanos), yang tidak akan saya bahas lagi disini karena sudah saya kupas habis dalam tulisan saya terdahulu.
Di pasar tradisional juga mudah didapat ikan Tuna sirip biru, Tongkol (lat: Thunnus Maccoyii) atau Cakalang  (lat: Katsuwonus Pelamis). Ketiga jenis ikan itu banyak terdapat diperairan sekitar pulau Sulawesi.

Tuna sirip biru yang berkualitas super biasanya diekspor ke Jepang.
Tuna, tongkol atau cakalang mempunyai tekstur daging sangat padat. Duri hanya terdapat dibagian tengah saja. Di Manado cakalang biasa dibikin rica-rica yang rasanya pedas. Di Jawa tongkol dibuat gulai, demikian juga di Sumatra Barat.


     Kemudian ada Kakap (lat: Lates Calcalifer) baik merah ataupun putih.
Menu paling hot direstoran Padang biasanya adalah gulai kepala ikan (kakap). Walaupun orang Betawi juga ternyata sangat suka makan masakan pedas berlemak dan bersantan ini. Mungkin karena bumbu rempah-rempahnya yang sangat terasa dan asyiknya mencari daging disela-sela tulang kepala ikan itu.
Tetapi jangan salah, gulai kepala ikan (Kakap) itu konon aslinya adalah masakan dari India yang dinamakan Curry (Kari atau Kare). Serdadu Portugis, Inggris bahkan Belanda yang pernah ‘meraja-lela’ di tanah air kita punya banyak sekali anggota pasukan yang berasal dari India. Merekalah yang membawa resep masakan dengan rempah-rempah pekat yang menimbulkan aroma sangat menggoda dan membangkitkan selera itu.

Ingat Kakap tentu ingat Teri. Karena didunia kriminal biasanya ada istilah penjahat kelas Kakap (besar) dan kelas Teri (kecil).
Teri (lat: Stolephorus Commersonii) atau Bilis Eha, adalah ikan yang ukurannya sangat kecil dan hidup berkelompok. Mustahil bisa menangkap ikan ini sendirian. Karena selama ini sudah umum diketahui tidak ada teri yang besar nyali nya sehingga berani kelayapan sendiri dilautan. Namanya juga teri gitu loh!
Jadi ikan itu pasti akan selalu tertangkap bersama ‘geng’ nya dalam setiap razia penangkapan ikan yang dilakukan oleh para nelayan dengan memakai jaring.
Selain dijual sebagai teri basah, teri kebanyakan dijual sebagai ikan yang sudah diasinkan. Walau bentuknya kecil, jangan tanya soal rasanya. Gurih dan kemripik (renyah) kalau digoreng atau dibikin rempeyek. Yang tersohor namanya adalah Teri Medan yang berwarna putih bersih seperti nasi. Oleh sebab itu yang ditemukan diluar daerah seputar Medan lalu disebut sebagai ‘teri nasi’. Harganya juga lumayan mahal.
Kalau di Jawa Tengah (khususnya daerah sekitar Pantura) selain dibuat ikan asin ada yang menjual teri basah dalam kedaan sudah dibuat semacam bulatan sebesar kelereng. Namanya “Blenyik”.

     Dilautan bebas ternyata ada sejenis ikan buas menakutkan yang sejak dulu kala sudah menjadi buruan manusia.
Namanya Hiu atau Cucut (Ingg: Shark, lat: Sphyrnidae).
Padahal ikan ini termasuk jenis karnivora buas yang memakan nyaris semua hewan isi lautan. Kecuali beberapa jenis cucut yang hanya memakan plankton.
Sejak lama hiu diburu untuk tidak saja diambil dagingnya, tetapi yang terutama adalah hati dan siripnya. Daging ikan hiu atau cucut sendiri tidak terlalu disukai, kecuali dibeberapa wilayah yang termasuk daerah penghasil ikan cucut.
Minyak ikan yang terkenal sebagai “Cod Liver” yang kaya asam lemak Omega 3 dan DHA selain berasal dari ikan laut yang lain, juga berasal dari bagian tubuh ikan cucut ini.
Sudah sejak jaman dulu kala, koki bangsa Cina mempunyai resep masakan yang terbuat dari sirip hiu (cina: Hisit). Masakan itu terkenal diseluruh dunia sebagai “Sup sirip ikan hiu” (shark fin soup) yang disajikan di resto internasional ternama dengan banderol harga sangat mahal. Apalagi kalau ditambah dengan sarang burung (dari burung walet, burung layang-layang, Jw: Sriti, Lat: Collacalia Fuciphaga).
                                                                                   
“Kwartet” yang paling banyak dipajang diwarung kaki lima.

     Ada hewan penghuni laut yang bukan termasuk keluarga ikan, tapi sangat disukai oleh manusia (terutama yang tinggal dikota besar) untuk dijadikan santapan.
Antara lain yang sangat terkenal kelezatan dagingnya diseantero dunia adalah Udang.
Termasuk dalam kelas Crustaceae, hewan yang disebut sebagai golongan sefalotoraks (karena kepalanya menyatu dengan dada) ini terdapat nyaris diseluruh bagian dunia dan mempunyai sekitar lebih dari 30.500 jenis.  
Udang selain mempunyai potensi ekonomi sangat tinggi juga terkenal sebagai hewan yang berprotein tinggi. Oleh karena itu mereka yang cenderung punya bakat penyakit hyper cholesterol (kolesterol tinggi), harap hati-hati memakan hewan lezat ini.

Yang terkenal sangat mahal harganya adalah Udang Barong atau Udang Karang (Ingg: Lobster). Adapun yang banyak dijual dipasar dengan harga lumayan tinggi adalah Udang Putih, Udang Api-Api dan Udang Windu serta Udang Galah (dua yang terakhir itu berasal dari perairan tawar, payau, tambak dan kali atau sungai).
Selain itu laut juga menghasilkan Cumi-cumi, atau Gurita (Jw: Nus. Btw; Sotong, Juhi, Ingg: Squid, Lat: Loliginidae). Hewan ber’tangan’ banyak yang pernah sangat kondang karena jadi ‘monster’ dalam film “The Pirates of the Caribbean” ini mempunyai senjata andalan berupa kantong tinta hitam yang siap disemprotkan kapan saja, dimana saja dan kepada siapa saja yang dianggap musuhnya.
Tapi dengan atau tanpa tintapun, cumi-cumi tetap lezat kalau dimasak. Apalagi kalau sudah disajikan direstoran kelas atas dan diberi label nama“Calamari”.

     Ada hewan laut berkaki sepuluh yang termasuk jenis udang-udangan (Lat: Crustaceae)  yang disebut sebagai Rajungan.
Mahluk yang sulit dicari dimana gerangan kepalanya berada ini (hayo siapa yang bisa menemukan kepala rajungan atau Kepiting?) hidup diperairan laut bebas dan tentu saja halal dimakan.

     Namun pernah ada yang memperdebatkan tentang halal atau tidaknya memakan hewan sejenis Rajungan ini. Namanya Kepiting (Ingg: Crab, Lat: Scylla Serrata), yang  hidup diperairan dekat pantai, hutan bakau berair payau dan tambak. Hewan ini sejenis dengan Ketam yang hidup dipematang sawah dan pinggir kali (Jw: Yuyu). Oleh sebab itu dia dicurigai sebagai binatang amfibi yang mampu hidup didua dunia (darat dan laut).
Sekarang sudah ada fatwa ulama yang jelas menyatakan bahwa kepiting termasuk makanan yang halal, karena kebanyakan hidupnya berada diair (laut).
     Hewan laut lain yang populer dan disukai dagingnya adalah Kerang (Ingg: Shell, Oyster, Lat: Ostreidae). Binatang dari kelompok hewan bertubuh lunak (Lat: Mollusca) tapi berlindung dibalik cangkang yang keras ini kerapkali menjadi ‘mitos’, karena dianggap mempunyai semacam zat afrodisiak (perangsang) yang bisa meningkatkan libido (hasrat seks) kaum lelaki.

     Selain ikan laut, kwartet (empat) hewan laut yang saya sebutkan terakhir adalah primadona restoran ataupun warung tenda kaki lima yang menjual sea food (makanan yang berasal dari laut). Nyaris tak ada resto ataupun  warung tenda kaki lima yang berani memasang tanda “Disini tersedia macam-macam sea food”, jikalau tidak menyediakan empat jenis hewan laut yang menjadi hidangan favorit khalayak ramai itu.

     Cumi biasa dimasak dengan cara digoreng, dibakar atau dibumbui asam manis, saos tirem atau saos Padang yang pedas rasanya. Demikian pula dengan Udang ataupun Kepiting. Sedangkan kerang (baik kerang darah atau kerang hijau) yang dijual diwarung tenda kaki lima, biasanya hanya direbus lengkap dengan cangkangnya dengan bumbu seadanya seperti bawang putih dan rimpang (temu) kunci yang diiris tipis. Kerang rebus ini disajikan panas panas dengan ditemani sambal kacang yang diberi campuran nanas parut.  
Kerang juga biasa dibuat menjadi sate (setelah ditumis dengan bumbu kecap) untuk menemani makan soto ayam atau soto Kudus.

     Jangan bertanya dulu tentang resep memasak ikan dan teman-temannya ya?
Akan saya sajikan resepnya tersendiri dalam tulisan berikutnya.
Harap sabar menanti.


bersambung…..

Kamis, 22 September 2011

MISTERI MAKAM "ASTA TINGGI", SUMENEP


Tulisan lepas: 

"Robohnya Sopir Kami"

 Gerbang Makam "Asta Tinggi" Sumenep

Released by mastonie on Thursday, September 22, at 09.41 pm


Rencana merayakan Lebaran ditanah leluhur

Setidaknya sejak akhir tahun 90an saya sudah bukan termasuk pecinta “Mudik”. Saya merasa bahwa ritual "Mudik Bersama" itu lebih banyak mudaratnya daripada manfaaatnya. Padahal sesungguhnya tradisi itu adalah tradisi yang baik. Menjaga tali silaturahim adalah suatu hal yang dianjurkan pula dalam agama. Tapi ternyata tradisi yang baik itu berkembang menjadi sesuatu yang menimbulkan banyak persoalan yang seharusnya tidak boleh terjadi. Kemacetan jalan raya yang sangat parah adalah salah satu dampaknya. Dan itulah yang saya hindari.
Tapi awal bulan puasa tahun 2002 ternyata ada usul dari keluarga besar isteri saya untuk ramai-ramai berlebaran ditanah leluhur ayah mertua di Pulau Madura. Isteri saya adalah sulung dari 7 bersaudara. Menghadapi 6 suara (dari adik2nya) plus suara paling berpengaruh (dari ibu mertua), saya menyerah. Akhirnya diputuskan berangkat dengan mengendarai mobil masing-masing. Waktu keberangkatan bebas, tapi sudah harus berkumpul di kota Surabaya paling lambat hari H+2 sesudah sholat Ied. Dari Surabaya (dimana masih ada ipar ayah dan sesepuh asli Madura lainnya) baru ramai-ramai konvoi ke kota Sumenep di pulau garam. Jembatan Suramadu belum dibangun, mungkin baru sebatas wacana. Jadi konvoi 4 buah mobil (terdiri dari 2 Toyota Kijang, 1 Nissan Serena dan 1 Opel Blazer) menyeberang menggunakan ferry dari Tanjung Perak ke Bangkalan. Sebagai anak (menantu) yang tertua, saya otomatis didaulat sebagai pimpinan rombongan. Komunikasi antar mobil memakai HT 2 meteran. Karena kalau memakai HP kemungkinan ada blank spot. Selain itu juga mahal membayar pulsanya.

‘Perang mulut’ demi buah jambu….
Ini perjalanan saya yang kedua ke tanah leluhur ayah mertua. Madura masih seperti yang dulu. Panas dan kering kerontang. Setidaknya itu yang terasa sepanjang perjalanan. Walaupun makanan khas yang terkenal sampai ibukota adalah sate ayam dan soto Madura, tapi yang tampak banyak dijajakan dipinggir jalan adalah buah jambu air (lat: Syzygium Aqueum) yang berwarna hijau. Sangat eye catching (menarik mata) dan menerbitkan selera. Semua sepakat untuk membeli dan menikmati buah jambu itu. Akhirnya empat mobil berhenti dipinggir jalan. Para sesepuh yang memang asli Madura didaulat untuk maju menawar. Dalam pikiran awam, harga pasti bisa jadi miring kalau pembeli dan penjual berasal dari satu daerah dan berkomunikasi dengan bahasa yang sama.  Tapi yang terjadi kemudian sangat diluar dugaan. Barangkali karena melihat mobil yang dipakai semua ber plat nomor “B” (Jakarta), maka harga yang ditawarkan sungguh gila-gilaan. Mungkin para pedagang itu punya prinsip: ”Saudara tetap saudara, duit tetap duit”. Pada siang terik itu kemudian terjadi ‘perang mulut’ yang seru dan seram. Menggunakan bahasa dan dialek Madura yang sangat kental, terjadi perdebatan dalam suara tinggi dihiasi dengan tangan yang serabutan. Generasi penerus yang menunggu dalam mobil (dan tidak faham bahasa leluhurnya) hanya bisa bengong melihat adegan seru tapi semi kocak itu. Isteri saya yang ikut dalam ‘pertempuran’ itu rupanya sudah berhasil mencicipi beberapa biji jambu, lalu balik kemobil sambil tak kuasa menahan tawa. 
Dek remaaaah sampiyan diiiiik......
Yang lebih menggelikan, para sesepuh akhirnya juga kembali ke mobil masih dengan mengomel dan merepet panjang pendek. Tapi dengan tangan hampa. Alias gagal membeli jambu meski hanya satu bijipun. Akhirnya bisa juga kita menemukan pedagang jambu yang masih ‘normal’, beberapa kilometer dari lokasi perang mulut tadi. Maka jadilah kita makan jambu me-rame didalam mobil sambil tertawa ngakak sepanjang jalan.

Kisah nasi rawon

Kota Sampang terlewati, mobil melaju menuju Pamekasan. Matahari sudah tergelincir, panas masih menyengat dan perut mulai keroncongan. Tujuan berikutnya tentu saja mengisi perut. Maka dicarilah rumah makan dipinggir jalan yang penampilannya cukup meyakinkan. Benak saya sudah membayangkan makan sate ayam dan soto Madura yang ‘nyemooot’ (nikmat). Sambil nyender dan nyelonjorin kaki saya buka daftar menu. Alamaaaak…..ternyata yang tertera adalah masakan cina (Chinese food).  Masakan Jawa yang tersedia hanya “nasi rawon” thok thil (saja). Rupanya semua setuju. Maka kita rame rame makan nasi rawon. Beberapa anak minta bakmi goreng. Alamaaaak…(yang kedua), ternyata nasi rawon yang warnanya kehitaman itu rasanya ‘ora ngalor ora ngidul’ alias tidak karu-karuan. Berhubung perut lapar, ya terpaksa dihabiskan juga. Kemudian hari ternyata bahwa setiap rumah makan yang kita singgahi selama berada dipulau garam, menu utamanya adalah nasi rawon! Kemana itu kaburnya sate ayam dan soto yang katanya khas Madura? Kabur ke pulau Jawa? Yang kita temukan dikota Pamekasan malah cuma “sate lalat”.

“Tragedi” Pantai Lombang, pengemudi satu persatu ‘tumbang’….

Sumenep adalah ibukota Kabupaten yang terletak paling timur dipulau Madura. Waktu itu hanya ada satu penginapan yang bisa menampung satu keluarga besar. Terletak dipertigaan jalan, penginapan itu konon biasa dipakai oleh keluarga Bung Karno kalau sedang ziarah ke Sumenep. Sesudah istirahat semalam, keesokan harinya sesudah makan pagi, empat mobil langsung tancap gas menuju Pantai Lombang. Mobil pertama saya kemudikan sendiri, mobil kedua dikemudikan oleh Tacok, adik laki-laki tertua isteri saya, mobil ketiga dikemudikan oleh Itok, adik laki-laki nomer 6 dan mobil terakhir dikemudikan oleh Kilik, adik laki-laki nomer 4. Semua tidak mengandalkan ‘co-pilot’. Identitas para pengemudi ini perlu saya jelaskan, karena nanti akan terjadi sebuah peristiwa ‘misterius’ yang nyaris tak masuk akal. 

Terletak sejauh 30 kilometer lebih dari kota, Pantai Lombang adalah pesisir laut Jawa di pulau Madura. Tempat rekreasi yang mulai digarap untuk wisata pantai dan laut. Ternyata memang cukup diminati oleh wisatawan domestik. Disitu sudah tersedia perahu layar dan perahu motor untuk disewa mengelilingi pantai. Ada panggung kesenian untuk menampilkan atraksi pada setiap hari libur. Kios cindera mata dan makanan juga tersedia lengkap. Dipantai ini terdapat banyak sekali tanaman hias jenis ‘cemara udang’. Tanaman yang mahal harganya ini tampak dibudidayakan dan dijual disepanjang jalan menuju pantai.
Kurang lebih baru sekitar satu jam lamanya kita menikmati keindahan pantai Lombang, ketika tiba-tiba terdengar suara gaduh. Ternyata Tacok terserang diare sangat berat. Di siang hari yang panas terik itu dia sudah berulang kali keluar masuk jamban yang ada dipantai. Akhirnya dia pingsan kena dehidrasi.  SATU sopir robohBuyar semua rencana wisata. Saya putuskan untuk segera balik kekota Sumenep. Posisi Tacok sebagai driver diambil alih oleh istri Kilik yang pandai menyopir. Empat mobil segera ngebut pulang. Baru kurang lebih setengah perjalanan ketika Kilik teriak-teriak lewat HT minta konvoi berhenti. Perasaan hati saya mulai tidak enak. Saya memutuskan berhenti didekat sebuah masjid dipinggir jalan. Sekarang giliran Kilik yang terkena sakit perut akut. Sudah DUA sopir tumbang. Bahaya nih. Selesai menuntaskan hajatnya,  Kilik berkeras tak mau digantikan. Konvoipun melanjutkan perjalanan. Beberapa kilo menjelang masuk kota, saya merasa perut saya mulai berontak. Gawat. Masak sakit perut mendadak ini hanya menyerang para pengemudi? Para penumpang semuanya baik-baik saja! Pikiran saya melayang ke nasi rawon kemaren. Akan tetapi andaikan salah makan, atau keracunan makanan, pasti semua akan terkena. Giliran saya yang teriak minta mampir kerumah saudara yang terdekat dari jalan raya yang dilalui. Saya sudah tak tahan lagi. Belum sempat memarkir mobil, saya sudah ‘terbang’ menuju kamar kecil. Perut rasanya seperti diaduk-aduk. Perih dan melilit. Tetapi yang keluar hanya cairan. Sekarang TIGA sopir sudah jadi korban. Tinggal Itok yang masih segar bugar. Tapi belum selesai saya menuntaskan hajat, saya dengar Itok minta ijin mendahului pulang ke penginapan. Katanya perutnya juga sudah mulai terasa tidak karuan. Astagfirullah….kini lengkap sudah EMPAT sopir roboh terkena serangan penyakit misterius dan ‘aneh’ itu. Saya putuskan bergegas kembali ke penginapan. Isteri saya berkeras agar anak laki-laki saya yang ganti mengemudi. Selama ini saya tidak mengijinkan anak laki-laki saya mengemudi mobil selama masih ada saya. Walaupun dia ahli menyetir pesawat terbang, tidak berarti dia juga ahli menyetir mobil. Jelas saya jauh lebih pengalaman karena sudah menyetir mobil ketika dia masih ingusan. Siang itu saya menyerah. Posisi pengemudi diambil alih anak laki-laki saya. Sampai di penginapan empat orang pengemudi terkapar dikamar masing-masing. Masih terus pulang pergi kekamar kecil. Adik ipar saya yang dokter gigi sibuk perintah sana sini untuk mengendalikan situasi. Seluruh toko di Sumenep di-ubek untuk mencari minuman ‘pocari’ guna mencegah dehidrasi yang lebih parah.

Gara-gara melupakan “Asta Tengki” ?


Prasasti Makam Asta Tinggi

Acara pada malam hari itu sebetulnya adalah malam silaturahim. Pertemuan dengan seluruh keluarga besar ayah mertua dan para sesepuh yang masih ada dikota Sumenep. Bahkan ada yang datang dari kota Pamekasan dan Sampang. 
Sewaktu mendengar kisah tentang “robohnya (empat) sopir kami”, salah seorang paman yang paling sepuh mendekati saya yang masih dalam kondisi badan lemah, lesu, lemas. 
Beliau bertanya dengan wajah serius:
”Sudah sowan (datang menghadap) ke ‘Asta Tengki’ nak?” Saya terperangah. Tak kuasa menjawab, karena kenyataannya memang kita satu rombongan belum melakukan ziarah kemakam para leluhur itu. Tak sengaja saya teringat pesan almarhum ayah mertua. Apabila anak cucu keturunan para bangsawan Keraton Sumenep datang ke kota Sumenep, maka yang pertama kali harus dilakukan adalah ziarah kemakam Asta Tinggi atau Asta Tengki. Sesudah itu mereka baru boleh pergi kemana saja sesuka hati.
Masya Allah, padahal yang kita lakukan pertama kali sewaktu datang ke Sumenep tadi pagi justru berwisata ke Pantai Lombang! Apakah robohnya para sopir alias pengemudi adalah karena melanggar 'wewaler' (aturan berupa pantangan) yang tak tertulis itu? 
Wallahu a’lam.

“Asta Tinggi” makam para bangsawan Sumenep.

Terletak diketinggian sebuah bukit dikelurahan Kebon Agung, Kecamatan Kota Sumenep, makam para bangsawan dan leluhur Keraton Sumenep ini konon dibangun pada tahun 1750 M. Letaknya ditanah yang tinggi itulah yang barangkali lalu menjadikan makam itu dinamakan “Asta Tinggi” atau “Asta Tengki” (bahasa Madura). Lokasi makam ini terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama dinamakan Kubah “Bindoro Saud”, yang kedua komplek makam “Panjang Jimad” dan yang paling belakang dinamakan Pemakaman “Pangeran Panji Pulang Jiwo”.
Ada tata tertib khusus apabila ingin berziarah di makam Asta Tinggi. Selain harus mengisi buku tamu disetiap komplek makam, para peziarah harus mulai kunjungan dari komplek paling belakang yaitu komplek pemakaman “Pangeran Panji Pulang Jiwo”. Kemudian baru melangkah ke makam “Panjang Jimad” dan terakhir ke Kubah “Bindoro Saud”.
Konon menurut kisah penduduk sekitar makam, masih sering terjadi hal-hal misterius dan aneh disekitar makam Asta Tinggi ini. Diantaranya adalah sinar yang keluar dari salah satu batu nisan yang ada di dalam komplek makam itu dan meledaknya sebuah makam yang sampai kini tidak diketahui pasti apa penyebabnya.
Makam Asta Tinggi dan Keraton Sumenep menjadi bukti sejarah adanya bangsawan keturunan Raja Jawa yang pernah berkuasa di pulau Madura. Tidak heran bahwa penduduk Sumenep rata-rata lebih halus tutur kata dan perilakunya dibanding penduduk kota lain dipulau garam yang kering dan panas itu.
Wallahu a’lam bissawab.


Catatan:
(Believe it or not. Boleh percaya boleh tidak, ketika mencoba mengunggah tulisan ini kedalam blog, kebetulan tepat pada hari malam Jum'at, mendadak komputer pribadi (PC) saya ngadat. Mati dengan sendirinya sambil meninggalkan pesan dilayar "No signal detected". Kemudian mendadak restart (hidup kembali) sendiri. Sewaktu sudah berhasil masuk ke blog, PC sekali lagi mati sendiri. Begitu berulang-ulang, sampai pagi hari!. Akhirnya saya terpaksa mengunggah lewat laptop, tapi tanpa dokumentasi foto. Tukang service komputer yang saya panggil tidak berhasil menemukan virus atau kerusakan apapun dalam CPU komputer saya. Sampai saat anda baca tulisan saya ini)

NB: Dua Minggu kemudian kerusakan baru terdeteksi. Setelah diganti beberapa part dan software system nya baru CPU bisa bekerja normal kembali. Ternyata kerusakan memang ada pada CPU.

Rabu, 21 September 2011

"ANEKA BOGA PENGGUGAH SELERA" ( 10 )

(Catatan tentang kuliner dari yang biasa sampai yang “aeng-aeng”)
-Bahan dan foto dari berbagai sumber-

Bagian Kesepuluh

 Cabe merah (Lat: capsicum annuum)


Released by mastonie on Wednesday, September 21, 2011 at 06.56 pm



Bumbu yang membuat ‘hot’ ……

     Entah bagaimana sejarahnya dulu, banyak orang yang begitu suka dengan masakan yang mengandung  rasa pedas.
Di Indonesia ada beberapa sukubangsa yang identik dengan masakan yang rasanya pedas. Beberapa suku malah menyukai masakan dengan rasa ekstra pedas.
Yang menonjol diantaranya adalah masakan spesial orang Minang (Padang, Sumatra Barat) dan orang Manado (Sulawesi Utara).
Misalnya kari dan rendang serta balado (Minang), dan masakan bernama rica-rica (Manado).

     Diantara bumbu utama yang bisa membuat masakan menjadi pedas itu antara lain adalah:
Cabai, atau cabe (Jw: Lombok) yang terdiri dari cabe merah/hijau (Latin: capsicum annuum) dan cabe rawit (Latin: capsicum fruteescens).
Yang menyebabkan rasa pedasnya adalah minyak atsiri yang terdapat dalam buah dari pohon perdu semusim yang termasuk suku Solanaceae itu.  
Cabe juga mengandung fruktosa, protein dan vitamin C.
Lada atau merica (Lat: piper nigrum) yang merupakan buah berbentuk butiran kecil dengan biji yang keras. Biji inilah yang disebut sebagai lada. Tetapi sekarang sudah banyak dijual lada yang berbentuk bubuk.
Lada terdiri dari dua macam: lada putih dan lada hitam.
Jahe (Lat: zingiber officinale rocs) adalah rimpang (umbi) tumbuhan berbentuk perdu.
Ketiga jenis bumbu atau rempah-rempah itu secara sendiri-sendiri bisa menyebabkan masakan menjadi pedas. Apalagi kalau ketiganya digabung menjadi satu dalam satu masakan. Ditanggung bisa ‘membakar’ lidah, mulut dan perut.

     Rasa pedas memang merupakan rasa yang bisa merangsang nafsu makan. Rasa itu juga bisa memacu keluarnya keringat secara berlebihan dari dalam tubuh. Tidak heran kalau ada yang membuat bahan bumbu itu menjadi campuran obat.
Para maniak (pecinta berat) rasa pedas belum puas kalau belum makan ditemani lauk masakan yang amat sangat pedas sekali, yang seolah-olah mampu membakar lidah, mulut, perut bahkan badan.
Alih-alih kepedasan, para maniak ini bahkan merasa terpuaskan, ditandai dengan muka merah, keringat bercucuran diseantero badan serta mulut ‘nganga’ sembari mengeluarkan suara: ”Hoo haaah, hoo haaah..”!!
Itu sebabnya ada pepatah Jawa yang mengatakan :”Kapok Lombok”.
Maksudnya tidak akan menjadi jera, seperti orang yang tak akan jera makan cabe.


Sambal (yang di) goreng, masakan favorit yang tahan lama.

     Di belantara boga atau kuliner Indonesia, siapa yang tidak kenal ‘sambal’?
Terdiri dari bahan-bahan yang diantaranya adalah cabe yang mengandung sedikit khasiat ‘antiseptik’ karena pedasnya, maka sambal biasanya tahan lama. Apalagi kalau sebelum disajikan masih digoreng lebih dulu, seperti sambel bajak, misalnya.
Sewaktu saya belajar hidup sendiri dan mandiri, saya selalu membuat sendiri sambal bajak yang bisa tahan berhari-hari tanpa harus disimpan dilemari es. Bahkan tanpa harus dipanasi. Disamping itu saya juga suka membuat sendiri sambal lain yang pokoknya mudah membuatnya tapi enak rasanya. Dibawah ini ada tiga resep sambal yang (dahulu) pernah menjadi teman lauk makan saya sehari-hari.

Sambal Bajak (khas Jawa Tengah):


Bahan: udang segar (orang Jawa Barat/Sunda lebih suka memakai ebi, udang kering), cabe merah, bawang merah dan putih, kemiri, terasi, gula pasir, garam secukupnya, minyak goreng untuk menumis dan santan kental.
Cara membuatnya mudah saja:
Siangi udang sampai bersih. Buang kulitnya. Kalau memakai ebi, maka ebi harus dicuci bersih, kemudian dimasak sampai lunak dahulu.
Haluskan semua bumbu berikut udang atau ebinya sekalian. Tumis dengan minyak sampai harum baunya. Tuangkan santan kental dan aduk-aduk sampai rata. Masak dengan api kecil sampai santan mengental sampai seperti keluar minyaknya. 
Angin-anginkan sampai panasnya hilang, baru masukkan dalam botol yang sudah dicuci bersih. Usahakan selalu botol dalam keadaan tertutup rapat. Buka botol hanya pada waktu mengambil sambalnya saja.
Sambal bajak ini bisa dijadikan lauk makan  tanpa ‘teman’ lauk yang lain (jika dalam keadaan terpaksa, dompet sedang kosong, misalnya).
Nasi putih dimakan dengan sambal bajak thok (doang, saja), sudah terasa seperti makan direstoran (walau kadangkala sambil ‘mbrebes mili’ -keluar air mata- karena merasa sangat  nelangsa -terharu sedih-).
Inilah lauk paling nikmat,  yang pernah saya andalkan semasa bujangan.

Sambal Goreng Petis (khas Jawa Timur):

     Bahan: petis udang, daun salam, lengkuas/laos, daun jeruk, air asem Jawa, santan kental.
Bumbu: cabe rawit (iris halus), cabe merah dan hijau, bawang merah dan putih, kunyit dan garam serta minyak goreng secukupnya.
Cara membuat:
Haluskan semua bumbu (kecuali cabe rawit yang diiris halus). Tumis semua bumbu, ditambah daun salam, lengkuas dan daun jeruk. Setelah harum masukkan petis udang, irisan cabe rawit dan air asem Jawa. Aduk-aduk sampai rata. Masukkan santan dan masak sampai menjadi kental dan keluar minyaknya.
Sambal petis ini memang hitam rupanya, tapi nyemoot (nikmat) rasanya, tak iyeeeee….

Sambal Bawang (khas bujangan  dan anak kos-kosan):

     Inilah sambal paling sederhana, paling mudah dan paling murah.
Cocok dibuat oleh kaum jomblowan-jomblowati (mereka yang masih bujangan) dan para siswa/mahasiswa serta orang kantoran penghuni rumah kos.
Sebenarnya ada dua macam sambal bawang. Yang digoreng dan yang mentah. Tapi semuanya mudah dibuat dan murah.

Sambal bawang yang digoreng:
Bahan: Bawang merah dan bawang putih, cabe merah dan garam.
Cara membuat: haluskan semua bahan, tumis dengan minyak goreng secukupnya. Angkat setelah tampak berminyak.
Ada satu rahasia yang hendak saya bocorkan. Sambal bawang goreng ini bisa jadi bumbu dasar nasi goreng yang tak kalah lezatnya. Jika bosan makan nasi putih dan sambal ini, bikin saja nasi goreng. Caranya mudah: tambahkan sedikit terasi yang sudah dihaluskan pada sambal, tambah dengan sedikit irisan bawang merah, tumis lagi dengan sedikit minyak (kalau ada minyak jelantah lebih enak), kalau punya cadangan telur ayam, bisa dicampurkan juga. Kalau sudah berbau harum masukkan nasi putihnya. Aduk sampai rata, kalau suka bisa ditambah dengan kecap manis. Jadi deh nasi goreng dadakan.
Untuk sambal bawang mentah, bahannya hanya bawang putih, cabe merah dan garam saja. Haluskan semua bahan dan segera sajikan. Sambal bawang mentah yang rasanya segar ini tidak bisa disimpan lama.
Dan menurut pengalaman saya inilah sambal paling hemat yang bisa dibuat.

     Ketiga sambal diatas adalah teman lauk, yang  bahan dan bumbunya hanyalah  cabe. 
Baik cabe merah, cabe hijau dan atau cabe rawit.
Lauk ‘hot’ lain yang berbumbu lada atau merica, jahe dan cabe, atau gabungan dari ketiga bumbu ‘panas dan pedas’ itu,  akan saya sajikan segera.
Tunggu tanggal mainnya……



bersambung……