Senin, 24 Oktober 2011

"DHAUP AGENG" (PERNIKAHAN AKBAR)


Tulisan lepas:
Bagian pertama dari dua tulisan.

'Gawe' besar
KARATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT

 Buku Kenangan Resepsi "Dhaup Ageng"

Released by mastonie on Monday, October, 24, 2011 at 11.36 am



Warga Yogya yang selalu setia pada Rajanya......

Matahari bersinar sangat terik disiang hari menjelang sore dipertengahan bulan Oktober 2011. Hati saya nratap (berdesir), pemandangan yang tersaji didepan mata mengingatkan saya pada pemandangan yang nyaris sama pada bulan Oktober tahun 1988. Masyarakat Yogyakarta berbondong-bondong mendatangi alun-alun yang terletak dipusat kota. Tua muda, besar kecil, laki-laki dan perempuan segala usia seperti tak mengenal lelah dan tak takut terpaan sinar mentari yang menyengat mata dan kepala.

Hanya suasananya yang jauh berbeda. Bulan Oktober tahun 1988, masyarakat Yogyakarta khususnya dan Indonesia pada umumnya sangat berduka karena wafatnya Ngarso Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Wajah-wajah yang tampak disepanjang jalan adalah wajah yang muram, sembab dan banyak pula yang terus mengucurkan air mata. Kesedihan sangat mendalam terasakan dimana-mana. Mendung menggantung, semilir anginpun berhenti seperti menyiratkan duka nan mendalam. Sepasang Beringin kurung di alun-alun layu menguncup daunnya.
 
23 tahun kemudian, hari Selasa Wage, 20 Dulkaidah tahun 1944 atau tanggal 18 Oktober 2011, suasana tampak sangat bertolak belakang. Kini yang terlihat adalah wajah cerah ceria. Senyum menebar dimana-mana. Masyarakat Yogyakarta dan daerah sekitarnya begitu antusias menyerbu alun-alun dan sepanjang jalan Malioboro. Kemacetan pun tak terhindarkan. Mobil dan sepeda motor tampak diparkir dipinggir jalan, ratusan sepeda motor diparkir memenuhi gang-gang yang berada dekat dengan alun-alun karena Jalan Malioboro sejak pagi dinyatakan ditutup untuk semua jenis kendaraan. 


Pada hari itu ratusan pedagang kaki lima dan angkringan secara sukarela menyediakan masing-masing sekitar 200 makanan dan minuman yang dibagikan secara gratis kepada siapa saja. Tak terbayangkan kesetiaan, keikhlasan dan suka cita warga Yogyakarta menyambut pesta “Dhaup Ageng”  (Pernikahan Akbar) putri bungsu Sri Sultan Hamengku Buwono X.

Undangan yang mengagetkan

Seminggu sebelumnya ada BBM masuk ke perangkat BlackBerry saya. Pengirimnya adalah dokter Maya Dewimayanti Rizadh. Isinya sangat mengejutkan:

“Mohon ijin memberitahukan bahwa bapak mendapat Undangan pernikahan Ubed. Harus segera ada konfirmasi kesediaan hadir. Kalau tidak undangan akan ditarik kembali. Trm ksh”.

Dokter Maya adalah teman sekolah satu angkatan dengan anak perempuan saya. Dia kakak ipar calon mempelai Pria yang sehari-hari biasa dipanggil “Ubed” (nama aslinya Ahmad Ubaidillah, SE, Msi yang sekarang bergelar Kanjeng Pangeran Harya Yudanegara). Kebetulan pula, suami dokter Maya adalah Drs. Rizky Adhari, SH (saat ini menjabat sebagai salah satu Lurah di Kebayoran Baru) yang pernah bertugas sebagai Ajudan Menteri Dalam Negeri semasa saya masih menjadi Sekretaris Pribadi Menteri Dalam Negeri. Pak Lurah Rizky ini adalah kakak laki-laki tertua dari Mas Ubed. Dialah yang akan menjadi pengganti ayahnya yang sudah wafat, untuk mendampingi Ibunya sebagai Besan Sri Sultan HB X. Sedangkan Mas Ubed (calon mempelai pria) sendiri sebelum menjabat salah satu Kasubid di Kantor Sekretariat Wakil Presiden, pernah pula bertugas sebagai staf Protokol di Depdagri, sehingga secara pribadi saya mengenal dengan baik mereka berdua beserta keluarga besarnya yang asli Lampung.
Tanpa berpikir panjang saya langsung membalas BBM  dari dokter Maya untuk menyatakan kesediaan hadir saya bersama isteri. Siapa yang mau melewatkan kehormatan bisa menyaksikan acara pernikahan Karaton Yogyakarta Hadiningrat yang pasti akan berlangsung secara megah itu. 
Dua hari kemudian Undangan dari Sri Sultan Hamengku Buwono X sudah berada ditangan saya. 


Berupa sebuah buku setebal nyaris dua sentimeter, berwarna hijau dengan hiasan warna prada (emas) berlambang Sultan HB X yang sangat khas (warna merah menyala diselimuti warna emas), undangan itu dicetak sangat mewah. 
Apabila dibuka, dibagian sebelah kiri undangan “Dhaup Ageng” berwujud tiga lembar pemberitahuan (undangan dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan satu kartu parkir mobil). Disebelah kanan terbagi menjadi tiga bagian. Paling atas terdapat sebuah buku notes sebagai souvenir, dibagian tengan ada dua buah lencana berbentuk lambang Sultan HB X berwarna emas dengan pita berwarna hijau. Lencana berpita ini wajib dikenakan para tamu sebagai ‘tanda masuk’ ke tempat resepsi. Bagian paling bawah adalah sebuah kartu tanda hadir yang harus diisi nama dan alamat tamu undangan. Kartu ini dipergunakan sebagai pengganti buku tamu.

Gemetar tangan saya membaca undangan dari Ngarso Dalem Sri Sultan HB X. Disitu tertulis dengan jelas (sebagai awal kalimat) siapa pengundangnya:

“NGERSO DALEM SAMPEYAN DALEM INGKANG SINUWUN KANGJENG SULTAN HAMENGKU BUWONO SENOPATI ING NGALAGA, NGABDURRAKHMAN SAYIDIN PANATAGAMA, KALIFATULLAH, INGKANG JUMENENG KAPING X ING NGAYOGYAKARTA HADININGRAT  saha  GUSTI KANJENG RATU HEMAS” 

Ini adalah sebuah kehormatan bagi rakyat jelata seperti saya. Alhamdulillah. Kenangan saya surut kembali ke tahun 1988, dimana pada saat itu saya juga mendapat kehormatan bisa mengantar  jenazah almarhum Ngarso Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono IX, mantan Wakil Presiden Republik Indonesia yang masih menjadi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta sekaligus Raja Yogyakarta. Saya bahkan duduk tepat disamping peti jenasah Sri Sultan HB IX yang dibawa kekota Yogyakarta dengan menggunakan pesawat C 130 Hercules AURI (TNI AU). Waktu itu saya mendapatkan jatah gratis sebuah surjan (jas Jawa, beskap) dan udheng wulung (ikat kepala warna hitam)  serta pinjaman kain jarik corak Yogya yang harus dipakai para peziarah untuk mengantar jenasah Ngarso Dalem sampai ke Makam Imogiri. Saat itulah saya menyaksikan betapa besarnya kecintaan rakyat Yogya terhadap rajanya yang mangkat di RS Walter Reed Amerika Serikat. Masyarakat berdiri takzim disepanjang jalan dari Karaton Yogyakarta sampai Makam Imogiri (Kabupaten Bantul) yang nyaris 20 km jauhnya.

Montor mabur yang harus terbang muter dan bermalam di Ndalem Gamelan

Saya dan isteri yang hanya mendapat undangan untuk hadir pada Resepsi Pernikahan Akbar (Dhaup Ageng), memutuskan untuk berangkat ke Yogya tepat pada hari “H” yaitu Selasa (18/10/11) pagi. Tentu hal ini menyangkut pertimbangan ‘ekonomi’, karena menyadari bahwa pasti seluruh hotel dan penginapan dikota Yogya akan fully booked  oleh tamu yang datang dari seluruh Indonesia. Saya yakin 'gawe besar' tersebut pasti akan membuat tarip hotel menjadi lebih mahal dibanding hari biasa.
Persiapan pergi ke kota Yogya memang sangat mendadak, semuanya datang secara tiba-tiba jadi harus bergerak cepat. Beberapa teman Fesbuk yang tinggal di Yogya saya hubungi, tapi semua menyatakan hotel dan penginapan sudah penuh. Beruntung adik bungsu saya mengelola sebuah home stay yang berada dikawasan njeron beteng (didalam beteng, Kraton), yaitu nDalem Gamelan, terletak dijalan Gamelan nomer 18. Kebetulan masih ada satu kamar yang kosong karena kamar mandinya berada diluar. Saya hanya butuh kamar tidur untuk semalam saja, bukan kamar mandinya, itu bukan masalah besar,  jadi saya putuskan untuk tinggal di nDalem Gamelan saja. 

Setelah menyibak kemacetan lalu lintas cukup parah di jalan tol dalam kota, hari Selasa pagi saya sudah berada di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta di kawasan Tangerang. Saya dan isteri mendapat kemudahan tiket pesawat Jakarta-Yogya PP secara gratis, karena anak laki-laki saya  adalah salah seorang ‘pengemudi’ di perusahaan penerbangan yang menerapkan sistem low cost (harga rendah) pertama di Asia. Maka terbanglah saya dengan percuma, naik montor mabur ke Yogyakarta.
Pesawat Airbus A-320 dengan nomor penerbangan QZ-7346 jurusan Yogyakarta yang saya naiki harus holding (terbang berputar-putar) diatas udara kota Yogya selama lebih kurang setengah jam sebelum mendarat. Ada apakah gerangan? Ternyata pada saat yang sama pesawat Kepresidenan sedang dalam proses tinggal landas, bertolak mengudara kembali ke Jakarta.  
Hmmmm.....beginilah nasib rakyat jelata yang (demi alasan keamanan dan keselamatan Presiden) selalu harus memberikan kemudahan dan prioritas kepada para pemimpinnya. 


Turun dari pesawat terbang, udara kota Yogyakarta sungguh sangat menyengat panasnya. Akan tetapi gairah kemeriahan menyambut Pernikahan Agung Putri Bungsu Sri Sultan HB X yang menjadi Rajanya “Wong Yogyakarta” sangat terasa disepanjang jalan menuju lingkungan Kraton. Spanduk besar bertulisan “Dhaup Ageng” yang dihiasi gambar pasangan mempelai Kerajaan sedang tersenyum cerah, terpajang dipinggir-pinggir jalan yang stategis.

“Dhaup Ageng” yang tidak kalah semaraknya dengan ‘the British Royal Wedding’

Sebenarnya rangkaian upacara Pernikahan Akbar putri bungsu Sri Sultan HB X berlangsung selama empat hari berturutan. Dimulai pada hari Minggu, 16 Oktober sampai dengan hari Rabu tanggal 19 Oktober 2011. Puncaknya adalah pada hari Selasa, 18 Oktober yang berupa Upacara Akad Nikah yang berlangsung pada pagi hari, Kirab Pengantin sepanjang jalan dari Karaton sampai Kepatihan Danurejan di sore hari dan Resepsi Pernikahan pada malam harinya. 
Resepsi “Dhaup Ageng” yang sakral dan agung berlangsung di bangsal Kepatihan Danurejan di Jalan Malioboro. Kepatihan sendiri sehari-harinya dipakai sebagai Kantor Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sore hari itu sebetulnya saya beserta isteri ingin sekali ikut menyaksikan acara Kirab Pengantin Kerajaan yang digelar disepanjang jalan dari Kraton ke Kepatihan Danurejan. Akan tetapi ternyata mobil yang saya naiki terjebak kemacetan dimana-mana, sehingga saya putuskan melihat acara tersebut di nDalem Gamelan, melalui siaran langsung dari TV Yogyakarta. 
Lebih nyaman dan tidak berebutan dan berdesakan, walaupun tentu ‘atmosfer’ nya sangat berbeda.
"Kiai Jong Wiyat"                                            repro: Kompas
Kirab Pengantin yang mempergunakan 5 (lima) Kereta Kuno milik Kraton Yogya yang rata-rata buatan abad 19 itu, memang terlihat dilayar TV sangat luar biasa. Kereta Kencana (berwarna kuning keemasan) bernama “Kiai Jong Wiyat” (Kw: Jong = Kereta, Wiyat = Angkasa) yang ditumpangi sepasang pengantin adalah kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda berkulit putih bersih. Diproduksi pada tahun 1880 oleh sebuah pabrik Kereta Kuda di negeri Belanda, kereta pusaka ini sudah sangat jarang dipakai karena usianya yang lebih dari 1 abad (tepatnya 130 tahun) dan dianggap sudah sangat uzur. 

Pasangan pengantin Kanjeng Pangeran Harya Yudanegara yang tampan gagah perkasa bersanding dengan Gusti Kanjeng Ratu Bendara yang mungil dan cantik jelita, tampil dengan wajah berseri-seri menimbulkan kekaguman siapapun yang menyaksikannya. Sungguh pasangan yang sangat serasi. 
Saya pribadi berpendapat, mereka berdua tidak kalah pesonanya dengan pasangan Pangeran William dan Kate Middleton, Pengantin Kerajaan Britania Raya!!  


bersambung......

Senin, 10 Oktober 2011

'ANAK TIRI' DITEMPAT UMUM: "MUSHOLLA"



Tulisan lepas:




Petunjuk arah ke Musholla

 Released by mastonie on Monday, October 10, 2011 at 2.00pm


Bangga menjadi Muslim Indonesia.

Sewaktu masih duduk dibangku Sekolah Rakyat (SR, kini SD), Guru Agama (Islam) saya sering bercerita tentang bagaimana Indonesia menjadi negara yang nyaris seluruh penduduknya beragama Islam. Konon (tahun 50an) hampir 90% lebih penduduk Indonesia menganut agama Islam.
Sebagai anak yang belum cukup umur, mendengar cerita itu saya bangga sekali menjadi seorang muslim. Walaupun pengetahuan saya tentang agama Islam pada saat itu pasti tidak ada seujung kuku.
Kini setelah lima dasawarsa lebih berlalu, kebanggaan saya sebagai seorang Muslim Indonesia masih tetap ada. 
Apalagi kalau melihat kuota (pembatasan jumlah) yang diberikan oleh pemerintah kerajaan Arab Saudi untuk Jemaah calon Haji Indonesia dari tahun ketahun (yang jumlahnya 1% dari jumlah seluruh penduduk setiap negara) juga terus meningkat. Bahkan sekarang untuk pergi ketanah suci menjalankan rukun Islam yang kelima itu, orang harus rela menunggu sekitar dua sampai tiga tahun lamanya dari saat mendaftar pergi haji secara reguler. 
Hal tersebut menunjukkan bahwa animo atau minat masyarakat untuk pergi haji tidak pernah surut. Belum lagi jumlah orang Islam yang setiap tahun pergi menjalankan ibadah Umroh.
Walaupun ada sedikit kegalauan kecil dalam hati saya: sekarang (tahun 2011) konon penduduk Indonesia telah meningkat pesat -kalau tidak boleh disebut ‘meledak’- jumlahnya menjadi sekitar 250 juta jiwa, tapi prosentase penduduk pemeluk agama Islam justru menurun menjadi kurang dari 90% (bahkan mungkin tinggal sekitar 80an% saja). Entah kenapa.

Musholla, tempat ibadah yang jadi ‘anak tiri’ ditempat umum

Tapi kebanggaan saya (sebagai seorang Muslim) itu berubah menjadi rasa prihatin kalau sedang berjalan-jalan atau masuk kedalam tempat perbelanjaan (Mal) yang banyak dibangun dikota-kota besar. Tidak terkecuali tempat-tempat yang menjadi tujuan  khalayak umum yang lain seperti Pasar (baik yang tradisional maupun yang modern), Stasiun Kereta Api, Terminal Bis, bahkan Bandar Udara.  Pemerintah dan para pengelola Mal serta tempat umum lainnya itu tampaknya menjadikan ‘Musholla’ (tempat sholat) sebagai tempat yang ‘kurang begitu perlu’, sehingga pembuatannya hanya sekedarnya saja. Yang penting ada. Mungkin perlu diingat bahwa setiap agama pasti mewajibkan penganutnya untuk menjalankan ibadah sesuai aturan agama. Walau  aturannya  tentu berbeda-beda. 
Khusus bagi pemeluk agama Islam memang mempunyai kewajiban harus melaksanakan sholat fardhu sehari lima kali. Dimanapun dia berada. Pasti jauh berbeda dengan kewajiban pemeluk agama lain yang mungkin hanya cukup seminggu sekali atau bahkan sekali sebulan, setahun atau setiap ada perayaan keagamaan saja. Walaupun kalau hanya untuk berdoa bisa dilakukan oleh pemeluk agama apa saja, kapan saja dan dimana saja serta tidak perlu memakan tempat. 
Tapi untuk mendirikan sholat memang dibutuhkan sebuah tempat yang khusus, bersih dan layak.


Hal yang sepele tapi sesungguhnya sangat penting ini tampaknya tidak pernah disadari oleh pihak yang berwenang memberikan ijin pembangunan sarana umum dan tempat-tempat hiburan dan pusat  perbelanjaan. Termasuk kesadaran dan kepedualian para perancang gedung (arsitek) dan para pemilik modal serta para pengelola gedungnya. Sebuah musholla seharusnya dibangun dengan memenuhi kriteria yang cukup pantas untuk sebuah tempat menjalankan ibadah wajib bagi seorang muslim guna bersujud kepada sang Maha Pencipta, Allah Subhanahu wa ta’ala. 
Faktor kesucian, kebersihan dan ketenangan seharusnya menjadi rujukan pertama dan utama. Ukuran ruang sebetulnya bukan menjadi masalah. Barangkali (maaf) banyak pengusaha atau pengelola Mal yang masih sangat memperhitungkan ukuran ruangan (tanah) yang berarti pemasukan uang dan keuntungan.
Oleh sebab itu tidak mengherankan jikalau dibanyak tempat umum, musholla selalu terletak berdampingan dengan toilet, kakus atau WC umum dengan ukuran dan kondisi "a la kadarnya" saja.




Di Ibukota Republik yang katanya sebuah kota Metropolitan, rata-rata keadaan tempat ibadah ditempat umum untuk para muslim itu sangat menyedihkan, apalagi dikota besar atau kota kecil lainnya diseantero Indonesia.
Jangankan di Terminal Bis atau Kereta Api, ditempat perbelanjaan (Mal) mewah bahkan digedung Perkantoran Swasta atau Pemerintah masih saja ada yang sampai hati tidak menyediakan ruangan yang dapat dipergunakan sebagai musholla secara layak.



Di Jakarta juga tidak kurang Mal yang hanya memberikan sebuah ruangan yang ala kadarnya untuk tempat sholat bagi para pengunjungnya. Walaupun banyak juga pengelola Mal yang rela memberikan ruangan yang cukup layak. Dibeberapa Pusat Pertokoan bahkan ada yang membangun sebuah masjid dilantai atasnya.
Didaerah Pasar Rebo Jakarta Timur ada sebuah tempat perkulakan dengan nama sangat beken yang membangun sebuah musholla yang sangat jauh letaknya dibelakang gedung. Tak terbayangkan bagi pengunjung yang tidak naik kendaraan pribadi bila tiba waktu sholat untuk menuju ketempat itu. Apalagi kalau cuaca sedang hujan, misalnya. 
Saya pernah bersikeras menanyakan tempat sholat yang lebih dekat. Jawabannya sangat mengejutkan:
”Didalam memang ada tempat sholat juga pak. Tapi KHUSUS buat para pegawai”. 
Masya Allah, saya baru tahu kalau ada sebuah musholla yang dibuat khusus untuk orang-orang tertentu seperti itu. Tempat ibadah koq pakai diskriminasi.

Kesadaran pihak berwajib dan para pengelola Pusat Pertokoan dan Mal tentang pentingnya sebuah tempat ibadah ditempat pelayanan umum  bagi kaum muslim (yang notabene adalah penganut agama mayoritas dinegeri ini)  agaknya masih perlu ditingkatkan.


Tentang letak sebuah musholla yang berada ditempat umum juga sangat memrihatinkan. 
Masyarakat sampai hafal dengan papan petunjuk arah yang ada di Mal maupun tempat umum lain yang bertulisan “TOILET, MUSHOLLA” yang selalu menunjuk kearah yang SAMA. 
Oleh karena itu carilah toilet apabila anda hendak mencari musholla!

Saya tidak akan menyebut nama, tapi dikota Bandung ada sebuah tempat perbelanjaan yang terletak sangat strategis dengan memakai nama julukan kota Bandung tempo doeloe. Ditempat perbelanjaan cukup mewah yang tempat parkirnya saja sampai tidak bisa menampung pengunjung (saking ramainya pengunjung bermobil) itu, ternyata pengelolanya hanya menyediakan musholla disebuah ruangan yang sangat kecil, nyaris tidak dapat memuat lebih dari LIMA orang! Musholla itu juga terletak didekat toilet umum, yang kita tahu tak akan pernah bisa bersih seperti yang kita harapkan. Sangat menyedihkan dan memprihatinkan.


Masjid "Al-Mi'raj" di Rest Area Km 97  Tol Padaleunyi

Namun sewaktu kembali dari Bandung menuju Jakarta, hati saya sangat terhibur. Melewati jalan Tol Padaleunyi (Cipularang) yang selalu padat diakhir minggu, mata saya tertarik sebuah bangunan yang berada di Rest Area (tempat istirahat/persinggahan). Terletak di Km 97, rest area tersebut ternyata memiliki sebuah Masjid yang walaupun berukuran tidak terlalu besar tetapi merupakan bangunan yang paling mencolok di kawasan itu.  Dan menyimpang dari kebiasaan yang ada, masjid bernama Al-Mi'raj yang mempunyai kubah berwarna emas dan dua buah menara itu terletak menyendiri dan jauh dari tempat peturasan atau toilet umum. 
Arsitektur masjid itu cukup menarik dan keberadaannya diujung pintu keluar membuatnya menjadi point of view didaerah yang penuh dengan warung, restoran, toko dan pompa bensin. 
Ternyata disepanjang jalan Tol Jakarta - Cikampek pun terdapat beberapa masjid yang bentuknya bagus-bagus. Semuanya dibangun didalam kawasan rest area. 
Hal tersebut menjadi bukti tentang kesadaran para pengelola rest area, bahwa mereka memang harus membuat sebuah tempat ibadah bagi kaum muslim, yang tidak hanya 'asal ada'. 
Masjid-masjid yang dibangun dalam kawasan rest area tersebut rata-rata mempunyai bentuk yang indah, menarik dan jelas memenuhi semua  persyaratan sebagai tempat beribadah. Alhamdulillah. 

Didaerah Jakarta Selatan ada sebuah pusat perbelanjaan mewah  yang pengelolanya sangat peduli pada saat merancang bangunan gedungnya. Entah arsitek atau memang pengelolanya yang merancangnya, tapi kenyataannya itulah musholla terbaik yang pernah saya temukan berada disebuah tempat perbelanjaan mewah.
Walaupun arahnya masih tetap sama dengan arah menuju peturasan, (dengan papan petunjuk khas “Toilet, Musholla”), tapi musholla yang terletak dilantai 3 gedung ini tampil sangat meyakinkan. Ruangannya tidak terlalu besar, tapi direncanakan dengan sangat baik. 
Terdiri dari 3 bagian, bagian pertama mirip sebuah reception desk (meja penerimaan tamu dihotel). Yang pertama menyambut para tamu yang akan mendirikan sholat adalah bau wangi ruangan yang sangat menenangkan. Di desk (meja) itu berdiri seorang petugas pria berseragam baju muslim lengkap berpeci yang akan menyambut kedatangan setiap tamu dengan senyuman dan kata sambutan ‘Assalamu’alaikum’. 
Kalau tamunya seorang wanita, dia akan bertanya apakah membawa mukena sendiri atau tidak. Jika tidak, dia akan  menawarkan sebuah mukena yang masih terlipat bersih untuk dipakai. Tempat sandal dan sepatu berupa sebuah rak kayu yang dibedakan tempatnya untuk tamu wanita dan pria. 
Yang mengesankan adalah dibagian ini terdapat juga tempat penyimpanan barang (locker) berkunci, walaupun jumlahnya tidak banyak. Disebelahnya ada sebuah meja panjang tempat menaruh beberapa botol minuman mineral dengan merk terkenal dan tiga pasang semir sepatu plus sikatnya, masing-masing berwarna hitam, coklat dan netral. Didinding tergantung sebuah televisi layar datar LCD ukuran 32 inchi, yang menyiarkan program-program agama Islam. Didinding seberangnya terletak bangku panjang yang bisa dipakai untuk menunggu sambil menonton siaran teve atau beristirahat sejenak. 
Harap diketahui, semua fasilitas (mukena, locker, semir dan air mineral) yang ada ditempat tersebut disediakan secara gratis, alias cuma-cuma!

Bagian kedua adalah tempat wudhu pria dan tempat sholat berkarpet hijau yang bisa menampung kurang lebih 4 shaf jama’ah masing-masing bisa diisi sampai sekitar 10 orang. 
Terdapat lemari penyimpanan kitab suci al-Qur’an bagi yang akan membacanya diruangan  full AC  itu.
Bagian ketiga tentu tempat wudhu dan sholat khusus bagi wanita, yang kondisinya nyaris tak berbeda. 
Ini yang perlu dicatat, kondisi ruangan di musholla itu bersih, dingin, nyaman dan wangi. 
Jauh dari aroma tak sedap yang biasanya muncul dari toilet umum.
Ketika pertama kali memasuki musholla ini, terus terang saya sungguh terkejut. Tak pernah terbayangkan ada musholla sebagus dan semenarik ini disebuah tempat perbelanjaaan! 
Subhanallah. Ternyata masih ada pengelola gedung yang tidak hanya memikirkan keuntungan atas kedatangan para tamunya. Mereka ternyata juga sangat peduli dan menghargai muslimin dan muslimah (siapa saja, tamu maupun karyawan toko didalam Mal itu) yang akan menjalankan kewajiban agamanya, dengan memberikan sarana dan prasarana yang lebih dari cukup.

Apakah mereka (arsitek atau pengelola gedung) seorang muslim atau bukan, saya tidak peduli, akan tetapi kedua jempol saya terangkat, seraya tak henti mengucap syukur kepada Allah Swt, masih ada orang yang mau dan mampu membuat sebuah tempat untuk bersujud kepada NYA disebuah Mal dengan standar yang jauh lebih dari cukup.
Semoga Allah memberikan pahala yang sesuai dengan niat mereka dan membuka mata para penguasa, pengelola tempat perbelanjaan, pertokoan dan tempat umum yang lain agar bisa mengikuti jejak pengelola yang mulia dan baik hati ini.

Aamiiin....

Kamis, 06 Oktober 2011

"ANEKA BOGA PENGGUGAH SELERA" (12)



(Catatan tentang kuliner dari yang biasa sampai yang “aeng-aeng”)
-Bahan dan foto dari berbagai sumber-

Ikan Peda (Kembung/blowfish)

Bagian Keduabelas

released by mastonie on Thursday, October 6, 2011 at 4.33 pm


Makanan atau bumbu hasil olahan ‘sampingan’ dari laut.

     Kota-kota dipantai laut Jawa pun juga dikota pantai manapun di Indonesia, tersohor mempunyai hasil olahan  (terbuat dari) ikan laut yang banyak sekali jenis dan ragamnya. Akan tetapi yang paling terkenal dan menjadi hasil sampingan nomor satu tetap saja ikan asin alias gereh. Nyaris semua ikan laut bisa dijadikan ikan asin.
Sebenarnya ide pertama membuat hasil olahan yang merupakan hasil sampingan itu berasal dari ikan-ikan sortiran ataupun ikan yang over produksi sehingga nilai jualnya sangat merosot. Daripada dibuang sayang, lebih baik diasinkan atau diolah lagi menjadi komoditi lain yang masih ada harganya.

Ikan asin yang paling sering dijumpai dipasar tradisonal adalah ikan teri, pethek, bulu ayam, kembung (blowfish, sarden, peda) dan ikan lain yang bentuknya besar, sehingga dijual dalam potongan daging saja seperti tiga waja, kakap, jambal, tongkol dan cucut.
Karena harganya sangat ekonomis, ikan asin disukai oleh banyak kalangan. Ikan asin yang bagus mutunya sebetulnya hanya dibumbui dengan garam (NaCl, Natrium chlorida) saja tanpa bahan pengawet lain. Akan tetapi entah mengapa dijaman modern ini ada saja pembuat ikan asin yang sampai hati menambahkan bahan pengawet lain seperti boraks dan bahkan formalin yang tidak lain adalah bahan kimia pengawet mayat! Mereka hanya tergiur menekan ongkos produksi tanpa mengingat akibat buruknya bagi konsumen.
     Oleh sebab itu, tanpa bermaksud mencari kambing hitam,  sebaiknya mulai dari sekarang anda harus berhati-hati memakan ikan asin. Sebab mengkonsumsi ikan asin secara rutin bisa cenderung membuat seseorang terserang penyakit hipertensi (tekanan darah tinggi). Apalagi kalau ikan asinnya ternyata diawetkan dengan boraks atau formalin.
Adapun hewan laut lain yang juga sering diasinkan diantaranya adalah cumi atau sotong dan udang kecil (ebi).
Seiring dengan kemajuan jaman dan teknologi,  kemudian ada juga ikan-ikan yang justru dipilih atau diseleksi untuk diolah menjadi makanan dalam bentuk lain, seperti sarden dan ikan kaleng lainnya.

Si “kriuk-kriuk’ yang merambah dunia
Kerupuk Udang
     Hasil olahan yang paling luas dikenal dan disukai khalayak ramai adalah kerupuk. 
Makanan (yang bila digigit mengeluarkan bunyi) ‘kriuk-kriuk’ ini, harus digoreng lebih dulu sebelum disajikan. Begitu fantastis nya sensasi makan kerupuk ini, sehingga sangat terkenal sampai ke mancanegara. Awalnya kerupuk adalah lauk penyerta sebagai teman pendamping lauk utama yang lain. Namun kini ia bahkan sudah digolongkan sebagai makanan cemilan (snack), yang biasa disantap untuk menemani nonton teve atau sembari nongkrong ‘ngalamun’ diteras depan rumah.
     Begitu banyak variasi bahan yang bisa dibuat menjadi kerupuk. Bisa dari ikan, udang, teripang, ubur-ubur bahkan ada yang terbuat dari rumput laut, bawang dan sayuran!
Kerupuk yang baik terbuat dari adonan tepung (terigu) yang dicampur dengan daging udang atau ikan (atau bahan campuran lain) yang telah dilumatkan, kemudian dibuat menjadi adonan dalam bentuk gulungan lalu diiris tipis-tipis. Bahan berupa irisan itu kemudian  dikeringkan dengan dijemur sinar matahari atau dipanaskan dengan sistem pemanasan massal (oven) berteknologi tinggi.
Adapula yang bahan adonannya dibuat seperti bentuk mi (bakmi), kemudian di'pintal' menjadi bulatan mirip sarang burung. Ini biasa disebut sebagai kerupuk 'terung'. Bisa berwarna putih atau diwarnai sesuai selera pembuatnya.
     Tentu saja rasa dan mutu kerupuk sangat tergantung dari bahan yang digunakan. Karena sekarang banyak pabrik kerupuk rumahan yang mencampur tepung dan ikan (udang) nya dengan bahan lain agar bisa menekan ongkos produksi tapi dengan tetap mengharapkan mendapat keuntungan yang tinggi.
Yang paling banyak disukai orang adalah kerupuk udang, yang biasa disajikan untuk teman makan rawon, sambal goreng  ataupun lontong ‘cap go meh’.
Kerupuk Terung
Adapun kerupuk ikan yang paling terkenal adalah kerupuk Palembang. Biasanya dijual dalam kemasan plastik transparan dan dijajakan di toko, warung, supermarket bahkan merambah sampai dikaki lima, dipinggir-pinggir atau diperempatan jalan.
Saking masyhurnya sampai ada julukan “Krupal”, singkatan dari Kerupuk Palembang.
Krupal yang rasanya enak dan asli biasanya dibuat dari ikan tenggiri.

Bumbu dapur yang bisa menyebabkan lidah menari ‘salsa’

     Selain kerupuk ada juga olahan sampingan dari hasil hewan laut berwujud bumbu masak yang dinamakan petis dan terasi.
Petis adalah bumbu dapur yang berbentuk semacam pasta, berwarna cokelat atau hitam mengkilat. Rasa dan bau atau aromanya sangat khas,  tergantung dari bahan apa petis itu dibuat. Lazimnya Petis dibuat dari ikan atau udang. Ikan atau udang (biasanya dari hasil sortiran) ditumbuk sampai menjadi halus, kemudian dicampur dengan rebusan air abu merang (tangkai padi kering) dan diberi bumbu. Campuran bahan tersebut dimasak terus sampai menjadi adonan semacam pasta. Air merang itulah yang menyebabkan petis berwarna hitam.

     Petis disukai untuk bumbu rujak cingur dan masakan lain yang membutuhkan rasa ikan atau udang yang sangat kental.
Yang sangat enak dimasak dengan bumbu petis ini biasanya adalah ayam, ikan dan tahu.
Kota-kota di Pantura biasanya menjadi produsen petis. Tapi salah satu yang terkenal adalah Petis Gresik, kota Kabupaten didekat kota Surabaya.
Dikota Semarang malah terkenal ada makanan yang diberi nama “Tahu Petis” dan “Tahu Gimbal”. Tahu petis adalah tahu yang digoreng, kemudian dibelah dan ditengahnya diberi petis. Dimakan panas panas dengan lalap cabe rawit. Yang makan tahu itu lalu mendesis: “hoh haaah…hoh haaaah….”
Karena keenakan, kepanasan sekaligus juga kepedesan……
Adapun tahu gimbal adalah makanan yang bahan utamanya (tentu saja) adalah tahu dan gimbal (rempeyek udang). Disajikan dengan irisan daun kol dengan bumbu sambal kacang yang dicampur dengan kecap dan petis.

     Sebelum mengenal bumbu penyedap rasa seperti mecin atau yang lebih dikenal dengan moto (MSG, Mono Sodium Glutamate), orang Jawa (mungkin juga daerah lain diluar Jawa) telah mengenal bumbu masak yang bernama terasi atau belacan.
Bumbu dapur (untuk memasak) yang satu ini sudah sangat kondang ke seantero negeri menjadi bumbu wajib untuk membuat sambal. Bagi kaum pecinta sambal sejati, sambal yang dibuat tanpa terasi akan terasa ‘ampang’ (hambar) belaka dimulut.
     Terasi yang baik dibuat dari ikan atau udang segar (walaupun ada juga yang memakai bahan sortiran) yang dihaluskan sedemikian rupa lalu diperam atau difermentasikan kemudian dipadatkan dan dikeringkan. Proses pembuatananya cukup lama. Bisa memakan waktu lebih dari dua minggu. Terasi udang biasanya berwarna coklat kemerahan sedangkan terasi ikan berwarna agak kehitaman.
Keduanya dijual dalam kemasan berbentuk kotak persegi panjang atau bulatan seperti lontong.
Saking sengitnya persaingan usaha, banyak juga terasi yang dibuat dengan campuran bahan lain. Bahkan ada pabrik pembuat terasi yang konon menambah dengan bahan pengawet (seperti boraks) dan penyedap rasa!
Padahal aslinya terasi sendiri adalah bumbu penyedap rasa yang seharusnya alami.

Terasi paling terkenal di Jawa tengah adalah terasi dari daerah Lasem, di Kabupaten Rembang (pantai utara Jawa). Sedangkan di Jawa Timur yang tersohor sangat nikmat rasanya adalah terasi dari daerah Puger, di Kabupaten Jember (pantai selatan Jawa).
Apapun lauknya, yang penting sambelnya wajib memakai terasi.
Konon itulah semboyan orang Jawa pecinta sambel terasi.




bersambung…..

Selasa, 04 Oktober 2011

"SUKSESI, TIRANI DAN ANARKI"


Tulisan lepas:



Arca Ken Dedes (Prajna Paramita)

Released by mastonie on Tuesday, October 4, 2011 at 9.35 pm

(Halilintar menggelegar disiang ‘ndrandhang’ yang panasnya menyengat di
Desa Lulumbang ketika lelaki tua dengan keris tertusuk di
dadanya itu bersumpah: ”Demi Sang Hyang Widhi, keris ini
akan mencabut sapta -tujuh- atma, termasuk dirimu Arok!!”. Ia menunjuk lelaki
muda perkasa yang berdiri mengangkang diatas tubuhnya.  Empu Gandring yang sakti
kini berlumur darah, tamat riwayatnya oleh keris buatannya sendiri
dan lelaki desa bernama Ken Arok itu hanya menyeringai penuh arti
mencabut keris dari dada korbannya yang tak bergerak lagi
dan berlalu. Dikepalanya sejuta rencana keji telah tertata rapi……..…)

kutipan dari narasi mastonie: ‘Arok dan Dedes’

Kisah sebuah keris pusaka bernoda darah pembuatnya….

Sengaja saya kutipkan narasi diatas untuk memberikan gambaran bahwa sejak dahulu kala sejarah bumi Nuswantoro (Nusantara, sebelum Indonesia lahir sebagai sebuah bangsa) telah penuh gelimang noda dan berlumuran darah.
Kisah Ken Arok yang tertulis dalam kitab ‘Pararaton’ menjelaskan hal tersebut secara gamblang. Pengkhianatan, kecurangan, kelicikan, perselingkuhan, kebohongan, intrik dan dendam tak berkesudahan.
Sejatinya bukan hanya keris Gandring yang mengandung kutukan pembuatnya itu yang menjadi penyebabnya. Tetapi yang utama adalah nafsu aluamah yang menguasai pemilik keris (perlambang dari kekuasaan). Itulah yang merajut semua kisah tentang sebuah sejarah anak bangsa dari abad lampau yang begitu kelam.

Konon Keris buatan Empu Gandring tersebut adalah keris ber luk satu (lurus) dengan dapur Tilam Upih dan pamor tiban.
Tujuh nyawa manusia telah terbukti hilang menjadi 'korban' keris bertuah itu. Dan terjadi dalam sebuah kurun waktu yang nyaris meluluh lantakkan sebuah dinasti dari sebuah kerajaan yang pernah punya nama besar di Tanah Jawa, bahkan di Nusantara.
Kisah berawal dari niat Ken Arok menikahi Ken Dedes, wanita cantik putri seorang Pendeta Budha bernama Mpu Purwa dari desa Panawijen. Tersiar kabar bahwa Dedes adalah seorang wanita yang kelak akan melahirkan raja raja besar ditanah Jawa. Oleh sebab itu ia mendapat julukan Ardha Nareswari (konon ditandai dengan betisnya yang bisa mengeluarkan cahaya). 
Akan tetapi wanita ayu berkharisma  itu telah menjadi isteri dari Akuwu (Awuku?, Kepala Daerah Perdikan) Tumapel bernama Tunggul Ametung. 
Arok tega membunuh Empu si pembuat keris pusaka yang dipesannya karena merasa pembuatan keris itu terlalu lama. Tidak lain karena dia harus mengejar tenggat waktu membunuh lelaki yang menjadi suami wanita yang diincarnya.
Maka dengan keris ‘terkutuk’ itu pulalah Tunggul Ametung menemui ajalnya.
Setelah menikahi Ken Dedes, nafsu angkara murka Arok makin menjadi. Tak cukup menjadi Akuwu di Tumapel, ia bersekutu dengan para Brahmana menyerang kerajaan Daha (Kediri), yang dipimpin oleh Raja Kertajaya. Pada pertempuran didesa Ganter tahun 1222, Ken Arok berhasil mengalahkan dan menduduki Kerajaan Daha.
Arok kemudian mengangkat dirinya sebagai raja bergelar “Sri Rangga Rajasanagara Amurwabhumi”, dan nama Dahapun digantinya menjadi Singhasari  (Singasari).
Tak ada Raja yang tak punya ‘selir’. Maka Ken Arok pun menikahi Ken Umang untuk dijadikan selirnya. Inilah bibit kebencian yang disulutnya sendiri. Terbakar api cemburu dan dendam, Dedes bercerita kepada Anusapati (anak lelaki yang lahir dari perkawinan dengan Tunggul Ametung) perihal siapa sebenarnya pembunuh ayahnya.
Dendam membara berkobar seketika. Anusapati berhasil mencuri keris pusaka ayah tirinya sekaligus menghabiskan riwayat Raja Singasari yang pertama itu (tahun 1247), melalui orang kepercayaannya yang bertindak sebagai   eksekutor bernama Ki Pengalasan. Eksekutor malang ini kemudian juga dibunuh oleh Anusapati dengan keris yang sama untuk menutup rahasia.
Suksesi berdarah lewat senjata pusaka: ”Keris (buatan Empu) Gandring” terus terjadi. Pada tahun 1249 Anusapati dibunuh oleh Tohjaya, adik tirinya (anak Ken Arok dan Ken Umang). Akan tetapi satu tahun kemudian (1450) Tohjaya tewas pula diujung senjata bertuah buatan Empu nan sakti dari desa Lulumbang itu. Ia dibunuh oleh anak Anusapati yang bernama Ranggawuni, yang kemudian naik tahta sebagai raja Singasari dengan gelar Wisnuwardana. Ia memerintah sampai dengan tahun 1272.
Pada tahun 1292 saat  sedang diperintah oleh Raja Kertanegara, Singasari diserang oleh keturunan Raja Daha Kediri yang bernama Jayakatwang. Ia bersekutu dengan Arya Wiraraja (Bupati Madura) untuk membalas dendam atas kematian Raja Kertajaya yang dibunuh oleh Ken Arok. Singasari berhasil dikalahkan dan Raja Kertanegara terbunuh  pada pertempuran yang sangat sengit itu. 
Maka tamatlah sudah Kerajaan Singasari.
Sepanjang masa kejayaan Singasari (1222 – 1292) yang hanya tujuh dasawarsa itu telah terjadi suksesi yang dihiasi dengan aroma dendam, kekerasan, bahkan bunuh membunuh antar keluarga dan antar musuh bebuyutan.

Asal mula ‘budaya’ anarki dan pertumpahan darah

Tampaknya memang tak ada suksesi (pergantian kekuasan/tampuk pimpinan) kerajaan di tanah Jawa (dan tanah lainnya diluar Jawa) yang sepi dari tindak tirani (penguasa diktator, tangan besi). Suksesi yang selalu menyulut anarki (kekacauan, huru hara) dan penuh dengan  pertumpahan darah.
Kitab dan buku lain seperti ‘Babad Tanah Jawa’, ‘Negara Kertagama’ dan sebagainya menceriterakan kisah yang secara garis besar hampir sama.
Bukan hanya pertempuran antar sesama anak bangsa. Tetapi cerita pertikaian antar sesama anggota keluarga monarki (kerajaan) lah yang selalu menjadi latar belakang kitab yang (akhirnya) menjadi rujukan sejarah bangsa Indonesia itu.
Suksesi  kerajaaan-kerajaan di Nusantara sangat jarang yang berjalan mulus. Apalagi kalau sang ‘petahana’ (pejabat lama) adalah seorang ‘tiran’.
Dapat dipastikan yang terjadi kemudian adalah pertempuran sengit penuh pertumpahan darah, yang memakan banyak korban jiwa dan harta benda.
Perang tak lain adalah tindakan anarki dalam skala besar.
Ketika kemudian bangsa Belanda (selain Inggris dan Portugis) masuk dan mulai menguasai sejengkal demi sejengkal tanah subur di bumi Nusantara, maka politik ‘devide et impera’ (memecah belah dan menjajah, politik adu domba) semakin membuat runyam keadaan. Tak lain karena pemerintah kolonial Belanda menyebarkan virus permusuhan dengan cara kong kali kong. Juga hasutan yang beraroma intrik (konspirasi, kolusi) sangat kuat diantara para bangsawan penghuni kraton dan pengikutnya.
Sepanjang sejarah pendudukan bangsa asing di Nusantara, tak terhitung banyaknya pertempuran yang justru terjadi antara sesama penduduk pribumi.  
Bukan hanya karena ada yang ingin membebaskan diri dari penjajahan, namun terutama juga karena perebutan kekuasaan dan pengaruh yang di’kompori’ oleh sang penjajah. Kondisi tersebut memang dengan sengaja diciptakan oleh pemerintah kolonial, agar keadaan sosial politik dinegeri jajahan tidak pernah tenteram dan damai.
Intrik memang sengaja dihembuskan. Utamanya kepada para penguasa pribumi yang memerintah di kerajaan. Akibatnya timbul suasana saling curiga (bahkan antar keluarga) yang dapat memicu pemberontakan kapan saja.
Dan sejarah mencatat, tak pernah ada pemberontakan yang tanpa pertumpahan darah.
Itu sebabnya banyak kerajaan yang kemudian terpecah belah.
Sejak saat itulah selalu tercipta adanya dua kubu. Kubu yang pro (memihak) dan kubu yang kontra  (melawan) pemerintah penjajah. Tidak heran kalau kemudian banyak bermunculan “ular kepala dua”. Mata-matapun lahir dimana-mana.
Itulah sifat alamiah dan aluamah manusia yang hanya mementingkan kebutuhan pribadi dan golongannya sendiri.
Peperangan dan pemberontakan juga melahirkan sifat negatip manusia. 
Kekerasan dan sadisme adalah sebuah keniscayaan dalam sebuah pertempuran.
Kita semua tahu bahwa kondisi anarki dan  chaos (kacau) seperti itu telah terjadi ratusan tahun lamanya dibumi Nusantara.
Maka tidaklah mengherankan jikalau hal yang bersifat negatip tersebut seolah telah berubah menjadi sebuah budaya!
Sejarah Indonesia pasca kemerdekaan juga diwarnai pemberontakan dan pertumpahan darah antar sesama anak bangsa. Mulai dari "Peristiwa Madiun", PRRI, Permesta, DI/TII dan beberapa kali percobaan pembunuhan Kepala Negara (Bung Karno) serta usaha coup d'etat (kudeta) yang gagal..
Puncak dari perpecahan politik didalam negeri dimasa Indonesia merdeka adalah sebuah peristiwa yang menjadi sejarah hitam kelam bangsa Indonesia.
Terjadi pada bulan September 1965, konon menurut beberapa sumber, usaha kudeta yang disebut sebagai G-30-S/PKI (karena menurut sejarah Orde Baru kudeta itu didalangi oleh PKI), telah memakan korban ratusan ribu sampai jutaan jiwa manusia.
Chaos (huru hara) Nasional itu tidak hanya menghilangkan nyawa beberapa orang Jenderal TNI, tapi juga rakyat biasa yang mungkin saja tidak tahu apa-apa.

Wajar kalau kemudian timbul pertanyaan, apakah sifat negatip itu ternyata  terus melekat (karena sudah membudaya) sampai sekarang, walaupun bangsa kita telah merdeka selama lebih dari enam dasa warsa?

Wallahu a’lam bissawab.