Selasa, 31 Januari 2012

"TENTANG NAIK HAJI"

 Tulisan lepas:

NAIK HAJI, JADI 'HOBI'(?)....

 
Jemaah haji di Bukit Jabbal Rohmah, Arofah.

Edited and released by mastonie on Tuesday, January 31, 2012 at 8:06am


(sampai detik ini saya masih meyakini, bahwa kehidupan spiritual seseorang sangat tergantung kepada lingkungan dan pola serta falsafah hidupnya)


“Hobi” istimewa

     Ada beberapa orang kenalan saya yang mempunyai “hobi istimewa”: pergi umroh atau haji. Hampir setiap tahun tidak pernah terlewatkan tanpa pergi ke tanah suci. Tentu untuk menjalankan ibadah umroh atau haji.
Salah seorang diantaranya mau tidak mau memang harus pergi umroh atau haji setiap tahun, karena dia mempunyai Biro Perjalanan Haji. Jadi bukan hanya karena hobi, tapi memang itulah pekerjaannya. Mendampingi jemaah pergi melaksanakan umroh atau haji.
Tentu dia akan menjalankan ibadah umroh atau hajinya secara serius, karena dia harus bertanggung jawab pada jamaah yang dibimbingnya. Oleh sebab itu mungkin pahalanya berlipat karena selain beribadah untuk diri sendiri, dia juga membantu orang lain untuk pergi umroh atau haji.


     Tapi ada seorang kenalan saya yang lain, kebetulan berstatus Konglomerat Plus, yang juga hampir setiap tahun pergi ketanah suci. Tentu untuk melaksanakan haji. Paling tidak untuk ber umroh.
Tentang hobinya pergi ketanah suci, dia cuma bilang dengan entengnya:
”Saya sih pergi umroh atau naik haji untuk ngecas baterai saja”.
Tidak jelas apa yang dimaksudkannya dengan ‘ngecas baterai itu.
Emangnya dia senter atau aki. 
Tapi takjub juga saya melihat sepak terjang ‘Pak Konglo’ ini.
Kerjanya mungkin memang yahuud, karena rejekinya juga seperti air hujan, deras sekali.
Ibadahnya tampak sangat bersungguh-sungguh (setidaknya itu yang terlihat secara kasat mata).
Akan tetapi, masya Allah ternyata maksiatnya juga rajin sekali!
Itu menurut penuturan orang-orang yang sering berada disekitarnya. Naudzubillah.

     Inilah kisah ‘buka-bukaan’ yang saya dengar dari teman akrabnya. Seluruhnya tentang  maksiat yang sering dilakukannya. Soalnya ini hanya diketahui oleh 'kalangan terbatas' saja.
Nyabu? O itu soal kecil, karena menurut dia nyabu itu tidak membuat mabuk. Malah bisa menyegarkan, begitu katanya. Yang dilarang agama kan minum atau makan sesuatu yang memabukkan.
Walah. Ini sih alasan karena dia cuma mau menangnya sendiri saja.
Main perempuan (maaf)? Ini hobinya yang lain selain makan enak!
‘Koleksi’ nya -katanya- sangat beragam, dari ‘ayam kampung’ sampai ‘ayam kampus’. Dari perempuan ‘biasa’ (memang ada yang luar biasa ya?) sampai artis dalam dan mancanegara.

     Sebagai seorang Konglomerat memang ia punya pergaulan yang sangat luas. Tentu dengan modal uang seabrek. Barangkali malah tidak pakai nomor seri  tuh uangnya, saking banyaknya.
Main judi? Ah itu sih kerja sampingannya.
Lucunya (atau anehnya?), konon ia selalu menang kalau main judi, model apapun nama judinya. Secara bercanda teman-teman dekatnya berkata, bahwa kalau Pak Konglo sedang bokek, ia justru langsung pergi berjudi. Kalau perlu sampai keluar negeri. Pulang dari berjudi itulah (hampir selalu) kocek nya akan penuh kembali.
Jadi, kalau menurut hitung-hitungan versi dia sendiri, seimbanglah antara ibadah dengan maksiatnya. Astagfirullah.
Saya sempat berpikir, barangkali Allah SWT memang sedang nglulu dia (apa ya bahasa Indonesianya 'nglulu'?).
Ya, Konglomerat ini menurut saya memang orang yang sungguh ‘extra ordinary’.
Tapi dimata teman-temannya, dia termasuk orang yang solidaritasnya tinggi. Murah hati, dermawan dan ringan tangan membantu orang lain yang kekurangan.
Itu sebabnya popularitasnya juga tinggi. Tidak heran kalau temannya buuuanyak sekali. Sebagian malah rela jadi ‘punakawan’nya yang siap sedia ikut kemanapun dia pergi. Kalau perlu mengorbankan tenaga dan moril untuknya. Karena ‘Pak Konglo’ tak butuh lagi korban materiil dari teman-temannya. Luar biasa kan?

Ibadah rutin yang dilakukan ‘sambil lalu’

     Jadi, ini sekali lagi menurut versi dia, pergi umroh atau naik haji setiap tahun itu baginya hukumnya wajib. Mungkin selain untuk ‘ngecas baterai’, didalam lubuk hatinya dia juga ingin melebur dosa-dosanya.
Yang hebat, kalau si Bos Konglo ini pergi umrah atau naik haji, dia pasti minta semua fasilitas yang serba plus. Dari tiket pesawat sampai hotel selama tinggal di Arab Saudi. Padahal dia selalu membawa serta ‘geng’ nya, yang semuanya dibayar dari rekening pribadinya. Dan ‘geng’ nya itu jumlahnya bisa puluhan orang. Dari sanak saudara sampai handai dan taulan. Konon PRT nya saja sampai bosan tiap tahun diajak pergi umroh!
Tapi menurut teman-teman yang pernah ikut bersama dia naik haji, selama di tanah suci si Konglo ini hampir selalu mengalami hal-hal yang  membuat tidak nyaman. Mulai dari kehilangan barang sampai konflik (bahkan berkelahi) dengan orang Arab. Itu belum termasuk hal aneh-aneh serta‘remeh-temeh’ yang bagi orang lain bisa bikin sakit kepala.

     Tapi bukan Bos namanya kalau dia ‘ngeper’. Dia malah selalu tampil percaya diri bahkan kadang agak over acting. Itulah memang ciri khasnya.
Saking kelewat seringnya pergi ketanah suci, maka dia melakukan perjalanan haji ini seperti melakukan hal lain yang rutin. Bahkan hanya seperti orang yang pergi berwisata saja. Karena walaupun berada ditanah suci, dia tak melupakan kebiasaannya menghamburkan uang untuk berbelanja apa saja.
Ritual hajinya sendiri dilakukan seperti asal-asalan atau ‘sambil lalu’ saja.

Kalau ada rukun haji yang bisa diwakilkan, dengan enteng dia akan meminta para ‘punakawannya’ yang setia untuk mewakili dirinya. Seperti melempar Jumroh, misalnya. Untuk itu dia akan selalu bersedia membayar “dam”. Tentu tak lupa tambahan uang tip untuk yang bersedia mewakilinya. Sekali lagi, kalau soal uang memang bukan masalah besar baginya.
Tampaknya dia  sudah ke hilangan ‘greget’.  Menganggap ibadah haji seperti ia mengerjakan pekerjaan sampingan. Tidak seperti orang lain yang menganggap perjalanan haji adalah sebuah perjalanan spiritual yang menyangkut kewajiban dan taqwa kepada Sang Maha Pencipta. Terkadang bahkan harus disertai perjuangan  ‘hidup-mati’ untuk mengharap ridha Allah SWT.

     Bagaimanapun, kita sesama mahluk Allah tentu tidak bisa memberikan vonis kepadanya, karena sesungguhnyalah hanya Allah SWT yang maha tahu dan hanya Ia lah yang berkuasa atas mahluk Nya.
Soal apakah ibadah haji seseorang mabrur atau tidak, juga hanya Allah Swt yang mengetahuinya. Dan pasti tidak tergantung pada banyak atau sedikitnya seseorang pergi ketanah suci. Sejatinyalah ibadah haji yang diwajibkan kepada setiap muslim hanya satu kali saja seumur hidup.

     Dan hanya Allah sang pencipta yang berhak memberikan reward  untuk ibadah yang satu ini.




Jakarta, awal bulan haji 2009
(bahan tulisan untuk buletin "Warta Pajimatan")

Minggu, 29 Januari 2012

"TENTANG TOMAS"


Tulisan lepas:


Karikatur 'Tomas'


Para tomas yang (dianggap) terhormat     

     Beberapa waktu lalu Pak Lurah hadir dalam acara pelepasan anggota Posyandu di didaerah tempat tinggal saya. Bertempat di Gedung Pertemuan RW,  Pak Lurah dalam sambutannya berkali-kali menyatakan penghargaannya pada para ‘Tomas’.
Menurut Pak Lurah, para Tomas ini mempunyai kontribusi (andil, saham, sokongan) nyata dalam penyelenggaraan Pemerintahan ditingkat Kelurahan. Karena selalu bekerja sukarela,  tanpa pamrih dan terkadang tanpa dibayar pula.
Siapa sih para Tomas itu? Jangan heran dulu. Tomas yang satu ini samasekali tidak ada hubungannya dengan “Piala Thomas”. Apalagi dengan Gubernur Jenderal Sir Thomas Stamford Raffles, -yang dianggap sebagai- sang penemu bunga Rafflesia Arnoldi dan pendiri negara kota Singapura.
Tomas  yang ini adalah akronim dari TOkoh MASyarakat.
Bagi mereka yang tinggal dilingkungan ‘pinggiran’, atau yang lingkungan pergaulannya masih erat dan akrab, istilah ini pasti sangat dikenal. 

Memang tidak ada kriteria yang baku untuk menetapkan seseorang menjadi ‘Tomas’. 
Biasanya kalau seseorang terlihat ‘menonjol’ didaerah dimana dia tinggal, bisa jadi dia akan langsung dinobatkan (oleh masyarakat sekitarnya) sebagai Tomas.
Menonjol dalam hal apa? Dalam hal apa saja.
Mungkin dia paling sepuh, paling kaya atau paling pintar (dalam segala hal, bisa agama, bisa dalam hal pendidikan atau yang lain lagi). Bisa juga seseorang yang paling berpengaruh (karena punya jabatan tinggi). Atau karena faktor ‘paling-paling’  yang lain lagi. Pokoknya dia adalah orang yang terpandang. 
Setidaknya terpandang oleh para warga atau penduduk yang berada disekitarnya. 
Yang paling sering dimasukkan sebagai 'Tomas' adalah para Guru, Dosen, Ulama dan Pejabat (tingkat apa saja). Orang kaya (yang tidak pelit) juga selalu masuk dalam kategori tomas, karena bisa sering dimintai bantuan dananya.
Akan tetapi, jangan heran kalau suatu saat predikat Tomas ini, (mungkin karena tak ada kriteria yang baku tadi) membuat kejutan. Yaitu dengan membikin orang-orang yang men’tahbis’kannya (sebagai Tomas), menjadi tercengang-cengang. Bisa jadi malah masygul bin gondok. Tidak menyangka bahwa predikat yang diberikan pada seseorang yang dianggap pantas dihormati dan jadi panutan ternyata hanya “pepesan kosong” belaka. Itu kata orang Betawi.

Tomas ‘raja copet’

     Ada satu kisah yang terjadi sekitar awal  tahun 70 an.
Ketika saya masih tinggal dikota Semarang, dilingkungan RT saya pernah ada seseorang yang waktu itu dianggap sebagai ‘tomas’. Dia memang betul-betul tokoh masyarakat  yang disegani di lingkungan RT. Namanya Pak Sohib (bukan nama sebenarnya).
Pria setengah umur berambut ikal ini mempunyai seorang isteri yang termasuk -waktu itu- paling cantik dan paling modis, se RT. Mungkin malah se Kelurahan. Apalagi umurnya masih muda sekali, kira-kira separuh dari umur sang suami. Tidak ada yang tahu pekerjaan atau jabatan apa yang dipegang Pak Sohib ini. 
Yang jelas ia termasuk orang yang sangat dermawan dan peduli pada lingkungan sekitarnya. Sangat luwes dan pandai bergaul dengan semua kalangan. Dari masyarakat kelas akar rumput sampai bapak-bapak Pejabat tingkat Kecamatan
Ia juga sering menjadi pelopor sekaligus donatur dalam kegiatan yang diadakan ditingkat RT. Sangat mengherankan bahwa ia tidak pernah mau ditunjuk untuk menjadi Ketua RT. Ia selalu punya seribu satu alasan untuk menolak jabatan (yang jaman dulu tak bergaji) itu. 
Orang-orang mengira, ia tak pernah bersedia menjadi Ketua RT karena  mungkin ia pejabat kantoran yang sangat sibuk.
Setiap pagi Pak Sohib terlihat pergi meninggalkan rumah dengan tas kantor merek “E” (yang dulu terkenal sangat mahal). Pakaiannya selalu ‘safari’ (setelan jas lengan pendek) warna gelap. Membuat penampilan Pak Sohib selalu tampak gagah dan berwibawa.
Tak ada satupun yang salah dalam pergaulannya dengan penduduk satu RT, sampai suatu ketika tiba-tiba ia menghilang. Sang istri muda (dalam arti benar-benar muda, bukan istri kedua), juga ikut bingung karena sang suami tidak kunjung pulang. Pada waktu itu (tahun 70an) belum jamannya hape. Telepon rumah saja masih jadi barang ‘luks’ untuk lingkungan RT saya. 
Jadi tidak ada seorangpun yang bisa melacak dimanakah gerangan keberadaan Pak Sohib.
Sampai pada suatu hari datanglah serombongan polisi menemui Ketua RT (yang kebetulan dijabat oleh ayah saya). Mereka mencari rumah Pak Sohib. Polisi ingin memberitahu isterinya, bahwa Pak Sohib beberapa hari lalu tertangkap basah dalam sebuah usaha percobaan perampokan yang gagal. Gegerlah kampung kami.
Lebih geger lagi ketika tahu bahwa selama ini Pak Sohib ternyata adalah gembong pencopet yang paling diincar polisi. Tak seorangpun tetangga se RT pernah menyangka bahwa sang ‘Tomas’ yang sangat santun dan dermawan, ternyata adalah rajanya tukang copet! 
Jadi selama ini ia berhasil mengecoh warga dengan penampilan yang meyakinkan dan perilaku (yang tampaknya) tak tercela.
   Ketika awal tahun 80an saya pindah tugas dan kemudian menetap di Ibukota, saya tinggal disebuah kompleks perumahan milik instansi Pemerintah.  Seperti umumnya rumah dinas yang penduduknya ‘homogen’ (berasal dari satu instansi), maka ‘Tomas’nya adalah mereka yang punya kedudukan dan jabatan tinggi di kantor. Istilah kantorannya punya ‘eselon’.
Maka macam-macam pulalah polah-tingkah para ‘Tomas’ ini. Ada yang dalam pergaulan bertetangga di kompleks, selalu membawa-bawa jabatannya di kantor. Ini karena ia merasa pangkatnya paling tinggi diantara para penghuni kompleks yang lain.
Ada lagi Tomas yang kalau ada kegiatan ronda malam atau kerja bakti di kompleks lalu memberikan disposisi kepada bawahannya (dikantor). Sang bawahan ini kebetulan juga tinggal di kompleks, maka dia diperintahkan untuk mewakili ronda. Tak ayal lagi situasi pergaulan dalam kompleks yang seharusnya bersifat ‘paguyuban’  jadi tetap bernuansa resmi kedinasan.
Disinilah timbul  keadaan “kisruh para rawuh” (membingungkan) akibat ulah para Tomas itu. Urusan kantor koq dibawa pulang kerumah. Padahal para Tomas mendapatkan  predikat kehormatan itu justru dari para tetangga (yang tak lain juga rekan sekantor) nya sendiri. 

Tomas yang ‘silau’ pada raskin

    Di tingkat kelurahan ada Tomas yang istilah bahasa Jawanya “nyolong pethek” (tak terduga). Orang ini memang betul-betul seorang Tomas dari ‘sononya’. Karena kakek buyutnya juga seorang Tomas, bahkan jadi tokoh paling berpengaruh di kampung. Kakek buyutnya itu asli kaya raya karena pekerjaannya adalah tuan tanah. Hampir separuh tanah di kelurahan adalah warisan milik sang kakek buyut.
Tak heran masyarakat sekitar sangat segan kepadanya. Rumahnya banyak dan salah satu yang ditinggalinya bersama dua isterinya (!) adalah rumah yang termewah. Ketika sang Tomas terpilih jadi Ketua LKMD (sekarang LMD atau entah apalagi namanya), semua orang ikut bersyukur. Bahkan mendukung.
Beberapa tahun berlalu dengan ‘baik-baik’ saja. Program LKMD pun berjalan lancar sampai suatu saat kemudian masuk program pembagian raskin (beras untuk orang miskin). Pak Ketua tambah populer saja dimata warga. Sebab selain supel ia juga terkenal sangat dermawan. Raskinpun tampaknya terbagi dengan baik dan lancar-lancar saja.
Pada waktu anaknya menderita “OD” karena jadi pecandu berat narkoba, masyarakat masih bisa memaafkan Pak Ketua. Orang-orang punya anggapan bahwa kejadian ‘salah asuhan’ itu hanya akibat saja. Dan merupakan salah satu konsekwensi, karena bapak (dan dua ibu) nya sangat sibuk mengurus kepentingan masyarakat. Sampai anak sendiri malah tidak terurus. Sangat ironis.

Tapi masyarakat tersentak kaget, ketika pada suatu hari nama Pak Ketua tampil besar-besar dalam headline media cetak lokal dan nasional. Tomas yang Ketua LKMD ini menjadi tersangka bahkan terdakwa kasus penggelapan raskin!
Semua dakwaan terbukti dalam sidang pengadilan. Pak Ketua mendapat ‘ganjaran’ beberapa tahun hidup gratis dipenjara. Kali ini tampaknya tak seorangpun bisa memaafkannya. Kecuali barangkali keluarga terdekatnya.

Ya, -seperti judul sebuah lagu tempo doeloe- kini tiada lagi maaf bagi ‘Sang Tomas’. 

    Agaknya ‘Tomas’ atau Tokoh Masyarakat bukan merupakan jaminan mutu. Yaitu bahwa orang yang dihormati dan menyandang predikat itu tak selalu berperilaku baik, lurus  dan pantas jadi panutan.
    Kenyataan yang memprihatinkan.




Jakarta, akhir tahun 2009
(disiapkan untuk mengisi Buletin "Warta Pajimatan")

Jumat, 27 Januari 2012

"KOLEKTOR"

Tulisan lepas:

(Ternyata bukan hanya pemulung yang suka mengumpulkan barang atau benda. Saya termasuk salah satu yang bukan pemulung tapi sangat suka mengumpulkan benda) 


Koleksi Boneka
 Released by mastonie on Wednesday, January 25, 2012 at 7:46pm


Rumah (yang) berantakan dan tidak pernah rapi

     Setiap orang yang pernah berkunjung kerumah saya pasti heran. Dimana-mana tampak terkumpul benda-benda atau pernak pernik yang berserakan didalam rumah.
Sebetulnya tidak berserakan amat, karena sudah saya kelompokkan sesuai jenisnya.
Bagi yang menyukai ruangan yang apik, resik dan rapi, rumah saya pasti tampak bagaikan gudang. Tapi siapa peduli? Home sweet home, kata orang sono.

     Jadi kalau saya merasa rumah saya sudah nyaman saya tempati, ya buat apa mendengar komentar orang. Belum tentu saya juga merasa nyaman dirumah orang lain kan?
Habis mau bagaimana lagi. Saya memang nyaris seperti ‘pemulung’. Suka mengumpulkan barang atau benda-benda yang saya anggap pantas untuk dikumpulkan. Pasti itu sangat subyektip sifatnya. Karena benda yang saya sukai belum tentu disukai oleh orang lain. Bahkan oleh keluarga saya sendiri.

Bermula dari hobi

     Kalau harus merunut kebelakang, kapan saya mulai senang mengumpulkan segala sesuatu yang saya sukai, saya menyerah. Saya hanya ingat bahwa sejak masih balita saya suka sekali mengumpulkan mainan berupa apa saja. Terutama mobil-mobilan.
Setahu saya (setelah jadi orang dewasa) lebih banyak balita yang merusak mainannya sendiri. Sehingga boro-boro dikumpulkan, bekasnya saja sudah susah dicari. Karena sudah berantakan. Tapi mainan saya pada saat masih balita biasanya awet dan saya simpan dengan rapi.
Jadi sebenarnya saya bisa digolongkan sebagai balita yang agak “lain daripada yang lain”.

     Yang jelas saya rasakan adalah bahwa saya mempunyai sebuah kecenderungan, sangat menyayangi semua benda yang saya miliki. Saya tidak tahu apakah itu termasuk dalam istilah ilmu psikologi yang disebut sebagai ODMK (Orang Dengan Masalah Kejiwaan).
Mungkin ini sindroma posesif yang berlebihan. Tapi kecenderungan itu lalu berubah menjadi sebuah hobi (kesenangan). Saya pasti akan menyimpan barang atau benda (berupa apa saja) yang saya sukai dan akan saya simpan dengan baik.

     Sewaktu masih duduk di kelas satu Sekolah Rakyat (SR), saya sudah senang mengumpulkan mobil-mobilan dan mainan lain. Saya juga suka mengumpulkan kelereng, perangko, kartupos dan bungkus rokok (terutama) buatan luar negeri. Tidak mengherankan jikalau kamar tidur saya berantakan penuh dengan barang-barang simpanan.
Sayang sekali pada saat saya kelas 6 SR, kedua orang tua saya berpisah. Hidup saya kocar kacir, begitupun dengan barang-barang dan semua mainan saya.
Hidup saya betul-betul berantakan. Hati saya terluka amat parah. Kehilangan keutuhan orang tua dan barang-barang yang sangat saya sayangi.

Mulai jadi kolektor

     Setelah tumbuh dewasa, dan sudah bisa mencari nafkah sendiri, saya mulai agak serius menjadi pengumpul barang. Istilah keren nya kolektor. Dari benda-benda sepele seperti korek api, sabun dan ‘tetek yang tidak bengek’ yang saya dapatkan dari hotel dimana saja saya pernah bermalam. 
Saya juga senang mengumpulkan benda-benda khas yang berasal dari suatu daerah.

Tapi yang paling banyak saya kumpulkan adalah buku dan majalah.
Itu sangat berhubungan dengan ‘minat gila’ saya: membaca.
     Seiring dengan hobi mengumpulkan barang itu, saya juga selalu menyimpan kuitansi pembelian buku dan kartu garansi barang atau alat elektronik. Sebelum bisa membuat stempel, saya cantumkan (dengan tulisan tangan) tanggal pembelian disetiap buku yang saya beli. Kuitansinya saya selipkan dibelakang sampul dengan perekat. Itu menjadi sebuah kebiasaan yang sepertinya tidak bisa saya hindari. Sampai sekarang, saat saya menulis catatan ini.
Mungkin ada orang yang menganggap aneh tingkah laku saya itu, bahkan berlebihan. Tapi saya bergeming. Sepanjang kelakuan itu tidak mengganggu orang lain, saya pikir saya berhak menentukan sikap dan pola hidup saya sendiri.

     Maka begitulah, waktu masih bujangan saya menyewa kamar kos yang berukuran hanya 2 x 3,5 meter. Didalamnya penuh dengan rak gantung berisi koleksi buku. Juga Piala kejuaraan Deklamasi dan benda-benda koleksi saya. Didinding tergantung segala macam piagam yang berhasil saya peroleh. Kebanyakan berupa Piagam Penghargaan dari Gerakan Pramuka yang jumlahnya sampai puluhan lembar. Piagam-piagam itu saya masukkan dalam pigura dan saya pajang untuk hiasan dinding. Lumayan untuk menutupi bopeng dan lubang di dinding yang terbuat dari papan kayu sengon itu.
     Selain itu saya juga termasuk ‘maniak’ mengumpulkan foto. Tentu foto-foto yang menyangkut kegiatan saya. Pada waktu itu saya belum mampu membeli album foto. Maka foto-foto itu saya masukkan dalam sampul plastik yang biasa dipakai untuk sampul buku.  Sejak itulah saya juga mulai gandrung dengan hobi fotografi.
Namun pada jaman itu (tahun 60 – 70an) harga sebuah toestel (kamera foto) sangat mahal, termasuk negatip film dan ongkos cetaknya. Jadi saya harus pinjam kamera kesana kemari untuk menyalurkan hobi fotografi tersebut.
Setelah menjadi Pegawai tetap dan punya gaji tetap, saya menyisihkan sekitar 10% untuk membeli buku. Terkadang juga membeli majalah berita paling top pada masa itu. Alhasil, harta saya yang paling banyak barangkali ya cuma buku dan majalah.

     Ketika hidup saya sudah agak mapan, saya bendel semua majalah bulanan per 6 bulan. Saya belajar sendiri memberikan nomor katalog disetiap buku, sesuai dengan kaidah perpustakaan internasional.
Masalah kemudian muncul. Rak-rak buku yang saya buat sendiri dari besi siku ternyata tidak kuat menyangga berat buku dan majalah yang ada. Ada rak buku yang sampai melengkung, mungkin terlalu berat. Istri saya yang pertama kali protes. Sebab tidak sedap dipandang mata. Selain itu rumah jadi seperti gudang buku. Lama kelamaan anak-anak saya juga mengikuti jejak ibunya: protes keras. Empat melawan satu, saya jelas kalah suara. Dengan berat hati saya merelakan koleksi majalah saya dijual ke tukang loak. Saya hanya bisa menangis dalam hati. Itu adalah bendel majalah yang saya kumpulkan sejak tahun 1974.
Sampai kini saya tetap menyesali tindakan bodoh saya itu. Tapi semua sudah terjadi.

Koleksi dari perjalanan dinas keluar negeri

     Ketika saya berkesempatan untuk pergi dinas keluar negeri, hobi mengumpulkan barang semakin jadi. Dinegara-negara Eropa dan Amerika, selalu ada sebuah genta kecil (bel, keliningan) yang bersimbol negara atau ciri khas daerahnya.
Saya beli satu persatu, tapi pasti saya pilih harga yang termurah. Soalnya uang saku saya tidaklah banyak.
     Disetiap hotel berbintang, selalu disediakan secara cuma-cuma peralatan mandi (toiletries). Sabun kemasan kecil, sikat gigi, odol dan shampo dalam botol kecil. Bentuknya lucu dan menarik, itu menyebabkan minat saya untuk mengoleksi. Toh saya selalu membawa peralatan mandi sendiri yang cukup lengkap. Beberapa hotel ternama bahkan juga menyediakan minuman keras dalam botol mini. Kalau gratis atau harganya tidak mahal, juga pasti saya beli. Banyak juga hotel yang mengeluarkan korek api dan alat tulis menulis (stationary) yang boleh dibawa para tamunya. 
Benda inipun tak luput dari incaran saya.

     Maskapai penerbangan asing selalu menyajikan hidangan dengan peralatan makan yang terbuat dari logam. Itu terjadi jaman dahulu (tahun 80 -90an) pada saat saya sering dinas keluar negeri. Kini peralatan makan kebanyakan sudah terbuat dari plastik.  Sendok garpu itu selalu memakai simbol maskapai penerbangan yang bersangkutan.
Peralatan makan itu juga saya kumpulkan. Termasuk gelas (cup) kecil yang manis bentuknya. Tentu saja dengan seijin dari Pramugari. Kepada penumpang asing, biasanya para Pramugari (maskapai penerbangan apa saja) sangat murah hati. Termasuk memberikan ekstra minuman wine (anggur) dalam botol kecil. Walaupun saya hanya penumpang kelas “Y” (ekonomi). Anggur dalam botol mini itu juga ikut menjadi benda yang saya koleksi.
Karena sudah pergi nyaris ke lima benua, saya juga tak lupa mengoleksi uang logam (coin) dari beberapa negara yang saya datangi.

     Sejak lama saya berminat mengumpulkan ‘tosan aji’ juga. Terutama keris dan tombak. Benda ini saya anggap sebuah hasil karya asli anak negeri yang patut dilestarikan. Bukan karena kesaktian atau ‘isi’nya. Saya mengumpulkan keris berdasarkan lekuk (luk), dan pamornya (corak yang timbul pada bilah). Beberapa karena usianya yang tua. Tapi tak satupun yang saya anggap bertuah atau perlu dikeramatkan. Semuanya saya anggap sebagai benda seni semata.

     Tak terasa kemudian koleksi saya ternyata menjadi banyak sekali. Korek api dan toiletries hotel dari seluruh dunia. Ada juga lonceng mini, sendok garpu maskapai penerbangan, sendok kecil berlambang khas daerah dan gantungan kunci. Bermacam-macam minuman keras dalam botol minipun saya koleksi. Jelas bukan untuk diminum. Saya hanya tertarik pada bentuknya yang unik dan lucu.
Selama mengadakan perjalanan keluar negeri, saya selalu membuat dokumentasi foto. Itu sebabnya saya juga mengumpulkan bermacam kamera. Baik kamera foto maupun kamera video. Kebanyakan masih berupa kamera foto konvensional (memakai negatif film), bukan digital.

     Dikemudian hari istri saya ternyata juga tertular ‘virus’ aneh saya. Dia mulai gemar mengumpulkan benda-benda ucapan terima kasih dari teman-teman yang punya hajat nikah. Benda yang satu ini banyak sekali bentuk dan ragamnya.
Ada gelas kecil, kipas tangan, miniatur hewan dan banyak lagi.  
Semula saya siapkan satu almari khusus untuk menyimpan benda-benda koleksi. Ternyata satu almari tidak muat lagi. Akhirnya saya harus membuat beberapa tempat khusus bagi benda-benda koleksi itu. Maka jadilah beberapa almari (besar dan kecil) tempat saya menaruh sekaligus memajang benda-benda koleksi saya. Tapi yang terbanyak tetap saja almari atau rak buku.
     Sebab itu jangan heran kalau rumah saya seperti ‘kapal pecah’.
Nyaris berantakan dengan pernak pernik dan benda koleksi saya.
Setelah purna tugas alias ‘pangsiyun’, saya baru bisa menikmati benda-benda yang saya kumpulkan selama ini.
Hobi atau kesenangan mengumpulkan atau mengoleksi suatu benda ternyata dapat menenangkan jiwa juga.

Kamis, 19 Januari 2012

"TENTANG MOTO"


Tulisan lepas:



Released by mastonie on Wednesday, January 18, 2012 at 11:34pm


(Agar supaya tidak menjadi bahan pertanyaan, yang saya maksudkan dengan kata “moto” diatas bukanlah bahasa Jawa untuk memotret, atau istilah lain dari penyedap rasa -apakah anda ingat “Moto tjap Mobil” yang beken di tahun 60an?-.
Moto yang saya maksud adalah kata dalam bahasa Indonesia yang merupakan serapan dari kata bahasa Inggris ‘motto’ yang artinya semboyan).

 Contoh sebuah moto

     Dalam buku  “Tesaurus Bahasa Indonesia”, kata ‘moto’ diterangkan sebagai, n cogan, semboyan atau slogan (hal. 418). Akan tetapi didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ‘moto’ itu tetap ditulis seperti dalam kata bahasa Inggris, yaitu ‘motto’ (dengan dua huruf ‘t’, hal. 593).
Adapun keterangan yang dicantumkan didalam KBBI itu adalah: n 1 kalimat, frase, atau kata yang digunakan sebagai semboyan, pedoman atau prinsip spt “berani karena benar” 2 kalimat (frase, kata) yg tertera diatas sebuah karangan, yg secara singkat menunjukkan pendirian atau tujuan pengarang.
Meskipun saya lebih senang menuliskannya dengan ‘moto’, tapi saya lebih cenderung memilih keterangan yang ada pada buku KBBI, baik yang nomor 1 maupun nomor 2.

     Dalam kolom “quote” (kutipan) di akun jejaring social Facebook, saya menuliskan moto pribadi.
Bunyinya begini:
“If you cannot be the best, be the different one”
 Jika anda tidak bisa jadi (orang) yang terbaik, jadilah (orang) yang berbeda”.

Bukan karena saya ingin jumawa, atau sok  gagah dan sok mentereng.
Anda pasti tahu jejaring sosial Facebook sesungguhnya memang sebuah jejaring yang go international. Jadi kalau moto saya itu dibaca oleh orang yang bukan orang Indonesia,  setidaknya dia tahu maksudnya.
Begitu.

Lingkungan yang membentuk kepribadian

     Harus saya akui bahwa jauh didalam hati kecil saya tersembunyi perasaan inferior (Inggris) atau minderwardigheids complex (Belanda).
Atau dalam pengertian yang umum disebut perasaan rendah diri. Perasaan itu mungkin tumbuh sejak saya masih balita.
Saya berasal dari keluarga sangat sederhana. Kedua orang tua saya sama-sama bekerja mencari nafkah. Jadi saya lebih banyak diasuh oleh simbok (pembantu), oleh karena itu mungkin agak kurang terurus.
Badan saya kurus, kulit hitam dan rambut yang ‘njeginggis’.  Apa itu? Agak susah mencari padanan kata bahasa Jawa ini dengan bahasa Indonesia. Apalagi dengan bahasa asing. Intinya rambut  saya tumbuh tidak baguslah.
Oleh sebab itu saya selalu merasa rendah diri jika harus bermain dengan teman-teman sebaya yang rata-rata lebih gemuk dan (tampaknya) juga lebih sehat dan kuat.
Dalam melakukan dolanan (permainan anak-anak) pun saya jarang sekali bisa menang.
Yang paling saya benci adalah permainan “kasti” (permainan beregu mirip ‘softball’ dengan satu pemukul dan satu bola kecil).
Saya selalu jadi titik lemah bagi regu karena tidak pandai memukul bola dan kurang kencang berlari. Saya juga trauma dengan rasa sakit akibat kena lemparan bola. Walaupun bolanya kecil tapi apabila dilempar dengan kekuatan penuh, kalau kena bagian tubuh sakitnya luar biasa.
Itu rekam jejak saya dalam masalah fisik.
Tapi dalam soal mata pelajaran disekolah, yang berarti non-fisik, saya tak pernah mau kalah.
Prestasi dalam belajar itu mungkin kompensasi saya yang terpacu karena tak pernah bisa menang dalam urusan ‘fisik’.
Boleh dikata saya biasanya hanya menang otak tapi selalu kalah otot.
Itu sebabnya teman-teman sekelas dari SR sampai SMP menjuluki saya dengan nama ‘Kancil’. Mungkin karena mereka menganggap saya banyak akal, walaupun tubuh saya kecil. Padahal mereka juga tahu saya tidak bisa lari kencang.
Julukan itu membekas dalam kalbu seumur hidup saya.

     Pengalaman traumatis dalam hidup itulah yang membuat saya banyak belajar.
Bahwa dalam hidup bermasyarakat, tidak selamanya orang bisa menjadi yang terbaik. Dalam bidang apapun. Oleh karena itu agar tidak menjadi pecundang terus menerus, anda harus menjadi seseorang yang “berbeda”.
Setahu saya, (tentu berdasar pengalaman saya pribadi) dengan menjadi orang yang berbeda itu, setidaknya anda masih akan diperhatikan oleh orang lain.
Namun berbeda itu juga tidak berarti harus berbuat aeng-aeng, aneh atau berperilaku ganjil.
Kata paling tepat untuk tampil beda mungkin adalah yang menyangkut kepribadian (personality) seseorang.
Kepribadian itu menyangkut aspek sifat alamiah (bakat) dan aspek lainnya yang bisa dipelajari. 

     Manusia pada galibnya adalah mahluk yang gemar bergaul atau bersosialisasi. Itu sebabnya disebut sebagai mahluk sosial.
Dalam pergaulan (dengan siapapun) manusia mempelajari banyak hal. Oleh sebab itu pergaulan dan lingkungan termasuk sesuatu yang akan membentuk kepribadian seorang manusia.

Pasti banyak yang tidak asing dengan cerita atau dongeng tentang ‘Tarzan”.

Tentu yang saya maksud bukan Tarsan pelawak Srimulat (yang nama aslinya Toto Mulyadi). Akan tetapi Tarzan tokoh manusia yang akrab dengan binatang liar di rimba raya.
Versi asli dongeng Tarzan mengisahkan seorang bayi manusia yang tertinggal dalam sebuah hutan rimba yang ‘gung liwang liwung’. Kedua orang tuanya tewas dalam kecelakaan pesawat terbang dihutan yang hanya dihuni binatang liar tersebut.
Bayi manusia itu akhirnya ditemukan dan dipelihara oleh sekawanan monyet (atau gorila).
Sejak bayi Tarzan bergaul dengan mahluk yang lebih banyak berbicara dengan bahasa isyarat. Oleh sebab itu ia juga hanya mampu berkomunikasi dengan bahasa isyarat kaum monyet. Tarzan tumbuh besar diantara bermacam binatang buas, sehingga ia mengerti pula bahasa tubuh para binatang. Itu sebabnya ia kemudian menjadi “Sang Raja Rimba”.
Semua binatang penghuni hutan seolah takluk dan tunduk kepadanya.
Maklum bagaimanapun dia adalah seorang anak manusia. Otaknya jauh lebih sempurna dari otak binatang.

     Itulah sebuah contoh  yang saya maksudkan. Walau mungkin terlalu ekstrim. Seorang  anak manusia yang tumbuh besar dilingkungan binatang, maka ia akan berperilaku seperti binatang pula.
Dengan kata lain, lingkungan sekitar akan membentuk kepribadian seorang manusia.
Ada orang bijak bilang: “Tunjukkan lingkunganmu, maka aku akan tahu siapa engkau”.
Seorang anak Kiai kalau setiap hari bergaul dengan preman, kemungkinan sangat besar dia akan  menjadi preman juga. Demikian pula sebaliknya.
Walaupun tentu banyak juga perkecualiannya.

Apakah ‘moto’ itu perlu?

     Menurut pendapat pribadi saya, moto atau semboyan yang dipakai oleh seseorang itu kedudukannya berada sedikit dibawah falsafah (hidup).
Bagi saya, semboyan hanyalah sebuah pedoman atau prinsip yang saya pakai untuk sementara waktu saja. Mungkin saja akan berubah suatu waktu. Siapa tahu?
Kalau begitu mengapa saya harus memakai moto atau semboyan?
Tentu karena sangat maklum potensi saya sendiri berdasarkan pengalaman hidup yang selama ini saya jalani.
Setidaknya saya tahu bahwa secara fisik saya tak pernah menang. Namun secara non-fisik (emosi ataupun intelejensia), belum tentu.
Oleh karena itu sangat baik jika seseorang  mengetahui dengan pasti kapasitasnya sendiri.
Ia akan menjadi seorang yang lebih arif. Karena tahu kelemahan dan kekuatan sendiri. Dengan mengetahui hal tersebut, dia bisa menentukan langkah hidupnya.
Sayapun begitu pula. Sadar sepenuhnya bahwa saya tidak akan menjadi seorang yang istimewa karena keterbatasan fisik. Jadi saya harus menampilkan sisi lebih atau kelebihan saya yang (mungkin saja) tidak dimiliki orang lain.

     Sejak kecil saya suka membaca. Lalu terbit keinginan untuk menulis

Dan ternyata saya bisa, ini saya syukuri benar. 
Kemampuan menyampaikan pikiran dalam bentuk tulisan tidak dipunyai oleh setiap orang.   
Menyadari hal tersebut sayapun nekat terus menulis. Tentang apa saja.
Saya berusaha ‘merekam’ (dalam benak) hal-hal yang saya saksikan untuk kemudian menuangkannya dalam bentuk tulisan.
Pertama kali tampak agak susah, lama kelamaan menjadi mudah. 

Sebagai penulis pemula memang tidak banyak yang saya harapkan. Jangankan bersaing dengan penulis kondang. Mengharap tulisan saya dibaca orang saja sudah merupakan hal yang luar biasa.
Sejak masih duduk dibangku sekolah menengah atas, kebetulan saya masuk grup teater. Disitu saya berlatih main drama, deklamasi dan menulis puisi. Saya bahkan pernah menjadi juara deklamasi tingkat pelajar dan mahasiswa se Kodya Semarang tiga tahun berturutan.
Tapi menulis puisi ternyata tidak mudah. Maklum seiring dengan usia, puisi yang saya tulis waktu itu kebanyakan bernada cinta remaja. Lalu saya beralih menulis prosa dan esai
Ternyata lebih mudah menulis esai. Dan ini yang terus saya tekuni, entah sampai kapan.
Saya makin rajin menulis ketika mendapat kesempatan membantu menulis di buletin kepramukaan. Sampai kemudian dipercaya menjadi Pemimpin Redaksi disebuah Buletin intern perkumpulan haji.

     Seperti yang sudah saya utarakan diawal tulisan, untuk memperkuat motivasi menulis itulah saya akhirnya membuat sebuah ‘moto’.
Rangkaian kalimat dalam moto itu keluar begitu saja, tanpa mengutip dari manapun:

Jika anda tidak bisa jadi (orang) yang terbaik, jadilah (orang) yang berbeda”.

 Yang saya terjemahkan kedalam bahasa Inggris menjadi:
“If you cannot be the best, be the different one”

Kenapa harus repot-repot saya terjemahkan?
Ya,  karena moto ini memang saya pajang pertama kali di jejaring sosial Facebook, yang nyaris dibaca oleh orang sedunia.
 
Sebenarnya kalimat itu adalah gambaran seorang yang merasa rendah diri. 
Karena merasa tak akan pernah jadi yang terbaik, maka saya harus berani tampil beda.
Dan itu yang saya lakukan dalam menulis.
Sedapat mungkin saya berusaha menulis dengan gaya sendiri yang harus berbeda dengan gaya menulis orang lain.
Tapi lucunya sampai sekarang saya juga belum tahu, apakah saya sudah tampil beda atau belum. Karena tentu orang lain yang bisa menilainya.
Sekurang-kurangnya saya sudah punya moto bukan?
Dan ternyata moto ini bisa saya jadikan pegangan untuk berjalan di “trek” yang benar.
Jadi jangan pernah ragu untuk membuat moto (slogan, semboyan) bagi diri anda sendiri.