Kamis, 23 Juni 2011

"TIRANI" SEPEDA MOTOR......


Tulisan lepas:

(sebuah catatan tentang perilaku pengendara sepeda motor dikota besar)


Fotos:  google image

released by mastonie on Thursday, June 23, 2011 at 12,15 pm.

 
Lebih dari tigapuluh tahun yang lalu saya sudah malang melintang naik sepeda motor. Hampir seluruh jalan raya di Pantura Jawa Tengah sudah pernah saya jelajahi dengan sepeda motor berbagai merk yang (terus terang) merupakan pinjaman dari teman. Memang pada kurun waktu tahun 70 – 80 an  itu jumlah pemilik sepeda motor (yang masih menjadi ‘barang mewah’ dan mahal) belum sebanyak sekarang ini. Sepeda ‘onthel’ masih lebih dominan karena sepeda motor masih merupakan ‘tunggangan’ orang-orang yang berkantong tebal.  
Tahun 1979 mimpi saya untuk bisa naik sepeda motor bukan pinjaman baru terwujud setelah saya mendapat sepeda motor inventaris kantor (dinas, plat merah) yang akhirnya bisa saya beli dengan cara mencicil. Oleh karena itu boleh dikata saya sudah kenyang makan asam garam naik sepeda motor sekaligus bisa merasakan bahwa pada saat itu para pengendara sepeda motor masih bersikap 'wajar tanpa syarat’, baik hati dan tidak sombong. 
Waktu itu penggunaan helm pelindung kepala (yang idenya dicetuskan oleh pihak kepolisian) bahkan masih berupa himbauan yang kontroversial dan jadi bahan perdebatan cukup lama. Kecelakaan lalu lintas yang melibatkan sepeda motor juga masih jarang. Mungkin karena jumlahnya yang belum banyak.
Ketika pindah tugas ke Jakarta diawal tahun 1983, saya masih bisa menikmati lalu lintas Jakarta yang belum semrawut dengan pengendara sepeda motor. Namun sejalan dengan beranjaknya waktu, sepeda motor tampaknya menjadi alat transportasi perorangan yang sangat diminati. Selain karena kepraktisannya, harga sebuah sepeda motor  juga relatif masih bisa terjangkau masyarakat golongan menengah atas. Apalagi kemudian cara pembelian dengan sistem kredit makin menjamur dengan  persyaratan yang sangat mudah. Kini dengan berbekal uang limaratus ribu rupiah saja (sebagai DP/uang muka) dan fotokopi KTP dan KK, anda sudah bisa membawa sepeda motor idaman pulang kerumah. Belum punya SIM? Tidak masalah, karena punya SIM  BUKAN termasuk syarat untuk membeli atau mengkredit sepeda motor. 
SIM bisa diurus belakangan, mau lewat jalur resmi bisa,  mau main ‘tembak’ juga sangat bisa.
Begitu mudah dan murahnya harga (kredit) sebuah sepeda motor,  sehingga kini nyaris semua anggota masyarakat yang berpenghasilan tetap bisa memiliki sepeda motor  aneka merk dan jenis dengan sangat gampang. Dilingkungan komplek perumahan saya yang terletak didaerah pinggiran kota Jakarta, bahkan tukang becak dan tukang sayurpun bisa memiliki sepeda motor. Entah untuk anak, istri, a’ak, teteh, uwak atau untuk dipakai sendiri.
Kondisi semakin merebaknya penjualan sepeda motor  (baik tunai maupun kredit) juga ditunjang oleh Produsen kendaraan bermotor roda dua beragam merk yang sangat ‘bernafsu’ berlomba memasarkan produknya dengan iklan besar-besaran disemua media masa elektronik maupun cetak. 
Alhasil tidak mengherankan kalau pemilik dan pemakai kendaraan bermotor beroda dua ini dari hari ke hari semakin banyak jumlahnya.

Sekitar akhir tahun 1984 saya menyatakan diri berhenti total naik sepeda motor, gara-gara adik perempuan saya menjadi korban kecelakaan lalu lintas hingga menemui akhir hidupnya. Bersama suami dan anak semata wayangnya, mereka berboncengan sepeda motor (tanpa memakai helm karena peraturan wajib pakai helm belum terbit) dijalan Siliwangi Semarang. Tidak jauh dari jembatan Kali Banger sepeda motornya disenggol truk gandeng yang ngebut pada pagi hari naas itu. Adik perempuan saya terpelanting masuk kekolong truk dan terlindas. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Suami dan anaknya terpelanting kebahu jalan sehingga hanya menderita luka-luka ringan. Peristiwa tragis itu membuat saya trauma naik sepeda motor. Dan dengan susah payah saya akhirnya berhasil membeli mobil minibus (walau) secara kredit. Menurut jalan pikiran saya, bagaimanapun mobil (yang beroda empat) jauh lebih aman dikendarai daripada sepeda motor yang bisa membuat pengendaranya jatuh meskipun hanya tersenggol sesama motor. Apalagi kalau sampai diserempet truk gandeng!
Saat saya menulis catatan ini -medio tahun 2011- keadaan lalu lintas (khususnya) di Jakarta semakin ‘wat-menggawat’. Nyaris semua jalan umum (baik raya maupun arteri) didominasi oleh kendaraan beroda dua yang disebut sebagai sepeda motor itu. Kecuali dijalan tol tentu saja. Yang paling ‘mengerikan’ adalah pada jam-jam orang berangkat atau pulang bekerja. Diwaktu pagi, baru mau keluar dari jalan kompleks menuju jalan besar saja para pengguna jalan sudah harus sabar mengantri karena jalanan sudah penuh sesak dengan sepeda motor yang mengambil sebagian besar badan jalan. Bahkan sampai terselip diantara mobil dan berhimpitan di bahu jalan. Kemacetanpun tak terhindarkan.
Sebetulnya yang menjadi keprihatinan kita bersama bukan karena kuantitas atau banyaknya sepeda motor itu, akan tetapi karena kualitas perilaku dari para pengendaranya. Saya sendiri adalah mantan pengguna kendaraan beroda dua yang memang sangat praktis itu. Namun dengan permohonan maaf yang sebesar-besarnya terpaksa saya sampaikan bahwa perilaku dan kebiasaan buruk dari sebagian besar pengendara sepeda motor  itulah sejatinya yang membuat jalanan semakin ruwet. Apalagi masih ditambah dengan perilaku (yang tak kalah buruknya) dari sopir kendaraan pribadi dan angkutan umum. Barangkali karena sepeda motor adalah kendaraan lincah ‘anti macet’ yang bisa melakukan manuver dengan aksi serobot kanan serobot kiri, maka para pengendara sepeda motor itu merasa bebas berbuat hal-hal yang sesungguhnya bisa membahayakan dirinya sendiri dan orang lain. Sebagai mantan pengendara sepeda motor tempo doeloe, yang berkendara dengan gaya safety first (mengutamakan keselamatan), saya merasa betul-betul miris melihat aksi para pengendara sepeda motor jaman sekarang. Mereka terlihat begitu ‘gagah berani’ berkendara sampai terkadang harus melanggar segala rambu dan aturan lalu lintas. Yang lebih parah, perilaku menyimpang seperti itu tidak direspon dengan sewajarnya oleh pihak yang berwajib, dalam hal ini tentu saja pak Polisi Lalu Lintas. Bagaimana pengendara sepeda motor bisa jera kalau pelanggaran lalu lintas dijalan raya bisa diselesaikan dengan ‘jalan damai’? Kelemahan dibidang law enforcement itulah yang agaknya ikut menunjang makin tak terkendalikannya perilaku buruk para pengemudi kendaraan bermotor (beroda berapa saja).

Betapa memprihatinkannya perilaku para pengendara sepeda motor, bisa saya ilustrasikan dengan beberapa contoh berikut: 

·        * Sering kita lihat sebuah sepeda motor ditunggangi oleh lebih dari DUA orang sekaligus, bahkan terkadang nekat tanpa memakai helm (kebanyakan pelakunya adalah anak-anak berseragam sekolah). Motor dipacu dalam kecepatan tinggi menerobos disela-sela mobil dan angkutan umum lainnya. Pada bulan ramadhan menjelang hari raya, kebiasaan buruk yang tidak memedulikan keselamatan (diri sendiri dan orang lain) itu malahan dilakukan secara ‘berjamaah’. Dengan kedok “mudik bersama”, banyak diantara pemudik itu yang dengan alasan murah dan praktis, menaiki satu sepeda motor untuk satu keluarga (kadang sampai empat orang sekaligus) yang jelas melanggar ketentuan yang diperbolehkan. Mereka sama sekali tak terlihat merasa bersalah melakukan aksi berbahaya seperti itu. Sangat mengerikan.

·        * Disetiap lampu traffic light sering terlihat hal seperti ini: para pengendara sepeda motor berhenti bergerombol jauh didepan garis batas yang ditentukan, bahkan sering jauh didepan lampu lalu lintas itu sendiri. Sebelum lampu menyala hijau, mereka (secara bersama-sama) sudah  langsung tancap gas melaju menerobos perempatan. Karena hal seperti itu tampaknya dibiarkan saja oleh Petugas Polantas, maka perilaku yang sebetulnya merupakan pelanggaran (dan sangat berbahaya) itu sekarang dianggap wajar saja sehingga semakin menjadi-jadi. 

·        * Di Jakarta, konon pihak yang berwajib telah mengeluarkan peraturan yang mengharuskan pengendara sepeda motor berjalan disebelah KIRI (di beberapa tempat bahkan sudah dibuat jalur khusus untuk sepeda motor). Selain itu tak peduli siang atau malam pengendara sepeda motor wajib menyalakan lampu kendaraannya. Namun masih saja banyak para pengendara motor memacu kendaraannya dijalur sebelah KANAN yang sesungguhnya diperuntukkan bagi kendaraan beroda empat atau lebih. Pokoknya para pengendara motor akan mengambil semua celah yang memungkinkan dimasuki oleh sepeda motor, walaupun harus menyenggol spion atau bahkan menggores spakbor atau badan mobil yang dilewatinya. Anehnya mereka juga seperti tak merasa bersalah, karena tak pernah ada ucapan minta maaf untuk kejadian seperti itu. Alih-alih menyalakan lampu disiang hari, dimalam hari saja masih banyak pengendara sepeda motor yang dengan santainya melaju kencang dijalanan tanpa menyalakan lampu apapun.

·         * Pada waktu turun hujan, para pengendara sepeda motor (yang tidak membawa jas hujan) cenderung memilih halte bus atau terowongan (underpass) untuk berteduh. Sayangnya mereka memarkir sepeda motornya dengan semaunya, sehingga memakan tempat sampai lebih dari separuh badan jalan. Hal ini menyebabkan kemacetan berkepanjangan.

·        * Dibeberapa jalan yang diberlakukan satu arah (one way traffic) sering terlihat pengendara sepeda motor dengan santainya melawan arah, tanpa merasa bersalah dan tak menyadari bahwa perbuatannya tersebut sangat berbahaya. Hebatnya lagi, seperti tak ada petugas Polantas yang peduli. 

·        * Di Jakarta juga sering terlihat para pengendara sepeda motor nekat memasuki jalur busway, yang sesungguhnya terlarang bagi kendaraan selain busway (walaupun ada juga beberapa mobil pribadi dan terutama angkutan umum yang juga ikut berpartisipasi melanggar). Padahal sudah sangat sering terjadi kecelakaan yang menimpa pengendara sepeda motor akibat tertabrak busway yang berakibat fatal.

·         * Dan masih banyak perilaku tak terpuji para pengendara sepeda motor yang intinya adalah tidak tertib, tidak disiplin dan sering melanggar peraturan lalu lintas.

Secara umum perilaku yang tidak patut dicontoh itu memang tidak hanya dilakukan oleh para pengendara sepeda motor saja. Pengendara mobil pribadi dan (yang paling sering) sopir kendaraan angkutan umum juga banyak yang melakukan perbuatan yang sama (konyolnya). Namun karena sepeda motor (terutama di Jakarta dan kota-kota besar lain) yang beroperasi dijalanan sangat besar JUMLAH nya, maka perilaku buruk para pengendaranya menjadi terlihat sangat menonjol dan cenderung menyusahkan para pengguna jalan yang lain. Perilaku tidak tertib, tidak disiplin dan cenderung semau gue itu nyaris berubah menjadi sebuah TIRANI. Kalau jaman dahulu ada sebuah kendaraan yang diiklankan sebagai raja jalanan, maka tampaknya jaman sekarang sepeda motor telah benar-benar menjelma menjadi Raja Jalanan, dalam arti kiasan maupun yang sesungguhnya. Mereka (para pengendara sepeda motor itu) jelas tampak selalu ingin menang sendiri. Sangat ironis.

Yang menjadi pertanyaan, mengapa hal seperti itu bisa terjadi? Menurut hemat saya, ada beberapa faktor pendukung yang menyebabkan terjadinya keadaan tersebut, antara lain:

·        * Produsen (pabrik maupun importir) sepeda motor -dengan berbagai merk dan jenis- yang dari tahun ketahun semakin meningkatkan  produksinya dan 'menggelontor' pasar sepeda motor tanpa perhitungan kecuali untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Sedangkan Regulator (pemerintah) tampaknya tidak pernah mengeluarkan pembatasan produksi kendaraan bermotor (apa saja) secara jelas dan  pasti. Oleh sebab itu rasio antara jumlah kendaraan bermotor dengan ketersediaan (pembangunan) jalan menjadi tidak seimbang. Hal itu menjadi pemicu terjadinya kemacetan. Dan kemacetan (dimana saja) cenderung memicu pengendara kendaraan bermotor untuk melakukan pelanggaran peraturan lalu lintas.

·         * Harga jual sepeda motor yang walaupun sebenarnya tidak murah namun ditawarkan dalam paket penjualan secara kredit dengan persyaratan yang sangat mudah sehingga terkesan menjadi sangat murah dan terjangkau oleh segala lapisan masyarakat. Oleh sebab itu jangan heran kalau sepeda motor menjadi moda transportasi yang paling diminati oleh khalayak ramai, sehingga menyebabkan membengkaknya jumlah  kendaraan roda dua yang lalu lalang dijalan raya.

·         * Sudah menjadi 'rahasia umum' bahwa masyarakat bisa dengan sangat mudah memperoleh SIM lewat permainan ‘orang dalam’ maupun calo dengan cara membayar sejumlah uang. Dengan  cara siluman ini orang bisa memperoleh SIM tanpa melalui ujian baik tertulis maupun praktik lapangan. Akibatnya banyak pengendara (motor dan mobil) yang lebih senang main ‘tembak’ untuk mendapatkan SIM, sehingga sesungguhnya kemampuannya mengemudi (walau sudah memiliki SIM) belum tentu memenuhi persyaratan dan ketentuan yang berlaku. Sebagai contoh, banyak pelajar sekolah yang sebetulnya belum memenuhi syarat usia untuk mendapatkan SIM, namun karena orang tuanya bisa main ‘pat-gulipat’, maka dia berhasil memiliki SIM tanpa melalui ujian apapun. Tentu saja apabila pembuatan "SIM tembak" ini dilakukan oleh seorang pengendara kendaraan umum yang membawa nyawa banyak penumpang (seperti bus atau angkutan kota lainnya) bisa berakibat fatal dan membahayakan keselamatan umum.

·        * Juga sudah bukan rahasia lagi bahwa “semua urusan bisa diselesaikan secara damai” apabila hal tersebut menyangkut pelanggaran lalu lintas di jalan umum. Pengendara dan Petugas Polantas telah dengan rela dan suka hati saling melakukan tindakan TST, ‘tahu sama tempe’, sehingga surat tilang nyaris tak diperlukan lagi. Lemahnya tindakan hukum (law enforcement) yang dilakukan para petugas dilapangan (walau tidak semua petugas Polantas berbuat seperti itu) sejatinya membuat merosotnya kesadaran dan kepastian hukum dinegeri ini. Betapa mudahnya seorang pelanggar lalu lintas lepas dari jerat hukum, dengan hanya membayar ‘denda damai’ ala kadarnya, yang mengakibatkan pengendara (motor ataupun mobil dan angkutan umum) tidak merasa takut  atau jera  melakukan pelanggaran lagi dan lagi.

Melihat kenyataan pahit seperti itu, apa daya kita? Apakah masih ada solusi untuk mengurangi tingkat kerawanan yang diakibatkan oleh perilaku para pengendara mobil pada umumnya dan pengendara sepeda motor pada khususnya? Ibarat penyakit, sebetulnya jalan yang terbaik adalah mencegah agar tidak terkena virus, dengan jalan imunisasi, misalnya. Tapi bagaimana kalau penyakitnya sudah terlanjur kronis?  Pemberian obat seringkali tak ada artinya, sehingga dokter harus memutuskan untuk melakukan tindakan operasi.
Lha kalau menyangkut masalah perilaku buruk, tidak tertib, tidak disiplin dan senang melanggar aturan, serta suka memilih ‘jalan damai’, lalu apa tindakan ‘medis’ nya?

Itulah sejatinya PR (pekerjaan rumah) kita semua. 
Karena siapa tahu anda juga termasuk salah seorang yang memakai sepeda motor sebagai moda transportasi sehari-hari. Jika memang demikian, saya berharap anda tidak termasuk dalam golongan para “TIRAN Jalanan” itu dan justru bisa memberikan sumbangan pemikiran mencari solusi yang terbaik untuk mengurangi akibat perilaku tidak terpuji itu.

Semoga.