Selasa, 23 Oktober 2012

TENTANG "UANG PENSIUN" DAN PENSIUNAN




-Sebuah renungan untuk para penyelenggara negeri- 

 Para "Pangsiyunan" sehabis terima rapel pensiun.....

     Semua orang yang bekerja atau mempunyai pekerjaan, baik kerja tetap atau paruh waktu, pasti suatu ketika akan memasuki masa pensiun. Definisi kata “pensiun” menurut KBBI adalah: “tidak bekerja lagi, dengan menerima uang tunjangan bulanan”. Tentang ‘pensiun’ inilah yang sekarang jadi begitu hangat dibicarakan khalayak ramai. Terutama kaum “pangsiyunan” tentu saja.

   Sesuai kodrat alami, semua orang akan menjadi tua. Tak seorangpun bisa menghindar dari proses ‘menjadi tua’ ini. Artinya dalam proses menjadi tua inilah pasti akan tiba waktunya bagi seseorang untuk berhenti (atau -sesuai peraturan- diberhentikan) bekerja.
Ukuran tua memang relatif. Tapi bagi seorang pekerja, karyawan atau buruh, ada peraturan baku yang telah berlaku dan telah disepakati bersama yang menentukan pada usia berapa seseorang akan -secara otomatis- dinyatakan memasuki masa pensiun. Di Indonesia, peraturan tentang usia pensiun ini diadaptasi dari peraturan kepegawaian yang dibuat oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda dulu. Tentu dengan penyesuaian disana sini.

     Karena dibuat sejak jaman Hindia Belanda (yang konon terkenal sangat cermat dan teliti dalam bidang administrasi), maka penetapan batas usia pensiun ini dapat dipastikan dibuat dengan dasar yang kuat dan pertimbangan yang matang dan rasional. Bagi para PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang gajinya diatur dengan PGPS, jelas disebutkan batas usia seseorang memasuki masa pensiun. Pegawai atau karyawan swasta lain memiliki peraturan sendiri yang tidak jauh berbeda aturannya.
Secara umum, batas usia pensiun di Indonesia adalah 56 tahun. Dengan beberapa pengecualian dan aturan khusus yang dibuat dengan peraturan tersendiri. Antara lain yang berlaku bagi Anggota TNI dan Polri, Pejabat Tinggi (struktural maupun fungsional) dan tenaga pengajar (guru, dosen, guru besar).

    Peraturan (tentang batas usia pensiun) ini sudah berlaku semenjak republik ini berdiri. Demikian pula dengan peraturan besarnya gaji pensiun yang harus diterima. Itu sudah termaktub dalam PGPS. Selama Indonesia merdeka sampai saat ini, para “pangsiyunan” ini tetap menerima gaji (uang pensiun) yang besarnya sesuai dengan pangkat/golongan dan masa kerjanya.
Dan sudah sejak jaman dulu pula yang namanya uang pensiun ini dibayarkan pada yang berhak setiap bulan.

     Tapi jangan salah. Sesungguhnya uang pensiun yang dibayarkan itu bukan “uang yang jatuh dari langit” atau hadiah cuma-cuma dari pemerintah. Itu adalah uang tabungan para pensiunan sendiri. Karena sewaktu masih berdinas, setiap bulan gajinya dipotong untuk tabungan hari tua atau masa pensiun itu.
Dan selama ini pembayaran uang pensiun berjalan “baik-baik” saja. Sampai terjadinya “Era Reformasi”. 

    Euforia reformasi yang menggebu dan meluap-luap itu (yang mungkin) menyebabkan beberapa oknum pejabat, penguasa, dan politisi semakin bebas merdeka berbuat semaunya. Salah satunya yang merusak kehidupan berbangsa dan bernegara adalah KORUPSI! Dijaman orde baru memang tak bisa disangkal virus jahat yang menggerogoti uang rakyat ini juga sudah ada. Namun tidak pernah separah dijaman reformasi. 
Sekarang ini korupsi merajalela bahkan dilakukan secara berjamaah. Pilar trias politika yang terdiri dari Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif sudah tercemar bibit korup sampai jauuuuuh.

     Tidak heran kalau ada Kepala Daerah, Anggota Dewan, Politikus, Penegak Hukum sampai Pejabat Tinggi Negara yang tertangkap baik basah atau kering melakukan korupsi. Akibatnya sungguh sangat mencemaskan, konon nyaris sepertiga dari anggaran negara bablas dijarah para tikus berdasi.
Lalu tiba-tiba, sekonyong-konyong, mendadak, saknalika ada petinggi bidang moneter yang mengemukakan bahwa uang negara bisa habis untuk membayar uang pensiun! Menurut beliau yang terhormat itu, setiap tahun uang untuk membayar pensiun membengkak anggarannya! Oleh sebab itu harus dicari solusi untuk menghindari ketekoran uang negara itu. 

    Jabang bayiiiik!! Sebelum mengemukakan wacana yang mengagetkan barisan pangsiyunan itu, pernahkah beliau  menghitung berapa banyak uang negara yang HILANG LENYAP dimakan para koruptor? Mengapa bukan mencari solusi untuk mencegah hilangnya uang negara karena ulah segelintir manusia yang rakus dan mementingkan diri sendiri? Mengapa justru para pangsiyunan yang notabene dibayar dari uang tabungan mereka sendiri yang malah dijadikan kambing congek?

    Mencegah dan (apalagi) memberantas korupsi jelas bukan perkara mudah. Memang jauh lebih mudah menyalahkan para pensiunan sebagai penyebab tekornya uang negara. Tapi ini jelas bukan suatu (tuduhan) yang adil. Apalagi beradab. Dinegara maju bukan hanya pensiunan yang diurus negara, bahkan mereka yang gelandanganpun mendapat jaminan sosial. Dan selama ini belum pernah terdengar kabar ada negara yang JATUH BANGKRUT karena uangnya habis untuk membayar pensiun!

    Wacana yang digelontorkan adalah membayarkan SEKALIGUS DIMUKA uang pensiun bagi para pegawai (terutama PNS) yang sudah habis masa dinasnya. Kelihatannya memang sangat menarik. Tapi nanti dulu. Apakah beliau-beliau para petinggi negeri tidak menyadari bahwa amat sangat jarang para pegawai yang terbiasa memegang uang dalam jumlah sangat besar. Juga sangat jarang pensiunan yang punya bakat wiraswasta. Oleh sebab itu ditengarai akan bisa menimbulkan sindrom ‘kaya mendadak’ yang menyertai para OKB. 

    Berdasarkan pengalaman, biasanya para OKB itu akan menjalani pola hidup yang lebih menjurus kearah  hidup konsumtif dan foya-foya. Hal itu akan berakibat menyengsarakan daripada membahagiakan diri mereka. Akibatnya bisa diperkirakan. Kalau kemudian uang yang sangat besar itu habis dalam waktu singkat, lalu bagaimana nasib para pensiunan itu selanjutnya? Apakah pemerintah akan lepas tanggung jawab dari masalah baru yang kemudian timbul? 
Mengapa tidak lebih baik meniru motto Pegadaian yang sudah teruji itu: “Menyelesaikan masalah tanpa membuat masalah baru”.

    Para penyelenggara negara, terutama pejabat bidang moneter sebaiknya memikirkan masak-masak wacana baru itu. Sebuah teve swasta menayangkan polling pendapat para pegawai (sekali lagi terutama PNS) tentang uang pensiun yang (akan) dibayarkan sekaligus itu. Banyak diantara mereka yang tidak setuju, mengingat mereka memang tidak pernah disiapkan untuk mengelola uang dalam jumlah besar. Ada juga yang berpikiran sebagai seorang wiraswasta, yang akan menjadikan uang itu sebagai modal usaha. Tapi jumlah orang yang berjiwa dagang tidak banyak. Apalagi kalau melihat saat ini, dimana persaingan dagang sangat ketat tentu resikonya akan jauh lebih besar. Bukannya untung malah buntung.

   Selain para pegawai dan PNS yang baru akan pensiun, lalu bagaimana nasib para pensiunan yang sudah lama sekali menikmati masa pensiun dan rata-rata sudah uzur? Apakah kemudian akan dibayarkan pula sisa uang pensiunnya? Bagaimana para lansia yang sudah sepuh itu akan mengelola uang “tiban” nya?

  Tekornya uang negara sejatinya adalah karena pengelolaan anggaran yang kurang baik. Juga sekaligus akibat banyaknya kebocoran karena ulah para koruptor. Solusinya adalah: tangkap koruptor dan kembalikan seluruh kekayaan negara yang “dihisapnya” tanpa pandang bulu. Jangan hanya dipenjara karena ‘basa basi’ saja. Kelak ketika keluar penjara para koruptor masih sugih mblegedhu (kaya raya). 
Sejalan dengan itu perketat pengawasan menyeluruh beserta sanksi yang berat. Kalau perlu jatuhkan hukuman mati pada para koruptor itu! Tujuannya jelas, untuk mencegah terjadinya korupsi dimana saja.

    Membayarkan sekaligus uang pensiun BUKAN SOLUSI terbaik, karena para pensiunan sejatinya menerima bunga dari uang tabungan mereka sendiri. Sudah pasti setiap tahun akan ada pensiunan baru. Oleh sebab itu jumlah uang pensiun memang seakan MEMBENGKAK, seolah menghabiskan uang negara. Padahal orang yang waras juga tahu bahwa uang APBN habis karena digerogoti maling berdasi. Pensiunan bukan malingnya. Jangan meng “kambing congek” kan para abdi negara yang sudah purna bakti. Bagaimanapun mereka pernah berjasa kepada negara walau cuma sebesar biji sawi.

    Saya teringat pada petuah Simbah Kakung saya: “Jangan pernah berbuat dosa kepada orang-orang yang sudah tua, walau bukan orang tuamu sendiri”.
Orang Jawa jaman doeloe bilang: “Wong tuwo iku malati”.
Artinya kalau anda berbuat tidak baik kepada orang tua bisa kualat lho!
Mau jadi jambu monyet?

Tapi maaf saja, saya tidak yakin para penguasa itu mengerti!


Jakarta menjelang musim hujan, Oktober 2012.


Minggu, 21 Oktober 2012

"TENTANG KEMATIAN"




 Makam Letjen TNI (Purn) H. Soepardjo Roestam

“Wa maa kanaa li nafsinan tamuuta illaa bi idznillaahi kitaabam mu-ajjalaw…….”
(QS. 3 : 145)
(Dan tidak akan mati sesuatu yang bernyawa melainkan dengan izin Allah sebagai ketetapan yang telah ditentukan…..).
“Kullu nafsin dzaa-iqatul mauti….”  (QS. 3 : 185)
(Tiap-tiap jiwa akan merasakan mati………)

Itulah cuplikan dua ayat didalam kitab suci Al-Qur’an yang merupakan  firman Allah SWT tentang kematian.

     Orang Jawa mengenal tembang Kinanti yang antara lain pupuhnya berbunyi:

Ana tangis layu-layu
Tangise wong wedi mati
Tangise alara-lara
Maras atine yen mati
Gedhomgana kencengana
Yen pesthi tan wurung mati

(Serat Centhini, Jilid VI: 367)

Makna secara keseluruhan adalah bahwa meskipun ditangisi, walaupun disimpan dalam gedung rapat-rapat, kalau ajal seseorang sudah tiba, maka kematian  tetap tak akan dapat dihindari.

 
     Sejatinyalah segala sesuatu yang hidup pasti akan mati. Itulah kodrat Illahi Rabbi. Sebagai hamba Allah yang tawakal, kita tentu tak akan khilaf bahwa mati hidupnya seorang manusia sepenuhnya adalah hak dan  rahasia yang hanya dimiliki Allah SWT. Kitapun harus senantiasa bersikap ikhlas. Tak dimanapun, tak kapanpun, tak siapapun, malaikat maut pasti akan datang menjemput.

     Dalam tulisan ini, saya hanya ingin berbagi cerita tentang manusia yang pada suatu saat pasti akan berjumpa dengan kematian. Kadang datangnya sang malaikat maut begitu mendadak. Tanpa tanda apapun.
Dalam rentang waktu tak sampai dua bulan, teman dekat, kolega, sahabat saya telah ‘bertumbangan’.

     Dibulan suci Ramadhan, seorang teman mendadak wafat. Almarhum adalah teman sekantor, bahkan pernah satu ruangan. Tetangga satu komplek (dalam satu Blok tapi lain RT). Orang -asli- Lampung yang santun dan lemah lembut tutur sapanya (walaupun bagi yang tidak terlalu akrab ia seperti sosok yang sinis). Saya mengenalnya sebagai orang yang tekun dalam bekerja. Tak banyak bicara. Kalau istilah iklannya: “Talk less do more”. Ia juga tak suka ghibah ngerumpi” membicarakan kejelekan orang. Perjumpaan saya terakhir dengannya adalah ketika terjadi gerhana bulan total dan kita bersama-sama melaksanakan sholat sunah Gerhana di masjid kompleks.

     Entah mendapat firasat apa, pada tengah malam hari  itu (selain memotret gerhana bulan) saya juga sempat mengambil foto close-up wajahnya. Teman saya itu tampak renta, rapuh dan letih. Diujung pagi hari berikutnya sesudah makan sahur dan bersiap mengambil air wudhu untuk sholat subuh, ia terjatuh di kamar mandi. (Selama ini meskipun jalannya tertatih-tatih, ia selalu memaksakan diri pergi ke masjid untuk melakukan sholat wajib lima waktu). Tubuhnya yang lemah langsung dilarikan ke RS Haji Pondokgede. Tak sampai sehari dirawat langsung wafat. Menurut hadits yang pernah saya baca, konon siapapun yang berpulang dibulan suci Ramadhan, sedang ia dalam keadaan berpuasa, maka baginya akan langsung dibukakan pintu surga,
Insya Allah. Aamiiin.

    Memasuki bulan Oktober, dokter keluarga yang telah mengenal dan ‘mengobati’ keluarga saya selama hampir 23 tahun lebih, juga mendadak wafat. Selasa pagi hari dibulan Oktober, ia tiba-tiba pingsan dikamar mandi. Gula darahnya naik sampai lebih dari 600. Sempat dibawa ke RS Polri Kramatjati. Tapi malaikat maut menjemputnya pada hari Rabu pukul 15.00 sore.

     Dokter H, adalah seorang wanita Nasrani sederhana yang ramah, lemah lembut tutur katanya dan sangat santun. Ia adalah dokter umum yang bertangan ‘dingin’. Senantiasa membesarkan hati pasien, dan melayani dengan hati. Ia juga tak pernah mempersoalkan perbedaan agama dan keyakinan para pasiennya.
Itulah yang membuat saya terkesan sejak pertama kali mengenalnya.

     Akan tetapi (ini yang membuat saya selalu heran) sekalipun beliau adalah  seorang dokter senior, ternyata ia sendiri menderita banyak sekali penyakit. Bagaikan ‘the Bionic Woman’, dokter H sudah pernah mengalami berbagai macam operasi. Yang paling ‘sederhana’ adalah operasi pengangkatan usus buntu. Lalu operasi by pass jantung yang ‘mereparasi’ nyaris semua (!) arteri jantungnya, karena terkena aterosklerosis. Konon arterinya sudah tertutup plak hampir 90 persen. Kemudian juga transplantasi ginjalnya.

     Menakjubkan sekali beliau bisa menerima semua kenyataan itu dengan pasrah. Bahkan setiap menceriterakan ‘kisah’ operasinya, beliau selalu berbicara dari sisi positifnya. Dan selalu dengan gaya yang jenaka. Operasi terakhir yang dikisahkannya dengan berapi-api adalah pemasangan pen baja dipaha kirinya, gara-gara jatuh dari kendaraan umum yang ditumpanginya. Walaupun dokter H adalah seorang yang hidup berkecukupan dan mempunyai mobil pribadi, tapi kalau bepergian kemana-mana ia selalu memilih naik kendaraan umum.
Kepada saya dan istri dengan ‘bangga’ dipamerkannya foto rontgen tulang paha kirinya yang kini disambung dengan sebuah pen baja. Betul-betul wanita “berkaki baja” dan memang berhati baja. Luar biasa.

    Beberapa minggu sebelum ia berpulang, saya dan istri masih sempat membawa anak bungsu saya berobat kepadanya. Anak saya  menderita demam tinggi sampai hampir pingsan. Seperti biasa diagnosenya selalu ‘pas’. Anak saya menderita radang di tenggorokan dan gangguan disaluran kencing. Beberapa jenis obat diberikannya dan ia berkeras hati tak mau dibayar! Beberapa hari setelah itu giliran istri saya yang jatuh sakit. Tidak bisa buang air kecil. Malam-malam saya telpon dokter H. Saya konsultasikan keadaan istri saya kepadanya. Iapun memberikan beberapa saran. Dan manjur!
Tenyata itu adalah pembicaraan saya yang terakhir dengannya.

     Oleh karena itu ketika salah seorang perawatnya (yang juga mengenal keluarga saya dengan baik) memberitahu isteri saya lewat telepon tentang kabar duka cita itu, saya terpana nyaris tak percaya. Allah SWT ternyata lebih menyukai ‘memanggil’ lebih dahulu keharibaan Nya, orang-orang yang baik dan luhur budinya.
Saya teringat sebuah pepatah bangsa Cina :
“Bambu yang lurus akan ditebang lebih dahulu”.

    Walaupun saya setuju dengan pepatah dari Cina itu, (yang artinya orang-orang yang baik budi pekertinya cenderung akan meninggal  lebih dahulu) tapi saya juga tetap ingat akan sabda Rasulullah SAW:
“Sebaik-baik manusia adalah mereka yang panjang umurnya dan baik juga amal perbuatannya”  (HR. Tirmidzi).

     Alhamdulillah, Menurut pendapat saya pribadi, dua orang kolega saya itu (meskipun seorang diantaranya adalah non muslim), memenuhi syarat sebagai “sebaik-baik manusia” seperti yang disabdakan oleh Rasulullah SAW.
Mudah-mudahan beliau-beliau termasuk dalam golongan manusia yang panjang usianya serta baik amal perbuatannya. Insya Allah.

Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.
Semoga Allah SWT mengampuni segala kekhilafan almarhum dan almarhumah, serta memberikan tempat yang baik sesuai amal ibadah masing-masing.
Aamiiin.




Pondok Gede, suatu hari ketika hujan tak juga datang.

INILAH BUKU SAYA YANG KEDUA..!!!

Insya Allah akan segera terbit akhir bulan Oktober 2012:

Buku berisi 26 Kisah Spiritual Inspiratif:




"Dari (mahluk penunggu) Lawang Sewu, 
sampai ke Kota yang Bercahaya"

Buku setebal 200 halaman ini berkisah tentang berbagai pengalaman spiritual penulis  sebelum, menjelang, ketika dan sesudah menjalankan ibadah Umroh dan Haji ketanah suci.


Mencekam, menegangkan, lucu, menarik, mengharukan  dan menginspirasi......

Jangan lewatkan, apalagi sampai kehabisan.

APAKAH PATUT KITA TAKUT PADA MAUT?



Sebuah renungan untuk kita semua


Ziarah kubur mengingatkan kita pada kematian

Suka hati saat bel berbunyi.

      Ada satu kenangan yang tentu membekas dalam ingatan mereka yang pernah bersekolah. Rasanya tidak berlebihan jikalau dikatakan, bahwa setiap murid selalu akan merasa riang gembira jika bel tanda pelajaran terakhir sudah usai. Itu tandanya mereka akan segera pulang kerumah. 

     Saya masih ingat, ketika bel berbunyi, serentak wajah teman-teman sekelas langsung berubah. Dari wajah tegang, lelah, bosan (bahkan tak jarang wajah ‘sutris’), menjadi wajah cerah ceria. Saat untuk pulang kerumah akhirnya tiba. 

      Mengapa semua anak selalu merasa rindu pulang kerumah dan selalu menyambut saat itu dengan riang gembira?  Ketulusan hati ibu, rasa lapar dan rindu akan mendapat masakan lezatnya, barangkali alasan utamanya. 

      Bayangan ibu yang menyambut dengan senyum manis, dan bayangan masakan lezat dimeja makan, memang merupakan salah satu sebab murid rindu pulang kerumah.  Tidak heran mengapa waktu sekolah dulu kita sangat menantikan terdengarnya bunyi bel tanda sekolah usai. 
Apakah pernah ada cerita seorang anak yang tidak mau pulang kerumah sesudah bubaran sekolah? Rasanya hampir tidak pernah ada.

      Mari bandingkan masa sekolah itu dengan kehidupan kita dialam fana. Sesungguhnyalah kehidupan manusia didunia ini bersifat sementara saja. Orang Jawa mengenal istilah: “Urip iku sak derma mampir ngombe” . Artinya, hidup hanya sekedar menumpang minum. Hidup itu tidak akan lama. Tak ada manusia atau mahluk lain yang akan hidup untuk selamanya. Sebab keabadian hanyalah milik Allah, Tuhan sang Maha Pencipta.

     Hidup ibarat “sekolah” bagi manusia, mahluk paling mulia yang diciptakan oleh Nya. Di alam fana inilah manusia terus belajar menimba ilmu apa saja. Nyaris sepanjang hayatnya. Namun perjalanan itu akan berakhir pada suatu ketika yang tidak satupun mahluk tahu kapan waktu itu akan tiba. 

     Kematian, itulah “bel terakhir” bagi manusia yang pasti akan datang. Kapan saja dimana saja. Tak satupun mahluk tahu kapan saat itu datang. Karena bel kematian sepenuhnya merupakan hak prerogatif Allah Swt. 

Siapkah kita ‘pulang’ kerumah Sang Maha Pencipta?

    Tak bisa dipungkiri, banyak orang yang merasa takut menghadapi kematian. Mungkin kita termasuk salah satu diantaranya. Oleh sebab itu sejak dulu sudah banyak kisah dan legenda yang bercerita tentang bagaimana manusia mencari ‘rahasia’ agar bisa hidup abadi. Bagaimana manusia berusaha sedapat mungkin menghindar dari kematian. Dengan cara-cara yang terkadang tidak masuk akal, bahkan menggelikan. 

    Padahal sebagai manusia yang percaya terhadap adanya Allah, Tuhan Sang Maha Pencipta, seharusnya kita juga yakin akan adanya Malaikat Izroil. Malaikat maut inilah yang diutus oleh Allah Swt untuk mencabut ‘mandat’ siapa saja yang sudah tiba saat “akhir tugas” nya didunia. Tak satupun mahluk bisa mengelak dan menghindari kematian. Allah Swt telah menegaskan dalam salah satu ayat didalam kitab suci Al-Qur’an: “Semua yang bernyawa akan merasakan mati...” (QS. 3 : 185).

    Jadi, sebagai manusia yang beriman dan taqwa kepada Allah Swt, patutkah kita takut menghadapi datangnya sakaratul maut? Seharusnya tidak. Sangat naif kalau kita percaya kepada Allah dan takdirNya, tapi kita takut menghadapi kematian.

    Saya ingatkan sekali lagi, saat mendengar bel tanda pelajaran sekolah berakhir, kita bersuka cita menyambutnya. Karena kita yakin akan pulang kerumah bertemu ibu yang sangat menyayangi dan pasti menyiapkan makanan lezat untuk anak-anaknya. 

    Lalu mengapa ketika “bel kematian” berdentang, kita takut mendengarnya? Kita sering sekali mengucap lafadz “Innalillahi wa inna ilaihi roji’un” ketika ada orang meninggal dunia. Terjemah bebasnya adalah “sesungguhnya kita berasal dari Allah dan akan kembali kepada Nya”. Oleh sebab itu, mati dapat diartikan bahwa kita akan kembali ketempat asal dan bertemu dengan Allah sang Maha Pencipta. Sudah pasti Allah Swt akan menyambut hamba Nya dengan kasih sayang dan siap pula memberikan tempat yang terbaik disisi Nya. Namun dengan "syarat dan ketentuan" yang berlaku.
Yakinlah, bahwa kasih sayang  Allah Swt kepada mahlukNya pasti jauh lebih besar dibandingkan dengan cinta kasih seorang ibu.

    Masih terbayang dalam kenangan, kalau kita nakal di sekolah dan mendapat rapor yang “kebakaran” karena lebih banyak nilai merahnya, maka Ibu akan marah besar!  Oleh karena itu kita akan berusaha sedapat mungkin tidak nakal dan mendapat nilai bagus disekolah. Itu adalah cara untuk menghindari kemarahan Ibu atau orang tua kita.

     Demikian pula seharusnya kita berpikir: mungkin kita takut menghadap kepada Nya karena merasa banyak dosa. Sehingga takut menghadapi maut yang akan datang tanpa permisi. Kita merasa selama ini banyak melanggar aturan Nya dan belum siap menebusnya dengan amal baik yang cukup.

     Lalu apa yang harus kita lakukan? Sederhana saja sebenarnya. Siapkan diri anda untuk menghadapi saat kematian tiba. Bagaimana caranya? Apakah jangan nakal dan berusaha dapat nilai bagus disekolah? 

     Ya! Kira-kira seperti itu, tapi bukaaaaan. 
Kalimat "jangan nakal" semestinya kita artikan  sebagai hidup yang harus sesuai dengan aturan yang dibuat oleh Nya. Nilai bagus dirapor sekolah itu artinya semasa hidup didunia kita harus berusaha berbuat baik dan tidak neko-neko. Dengan demikian maka malaikat  akan mencatat amal baik kita lebih banyak dibandingkan dengan dosa kita. 
Itu saja.

    Jadi sudah siapkah kita “dijemput” kapan saja tanpa rasa takut? 

   Insya Allah. Jika anda selalu ingat, betapa senangnya bel berbunyi tanda sekolah usai, seperti itu pulalah rasanya jika bel kematian anda nantinya berdentang. Suka ria karena akan bertemu Allah Swt yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, melebihi kasih sayang dari ibu siapapun juga.



Jakarta, medio Oktober 2012.