Sabtu, 31 Mei 2014

CATATAN PERJALANAN "UMROH KOSASIH" (16)



-Bagian Keenambelas-

(Ditulis pada hari Minggu, 21 September 2013)


Hilton Hotel & Apartment Makkah

Dimata saya Kota Mekah al-Mukaromah selalu tampak berubah. Sudah lebih dari empat kali saya datang, dan saya dapati suasana yang terus berganti. Namun pesonanya tak pernah pudar. Ada semacam magnet yang terus menerus menarik hati saya, atau barangkali hati siapapun yang beriman kepada Nya, untuk terus datang dan datang lagi.....
Subhanallaah, Allahu Akbar....

Umroh tengah malam

     Dikamar mandi mewah dilantai 21 kamar nomer 24 tower ke 6, Hilton Tower Hotel & Apartment Mekah, saya tercenung. Apa yang baru saja saya alami dalam perjalanan dari Madinah tadi sungguh mengguncang jiwa dan batin saya. Sambil duduk dikloset, mata saya tak lekang menatap dua lembar kain umroh yang saya bentangkan dimeja wastafel. 

     Dua-duanya tampak putih bersih. Tidak ada NODA setitikpun. Padahal sepanjang perjalanan hari itu yang makan waktu selama lebih dari 5 jam, pikiran buruk saya selalu menghantui.  Maklum, kejadian yang menimpa dikamar kecil Masjid Bier Ali telah meruntuhkan rasa percaya diri saya nyaris ketitik nadir. 

     Tapi saya pasrahkan semua yang telah saya alami kembali kepada Allah SWT, Sang Maha Pencipta. Saya yakin tak ada sesuatu apapun yang bisa terjadi, tanpa kehendakNya. Saya bertobat sepenuh hati dalam sujud dimasjid Bier Ali yang baru pertama kali saya masuki. 

    Waktu telah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam lebih beberapa menit. Saya kuatkan kembali hati saya. Tetap dengan terus membaca istigfar, saya pakai kembali kain ihrom untuk bersiap melaksanakan ibadah Umroh malam hari ini. Sambil menunggu lift untuk turun kelantai dasar, seraya istigfar saya juga  terus berdoa untuk menguatkan hati. 

    Rombongan umroh dibagi menjadi dua. Satu rombongan dipimpin oleh Ustad Syarif, rombongan lainnya dipimpin oleh Ustad Yaqub. Isteri saya dan saya sendiri termasuk dalam rombongan yang dipimpin oleh Ustad Yaqub. Ada sekitar 12 orang yang akan dipandu oleh Ustad Yaqub menjalankan ibadah umroh.


“Jam Gadang” ditengah kota Mekah

     Sekitar pukul sepuluh malam rombongan berangkat menuju Masjidil Haram. Sekarang ini (tahun 2013) tidak sulit mengetahui waktu disekitar kota Mekah. Ada sebuah jam ‘gadang’ segede gaban (apa sih gaban itu? Lebih besar dari gajah ya?), yang berdiri dengan gagah perwira di gedung Zam-zam Tower. Jam sangat besar ini bisa terlihat sampai jauuuuuuh sekaleeeeeee..... 

"Jam Gadang" di Zam Zam Tower
      Barangkali “Big Ben” yang berada dikota London saja kalah tinggi. Piringan angkanya berwarna hijau, dan angkanya tampak menyala keperakan. Sangat jelas, bahkan untuk ukuran mata seorang lansia tuwir seperti saya.


     Ustad Yaqub ternyata lebih senang masuk Masjidil Haram lewat pintu 1. Arahnya agak menyerong kekanan dari lokasi Hilton Tower. Saya pribadi lebih suka melewati pintu 79 yang dikenal sebagai pintu Raja Fahd. Selain nyaris lurus arahnya dari Hilton Tower, pintu ini juga sangat indah dipandang dengan sepasang menaranya. Memang pintu 79 ini selalu ramai untuk keluar masuk jemaah. Apalagi kalau hari Jum’at. 

     Setelah memimpin membaca doa memasuki Masjidil Haram, Ustad Yaqubpun menuntun rombongannya menuju pelataran Ka’bah. Saya merasa mata saya basah. Bangunan ber “kiswah” hitam yang berdiri kokoh dan anggun dihadapan saya itu meluluh lantakkan rasa keangkuhan, kesombongan dan egoisme seorang hamba Allah. Siapa atau mahluk apakah yang tidak tergetar hatinya melihat salah satu bukti kebesaran Allah SWT ini?

     Bangunan persegi empat tidak sama sisi itu tingginya sekitar 14 meter. Panjang tiap sisinya memang tidak sama. Ada yang 11, 53 meter (dinding arah Hajar Aswad), ada yang 12,84 meter (dinding depan dimana terdapat pintu Ka’bah). Sedangkan dinding disisi Hijir Ismail panjangnya sekitar 11,28 meter. Dinding disisi Rukun  Yamani adalah 13,16 meter. 

     Setiap tahun “kiswah” (kelambu penurup Ka’bah) berwarna hitam itu selalu diganti. Dimusim haji kiswah akan digulung keatas sampai nyaris seperempat tinggi Ka’bah (sekitar 3-4 meter). Hal tersebut untuk menghindari tangan-tangan jahil yang suka memotong kiswah untuk cindera mata. Bahkan ada orang yang meniatkannya sebagai jimat! Ini tentu kelakuan yang cenderung syirik. Tidak ada dosa yang lebih besar selain menyekutukan Tuhan alias syirik itu.
     Naudzubillahi min dzaliik.......

Pelataran Ka’bah yang tak pernah sepi    

     Malam semakin larut, tapi keadaan disekeliling Ka’bah justru semakin ramai. Angin bertiup sepoi, menepis sisa-sisa udara panas siang hari. Lantai pelataran Ka’bah yang terbuat dari marmer terasa sangat dingin. Menyejukkan langkah dan mengurangi rasa lelah. Semua orang barangkali punya pikiran sama: lebih baik melakukan ‘tawaf’ pada waktu malam hari untuk menghindari sengatan mentari. Terutama para jemaah yang sudah lanjut usia. 


Baitullah atau Ka'bah yang tidak pernah sepi dari jemaah tawaf
     Tahun 1992 doeloe, ketika untuk pertama kalinya saya melakukan tawaf, masih tampak jemaah yang ditandu untuk melakukan tawaf. Para pemandu sewaan itu biasanya berbadan kekar, tinggi besar dan berkulit hitam. Sekarang hal tersebut sudah dilarang. Bahkan yang tawaf menggunakan kursi rodapun dipersilakan keluar dari pelataran Ka’bah. Mereka akan diminta untuk melakukan tawaf ditempat khusus yang berada dilantai dua Masjidil Haram. 

     Bagaimanapun, sepanjang yang pernah saya alami, pelataran Ka’bah tak pernah sepi dari jemaah. Baik yang sedang melakukan tawaf, yang berebutan mencium Hajar Aswad, maupun yang sibuk mencari tempat sholat sunah didepan Multazam dan Maqom Ibrahim. Begitu pula mereka yang berdesakan antri didekat Hijir Ismail menunggu belas kasih Askar untuk memberikan ijin masuk. Siang malam sama saja ramainya. 

     Hanya kalau suhu udara sangat panas disiang hari, jemaah akan berkurang. Seperti yang saya alami pada suatu siang dibulan Mei tahun 2006, ketika saya pergi umroh bersama isteri dan anak bungsu saya. Waktu itu suhu udara siang hari mencapai lebih dari 40 derajat Celcius. Sangat menyengat namun tidak membuat orang berkeringat. Ini bisa mengakibatkan dehidrasi dan membuat orang terkena ‘heat stroke’.

     Namun dibalik panasnya suhu udara ternyata ada hikmahnya juga. Jemaah yang melakukan tawaf sangat sedikit. Itu sebabnya pada tahun 2006 saya bisa mencium Hajar Aswad dengan agak mudah. Termasuk anak bungsu dan isteri saya.
     Alhamdulillaah......



Bersambung.

Rabu, 28 Mei 2014

CATATAN PERJALANAN "UMROH KOSASIH" (15)



-Bagian Kelimabelas-

(Ditulis pada hari Sabtu, 14 September 2013)

 Pedagang Kurma di Bukit Uhud

Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa diwaktu pagi makan 7 (tujuh) butir kurma ‘Ajwah, maka pada hari itu ia tidak akan kena racun maupun sihir”
(HR. Shahih Bukhari)


Madinah dan kebun kurma

     Setelah berziarah ke Masjid Quba’, rombongan jemaah umroh PT. Bina diajak keliling kelokasi masjid-masjid lain yang juga bersejarah. Antara lain Masjid Qiblatain (dua kiblat). Sebagaimana namanya, masjid ini (pernah) mempunyai dua arah kiblat. Yang pertama menuju arah Masjidil Aqsa, inilah kiblat sholat sebelum turun wahyu dari Allah SWT yang bunyinya:
“Wa min haisu kharajta fa walli wajhaka syatral masjidil-haraam, wa innahuulal-haqqumir rabbik, wa mallaahu bi gaafilin’ammaa ta’maluun”
(dan dari manapun engkau -Muhammad- keluar, hadapkanlah wajahmu kearah Masjidil Haram, sesungguhnya itu benar-benar ketentuan dari Tuhanmu. Allah tidak lengah terhadap apa yang kamu kerjakan. surah Al-Baqarah, QS 2:149).

     Konon ayat tersebut diwahyukan pada saat Rasulullah sedang sholat Dhuhur dimasjid ini. Mendapat wahyu itu, dengan seketika beliau langsung mengubah arah sholatnya menghadap ke Masjidil Haram. Inilah kiblat sholat umat muslim sedunia sampai saat ini.

     Semua jemaah yang berziarah kekota Madinah al-Munawaroh, pasti tak akan ketinggalan ‘memborong’ buah kurma (latin: Phoenix Dactylifera) asli kota Madinah. Apabila waktunya mencukupi, biasanya para jemaah akan dibawa tur keliling kota. Selain berziarah ketempat bersejarah, juga pergi ke kebun kurma atau ke pasar kurma. 

     Kurma adalah buah khas tanah Arab dan negara Timur Tengah  lain yang punya gurun pasir gersang. Namun diperkirakan pohon kurma berasal dari daerah Teluk Persia.  Para pedagang dijaman Mesir kunolah yang punya andil menyebarkan tanaman ini sampai kebenua-benua lain. 

      Akan tetapi bagi umat muslim, kurma asal kota Madinah rupanya dianggap yang terbaik. Terutama kurma “Ajwah” yang juga disebut sebagai “Kurma Nabi”. Jenis kurma ini paling mahal harganya. Padahal secara kasatmata, bentuknya justru yang paling kurang menarik. Akan tetapi kurma ‘Ajwah yang berwarna hitam dan keriput ini dipercaya sangat berkhasiat untuk menangkal racun dan sihir ataupun santet. 

 Kurma Ajwah

     Ada banyak sekali macam dan jenis kurma. Para jemaah biasanya akan bisa melihat semua jenis kurma dikebun kurma atau dipasar kurma yang ada dikota Madinah. Dari harga yang paling murah sampai kurma yang paling mahal. Dari yang masih asli sampai kurma yang sudah diisi dengan buah kenari dan sebagainya.

     Kalau anda sedang beruntung,  datang kekota Madinah tepat pada waktu sedang musim kurma berbuah, maka akan mendapati juga kurma yang disebut “rutop”. Ini adalah kurma segar yang matang pohon. Warnanya merah tua seperti buah anggur akan tetapi bentuknya lonjong dan sedkikit lebih besar. Rasanya manis agak sedikit sepet tapi sangat menyegarkan. 

     Tahun 2007 saya pernah beruntung mendapatkan rutop dijajakan ditoko-toko maupun dipinggir jalan sepanjang Pasar Seng (yang kini sudah almarhum). Harga dijalanan lebih murah daripada ditoko. Para pedagang kaki lima didepan Masjid Quba’ menjual rutop dengan harga sekitar lima sampai sepuluh real perkilo. 


 Kurma Rutop (mentah)
    Sayang agak susah membawa rutop segar untuk dibawa pulang ketanah air. Apalagi kalau masih harus bermalam beberapa hari lagi dikota Madinah atau Mekah. Saya biasanya hanya membeli rutop atau kurma segar yang sudah dikemas dalam kotak plastik dan disimpan didalam freezer. Itupun harus membeli pada saat-saat hari terakhir akan meninggalkan tanah suci, agar terjaga tidak mudah busuk. Maklum, perjalanan pulang ketanah air bisa lebih dari dua belas jam (termasuk waktu menunggu saat boarding dan menunggu bagasi keluar saat ditanah air).


Bersiap meninggalkan Madinah menuju Mekah

     Hari Selasa tanggal 30 April 2003 adalah hari terakhir dikota Madinah. Pagi hari acara bebas. Jemaah bisa mengisinya dengan berjalan-jalan menikmati keramaian para penjual dikaki lima ataupun kios-kios yang ada diemperan hotel. Kalau masih punya banyak uang bisa pula berbelanja oleh-oleh untuk sanak saudara.

     Sesudah sholat Subuh di Masjid Nabawi dan makan pagi di restoran Al-Rawdah, saya bergegas mandi sunah untuk ber ihrom. Saya sendiri memilih berada didalam kamar hotel untuk menata kembali barang bawaan kedalam koper. Kemarin saya sudah membeli alat timbangan koper digital di Bin Dawood. Harganya ‘cuma’ sekitar 50 real saja (tidak sampai seratus limapuluh ribu perak). Lebih murah dibanding alat serupa yang akan dibelikan oleh anak laki-laki saya sewaktu di Jakarta. Alat ini saya anggap penting agar koper tidak melebihi aturan berat yang ditetapkan maskapai penerbangan.

    Sejak makan pagi di Al-Rawdah, hati saya sudah tidak tenang. Rasa sedih akan segera meninggalkan kota Madinah al-Munawaroh bercampur aduk dengan segala rasa kekhawatiran. Nasi goreng yang dihidangkan dengan ayam goreng dan telor serta lalapan, tidak serta merta menghilangkan selaput duka. Padahal nasi goreng adalah makanan favorit saya. Pagi hari itu sarapan saya sikat tanpa semangat berkobar seperti biasanya.

     Isteri saya pamit akan jalan keluar bersama teman-temannya. Saya tetap berada dikamar untuk bebenah. Pukul sembilan pagi nanti koper yang akan masuk bagasi  bis sudah harus siap. 

     Pukul 11.00 siang saya berjalan ke Masjid Nabawi. Gontai saja. Pikiran saya kusut masai. Saya tunaikan beberapa raka’at sholat sunah didalam masjid. Saya sempatkan pula mengambil beberapa foto dan video. Saya dzikir dan bershalawat kepada sang empunya masjid, Rasulullah SAW. 

Menanti saat adzan Dhuhur di Masjid Nabawi

    Air mata saya memang susah sekali menetes, tapi hati saya menangis. Apalagi ketika selesai sholat Dhuhur berjamaah dan saya teruskan dengan sholat Ashar yang dijamak qosor (disingkat) karena akan melakukan perjalanan jauh. Bayangan aneka macam berkelebat. Tentang penyakit yang saya derita. Tentang kekhawatiran apakah masih diijinkan Allah SWT untuk bisa ketanah suci Nya lagi. Dan lain-lain dan sebagainya.


     Singkat kata, hari itu saya bersimpuh di Masjid Nabawi dengan sejuta rasa lara. Kalau menurut lagu anak-anak: “hatiku sangat KACAU....”. Kalau menurut istilah abege jaman sekarang: “Akyu sedang GALAU.....”   

     CIYUUUS MIAPAAAH???         
     Astagfirullaaah......



Bersambung.

CATATAN PERJALANAN "UMROH KOSASIH" (14)



-Bagian Keempatbelas-

(Ditulis pada hari Senin, 24 Juni 2013)


 Masjid Quba

Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa telah bersuci (berwudhu) dirumahnya, kemudian mendatangi Masjid Quba’, lalu sholat dua raka’at didalamnya, maka baginya sama dengan pahala umroh”
(HR. Sunan ibn Majah)

Berziarah ke masjid yang pertama kali dibangun oleh Nabi

     Ketika dalam perjalanan menuju kota Yatsrib (Madinah) sewaktu hijrah dari kota Mekah, Rasulullah berhenti disuatu tempat. Itulah rumah Kaltsum bin al-Hidam. Disinilah kemudian beliau membangun masjid yang  diberi nama “Masjid Quba”.  Inilah masjid yang pertama dibangun Nabi bersama para sahabatnya diwilayah kota Madinah. Jaraknya hanya sekitar 2,3 kilometer saja dari kota.

    Pada tahun 1986, Raja Fahd bin Abdul Azis melakukan renovasi besar atas Masjid Nabi yang pertama ini. Konon biaya yang dihabiskan mencapai 90 juta RS. Renovasi itu membuat Masjid Quba sekarang bisa menampung sampai 20.000 orang jemaah. 

    Hari Senin pagi tanggal 29 April 2013, jemaah umroh PT Bina Travel melakukan kunjungan ziarah kesekitar kota Madinah. Masjid Quba menjadi tujuan utamanya. Karena apa? Itu karena ada hadits yang menyebutkan bahwa sholat dua raka’at di Masjid Quba pahalanya sama dengan pahala umroh. Tetapi dengan syarat harus berwudhu dari rumah dan tidak batal sampai di masjid. Oleh sebab itu diharapkan para jemaah lelaki dan perempuan mengambil air wudhu dihotel sebelum berangkat, dan sebisa mungkin menjaga wudhunya sampai tiba di Masjid Quba

     Karena jaraknya yang tidak sampai 3 kilometer,  rombongan segera tiba di Masjid Quba. Ternyata sudah puluhan bis besar terparkir disana. Rupanya sudah banyak jemaah umroh dari travel biro lain yang lebih dahulu datang. Suasana cukup hiruk pikuk. Bagi yang belum batal wudhu segera menuju pintu masuk masjid untuk sholat sunah dua raka’at. Bagi yang sudah batal harus buru-buru mencari toilet untuk antri bersuci lagi.

Masjid Quba, riwayatmu kini......

     Udara kering dan suhu menyengat langsung terasa ketika saya langkahkan kaki turun dari bis dipelataran parkir Masjid Quba. Kubah putih bersih dari masjid yang pertama kali dibangun oleh Rasulullah itu tampak berkilau dalam terik sinar mentari. Saya merasa suhu udara agak sedikit  lebih tinggi dibanding dengan kota Madinah. Barangkali karena pelataran sekitar Masjid Quba tak berpayung seperti di Masjid Nabawi.

     Tak banyak yang berubah sejak kedatangan saya terakhir pada bulan Desember 2007. Tetapi pelataran masjid sekarang tertata lebih rapi. Tak tampak pedagang asongan yang dulu (tahun 2007) langsung bergerombol berebut mendekat untuk menawarkan dagangan kalau ada jemaah yang baru datang. Para pedagang kurma dan cindera mata sudah dibuatkan kios-kios yang berjejer rapi. Rupanya mereka sekarang sudah dikelompokkan disatu sisi  dari pelataran Masjid Quba. 

Petunjuk arah ke toilet Masjid Quba
     Saya belum batal wudhu. Saya berjuang keras untuk itu, karena saya ingin mendapat pahala yang sama dengan umroh seperti yang disebut dalam hadits. Tapi rupanya beberapa teman ada yang perlu bersuci lagi. Mata saya melihat tulisan yang cukup mencolok dilihat dari jauh. Ada sebuah papan petunjuk yang tertempel didinding luar Masjid. Tulisannya berwarna merah menyolok diatas dasar warna biru. Bunyinya: “MAIN WC”. Ada sebuah tanda panah penunjuk arah dibawahnya.

    Dalam hati saya tertawa. Apa ada sih orang yang mau main-main di WC? Rupanya itu petunjuk dalam bahasa Inggris. Maksudnya pasti kita tahu: Jamban (yang) utama, atau mungkin lebih pas “Pusat WC”. Atau “WC pusat” ya?  Hah? Emang ada “WC Cabang”?  Masih ada yang bingung? . 

     Jalan menuju pintu masuk masjid adalah juga  jalan yang menuju WC atau kamar kecil itu tadi.  Tidak terlalu lebar, sehingga jamaah berdesakan baik laki-laki maupun perempuan. Apalagi ternyata jalan  itu merupakan jalan keluar dari masjid juga. Jadi satu jalan yang sempit, dijejali oleh ratusan orang yang  berjalan berlawanan arah. Hiruk pikuk dengan teriakan pemimpin rombongan yang mencoba mengendali kuda supaya baik jalannya.....eh keliru...memimpin rombongannya agar tidak terpencar.

     Disini tampak beraneka rupa seragam yang dipakai para jemaah. Juga beragam warna kulit. Dari yang kulitnya putih sampai hitam pekat. Tapi menurut perasaan saya, waktu itu lebih banyak tampang Melayu nya sih.

Penuh dengan orang “narsis”

     Berdua dengan Pak Nashruddin saya memasuki pintu masjid. Pak Nas adalah teman pria sesama jemaah PT Bina Travel. Usianya dua tahun lebih muda dari saya dan berasal dari Makasar. Salah seorang dari putri kembarnya adalah Pramugari Saudia Air. Jadi waktu berangkat dari Jakarta Pak Nas mendapat tempat duduk dikelas C (bisnis), karena tiketnya di up-grade oleh putri tercintanya itu.

     Pintu masuk Masjid Quba tidak berubah. Disamping kanannya terletak rak besar untuk menyimpan sandal atau sepatu. Yang berubah, pintu itu sekarang tidak dijaga oleh Askar. Dulu ada Askar ‘seram’ yang akan menggeledah jemaah untuk mencari kamera. Jangan harap ada yang lolos. Karena memotret interiror masjid adalah larangan keras. Sekarang para jemaah bebas merdeka menenteng kamera digital, ponsel pintar berkamera bahkan kamera video atau handycam. 

Mimbar di Masjid Quba
      Saya mencari tempat sholat agak kedekat mimbar. Pak Nas terus ‘mengintili’ (mengikuti) agar tetap berada disamping saya. Maklum katanya beliau baru pertama kali datang kemasjid ini. Sebelum sholat saya sempat melihat suasana sekitar. Banyak sekali orang yang sedang bergaya untuk dipotret didalam ruangan masjid. Ada yang beraksi dibawah mimbar, ada yang bergaya dibawah lampu kandelir yang tergantung dilangit-langit.  Bahkan ada yang sibuk memotret temannya yang sedang sholat. Entah sholat beneran atau cuma sedang bergaya. Astagfirullah.......

     Pencabutan larangan memotret itu rupanya ada akibat sampingan  yang agak  keterlaluan juga. Orang-orang jadi bebas melampiaskan hobi “narsis”nya. Sesuatu yang memang sangat manusiawi, karena menurut Psiko analis Sigmund Freud, pada dasarnya manusia memang punya watak sangat mencintai diri sendiri. Tak bisa dipungkiri,  senang  berfoto adalah sebagian dari watak itu.

     Saya tersenyum karena teringat kepada teman-teman di grup pesbukers lansia. Semboyannya adalah: “Dimanapun, kapanpun harus dipotret. Orangnya tidak penting, yang penting latar belakangnya”. Namanya juga narsis.    

     Lhoooo,.. lha tapi walau jelek-jelek begini, saya kan juga anggota grup pesbukers lansia? Apa kata teman-teman pesbukers kalau saya tidak punya foto dokumentasi sedang ‘mejeng’ disini? Nggak narsis dong. Maka “apa boleh buat, onde-onde bulat-bulat”......Pak Nashruddin dan sayapun bergantian saling memotret dengan aneka gaya. Haalllaaaaah.....ups....Astagfirullaaah.....

     Tapi jangan salah saudara saudara dan rekan-rekan sebangsa dan setanah air. .Kegiatan trek-memotrek itu saya lakukan setelah semua ibadah sholat sunah yang penting selesai ditunaikan. Demikian pula dengan Pak Nashruddin. 

     Wallahi...apa yang kita lakukan itu karena mendadak ndangdut, eh salah nding mendadak sekonyong-konyong terserang ‘wabah narsis lingkungan’ yang sangat sulit ditahan. Semoga Allah SWT berkenan mengampuni segala perbuatan narsis saya dan Pak Nas itu.  
Aamiiiin......



Bersambung.