Sabtu, 30 Juli 2011

"TENTANG SALAH (YANG) KAPRAH....."


Tulisan lepas:



(sebuah catatan kecil  menjelang bulan Romadhon dan Syawal setiap tahun)

 Ziarah kubur menjelang Romadhon


released by mastonie, on Friday, August 20, 2010 at 9.15 pm

Tentang istilah "Lebaran"
 
     (Hari Raya) Idul Fitri, yang jatuh pada setiap tanggal 1 Syawal  tahun Hijriyah atau tanggal berapapun dibulan dan tahun Masehi, akan segera datang dan segera pula akan berlalu.
Mungkin atmosfer ‘Minal aidin wal faizin, maaf lahir batin’ dan ‘Taqobalallahu minna wa minkum’ masih terasa kental disekeliling kita.
Baju baju baru juga mungkin baru saja dicuci. Kita kembali hidup ‘seperti biasa’ lagi.
Artinya, kita mesti berpijak ‘kebumi’ lagi dalam arti yang sesungguh-sungguhnya.
Jadi, apakah kehidupan kita pada bulan (Romadhon) yang lalu tidak membumi?
Hanya Allah SWT dan anda yang tahu dan bisa menilai sendiri.
Bukankah Allah SWT pernah berfirman:
“Puasa itu untuk KU, maka AKU SENDIRI lah yang akan memberikan PAHALAnya”
(HR. Bukhori-Muslim)
    Ada beberapa hal yang mengganggu pikiran saya tentang adanya sesuatu yang salah tapi kaprah. Mungkin pendapat yang saya sampaikan dalam catatan kecil ini tidak seratus persen benar.
Tapi lebih baik berpendapat daripada hanya menggerutu dibelakang bukan?
    Idul Fitri dikalangan masyarakat kita (meski awalnya berasal dari istilah orang Jawa} lebih terkenal dengan sebutan “Lebaran” (‘lebar’ dalam bahasa Jawa berarti -telah- selesai). Begitu populernya kata Lebaran ini, sehingga sekarang istilah itu malah sudah ‘diadopsi’ resmi masuk dalam  kosakata Bahasa Indonesia.
Padahal menurut saya,  istilah LEBARAN ini  kurang tepat, kalau tidak boleh disebut sebagai keliru. Tapi ilmu kelirumologi kan memang sudah jamak dinegeri kita (begitu kata bung Jaya Suprana, si pakar ilmu keliru itu). Malahan sudah ‘kaprah’ (terlanjur biasa dilakukan).
Terjemahan bebas “Idul Fitri” (bahasa Arab) adalah “Hari Raya (kembali ke) Fitrah”.
Artinya, kalau kita tadinya penuh bergelimang  kesalahan dan kekhilafan (sebuah hal yang wajar saja, karena kita semua adalah manusia biasa), maka setelah melaksanakan ibadah shaum atau puasa Romadhon sebulan penuh, Insya Allah dosa-dosa kita akan diampuni Nya.
Dalam salah satu hadist, Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa berpuasa -pada- bulan Romadhon dengan beriman dan mengharap ridha Allah, niscaya diampuni dosa-dosanya pada masa lalu”  (HR. Bukhori-Muslim).

     Jadi setelah kita melaksanakan puasa sebulan penuh, maka pada Hari Raya Fitri itu, Insya Allah -seperti sabda Nabi-, kita akan ‘terlahir kembali’ sebagai mahluk yang tanpa dosa, alias suci kembali. Aamiin. Insya Allah.
Lalu bagaimana hari raya yang sebetulnya berarti “kembali ke fitrah” disebut hanya sebagai “lebaran” saja? Lebaran itu kan maksudnya -sudah- selesai berpuasa. Begitu thok. Oleh sebab itu saya rasa lebaran itu -sebetulnya- bukan istilah yang tepat. Tapi apa daya, nasi sudah jadi bubur, kata pepatah. Jadi ya tinggal diberi cakue sama telor mata sapi saja biar lebih enak.
Maksud saya, ya karena sudah kaprah (terlanjur), maka istilah itu kita ikhlaskan saja masuk dalam KBBI atau Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan uraian begini: Lebaran n hari raya umat Islam sehabis menjalankan ibadah puasa (tanggal 1 Syawal), Idulfitri.
Sudah resmi walaupun  kaprah kan?

Tentang ziarah kubur dan kebiasaan menjelang Lebaran
  
ziarah kubur
Seminggu sebelum bulan Romadhon tiba, masyarakat ramai berbondong memadati TPU untuk melakukan ‘ziarah kubur’. Begitu pula seusai shalat Ied. Kebiasaan ziarah kubur ini pada jaman Rasulullah dahulu pernah dilarang karena seringnya terjadi penyimpangan ajaran agama.
Bahkan oleh sebagian ulama disebut sebagai bid’ah, karena ada kecenderungan ritual yang keliru, antara lain: bukannya mendo’akan arwah, tapi malahan meminta do’a dari yang telah meninggal dunia.
     Demikian pula dengan banyaknya orang yang menjual jasa membaca ayat-ayat Al-Qur’an di pekuburan atau TPU, yang merupakan kebiasaan yang tak ada dasarnya dalam ajaran agama Islam.
Sampai saat inipun masih banyak kita jumpai hal seperti itu bukan? Sudah terlanjur kaprah sih.


    Dalam melaksanakan ibadah puasa Romadhon, disunahkan bagi kita untuk melaksanakan shalat sunah malam yang lazim kita sebut dengan shalat tarawih selama sebulan penuh. Menurut para Ustad dan Da’i (yang sering kita dengar diacara Tabligh Akbar), bulan Romadhon dibagi menjadi 3 bagian: 10 hari pertama adalah hari penuh rohmah (berkah) Allah, 10 hari kedua adalah hari penuh maghfiroh (ampunan) dan 10 hari terakhir adalah hari ‘pembebasan’ dari api neraka. 

Akan tetapi apa yang sering kita lihat dan jumpai di masjid-masjid seputar kediaman kita?
Ini dia: 10 hari pertama, jemaah shalat tarawih penuh sesak, kadang luber sampai keteras dan halaman masjid.
10 hari kedua shaf mulai berkurang. 10 hari terakhir shaf makin ‘maju’, artinya yang melaksanakan shalat tarawih makin sedikit.
Lalu kemanakah gerangan mereka (para jamaah tarawih) itu?
Mereka -maaf, terutama ibu-ibu- (mudah-mudahan anda tidak termasuk golongan ini) ternyata malah sibuk memersiapkan segala hal yang berhubungan dengan akan datangnya hari yang fitri itu.
Dari mulai memasak kue, penganan khas ‘lebaran’ dan menjahit baju baru (bagi yang bisa menjahit sendiri). Ada pula yang sibuk keliling ‘safari dari mal ke mal’ untuk memborong kue dan penganan serta segala perlengkapan rumah dan baju. Tentu agar pada hari raya fitri nanti semua tampak baru ‘kinyis-kinyis’. Makananpun disediakan serba berlimpah ruah.

     Ada pula yang sudah sibuk bersiap untuk ‘mudik’ dengan (tak lupa) memborong ‘tetek bengek’ untuk oleh-oleh buat sanak saudara dan handai taulan nun jauh di kampung halaman sana.
Itu artinya harus ada dana lebih. Dari mana dana itu? Memang ada orang yang sejak jauh-jauh hari sudah menabung -khusus- untuk menyambut idul fitri. Tapi orang (yang rela dan mau menabung) seperti itu pasti termasuk ‘barang langka’. Betul?
Yang menjadi pegawai atau karyawan dan buruh biasanya dapat THR. Tapi nilai THR paling banyak kan hanya sebulan gaji.  Tentu masih kurang dong. Lalu? Banyak solusi yang bisa dipilih: pergi ke “PAKDE” alias pegadaian, atau ambil kredit berjangka. Tawaran kredit ini (celakanya) banyak dilakukan oleh bank-bank (Pemerintah maupun Swasta), bahkan jauh sebelum bulan puasa tiba.
Dengan agresif bank memasang iklan besar-besar di media massa: “Bahagiakanlah keluarga anda di hari raya, manfaatkan dana pinjaman kami, proses mudah dan cepat, bunga ringan, tanpa agunan dst…” dan sebagainya.
Nah,  bukannya menuntaskan ibadah di 10 hari terakhir, agar terbebas dari api neraka, eeeh ternyata malah banyak yang sibuk dengan hal-hal yang hanya menyangkut masalah ‘keduniawian’ belaka.

Tentang tradisi "Mudik"
 Rame2 mudik naik Kereta Api
     Kebiasaan yang terakhir ini malah sanggup membikin ‘heboh’ orang se Nusantara. Yaitu kebiasaan dari sebagian besar masyarakat kita yang selalu harus mudik’ setiap tahun bertepatan dengan hari raya. Kata ‘mudik’ ini jelas asli Jakarta dan  merupakan adopsi dari bahasa Betawi, yang maksudnya adalah ‘pulang ke udik’.Di kalangan masyarakat Betawi, kata udik adalah kata yang menunjukkan tempat dipelosok kampung atau desa.

     Konon istilah mudik ini (dahulu kala} muncul dari banyaknya kaum pendatang dari kota-kota kecil di Jawa yang merantau ke Jakarta untuk mencari nafkah. Para perantau inilah yang setiap Idul Fitri selalu harus pulang kampung atau mudik untuk mengunjungi sanak keluarga.  

     Hebatnya, kegiatan ‘mudik’ atau pulang kampung ini kemudian menjalar dan mewabah.
Lalu berubah menjadi sebuah acara ‘ritual massal’. Begitu massalnya sehingga pada  waktu sekarang kegiatan ini malah  bagaikan sebuah “Agenda Tahunan Nasional”. Resmi dan diakui oleh pemerintah. Ditandai dengan kebijaksanaan Pemerintah (walau sedikit menimbulkan polemik karena kontroversial) untuk membuat 'merah' tanggal di kalender dengan catatan "Cuti Bersama".
Kebijaksanaan ini  makin membuka peluang masyarakat untuk pulang kampung alias mudik rame-rame.
     Sudah susah kalau sekarang harus merunut kebelakang, sejak kapan sebenarnya ritual mudik ini dimulai.
Nyatanya sekarang ini mulai dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan Para Pengusaha (jamu, produsen kendaraan bermotor dll) setiap setahun sekali dapat dipastikan ikut sibuk mempersiapkan agar ‘hajatan nasional’ ini bisa terselenggara dengan meriah, sukses dan tertib.
Dari aparat keamanan sampai instansi yang mengurus masalah transportasi maupun prasarana jalan, semua sibuk pusing. Kalau mau bicara jujur, sebenarnya jarak antara kegiatan mudik ke mudik berikutnya adalah setahun penuh. Tapi entah kenapa perbaikan jalan raya dan prasarana transportasi lain biasanya baru dilakukan oleh pihak berwenang pada saat menjelang atau bahkan terkesan mepet dari hari H nya Lebaran.
Apabila kita mau menelusur lagi lebih jauh, sejatinya mudik atau pulang kampung ini timbul karena maraknya urbanisasi yang merata hampir kesemua kota besar di Indonesia.

     Seperti yang telah lazim diketahui, masyarakat kita mempunyai rasa ikatan kekeluargaan yang tertanam kuat untuk saling kunjung mengunjungi, juga untuk berziarah kemakam para leluhur ditanah kelahiran sebelum atau tepat pada waktu Lebaran tiba. Hal itulah yang mendorong kegiatan pulang kampung menjadi tradisi setahun sekali yang walau seberat apapun resikonya harus tetap dijalani. Akhirnya kegiatan itu malahan berkembang seolah-olah menjadi sebuah ‘kewajiban’.
Memang harus diakui, bahwa tradisi mudik sejalan atau setidaknya tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam yang mengutamakan dan menjunjung tinggi silaturahim. Namun tetap perlu diingat bahwa tradisi pulang kampung (mudik) -sebenarnya- bukan ajaran agama.
Kegiatan mudik sebenarnya adalah sebuah tradisi yang berakar dari adat istiadat masyarakat kita saja. Tradisi (mudik) ini tidak akan kita temukan dinegara Islam manapun (bahkan di Arab Saudi, tempat lahirnya agama Islam).
    Sesungguhnyalah, kegiatan pulang kampung atau mudik itu  sah-sah saja dilakukan, karena intinya adalah untuk menjalin tali silaturahim antar keluarga dan kerabat.  Namun pada kenyataannya, kegiatan mudik ini lalu berkembang jadi semacam ajang untuk ‘unjuk eksistensi’ (istilah modern untuk pamer).
Juga seakan menjadi simbol keberhasilan seseorang  yang pergi merantau untuk mencari ‘sesuap nasi dan segenggam berlian’ diperantauan (baca: kota-kota besar yang konon ‘katanya’  menjanjikan penghasilan dan kehidupan yang jauh lebih baik).

     Sayang seribu sayang tradisi yang pada awalnya mulia ini, seiring berlalunya waktu dan pengaruh perkembangan jaman,  lalu berkembang jadi kegiatan konsumtif yang nyaris tak terkendali.
Lihat saja dari iklan kredit sepeda motor dan mobil. Iklan yang (setiap menjelang hari raya) membuat orang berbondong-bondong pergi ke show room  untuk membeli (secara tunai maupun kredit) kendaraan idaman yang akan dipakai untuk mudik. Bagi yang belum mampu membeli, ya menyewa. Maka jadilah mereka menyerbu tempat penyewaan kendaraan bermotor yang juga tumbuh subur menjelang lebaran.
     Tak dapat dipungkiri memang, dua jenis alat transportasi modern (motor dan mobil) inilah primadona yang seakan merupakan simbol status keberhasilan seorang perantau dimata sanak saudara dan kerabat sekampung halamannya.   

Mudik naik sepeda motor
Coba kita simak. Selain menggunakan moda transportasi biasa, seperti bus atau kereta api dan pesawat terbang, dari tahun ketahun semakin banyak pemudik yang menggunakan sepeda motor.
Jumlahnya bisa mencapai puluhan ribu dan membuat aparat keamanan jalan raya jadi pusing tujuh keliling. Karena  sepeda motor sebenarnya bukanlah moda transportasi jarak jauh, apalagi antar kota. Kalau dipaksakan (dengan alasan apapun juga), hal itu bisa sangat membahayakan pengendara sepeda motor itu sendiri dan bahkan orang lain.
Belum lagi ditambah  dengan ribuan keluarga pemudik yang "me rame" pulang kampung memakai mobil pribadi (atau dinas).
Itulah sebabnya jalur utara pantai Jawa (Pantura} dan jalur selatan pulau Jawa selalu macet berkepanjangan menjelang atau sesudah hari raya tiba.
     Statistik juga menunjukkan bahwa kegiatan arus mudik ini melibatkan pula arus ‘rupiah’ dari kota-kota besar yang terdistribusikan sampai ke pelosok-pelosok desa, dalam jumlah yang cukup signifikan besarnya. Sayangnya dana sebesar itu (jumlahnya bisa mencapai ratusan miliar rupiah!) kebanyakan hanya ‘menguap’ untuk urusan yang sifatnya "hura-hura" dan konsumtif saja.
Bayangkan  kalau seandainya dana sebesar itu dipakai untuk sesuatu yang lebih produktif, seperti membangun sekolah, tempat ibadah atau membantu kaum duafa, misalnya.
Nah, (menurut saya pribadi) bukan tradisi mudik itu yang keliru, tapi niat dan perilaku orang yang akan mudik itulah yang seharusnya diluruskan.

Tentang 'ekses' sesudah Lebaran
 
    Sebenarnya yang ingin saya kemukakan dan garis bawahi dalam catatan kecil ini adalah ekses atau akibat dari salah kaprah tadi. Terutama salah kaprah yang terakhir, yang menyangkut usaha untuk “unjuk eksistensi” pada sanak saudara dikampung halaman.
Sudah banyak kita jumpai  anggota masyarakat (saya berharap anda tidak termasuk diantaranya), yang sesudah merayakan ‘hari kemenangan’, ternyata tidak menang tapi malah ‘kalah K.O’ dan jatuh bangkrut alias pailit bin ‘tongpes’.
Karena apa? Ya tentu saja karena tuntutan harus membayar cicilan kendaraan, menebus barang yang dititipkan dirumah ‘PakDe’ atau melunasi hutang di bank yang menurut iklan ‘katanya’ bisa membahagiakan keluarga  itu.

    Kalau sudah terjadi ‘kebangkrutan lokal’ seperti itu, maka siapa yang harus disalahkan jika setelah hari raya berlalu, kemudian banyak muncul profesi baru: ‘tukang gali lubang’? Maksud saya orang yang kerjanya ‘gali lubang, tutup lubang’, alias masuk ‘lingkaran setan’. Lingkaran yang membuat orang harus hutang disana untuk menutup hutang disini dan begitu seterusnya.
Padahal inti atau pokok masalah dari semua itu hanya gara-gara ingin merayakan hari yang fitri, tapi dengan cara yang kurang bijaksana.
Saya jadi teringat peribahasa yang jadi terasa perih bahasa nya:
“Sesal  dahulu pendapatan, sesal kemudian pengeluaran, eh bukan, sesal kemudian tak berguna”.

    Maka oleh karena itu saudaraku, janganlah anda mudah ikut latah terhadap hal-hal yang  sebenarnya kurang pada tempatnya, tapi sudah terlanjur jadi kaprah.
Waspadalah, WASPADALAH!



Jumat, 01 Juli 2011

KERIPIK TEMPE RENYAH 'RASA KANTONG PLASTIK'


Tulisan lepas: 

(Sebuah catatan tentang perilaku pedagang yang tak bertanggung jawab)

Bagian Pertama



released by mastonie, on Friday, July 1, 2011 at 09.56 pm



Jauh sebelum Muhammad ditetapkan sebagai Nabi dan Rasul Allah, semenjak masih muda belia, beliau telah menjadi seorang wiraniaga (pedagang) yang sangat berhasil dan mempunyai banyak sekali pelanggan. Hal tersebut tidak lain  karena perilaku, moral dan etika beliau (yang mendapat julukan “Al-Amin”: orang yang dapat dipercaya) dalam melakukan transaksi jual beli. Padahal saat itu (tentu saja) Al-Qur’an yang merupakan ‘buku panduan hidup manusia’ belum diturunkan oleh Allah Swt.
Oleh sebab itu sangat wajar apabila setelah beliau ditahbiskan sebagai Nabi terakhir dan mendapat wahyu Allah (yang kemudian dirangkum menjadi Kitab Suci Al-Qur’an), maka didalamnya termasuk pula tata cara dan hukum berniaga yang diawali dengan sebuah ayat  didalam surah kedua yang bunyinya:

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”  (Al-Baqarah, QS. 2 : 275)

Secara umum itulah pathokan yang (seharusnya) dipakai oleh kaum muslim apabila hendak melakukan pekerjaan jual beli, berniaga, berdagang atau berwiraswasta. Selanjutnya dalam surah yang sama pula ditetapkan rukun jual-beli sangat rinci yang secara garis besar antara lain sbb:
Syarat bagi pembeli dan penjual: keduanya harus berakal, dalam arti tidak gila atau tidak waras dan harus terjadi tanpa dipaksa atau secara suka sama suka. Disyaratkan pula seorang penjual sebaiknya sudah baligh (dewasa, umur 15 tahun keatas), karena dikhawatirkan anak-anak belum cukup nalarnya untuk berdagang. Bahkan ada sebagian ulama yang menyatakan bahwa anak kecil yang berdagang tidak sah jual belinya.

Tentang barang dagangan itu sendiri disyaratkan harus suci. Barang yang najis atau haram tidak sah diperjualbelikan. Barang atau benda yang dijual juga harus bermanfaat. Tidak boleh menjual barang yang tidak atau belum ada ujudnya, karena bisa menjadi ajang penipuan. Barang yang dijual harus disepakati oleh kedua belah pihak (penjual dan pembeli) sebelum dilakukan transaksi atau disebut juga sebagai ijab qobul. 

Dan masih banyak syarat lain yang sangat rinci termasuk antara lain larangan mengurangi takaran/timbangan atau jumlah barang yang diperjual belikan dan memberikan keterangan yang tidak benar atas barang yang dijualnya. Intinya adalah, bahwa Islam menjaga agar jual beli atau perdagangan bisa terlaksana dengan baik, ber etika dan tidak merugikan kedua belah pihak.

Apakah panduan dagang Islami itu yang dipakai sebagai acuan oleh para usahawan (muslim maupun non muslim) di Indonesia? 
Mari kita lihat fakta sejarah ini:
Walaupun Indonesia adalah negeri dengan penduduk yang mayoritas beragama Islam, namun kita tentu tidaklah khilaf, bahwa selama lebih dari tiga abad, Bumi Nusantara (yang kelak dinamakan Indonesia) telah dijajah oleh tidak kurang dari empat bangsa Asing. 
Yang terlama bercokol di tanah ‘Rayuan Pulau Kelapa’ adalah Belanda. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau hampir seluruh Peraturan Perundangan  dan Hukum yang diterapkan di Indonesia adalah warisan dari negeri kincir angin itu. Setidaknya setelah Indonesia merdeka, maka peraturan dan hukum yang dipakai adalah adaptasi kitab hukum  kolonialis Belanda yang biasa disebut sebagai hukum ciptaan 'orang Barat’.
Dengan demikian maka dunia perdagangan di Indonesia pada hakekatnya menganut hukum dagang ‘a la’ bangsa Barat juga. Namun setelah proklamasi kemerdekaan, kemudian disesuaikan dengan situasi dan kondisi Indonesia yang telah merdeka. 

Secara umum kita ketahui bahwa sifat dasar dari perdagangan pada hakekatnya adalah untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya (jika perlu) dengan memakai modal yang sekecil-kecilnya, nyaris tanpa ada aturan etikanya.
Itulah yang terjadi dinegeri kita sekarang. Betapa moral dan etika berniaga sudah menjadi hal yang lumrah kalau dikesampingkan. Ada kecenderungan para pedagang (dalam skala besar maupun kecil) berniat mengeruk keuntungan yang setinggi-tingginya, walaupun dengan berbuat sesuatu hal yang kurang terpuji. Mereka menyadari bahwa yang mereka lakukan  sangat besar kemungkinannya akan berakibat buruk (bahkan fatal) bagi para pembeli atau konsumennya. Tapi mereka tak peduli.
Dinegara maju, hak konsumen sangat dijunjung tinggi. Oleh sebab itu selalu ada semacam Institusi yang akan menjaga dan membantu para konsumen sekiranya terjadi tindak kecurangan yang dilakukan oleh pedagang dan atau produsen serta hal-hal negatif lain yang ditengarai bisa berakibat buruk atau merugikan para konsumen. Di Indonesia sudah lama dikenal adanya Lembaga Konsumen yang tugasnya kurang lebih sama seperti yang tersebut diatas tadi. Namun apakah Lembaga itu berfungsi secara efektif atau tidak, adalah sebuah pertanyaan yang jawabannya masih bisa diperdebatkan. Sebagai Lembaga yang independen dan tidak bergantung kepada anggaran yang diberikan oleh Pemerintah, maka kita sangat maklum kalau Lembaga Konsumen menjadi sebuah insitusi mandiri yang gencar berjuang menyuarakan hak-hak yang seharusnya diperoleh  konsumen. Akan tetapi sayang, kegarangan itu hanya  menjadi semacam “macan kertas”. Ompong lagi. Sama sekali tak berdaya menghadapi  tingkah para pedagang dan produsen yang seakan selalu dilindungi oleh para birokrat.
Dengan semangat menguak fakta kebenaran dijaman teknologi informasi yang sangat maju, beberapa stasiun televisi swasta pernah melakukan penyiaran laporan investigasi (investigation report) yang hasilnya cukup mencengangkan. Ternyata telah terjadi berbagai macam kecurangan dalam melakukan kegiatan usaha yang dilakukan oleh para pedagang secara sadar dan sengaja. Hal tersebut semata didorong oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan yang besar hanya dengan modal yang kecil saja. Walaupun rata-rata pelaku juga menyadari bahwa akibat dari tindakannya tersebut dapat berakibat buruk bagi konsumen, tapi mereka terkesan tidak peduli. Dalam wawancara ‘gelap’ yang disamarkan itu mereka bahkan mengakui bahwa tindakan tidak terpuji tersebut sebenarnya bisa disebut sebagai tindakan kriminal dan melawan hukum.
Walaupun fakta yang diungkap oleh stasiun televisi itu menyajikan perbuatan orang per orang dan dalam skala kecil, namun akibat yang ditimbulkannya justru langsung menimpa para konsumen yang rata-rata adalah golongan menengah bawah sampai menengah atas. Bahkan bisa jadi akan menimpa pula seluruh masyarakat dari semua golongan. Yang sangat memrihatinkan adalah kenyataan bahwa penyimpangan yang dilakukan oleh para pedagang itu yang terbanyak adalah menyangkut penjualan makanan. Baik makanan siap saji maupun makanan yang harus diolah lebih dahulu.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa kebanyakan makanan yang dijual dipasaran adalah berasal dari bahan dasar yang kemudian diberi pelezat rasa,  pengawet dan pewarna. Ketiga bahan itu dipakai untuk 'mendongkrak'  rasa, daya tahan makanan sekaligus untuk menarik perhatian konsumen. Tidak ada seorang penjual makananpun (mulai dari tukang penjual gorengan kaki lima, bakso keliling sampai restoran mahal bertaraf internasional) yang tidak berusaha untuk membuat sajian makanannya terasa enak dan nikmat serta membuat lidah bergoyang. Itulah satu-satunya cara agar tidak ditinggalkan para pelanggannya. 
Dan itu artinya mereka harus selalu menggunakan “penambah cita rasa” yang lebih dikenal sebagai mecin, vetsin, atau moto yang sejatinya mempunyai bahan yang sama yaitu MSG (Mono Sodium Glutamat). Yang terkenal paling ‘royal’ memakai atau menambah mecin dalam masakannya adalah para koki restoran Chinese food, baik  kelas kali lima maupun kelas hotel berbintang. Dari sinilah kemudian muncul istilah “Chinese food syndrome” yang merupakan gejala tidak enak badan setelah makan masakan Cina. Memang MSG adalah bahan kimia yang menurut penelitian para ahli kesehatan bisa mengakibatkan dampak buruk bagi kesehatan manusia apabila dikonsumsi dalam jumlah tertentu dan dalam kurun waktu berkelanjutan. Apakah si Abang Tukang Bakso dan para Koki restoran tidak tahu akibat buruk itu? Bisa ya bisa tidak. Tapi yang jelas mereka akan tetap memilih memakai pelezat makanan (yang notabene mendapat sertifikasi ‘halal’) itu daripada kehilangan pelanggan yang berarti mengurangi keuntungan atau bahkan bisa mematikan mata pencaharian mereka. Perkara kesehatan para pelanggannya? Sekali lagi: siapa peduli?
Untuk mempertahankan agar makanan yang dijual tidak cepat basi atau busuk, maka tentu makanan harus diawetkan atau diberi bahan pengawet. Cara tradisional untuk mengawetkan makanan sebenarnya sudah ada sejak jaman ‘kuda gigit besi’ tempo doeloe. Yang paling mudah diantaranya adalah dengan menggoreng  atau mengukus, menggarami dan mengeringkan , mengasamkan, atau mencampur dengan bahan makanan lain yang berfungsi mengawetkan seperti cabe dan lain-lain. Tapi seiring dengan perjalanan waktu, cara kuno tersebut dianggap masih kurang efektif dan kurang tahan lama. Oleh sebab itu dibutuhkan bahan pengawet lain yang harus ditambahkan. 
Ternyata para pedagang bisa menemukan solusi ‘cerdas’, walaupun jelas tidak bertanggung jawab. Bahan pengawet yang diperlukan memang murah meriah dan mudah didapatkan karena dijual bebas. Tapi yang membuat bergidik adalah bahwa bahan pengawet yang rata-rata berbentuk senyawa kimia ini sejatinya bukan bahan untuk mengawetkan makanan! 

 Yang pertama kali membikin heboh adalah ketika diketahui bahwa para pedagang memilih boraks sebagai pengawet tahu dan bakso. Boraks adalah kristal lunak yang mengandung boron, tidak berwarna dan mudah larut dalam air. Bahan kimia bernama ilmiah natrium tetraborat dekahidrat ini memang bisa membuat makanan jadi bertekstur padat, kenyal dan tidak mudah basi. Sangat cocok untuk tahu dan bakso. Selain itu ternyata ada pedagang yang membuat bakso dan ‘kawan-kawan’ nya (siomay, batagor dll) dengan tambahan bahan lain selain daging sapi. Demikian pula dengan saus pelengkapnya (saus tomat, saus cabe dsb).  Ada pedagang yang mengakui bahwa bahan  pencampur untuk bakso dan siomay adalah daging ikan sapu-sapu yang hidup diparit-parit, atau daging hewan lain yang harganya lebih murah karena apkiran. Sedangkan bahan untuk saus cabe dibuat dari cabe apkiran  dan cabe busuk yang bisa didapat tanpa membeli dipasar tradisional. Sedangkan saus tomat dibikin dari ubi busuk dan pepaya  yang tidak laku dijual.  Semua bahan murah meriah itu kemudian dicampur dengan pengawet dan pewarna sintetis sehingga menghasilkan warna yang seindah aslinya. Apakah bahan campuran lain itu halal atau tidak, bukan hal penting bagi mereka. Yang terpenting adalah bisa mendapat keuntungan yang lebih banyak, karena bahan-bahan campuran itu biasanya jauh lebih murah harganya bahkan ada yang bisa diperoleh secara cuma-cuma.


Belakangan terungkap pula kasus yang membuat masyarakat gempar, yaitu dipakainya formalin sebagai bahan pengawet ikan, daging dan makanan lain. Formalin adalah cairan formaldehida  yang dilarutkan dalam air dan bersifat antiseptik (antikuman). Larutan ini biasa dipakai untuk mensuci-hamakan peralatan kedokteran dan laboratotium. Tapi formalin juga dipakai untuk mengawetkan mayat! Tentu saja ikan (kering atau segar), daging dan makanan apa saja bisa menjadi sangat tahan lama. Bayangkan kalau zat kimia seperti itu masuk kedalam perut manusia.
Dalam reportase investigasi itu juga terungkap taktik lain yang lumrah dipakai para pedagang untuk membuat makanan buatannya tampil dengan warna memikat. Maksudnya jelas agar supaya menarik minat konsumen. Yang terbanyak adalah para pedagang makanan kecil yang biasa mangkal didepan sekolah. Merasa pangsa pasarnya adalah anak-anak sekolah yang uang sakunya tidak besar (kecuali anak konglomerat dan anak koruptor), maka para pedagang makanan itu berusaha membuat dagangannya tampil memikat dengan cara seirit dan sehemat mungkin, sehingga mereka tetap bisa menjual makanan itu dengan harga ‘miring’. Akan tetapi rupanya taktik itu segera pula diikuti oleh para pedagang makanan kecil (biasanya berupa kue basah ataupun kering) yang biasa menjajakan kue-kue itu dipasar-pasar tradisional. 
Memang ‘kunci’ untuk menarik minat pembeli adalah tampilan dari makanan yang dijajakan. Warna adalah unsur yang paling mudah memikat mata. Oleh sebab itu para pedagang akan berupaya membuat makanan yang berwarna-warni menggugah selera. Untuk itu diperlukan zat pewarna. Karena harus menjual dengan harga serendah mungkin (mengingat persaingan yang makin ketat) tapi harus tetap mendapat untung, maka dicarilah zat pewarna yang paling murah dan mudah didapat. Dan itu adalah wenter ! Wenter adalah bahan kimia yang biasa dipakai untuk mewarnai pakaian dan sama sekali bukan bahan pewarna makanan untuk dikonsumsi manusia!
Namun menurut investigasi itu pula, rupanya masih ada lagi  bahan kimia yang dipakai oleh para pedagang untuk membuat makanan berwarna cerah sekaligus tahan lama. Barangkali tertarik dengan fungsinya yang bisa menjernihkan air, maka para pedagang makanan lalu menggunakan tawas (bahan kimia terbuat dari bauksit yang mengandung aluminium oksida). Tawas terbukti  bisa membuat bahan makanan berwarna cerah terang dan ternyata juga bisa membuat makanan jadi tahan lama. 
Para pedagang makanan siap saji memang tak henti-hentinya berimprovisasi. Barangkali karena semakin sengitnya persaingan usaha yang berpotensi mengurangi keuntungan, mereka lalu memakai segala macam daya dan usaha untuk membuat makanan yang dijualnya terasa enak, awet, menarik dan disukai pembeli. Para pedagang makanan gorengan ternyata telah menemukan “metode” baru untuk membuat gorengannya renyah, garing dan tidak mudah melempem. Mereka berhasil membuat resep yang pasti akan membelalakkan mata siapa saja. Inilah rahasia resepnya: setelah minyak goreng mendidih, maka mereka akan memasukkan beberapa lembar kantong PLASTIK transparan (yang biasa dipakai untuk mengemas kue), dan menunggu sampai plastik tersebut ‘hilang’ larut tercampur dalam minyak yang mendidih. Setelah itu baru tempe atau tahu atau pisang dimasukkan kedalam minyak yang kini sudah mengandung plastik itu. Tentu saja hasil gorengannya akan menjadi renyah, garing dan tidak mudah melempem! Gorengan campur plastik gitu lhoooh! Anda tak percaya? Silakan mencoba resep hebat itu dirumah, kalau anda punya nyali dan berani menanggung resikonya.
Apakah para pedagang itu merasa bersalah dengan tindakannya? Ternyata tidak, mereka sama sekali tak peduli. Bahkan mereka tak pernah memikirkan akibat buruk yang mungkin  saja terjadi kalau manusia makan gorengan “rasa kantong plastik” itu. Yang terpikir oleh para pedagang itu hanya bagaimana membuat makanan gorengan yang terasa renyah dan tidak mudah melempem, serta bayangan keuntungan yang akan didapatnya.
Inti persoalan disini adalah: para pedagang tersebut sama sekali tidak peduli dan tidak mau tahu akan akibat buruk yang menimpa para konsumen. Yang penting mereka bisa mendapatkan keuntungan besar dari tindakan yang sesungguhnya (mereka ketahui) tak terpuji itu.
Mereka sepertinya juga menafikan adanya peraturan, bahkan hukum yang berlaku. 
Ada anekdot yang sangat kondang: “ Bukankah peraturan dan hukum dibuat untuk dilanggar?”.
Dari penelusuran investigasi wartawan televisi itulah kita tahu bahwa moral dan etika berniaga seperti yang diuraikan dalam hukum niaga secara Islami tak terpakai lagi.
Lalu bagaimana dengan nasib para konsumen kita? Apa yang sudah dilakukan oleh Lembaga Konsumen? Apakah sudah ada usaha menempuh jalur hukum untuk masalah yang menyangkut ‘hajat hidup orang banyak’ itu?
Payung hukum untuk menindak para pedagang curang itu tampaknya tidak ‘berkembang’ dengan semestinya. Dimana saja bisa kita temukan solusi mudah apabila terjadi pelanggaran hukum: “jalan damai”. Tak peduli masalah hukum yang besar atau kecil, jalan damai itu tampaknya lebih disukai oleh masyarakat kita saat ini.
Para pelanggar hukum ternyata memang lebih taat kepada UUD (Ujung Ujungnya DUIT). 
Mungkin orang-orang yang gemar melanggar (hukum dan aturan) itu tak pernah sadar bahwa diakhirat kelak mereka akan berjumpa dengan Ahkamil haakimiin, “Sang Hakim atau Pengadil Sejati”. 
Wallahu a'lam bissawab.....