Rabu, 27 Juni 2012

"MY FIRST BOOK, COMING SOON..."

Inilah sampul depan dan belakang dari buku pertama saya yang Insya Allah akan segera terbit akhir bulan Juni 2012.
Tentang harga dan dimana bisa dibeli akan segera diinformasikan. Catat dan jangan lupa beli ya? Jangan sampai kehabisan.


Buku ini berkisah tentang perjalanan (dinas dan non dinas) saya mengikuti Mendagri/Menko Kesra Soepardjo Roestam, terbang mengelilingi 4 (EMPAT) Benua.

ENAK DIBACA DAN PERLU. DON'T MISS IT!

Selasa, 19 Juni 2012

"DARI PAGILARAN SAMPAI GARAHAN" ( Tamat )


AKHIR PERJUMPAAN DAN PERJALANAN .......

Nampang didepan Kampus UNEJ

(KISAH PETUALANGAN KULINER TIGA LANSIA PANGSIYUNAN)

-Bagian Kelima belas (Tamat)-

Akhir kisah di ‘setapsiyun’  nJember......

       Jadwal keberangkatan KA Mutiara Timur dari Jember ke Surabaya adalah pukul 11 siang. Setelah (akhirnya) berkenan menyikat habis sepiring nasi pecel, Pakde Bagio langsung mengajak tamunya ‘check out’ dari hotel. Sisa waktu sekitar 2 jam pagi hari ini masih akan dipergunakan untuk keliling kota melihat pemandangan yang ada. Saya menawarkan diri untuk nyopir lagi. Pakde Bagio duduk disamping sopir sebagai ‘Ajudan’ sekaligus penunjuk jalan. Pak Nur dan isteri saya duduk berdampingan dikursi belakang, berperan sebagai “Toean dan Nyonyah” alias majikan. 

     Kebanggaan Pakde Bagio terhadap alma mater nya begitu besar. Maklum, nyaris seluruh masa baktinya dihabiskan di kampus paling terkenal di Jember itu. Tidak heran kalau rute pertama yang dipilihnya adalah berkeliling didalam area kampus Universitas Negeri Jember. Pakde hafal luar kepala lokasi seluruh fakultas yang ada dikampusnya. Bahkan sanggup bercerita tentang sejarah berdirinya UNEJ, yang sebelumnya berbentuk Perguruan Tinggi Swasta bernama Universitas Tawang Alun.

Pakde 'ngrumpi' dengan sobatnya.....didepan UNEJ
       Tidak hanya mengenal kampus dengan baik. Pakde Bagio ternyata juga dikenal dengan baik oleh nyaris seluruh civitas academica UNEJ. Dimana-mana Pakde bertemu orang yang dengan hangat akan menyapanya. Bahkan ada kejadian menarik sewaktu sedang berpotret dengan  tamunya didepan pagar halaman UNEJ.  Seorang wanita muda bersepeda motor gumrojog tanpa larapan (datang secara tiba-tiba) meluncur mendekat sambil setengah berteriak dari balik helmnya:
“Pakdeeee.......kemana saja siiiih, koq lama sekali kita tak bertemu....?”
Yang mengherankan, walaupun sang gadis (atau janda? Hahahaha..) masih memakai helm, Pakde Bagio langsung bisa mengenalinya dengan baik. 

      Disiang ndrandhang (panas terik) yang membuat peluh berleleran, keduanya asyik masyuk bercerita. Persis sepasang merpati yang lama tak bersua. Bahkan Pakde kelihatan sampai mendekatkan kepalanya kearah helm ‘teman dekat’nya seakan membisikkan kalimat yang orang lain tak boleh tahu. Mirip adegan yang terjadi dikebanyakan sinetron dan film teve. Ini baru peristiwa seru dan langka. 

      Dari kampus UNEJ, saya masih diminta untuk nyopir keliling kota sebentar. Kali ini untuk menunjukkan sebuah bangunan didekat alun-alun Jember. Dari jauh terbaca sebuah tulisan cukup besar dan jelas: “Pintu Tobat”. Rupanya itulah penjara alias hotel prodeo. Sekarang dikenal sebagai Lembaga Pemasyarakatan. Apakah mereka yang keluar melalui pintu itu dijamin bertobat? Wallahu ‘alam.

      Masih sekitar pukul sepuluh pagi sewaktu Kijang kencana (yang sekarang sudah jadi ‘saksi sejarah’ kiprah tiga lansia) saya belokkan memasuki lapangan parkir stasiun Jember. Susananya masih sepi sekali. Bahkan pintu masuk kedalam peron belum dibuka. Walaupun bentuk fisik stasiun Jember relatif kecil dibanding stasiun Gambir, tapi ternyata inilah stasiun terbesar di Kabupaten Jember. Disinilah pusat Daops (Daerah Operasi) IX Jember yang meliputi kota Pasuruan sampai Banyuwangi.

      Bangunannya terawat dengan baik dan ditata cukup rapi. Meskipun saya mempunyai pengalaman kurang baik dalam hal pelayanan, harus saya akui stasiun Jember bahkan lebih bagus dibanding dengan stasiun Pekalongan.  Semua terlihat bersih. Dari kantin, jajaran kursi yang ada diperon sampai kamar kecilnya. Bahkan ruang tunggu eksekutifnya sangat apik. Dihiasi sebuah TV LCD besar, berpendingin udara dan kursi-kursi yang nyaman diduduki.

      Tiga lansia yang nyaris seminggu ngerumpi bersama, pagi itu masih tampak tertawa-tawa. Tapi canda tawanya terdengar sedikit sumbang. Ada sedikit perasaan mengganjal yang membuat seolah ada pemberat menekan dada. Celetukan guyonan memang masih ada, tapi atmosfer nya beraroma beda. Saya nervous sekali. Sampai harus bolak-balik  kekamar kecil. Mungkin Pak Nur juga merasakan hal yang sama. Oleh sebab itu ia terlihat menyibukkan diri dengan memotreti dokumentasi foto-foto lama yang ada didinding ruang tunggu. 

     Salah tingkah saya menatap keberadaan Pakde yang ikut duduk diruang tunggu. Padahal sebenarnya orang yang tidak punya tiket tak diijinkan memasuki peron. Bukan Pakde kalau kalah oleh aturan. Aturan dibuat kan untuk dilanggar, barangkali itu prinsip nyeleneh Pakde. Saya pikir-pikir, lelaki lansia berambut cepak ini jangan jangan  punya jimat panglipuran. Begitu gampang berkenalan sekaligus menarik simpati orang yang baru saja dijumpainya. 

      Pria kelahiran Bondowoso yang mengaku trah Madura itu, juga berbakat mudah mempengaruhi orang. Kalau tidak begitu, mana mungkin Pak Nur dan saya keplantrang-plantrang manut saja diajak Pakde pergi kemana-mana. Dari Pagilaran sampai Garahan. Seperti kambing congek diusap brambang dihidungnya. Nyaris patuh pada apa saja yang dikatakannya.
  Ruang Tunggu Eksekutif, Stasiun Jember

      Diruang tunggu yang sejuk itu pikiran saya terbagi dua. Pertemuan akan selalu diakhiri dengan perpisahan. Itu hukum alam sekaligus kodrat yang tak lagi bisa dilawan. Menyesalinya pun tak akan ada artinya. Walau sudah tahu pasti akan terjadi, tak urung ada juga terbersit aneka rasa. Sedih, senang, haru, melow campur aduk jadi satu. Persis rasa permen ‘anu-anu’ itu. 

     Angan saya nglambrang (melayang) jauuuuh sekali.
“Mas Koes, saya punya teman yang mirip mas deh. Priyayinya juga sudah senior, senang nulis dan suka celelekan (bercanda) juga”
Begitu suatu ketika Jeng Kusumastuti yang jadi salah satu teman  ‘dumay’ menulis di inboks akun pesbuk saya.
“Namanya Imam Soebagio. Tapi nama pesbuknya Pakde Bagio. Beliau juga sudah pangsiyun. Tapi aktif luar biasa. Pasti mas Koes cocok deh” Jeng Kus terus saja berpromosi. Saya suka banyak teman. Tapi berteman di dunia maya harus selektif. Soalnya banyak juga orang yang buka akun pesbuk untuk hal-hal yang negatif.

      Reaksi saya yang pertama  adalah mencoba mengintip diam-diam akun orang yang dipromosikan oleh Jeng Kus itu. Foto profilnya cukup meyakinkan. Pria separuh baya memakai kacamata. Wajahnya serius tapi saya lihat ada sudut kocak nya, entah bagian apanya. Disitu tertera keterangan sangat minim:
“Work at Pangsiunan. Studied at seadanya asal bisa baca tulis. Lives in Jember. From Bondowoso”
Ada beberapa mutual friends disitu. Saya langsung merasa sreg. Bukan mau umuk ataupun nyombong, saya punya insting kuat jika melihat wajah seseorang. Itu sebuah karunia yang saya syukuri. Karena biasanya selalu tepat, apakah saya akan cocok atau tidak dengan orang yang saya lihat.

      Saya tidak tahu persis, apakah Jeng Kus juga ‘mempromosikan’ diri saya ke “Arek Njember” itu. Yang jelas blog saya seperti banyak dikunjungi tamu anonim.

     Singkat kata akhirnya sayapun berteman di “dumay” dengan Pakde Bagio. Ternyata sejarah hidupnya banyak yang mirip dengan saya. Hobinya juga. Terutama dalam hal tulis menulis. Ada beberapa tulisan di blog Pakde Bagio yang ‘believe it or not’, mempunyai tema yang sangat mirip dengan tulisan saya. Padahal saya tak pernah sekalipun membaca blog orang lain sebelumnya. Termasuk blog Pakde. 

      Sesudah berkenalan, hubungan menjadi sangat intens. Status dan komen kita saling bersahutan. Gayeng dan kocak habis. Belum pernah bertemu muka langsung, tapi sudah akrab dan berani poyok-poyokan (saling meledek), tanpa merasa saling tersinggung.


 “Pah, mbok daftar harga makanan dikantin itu dipotret”
Suara isteri saya membuyarkan segala lamunan. Ada-ada saja permintaannya. Ternyata harga yang tertera dikantin memang termasuk murah. Apalagi kalau dibandingkan dengan harga di Jakarta. Harga seporsi nasi rawon hanya sepuluh rebu perak.  nJember geetuuuu lhoooh......

       Saya lirik Pakde masih duduk diruang tunggu dengan setia. Padahal saya dan Pak Nur sudah meminta beliau untuk pulang saja. Tidak usah menunggu sampai kita berangkat. Bukan Pakde Bagio kalau mau menurut begitu saja. Kalau dia yang memerintah harus dituruti. Kalau diperintah? Nanti dulu. Namanya juga kumendan.

       Niat saya ngusir Pakde bukan karena apa. Saya kuatir rasa haru pada saat berpisah nanti menjebol benteng pertahanan mata saya. Gengsi dong. Lansia setua dan segede ini koq mewek-mewek. Harak digeguyu (ditertawakan) tikus.

Ke Jakarta aku ‘kan kembaliiiii....

        Akhirnya rangkaian KA Mutiara Timur masuk juga ke stasiun Jember. Beberapa menit sebelum pukul sebelas. Entah mengapa rangkaian masuk disepur dua. Bergegas kita menuju ke gerbong dengan menenteng semua logistik. Kini jumlahnya bertambah banyak. Eh, Pakde Bagio tak mau kalah, beliau ikut saja menginthili naik kedalam gerbong. Padahal ini yang sebenarnya ingin saya hindari. Kalau sampai terjadi hujan  air mata, kemana mencari ojek payungnya, coba?

        Saat yang mengaduk-aduk perasan itu akhirnya datang juga. Mata saya pedih, tapi tak sepedih rasa dihati. Sebentar lagi nJember akan tinggal kenangan. Termasuk meninggalkan sosok lansia yang selama seminggu terakhir ini bak sparring partner. Dalam bercanda ataupun berdebat. Sosok priyayi Jawa setengah Madura yang pribadinya extra ordinary.

      Lonceng khas stasiun sebagai penanda kereta api harus berangkat telah berbunyi. Sewaktu berjabat tangan dengan Pakde Bagio, justru tak ada suara yang keluar. Mendadak kelu, lidah saya tercekat, mulut bak tersumbat. Emosi saya terkuras habis. Mungkin ucapan terima kasih yang keluar hanya lirih saja. Saya tahu itu tak mewakili apapun juga. Tak ada yang bisa menggantikan budi baik Pakde Bagio selama ini. 

      Menuruni gerbong kereta, Pakde tidak langsung keluar stasiun. Berdiri di peron, sosoknya yang tingi besar mengabur dalam pandangan mata saya yang barangkali mulai berair. Makin lama makin kabur, karena kereta sudah bergerak. Makin lama makin cepat. Masih terlihat samar senyum ikhlas Pakde melepas kepergian kita......

     Duduk didalam kereta eksekutif yang suhunya sejuk, badan saya justru terasa meriang. Walau isteri duduk disamping saya, siang ini saya merasa ada yang kurang. Seperti ada sesuatu  yang hilang. Bukan karena Pak Nur yang ternyata duduk berlainan gerbong, tapi karena saya kehilangan canda tawa dan celetukan Pakde.

     Selamat tinggal Pakde Bagio. Yakinlah, kita akan bersua lagi. Entah kapan dan dimana......

     Kereta belum sampai  memasuki stasiun Rambipuji ketika hape saya bergetar. 
Ada sms masuk:
"Slmt jln sohib. Smg slmt smp ditujuan. Maaf klo  ada keslhn dlm penerimaan slm di Jember. Smp ktm lg"  
Menerima sms dari Pakde Bagio, kini giliran tangan saya yang bergetar....



T a m a t

Senin, 18 Juni 2012

"DARI PAGILARAN SAMPAI GARAHAN" ( 14 )


TIGA LANSIA HARUS SALING PAMITAN.......

(KISAH PETUALANGAN KULINER TIGA LANSIA PANGSIYUNAN)

 "Tiga Lansia" berpose didepan Stasiun Jember


-Bagian Keempat belas-


Jum’at Kliwon, 11 Mei 2012 dinihari, 

      Ini adalah catatan yang paling tidak saya sukai untuk menuliskannya. Memandangi tingkah isteri saya yang semalaman inpaken (menata pakaian) dan bebenah, saya berusaha keras untuk tidur,  walau hati gelisah. Bahkan memicingkan mata sebelah saja amat sangat susah. 

      Bayangan hitam putih berkelebat laksana nonton pilem misbar dilapangan bola. Rangkaian peristiwa dari stasiun Gambir, Pagilaran, Pekalongan, nJember, Garahan dan terakhir di mBondowoso semalam saling bersirobok. Ada rasa suka, gembira, anyel, mangkel campur aduk bagai segelas es doger.  Manis dan segar tapi bisa membikin selesma. Ternyata kenangan itu memang menimbulkan rasa sakit yang nyelekit entah dilubuk hati bagian mana. Tapi saya tak biasa meneteskan air mata.

      Semalam sebelum pulang kerumah, Pakde Bagio hanya berpesan kalau besok pagi akan datang ke hotel agak terlambat. Katanya ada tugas sangat penting yang harus diselesaikannya. Tawaran kita untuk santap pagi bersama dihotelpun ditolaknya. Saya terkesiap. Terngiang kata-kata Pak Nur, bahwa sebetulnya siang tadi Pakde harus menghadiri rapat penting. Entah di PWRI, entah dikantor lain lagi.  Saya merasa sangat berdosa. Saya sesali Pak Nur baru bilang pada saat membeli kupat tahu diemperan toko semalam. Suengiit akuuu.....

     Ide untuk pergi ke Bondowoso seratus persen adalah inisiatif saya. Hanya karena saya iseng menanggapi pesan singkat dari Bos Bond. Padahal sesungguhnya Pakde Bagio telah menyiapkan pantai Puger untuk acara perjalanan kita. Mungkin kalau pergi ke Puger, sore sudah bisa pulang lagi ke Jember. Dan Pakde masih bisa ikut rapat. Tapi semalam kita pulang sudah sangat larut. Saya menyesal sekali. Merasa sangat egois sehingga mengorbankan acara Pakde Bagio, padahal beliau sudah berkorban begitu banyak. 

      Lamat-lamat terbayang wajah Pakde Bagio selama di Bondowoso sesorean. Tidak sumringah seperti biasanya. Saya pikir hanya kuciwa, karena tidak berhasil makan nasi goreng dan minum soda gumbira kesukaannya. Alangkah naifnya saya. Terlalu banyak menurutkan kata hati sendiri. 
"Maafkan ulah saya Pakde.." Itu saja yang bisa terucap dalam hati yang laksana tertusuk duri. 

      Adzan subuh berkumandang, saya terloncat bangun. Thenger-thenger (terpaku diam) dibibir kasur. Ini hari terakhir saya (bersama isteri dan juga Pak Nur) berada dikota Jember. Terakhir pula bertemu Pakde Bagio. Begitu cepatnya waktu berlalu. 

Selama ini kita bertiga, Pakde, Pak Nur dan saya (isteri saya kan cuma anggota ‘waskat’), bergaul dalam pola ‘persohiban’ yang bagi orang lain tampak membingungkan.  Apalagi orang lain. Lha wong kita sendiri juga bingung koq. Mau dibilang sohib, tapi sedikit-sedikit regejegan (bersilang pendapat), sedikit-sedikit regejegan (lagi). Regejegan koq cuma sedikit? Untung tak pernah sampai ada yang mutung kesarung. Orang Jawa kan memang banyak untungnya. Sudah buntung saja masih bilang untung koq.
     Ada beberapa hal kecil yang sepertinya memang mentakdirkan kita bertiga harus bertemu. Begini ceritanya: Pakde Bagio punya tiga orang anak lelaki (ditambah seorang putri angkat yang sudah dianggap sebagai anak kandung, karena memang keponakan sendiri). Pak Nur Widodo juga mempunyai tiga orang anak lelaki. Saya mempunyai tiga orang anak juga, tapi seorang lelaki dan dua orang perempuan.

      Nama panggilan putra sulung Pakde Bagio adalah Didit. Sama persis dengan nama panggilan anak sulung saya yang juga Didit. Sedangkan nama panggilan anak bungsu Pakde Bagio adalah Andi. Salah satu anak Pak Nur juga punya nama panggilan Andi! Horotokono!! Orang Jawa memang pintar dan suka sekali main ilmu “othak athik gathuk”  ini. Kayaknya memang tiga lansia ini sudah ‘berjodoh’.

     Belum lagi hal-hal ‘aneh bin ajaib’ yang lain. Antara lain, kita bertiga adalah maniak pesbuk, alias pesbuker sejati. Tapi ketiga isteri kita (maksudnya isteri kita masing-masing, bukan masing-masing kita punya isteri tiga!) sama-sama gaptek dan tidak gableg main komputer. Apalagi pesbukan. Punya hape saja hanya dipakai untuk menelepon dan SMS an. Jadi percuma andaikata dibelikan hape canggih yang mahal harganya. Sayang duit nya.
Tapi ini “off the record” lho ya? Soalnya menyangkut “rahasia perusahaan”.

Tanda mata darimuuuuu......

    Diruang makan hotel ‘Seven Dream’ saya sarapan tanpa gairah. Bukan karena menunya hanya pecel dan tahu tempe. Pagi hari Jum’at Kliwon itu sekonyong mood saya lenyap dadakan. Pertama karena masih merasa menyesal membuyarkan acara penting Pakde Bagio.  Yang kedua karena saya terpengaruh berita hilangnya pesawat Sukhoi 100 di Gunung Salak. Yang ketiga mungkin karena semalaman saya nyaris tidak tidur. Apalagi isteri saya malah sibuk sendiri.

      Pak Nur muncul diruang makan setelah nasi dipiring saya ludes. Saya mencoba menerawang ‘penampakan’ diwajahnya. Ada kesan tidak nyaman membayang diraut muka berkaca mata itu. Entah karena sudah nyaris seminggu meninggalkan isteri tercinta, atau ada hal lain. Itu dapat saya simpulkan setelah melihat betapa ‘sibuk pusing’ nya jari dan jempol Pak Nur main SMS atau BBM an lewat ‘blekberi’ nya.
Semoga bukan karena ‘kecanthol’ seseorang di Garahan sana. Amit-amit jabang bayiiiik....

      Persis seperti yang dijanjikannya, Pakde Bagio baru muncul dihotel sekitar pukul delapan pagi lebih. Kijang kencana diparkirnya dibagian dalam hotel. Tapi tidak seperti kemarin, pagi ini wajah Pakde Bagio cerah sekali. Secerah mentari pagi hari. Kita bertiga menyambutnya dengan gegap gempita. Isteri saya menawarkan makan pagi. Aneh sekali, Pakde Bagio kali ini mau menerimanya! Selama ini saya menengarai, kalau wajah Pakde cerah ceria, itu tandanya Pakde sudah dalam kondisi perut pol teng (penuh terisi). Dan pasti juga sudah meng upload gambar sarapannya dipesbuk dengan komentar hingar bingar.

     Akan tetapi, siik siiik siiiik......lakone opo iki Pakde? Dikedua tangannya Pakde menenteng dua tas kresek besar-besar. Senyum khasnya mengembang.
“Ojok dilihat harganya. Ini sekedar tanda mata dari nJember...” katanya sembari tertawa renyah.
Masya Allah. Saya kamitenggengen (diam terpana) menyaksikan adegan itu. Mata saya terasa panas. Mungkin malah sudah jadi merah merona. Tapi saya pantang menangis. Saya tidak suka lelaki yang “gembeng kreweng” alias cengeng. Apalagi kalau yang cengeng seorang pemimpin sebuah negeri!

      Setidaknya saya agak lega sedikit. Jadi semalam waktu Pakde bilang minta ijin datang agak siang,  pasti bukan karena ada rapat penting. Yang lebih masuk diakal, Pakde Bagio pasti pagi-pagi sudah keluar masuk pasar hanya untuk mencari ‘tanda mata’ itu. Padahal statusnya saat itu adalah ‘DRS’, Duda Rada Sauntara (duda untuk sementara). Tak bukan karena beliau sorangan wae dirumah, Bude dan putra bungsunya sedang tetirah di Bandung.

       Saya merasa trenyuh dua kali. Pertama karena selama tamu-tamunya ada di nJember, Pakde telah rela mengerahkan segenap daya upaya untuk menyenangkan tetamunya. Bahkan jika dirasa perlu, akan mengerahkan “barisan terik tempe” dibawah komandonya, yang tak lain adalah putra-putranya. Yang kedua, dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada Pakde, saya merasa tak sepantasnya sesama pangsiyunan memberikan ‘upeti’ apalagi ‘gratifikasi’. Berupa apapun juga. Saya tahu pasti, Pakde bukan termasuk golongan pangsiyunan yang purna bhakti dalam kondisi “basah kuyup” (bergelimang harta hasil korup). 

      Yang jelas,  Pak Nur, saya dan isteri sempat kehilangan kata-kata. Kalau menurut istilah Pak Nur "speechless". Saking terharu. Keliwat saking, malah. Pria gagah pideksa (tinggi besar) berperawakan bagai ‘Kumbokarno’ itu ternyata berhati selembut salju. Berjiwa besar dan sangat tinggi solidaritasnya. Tidak semua orang yang lahir pada hari “Anggara Kasih” (Selasa Kliwon) memiliki kelebihan itu. Semoga Allah Swt memberikan karunia kebahagiaan dan membalas budi baik Pakde dengan pahala berlipat ganda. Aamiiin.



bersambung.......

Minggu, 17 Juni 2012

DARI PAGILARAN SAMPAI GARAHAN" ( 13 )


TIGA LANSIA BALIK KE nJEMBER KEKENYANGAN...

 Petunjuk arah ke Bandara Notohadinegoro

(KISAH PETUALANGAN KULINER TIGA LANSIA PANGSIYUNAN)

-Bagian Ketiga belas-

Perut kenyang ngantuk menerjang....

     Duduk dijok belakang bersebelahan dengan isteri saya, Pak Nur Widodo langsung tepar. Barangkali porsi nasi cah ayamnya tadi kelewat besar. Yang membikin saya heran, kacamata baca Pak Nur tetap saja nempel seperti ada lem nya. Walaupun sudah tidur sambil setengah mendengkur. Saya sendiri sekarang kebagian tugas nyopir. Maklum hanya saya satu-satunya lansia yang matanya masih ‘genep’. Masih awas dan tidak butuh bantuan kacamata untuk nyetir mobil malam hari. Pasti karena asupan gizinya paling wuuokeee. 

     Meskipun Pakde Bagio sesungguhnya juga tinggal 5 watt saja, tapi beliau terpaksa bertahan duduk disamping pak sopir yang sedang bekerja. Mengendara mobil supaya baik jalannya. Thuk thik thak thik thuk.....eh, mana ada mobil suaranya begitu? Saya memang butuh kethek eits keliru, 'kenek' nding, maklum jalan raya Bondowoso – Jember tidak terlalu lebar, dan rute ini masih barang baru bagi saya. Apalagi sekarang saya nyopir dimalam hari. Kalau tidak dipandu yang hapal jalannya bisa-bisa malah mendarat darurat di Rumah Sakit.

     Udara semakin dingin. Jalanan juga sudah mulai berkurang ramainya. Saya berusaha untuk terus mengajak bicara co-pilot yang duduk disamping. Masalahnya saya tidak yakin benar kalau Pakde masih sadar full. Dibalik kacamata bacanya, saya lihat mata Pakde semakin sipit saja. Kalau sampai ketularan jurus sirepnya Pak Nur dikursi belakang yang asik ngelepus (tidur nyenyak) kan berbahaya. Yang saya khawatirkan,  kalau sedang tidur Pakde justru ‘nyaring bunyinya’ dan banyak polah! Tentu saja saya teringat drama satu babak di setapsiyun Pekalongan tempo hari.

Kisah Bandara untuk ‘mepe’ gabah.....

      Oleh sebab itu saya harus pandai-pandai memancing cerita. Maka Pakde Bagio pun berkisah tentang Jember yang seharusnya (sudah) punya lapangan terbang. Nama yang dipilih adalah Bandara Notohadinegoro. Direncanakan dibangun dengan memakai dana APBD Jember sejak tahun anggaran 2003. Konon biaya yang dibutuhkan waktu itu “hanya” sekitar 50 milyar rupiah. Akhirnya Bandara tersebut dapat diresmikan pada tahun 2005 oleh Bupati Jember Samsul Hadi Siswoyo. Katanya sudah sempat beroperasi beberapa waktu. Presiden Gus Dur juga (katanya) pernah mendarat di Bandara itu. Bagaimana nasibnya sekarang? Pakde Bagio malah tertawa sinis. 

“Sekarang dibuat untuk mepe (menjemur) gabah. Paling meriah untuk ngulukke  layangan (menerbangkan layang-layang)” Pakde tergelak.  Saya tersedak. Hadeeeh! Bandara untuk menjemur padi dan main layang-layang? Ini baru kocak beneran.  Nyaris semua bangunan yang ada berikut landas pacunya kini sudah mosak-masik (rusak) tak terawat. Yang menyedihkan, nasib Bandara itu kedepan bahkan tak ada kepastiannya sama sekali.

       Sebuah kisah khas yang sering terjadi dinegeri ini. Banyak ide, banyak akal, pintar membangun (walau tanpa perencanaan matang) dan.... tidak pintar merawat! Saya menduga ide yang bagus itu hanya ‘jual gengsi’ belaka. Tanpa studi kelayakan yang mendalam. Akhirnya bisa diduga: muspra (hilang sia-sia).

      Tidak lebih setengah jam mobil sudah memasuki kota Jember lagi. Padahal saya hanya melarikan mobil perlahan-lahan saja. Mungkin kecepatan rata-ratanya cuma  100 km/jam saja. Malam ini bukan malam hari libur. Jember diwaktu malam toh tetap lumayan ramai juga.  Sejak di Garahan tadi siang isteri saya sudah ngebet ingin makan tahu campur. Pakde Bagio sudah mendapat ancer-ancer dari mas Didit, lokasi penjual tahu campur yang enak di Jember.  Jadi Kijang kencana langsung saya arahkan kealamat dimaksud. Pak Nur yang ‘geragapan’ (tergopoh) baru sadar dari perjalanan dialam mimpi mungkin heran. Tadi meninggalkan Bondowoso dari sebuah rumah makan, lha koq sekarang sampai di Jember sudah mendarat lagi di warung tenda biru? Namanya juga wisata kuliner Pak Nur ..... jangan gumunan aaah.

      Terletak diemperan sebuah toko yang sudah tutup, penjual “kupat tahu” yang hanya tertutup tenda kain itu penuh pembeli. Ini sebuah tanda kalau masakannya pasti lumayan sedap. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya kita berhasil pulang kehotel menenteng tiga bungkus kupat tahu. Pakde Bagio sendiri malah kipa-kipa (berkeras) menolak ikut menikmati kupat tahu diteras kamar hotel. Katanya malam ini masih banyak urusan. Setahu saya memang Pakde banyak sekali yang diurus. Dari lansia, cam-macam senam sampai...mbak Fitri penjual makanan gendongan!! 

      Mungkin Pakde Bagio belum sampai dirumah, tapi tiga bungkus kupat tahu diteras hotel sudah amblas. Zonder (tanpa) berbunyi wes ewes eweessss....

     Malam itu isteri saya sibuk berbenah dan berkemas. Saya sendiri dibiarkan tergolek lemas. Harap maklum, tiba-tiba dan sekonyong-konyong, barang bawaan jadi membengkak seperti gajah tertimpa pohon sehabis disengat tawon. Pusing tujuh keliling memasukkannya dalam koper agar selamat tiba sampai tujuan. Apalagi kebanyakan berupa “potongan singkong yang di ragi in” (difermentasi) alias tape!


bersambung........

Sabtu, 16 Juni 2012

"DARI PAGILARAN SAMPAI GARAHAN" ( 12 )


TIGA LANSIA DITRAKTIR MAKAN “SEGO BEBEK”...

(KISAH PETUALANGAN KULINER TIGA LANSIA PANGSIYUNAN)

 Makan 'sego bebek'  di resto "JOJO" Bondowoso

-Bagian Keduabelas-

Ditraktir makan malah bingung....

     Keluar dari Toko “Madu Jaya” dengan mbrengkut (penuh bawaan), kami bertiga langsung mau berpamitan. Sambil pasang muka malu-malu gituuu.... Soalnya semuanya sungguh diluar ekspektasi. Semula saya hanya iseng menanggapi tawaran rekan pesbuker dari kota yang belum pernah kita kunjungi (kecuali Pakde  yang memang ‘mbrojol’ disini). Tak pernah menyangka sambutannya sangat ruaar biasa....

     Hari semakin malam. Kumandang adzan isya sudah lama berlalu. Sambil menata kotak-kotak berisi tape hadiah dari bu Bambang didalam kijang Pakde Bagio,  kami bersiap pamitan kepada sang sahibul bait. Bapak dan ibu Bambang ‘Bond’.
“Tidak bisa. Baru boleh pulang sesudah makan malam” Bos Bond langsung berujar. Setengah perintah malah.
Waduh maaf pak, kami sudah makan tadi” kata saya basa basi. Nyatanya kan kita berempat memang sudah makan, tadi siang.
“Lagi pula kan bapak dan ibu harus persiapan untuk pergi ke mBandung” isteri saya ikut nimbrung.
“Betuuuul” serentak, Pakde, Pak Nur dan saya koor berbarengan saur manuk.
“Tidak bisa. Kita cari makan malam dulu. Sesudah itu silakan mau kemana saja. Saya sih pergi ke Bandungnya baru nanti tengah malam” Bos Bond menegaskan. Begini nih kalau berhadapan dengan ‘Juragan’. 

     Terus terang memang sebenarnya perut sudah lapar juga. Makan di warung Garahan tadi siang  persis pada saat adzan dhuhur. Sudah lebih dari tujuh jam. Tapi masa’ sudah disangoni oleh-oleh masih mau ditraktir makan juga? Nanti disangka mumpung. Sekali lagi malu dong. Meski desakan perut mau juga sih. Jadi akhirnya manut juga. Mungkin  ini yang disebut “malu tapi mau”. Semoga tidak jadi “malu-maluin” (memalukan). Maklum ketiga lansia ini termasuk ukuran sedang semego-semego nya (senang makan).

      Bos Bond mengarahkan mobil menuju jalan Panglima Besar Sudirman. Salah satu jalan yang jadi urat nadi perekonomian di Bondowoso. Malam itu masih ramai dengan lalu lalang kendaraan dan manusia. Sepanjang jalan berderet toko dan rumah makan. Mobil berhenti didepan sebuah rumah makan. Plang namanya bertulisan: Rumah Makan “JOJO”, dibawahnya: sedia iga bakar dan sego bebek. Saya sih ijo kalau melihat menu iga bakar. Jakun saya sudah main naik turun saja membayangkannya. Saya lirik Pakde Bagio agak masam mukanya. Pasti karena tidak terlihat ada tulisan “nasi goreng” disitu. Apalagi beliau seperti alergi dengan  kata “bebek”. Harap maklum, putra sulungnya juragan bebek. Jadi pasti sangat bosan dengan hewan kwek kwek kwek yang suka cuek itu.

      Pak Bambang dan ibu disambut seperti tamu istimewa yang sudah kenal lama. Rupanya ini rumah makan langganan beliau juga. Dikota kecil seperti Bondowoso ini, Pejabat Tinggi Kabupaten nyaris dikenal oleh setiap orang. Bahkan tukang parkir mobil didepan rumah makan tadi menyapa beliau dengan grapyak (ramah)nya.
“Sego bebeknya huenaak tenan lho pak” ibu Bambang berpromosi, sambil mencari tempat duduk.
“Tapi kalau pak Bambang sih menunya pasti tetap sama, nasi iga bakar” lanjutnya.
Sudah lama saya punya prinsip, kalau ditraktir makan lihatlah apa yang dipesan oleh sang penraktir. Terutama kalau ditraktir di resto langganannya. Yang selalu dipesan berarti makanan kesukaannya. Dan (biasanya) pasti enak, kalau tidak enak, namanya “kecelakaan”.  Jadi sewaktu pak Bambang memesan nasi iga bakar, saya langsung idem dito (sama saja).

     Bu Bambang ternyata juga kekeuh pendiriannya. Menunya tetap ‘sego bebek’. Saya tertawa didalam hati. Menurut penafsiran ‘nakal’ saya, sego alias nasi bebek itu adalah makanan untuk bebek. Itu artinya dedak (bekatul) dan kawan kawannya.  Ternyata maksudnya hidangan berupa nasi dengan lauk iwak peyek eh, kliru, iwak bebek. Mau dibakar atau digoreng terserah selera. Bebek yang di kremes juga ada.

     Tinggal tiga orang lagi (Pakde Bagio, Pak Nur dan isteri saya) yang seperti wong bingung. Lha wong ditraktir koq malah bingung. Apalagi kalau harus bayar sendiri! Pakde semula pesan nasi goreng. Sayang tidak tersedia. Pakde jadi terlihat seperti orang kuciwa (lagi). Lain hal dengan Pak Nur yang sedang memelototi daftar menu.  Wajahnya super serius, seperti orang membaca tagihan kartu kredit. Pusing kaleee. Kalau saya sudah hafal apa yang mau dipilih isteri. Pokoknya menu yang banyak sayurnya. Soalnya menyangkut ‘urusan kebelakang’. Tebakan saya tepat. Isteri saya memilih nasi cah ayam. Selalu ditambah dengan pesan khusus: “Sayurnya yang banyak ya?”.  

      Akhirnya urusan pesan menu selesai juga. Hampir setengah jam sendiri. Bayangkan repotnya. Saking bingungnya, Pak Nur memilih menu yang dipesan isteri saya. Pakde Bagio tadinya memilih menu nasi timbel. Tapi pakai embel-embel:”yang goreng ada gak?” Mana ada nasi timbel goreng? Cem-macem saja sampiyan Pakde. Setengah frustasi, Pakde memilih menu nasi cap cay. Itupun setelah dibujuk-bujuk oleh Pak Nur.

      Yang muncul dimeja pertama kali adalah nasi iga bakar. Dua porsi sekaligus. Untuk Pak Bambang dan saya. Menu spesialisasi biasanya sudah ready to serve (siap disajikan). So pasti cepat. Tampilannya sungguh menggoda iman dan hasrat. Menyusul kemudian sego bebek pesanan bu Bambang. Pesanan berikut agak lama keluarnya. Jadi terpaksa yang sudah keluar menunya minta ijin mendahului makan. 


“Tukang Sulap” yang lihai bercerita

      Sambil makan Pak Bambang alias Bos Bond, bercerita ngalor ngidul. Beliau seorang pendongeng yang super ciamik (bagus). Walau kisahnya kesana kemari, tapi alur ceritanya runtut. Apalagi banyak humornya. Tak urung semua tergelak. Sambil makan sambil cekakakan. Untung tidak ada yang  keselek. Pak Bambang pun berkisah tentang riwayat penugasannya yang sampai ke tanah seberang. Juga tentang saudara kembarnya yang meninggal ketika masih kecil. Yang surprise adalah, beliau ternyata seorang “tukang sulap” juga. Siapa sangka? Saya sebut tukang sulap,  sebab seperti pengakuannya sendiri, beliau hanya manggung dilingkungan terbatas saja. Jadi mana mungkin disebut sebagai magician atau ilusionis? Sori Bos!

     Tapi, nanti dulu. Kita bertiga yang menunya lebih dulu disajikan sudah hampir habis separuh. Lalu mana pesanan yang lain? Sesaat setelah ditanyakan baru nasi cah ayam nongol. Dua porsi, untuk Pak Nur dan isteri saya. Lhaaaah, mana pesanan Pakde Bagio?
Sabaaaar....” ini kata Pakde sendiri sambil wajahnya menyiratkan nada melow. 
“Yang sabar pasti tidak mbayar..” saya nyeletuk berkomentar. Semua tertawa lebar.

      Saya sudah nyaris meludeskan porsi iga bakar yang jooos merkotos itu, ketika pesanan untuk Pakde Bagio (akhirnya) dihidangkan. Yaaa ampyaaang.....jebulnya koq ya cuma nasi yang di ublak (campur) bersama cap cay. Penampilannya sih tidak kalah menor dan menggugah nafsu (makan). Pakde makan tanpa semangat juang sama sekali. Seingat saya isi piringnya tidak sampai habis dilahap. Padahal sudah saya ingatkan, kalau makannya tidak habis nanti ayam dan bebeknya mati semua. Itu nasehat simbah jaman doeloe lhoo.
Wis ben, ayam sama bebek bukan punya saya weee....” jawab Pakde cuek bebek.
Teganyaaaaa......kan mas Didit, putra sulungnya sendiri yang punya peternakan?



bersambung.......

Jumat, 15 Juni 2012

"DARI PAGILARAN SAMPAI GARAHAN" ( 11 )


TIGA LANSIA DAPAT 'SANGU' TAPE mBONDOWOSO....

(KISAH PETUALANGAN KULINER TIGA LANSIA PANGSIYUNAN)

Mborong oleh-oleh khas mBondowoso....

-Bagian Kesebelas-

Melihat Monumen “Gerbong Maut”

      Tiba diteras depan kantor Bupati, Bos Bond minta ijin mengambil mobilnya diparkiran khusus pejabat. Kijang Pakde ternyata masih diparkir di ‘kantor sebelah situ’ tadi. Sepertinya sopir malas banget memindahkan mobil. Jadi sopir koq malas. Saya bayangkan “Bos Bond” datang didalam sebuah sedan mewah khas Pejabat Daerah dengan sopir dan ajudan.

     Sebuah minibus warna gelap datang mendekat. Ternyata itulah mobil dinas Bos Bond. Dan beliau duduk dikursi pengemudi. Weee lhaa kojuuur...Setap Ahli koq nyopir sendiri, batin saya. Untuk menghormati beliau, saya dan isteri ikut menumpang dalam mobil dinas itu.
“Nanti kita berhenti sebentar didepan Monumen itu. Sambil foto-foto. Kan lumayan bisa di up load masuk pesbuk” kata Bos Bond. Entah nyindir entah apa. Mobilpun diparkir dipinggir jalan dekat alun-alun. Pakde dan sopirnya, eh, maaf, Pak Nur ikut parkir dibelakangnya.
'Bos Bond' dan tamunya di monumen "Gerbong Maut"
     Terletak ditengah jalan diantara alun-alun kota dan Kantor Bupati Bondowoso, tegak berdiri sebuah monumen berbentuk gerbong barang Kereta Api jaman doeloe. Alkisah, pada sekitar bulan November 1947, penjara Bondowoso sudah over belast (kelebihan penghuni). Oleh sebab itu Letnan Dua (Marinir) J van den Dorpe selaku penguasa militer Bondowoso memerintahkan Kepala penjara Bondowoso untuk memindahkan sebagian besar tahanan ke Penjara Kalisosok yang berada di Surabaya. Pemindahan tahap pertama dan kedua yang dilakukan dengan kereta api berhasil dengan baik. Pada pemindahan tahap ketiga yang terjadi tanggal 23 November 1947, ada sekitar 100 tawanan ‘ekstrimis’ pribumi yang juga akan dipindahkan ke penjara Kalisosok Surabaya. Menurut almanak Jawa, tanggal itu bertepatan dengan hari Selasa Kliwon. Entah kenapa dalam sejarah yang ditulis disebut sebagai hari Sabtu. Ini perlu diluruskan, tanggal atau harinya yang keliru, karena menyangkut sejarah.

      Tawanan yang dituduh oleh pemerintah kolonial sebagai orang-orang yang melakukan “subversieve activiteit” (gerakan subversif) itu diangkut dengan menggunakan 3 (tiga) gerbong kereta api yang biasa dipakai mengangkut barang. Sebanyak 32 orang dimasukkan dalam gerbong nomor GR 5769, yang 30 orang lagi dijebloskan kegerbong kedua yang bernomer GR 4416. Sisanya yang 38 orang dimasukkan digerbong terakhir bernomer GR 10152. Seluruh gerbong digembok dan ditutup rapat tanpa ada ventilasi. Para tawanan itu bagaikan ‘diungkep’ (dimasak dalam tempat tertutup).

      Ketika tiba di stasiun Wonokromo sekitar 16 (enam belas) jam kemudian, banyak tawanan yang (karena kekurangan udara/oksigen) menjadi korban sampai meninggal dunia.  Jumlah korban meninggal dari semua gerbong berjumlah 44 orang (ada yang menyebut jumlahnya sampai 46 orang). Bahkan tawanan yang berada digerbong tiga (nomer GR 10152 berisi 30 orang) SELURUHNYA meninggal, gugur sebagai bunga bangsa. Itu sebabnya kemudian disebut sebagai peristiwa “GERBONG MAUT”. Replika (tiruan) dari 3 gerbong tersebut kemudian dijadikan sebagai Monumen Perjuangan. Satu gerbong dipajang di Bondowoso, satu di stasiun Wonokromo dan yang satu disimpan dimuseum Brawijaya Malang. Monumen di Bondowoso ini menjadi satu-satunya saksi bisu, karena saksi bisu yang lain, yaitu Stasiun Bondowoso kemudian dinyatakan ditutup sejak jalur kereta api dari dan kekota Jember “dibunuh” sendiri oleh PJKA (kini PT KAI).
     Tiga lansia ‘plus’ (ditambah isteri saya) sempat pula berfoto di depan monumen bersejarah kelam itu. Bahkan yang jadi ‘tukang potrek’ nya adalah Staf Ahli Bupati Bondowoso. Opo ora heiibaaat? Betapapun, saya berfoto sambil bergidik mengingat korban meninggal yang lebih dari 40 orang tersebut.

Oleh-oleh (gratisan) tape khas mBondowoso....

      Hari semakin sore, kota Bondowoso mulai temaram. Sambil menyetir, Pak Bond, eh Bos Bond terus berkisah tentang kota Bondowoso yang ternyata terletak bagai sebuah poros. Jaraknya dari kota Jember sekitar 30 KM. Begitupun jaraknya kekota Besuki, kota yang pernah jadi ibukota Karesidenan itu. Sayang tak cukup waktu untuk menengok pula kota Besuki yang plat nomor Polisinya “P” itu. Kota Besuki kini kalah pamor dengan kota ‘sempalan’nya, Bondowoso.

      Saat adzan magrib berkumandang, tamu lansia sudah sampai dirumah dinas Pak Bambang Dwi Aguswidadi “Bond”. Rumah dinas yang dikelilingi kolam ikan ini ternyata sudah dihuni lama sekali. Sejak Bos Bond bertugas sebagai Kepala Dinas Perikanan. Rumahnya sederhana tapi penuh dengan pernak pernik barang antik. Menggambarkan jiwa sang pemilik (barangkali). Dirumah itulah tamu lansia diperkenalkan dengan ibu Bambang yang ternyata ramah luar biasa. Walaupun baru bersua, bu Bambang menyambut tamunya bak keluarga sendiri. Ramah dan hangat.

      Sewaktu akan pamitan sesudah sholat magrib, beliau berdua ternyata masih berhasil ‘memaksa’ tamunya untuk mengikuti ‘tur malam hari’. Entah kemana. Perjalanan malam (yang bukan mi’raj) itu ternyata mengelilingi kota mBondowoso. Kota kecil sejuk dan tenang ini diwaktu malam semakin menghanyutkan. Pantas saja kalau kota ini mempunyai julukan “Kota Pensiunan”.

      Tapi julukan yang lebih kondang adalah “Kota Tape”. Konon tape mBondowoso terkenal legit dan manis. Walaupun tape cukup terkenal sebagai nama sejenis ‘nyamikan’, tapi baiklah saya jelaskan bahwa tape dibuat dari singkong atau pohung, atau ubi kayu atau ketela pohon (cassava). Singkong dikuliti, dipotong sesuai selera lalu difermentasi dengan ragi (mirip pembuatan tempe yang dari kedele). Oleh karena itu para turis mancanegara menyebutnya sebagai “fermented cassava”. Orang Sunda menyebutnya sebagai ‘peuyeum’. Biasanya dikemas dalam sebuah ‘besek’, tempat yang terbuat dari anyaman bambu.

Tape Bondowoso dalam besek
        Setelah putar-putar kota, Pak Bond memarkir mobilnya dipinggir Jalan Veteran.
“Ini daerah sentra oleh-oleh khas mBondowoso. Silakan kalau ada yang diminati”. Sambil berkata begitu beliau masuk kesebuah toko kecil yang pajangan barang dagangannya komplit sekali. Namanya Toko "Madu Jaya". Ini adalah toko langganan ibu Bambang. Yang dominan memang besek dan kotak kardus bertulisan “Tape Bondowoso”. Uniknya semua diberi label tanggal. Ini untuk menunjukkan kapan tape didalam besek itu layak dikonsumsi.  Semacam expire date, begitulah, tapi ini justru untuk menunjukkan kapan tapenya matang. Jelasnya, kalau anda akan membeli tape untuk dibawa keluar kota (bahkan keluar negeri), maka anda harus membeli tape yang akan matang beberapa hari kedepan. Kalau yang dibeli tape yang matang hari ini, sampai diluar kota sudah ‘mblonyok’ (terlalu matang).

      Tak disangka, tak diduga, tak dinyana, Bu Bambang ‘Bond’ ternyata dengan senang hati membayar semua tape yang malam itu dibeli. Kata beliau untuk oleh-oleh priyayi dari Jakarta.  Sekaligus agar selalu terkenang kota Bondowoso dan suatu hari nanti akan kembali lagi. Wah, lha kalau kita keseringan kembali lagi ke Bondowoso malah  ngrepoti  dan ngentek-entekke lho bu. Tetapi, nanti dulu,  Pakde Bagio kan cuma dari nJember, lha koq ikut kebagian oleh-oleh tape juga!  

      Dasar pesbuker, setelah omong sana omong sini, ketahuan bahwa anaknya yang punya toko ternyata punya akun juga di pesbuk. Yang hapal namanya pasti Pakde Bagio, karena katanya sesampai di Jember langsung mau add untuk berteman dengan si dia.

Haiyaaaaa.....hati-hati Pakde.... jangan sampai terjadi “kasus” kaleng sak dapur grombyangan semuaaa....




bersambung.......

Kamis, 14 Juni 2012

"DARI PAGILARAN SAMPAI GARAHAN" ( 10 )


DARI GARAHAN MENYERBU.....mBONDOWOSO 

 (KISAH PETUALANGAN KULINER TIGA LANSIA PANGSIYUNAN)

 Tiga Lansia 'plus' mejeng didepan "Gerbong Maut"

-Bagian Kesepuluh-

Kisah sarjana yang memilih beternak ayam dan bebek

     Makan di warung ‘tanpa nama’ di Garahan dengan lauk sak dabreg (banyak sekali) itu mengakibatkan mata seperti mendapat beban sekarung beras. Saking ngantuknya. Mas Didit menjalankan mobil dengan santai. Angin semilir menerpa lewat jendela mobil yang terbuka. Sekuatnya saya menahan kantuk. Biar aman dan tidak diganggu Pakde, saya pakai kacamata hitam. Pak sopir yang ganteng itu terus bercerita.  Sebetulnya Pakde Bagio sudah pernah bercerita sedikit tentang ‘konstelasi’ dan struktur organisasi keluarganya. Yaitu sewaktu malam-malam tiga lansia berdiri diperon Stasiun Pekalongan menunggu KA Sembrani. Tapi tentang Mas Didit putra sulungnya ini hanya diceritakan saat jatuh dari sepeda motornya saja.

     Walaupun mempunyai gelar sarjana, (juga seorang peragawan) mas Didit ternyata kukuh dengan pendiriannya untuk hidup mandiri. Yaitu ber wiraswasta. Jarang ada seorang sarjana yang punya pikiran seperti ini. Dan sikapnya tetap konsisten dan konsekwen dengan niatnya. Walaupun beberapa kali mengalami jatuh bangun. Saat ini mas Didit menjalankan bisnis peternakan ayam negeri dan bebek. Lahannya terletak jauh diluar kota Jember, yaitu disekitar pantai Puger. Pantai terkenal di Kabupaten Jember ini adalah penghasil ikan laut dan terasi (blacan) yang namanya  sangat kondang. Lahan peternakannya itu sekitar 40 kilometer jaraknya dari rumah. Tapi memang tidak setiap hari didatangi. Mengupah dua orang petugas untuk mengurusi hewan ternaknya, mas Didit hanya menangani urusan manajemennya saja. Termasuk seluk beluk beternak hewan unggulan yang justru bukan ilmu yang dipelajarinya di perguruan tinggi. Tampaknya usaha peternakan mas Didit cukup berhasil.

       Diam-diam Pakde Bagio sangat bangga terhadap putra sulungnya ini. Juga putra putrinya yang lain. Itu terlihat dari bahasa tubuhnya saat berkisah tentang putra putri dan cucu-cucunya. Begitu memasuki teras rumah Pakde yang berada di jalan Semeru, pandangan mata para tetamu akan langsung menyaksikan foto keluarga besar Pakde dan Bude. Tidak tanggung-tanggung, bukan cuma seukuran kartu pos, foto keluarga itu seukuran “kantor pos”! Memang tidak lazim. Biasanya orang memajang foto keluarga diruang tamu. Tapi Pakde memajang foto diluar rumahnya. Menempel didinding teras dengan full warna. Jadi semua orang dapat melihatnya. Gratis. Saya hanya bisa membatin: “Pakde Bagio memang orang yang extra ordinary (tidak biasa)”. Tidak heran sifat itu menular (koq seperti penyakit?) kepada putra putri, bahkan para cucunya.

Undangan dari “Bos Bond” petinggi mBondowoso.....

      Saya punya kebiasaan buruk mencatat semua kegiatan yang saya jalani (walau kadang hanya dalam hati dan pikiran). Terutama kalau sedang bepergian. Itu sebabnya saya selalu membawa kamera. Tentu juga sebuah ponsel yang bisa terus meng update status dan komen di pesbuk. Jadi semua kegiatan hari itu selalu saya posting ke pesbuk berikut gambarnya. Namanya juga pesbuker lansia narsis.

     Dalam perjalanan pulang dari Garahan itulah saya menerima pesan inboks dari sesama pesbuker. Pengirimnya adalah seorang alumnus Universitas Diponegoro yang (kini) berdomisili di Bondowoso. Tapi saya tidak tahu apa pekerjaan atau jabatan beliau.
“Sdh sampai Jember koq tdk ke Bondowoso yang terkenal tapenya. Silakan mampir klo ada wkt”
“Serius neh?  Bos sdg tdk sbk?” saya menjawab pesannya.
“Kebetulan sy ada ditmpt. Nanti mlm br mau ke Bandung”.

     Hati saya agak bimbang. Pertama,  selama ini komunikasi saya dengan “Bos Bond” (begitu saya memanggilnya di pesbuk) hanya sebatas saling komen status masing-masing. Saya merasa cocok saja, karena kadang-kadang status dan komennya agak ‘nakal’. Sama seperti status dan komen saya yang kadang malah agak ‘urakan’. Tapi terus terang hubungan saya dengan beliau tidak seakrab seperti dengan Pakde Bagio. Kedua, sudah lama Pakde ingin memamerkan pantai Puger kepada saya dan Pak Nur. Untuk itu sampai beliau rela mengirim ‘contoh’ terasi Puger kepada saya agar percaya. Jarak kepantai Puger sekitar 40an kilometer. Ke Bondowoso lebih dekat, hanya sekitar 30 kilo.

     Waktu istirahat sebentar di hotel saya sampaikan pesan itu kepada Pak Nur. Walau sedikit ragu Pak Nur sependapat dengan saya. Resikonya memang Pakde pasti akan kuciwa. Saya kirim  pesan lagi ke ‘Bos Bond’:
“Klo sy mampir apa tdk merepotkan? Sptnya bos sibuk skl”
“Tdk. Sy ke Bdg nanti mlm. Sy tunggu diktr. Klo sdh dkt tlg beritahu”
Terus terang saya senang. Tidak mengira akan bertemu muka dengan  kenalan baru dari pesbuk dikota yang belum pernah saya datangi. Daripada ke Puger yang jauh, mending ke Bondowoso saja.  Akhirnya Pak Nur manut. Mungkin ngeri lihat brewok saya. Siapa peduli.

     Meskipun terlihat kuciwa karena point of interest pilihannya gagal, tapi Pakde Bagio memperlihatkan jiwa besarnya (dibadan yang besar terdapat jiwa yang besar juga). Kini saatnya Pak Nur giliran mengemudi. Saya minta mampir sebentar ditoko pakaian. Saya butuh baju yang pantas. Soalnya semua baju sudah jadi tumpukan baju bau dan dekil. Walau disemprot parfum tetap tidak akan menolong. Saya beli hem batik murah meriah tapi cukup pantas. Jadi....tariiiik maaaang.....

      Sekitar pukul tiga seperempat kijang meluncur kekota tape mBondowoso.
“Klo sdh msk kota, cr monumen gerbong maut. Ktr sy ada di dpn nya” ada pesan lagi dari pak Bos. Saya sampaikan berita itu kepada Pakde Bagio.
“Kalau hanya kota Bondowoso saya tahu sampai ke lubang semutnya” kata Pakde jumawa. Haaalaaah, Pakde nyombong lagi. Ternyata Pakde memang lahir dikota Bondowoso. Ngakunya sih orang Madura. Biar tampak sangar...kaleeeee...

Menghadap Setap Ahli.....

     Sekitar pukul empat sore mobil sudah masuk kota Bondowoso. Kotanya bersih dan tenang. Hawanya sejuk segar. Bisa saya rasakan langsung dari udara yang masuk lewat jendela mobil. Bondowoso adalah ibukota Kabupaten Bondowoso yang mendapat julukan ‘daerah tapal kuda’. Entah kudanya sebesar apa. Bondowoso tidak punya pantai, apalagi lautan. Luasnya hanya sekitar 1.560 kilometer persegi. Lebih sempit dari Jember. Penduduknya juga sekitar 750 ribu orang saja. Tapi udaranya memang sangat sejuk, berkisar antara 15 – 25 derajat Celcius.

Kantor Bupati Bondowoso
     Mobil sudah sampai dialun-alun kota. Dari jauh nampak sebuah monumen berbentuk gerbong Kereta Api. Saya celingukan mencari-cari kantor yang ada didepan monumen. Hanya satu yang pantas disebut kantor. Dan itu Kantor Bupati Bondowoso. Waduh! Jangan-jangan Bos Bond Bupatinya. Tapi pintu gerbangnya sudah ditutup separuh. Sepi sekali. Saya minta sopir, eh Pak Nur untuk masuk saja, nanti bisa bertanya kepada satpamnya.
“Bos sy sdh msk hlman ktr neh” saya lapor kepada Bos Bond.
“Trs sj ke hlman dpn. Parkir didpn pintu utama” balas nya.
Pintu utama? Yang mana sih pintu utamanya? Saya masih seperti “tulup dikethek”.
Lha genah baru sekali-kalinya masuk kantor ini.

     “Mau bertemu dengan siapa pak” seorang Satpol PP yang ada dipos depan langsung bertanya.
Anuu, ehm, Pak Bos Bond, eh anuuu, Pak Bambang..” jawab saya gelagepan. Satpol tampak tambah curiga.
“Ada banyak sekali nama Bambang disini. Nama panjangnya siapa?”
Saya bingung. Tidak tahu kalau nama Bambang ternyata kodian, eh salah, banyak sekali. Mau saya jawab “nama panjangnya Bambaaaaaaaaaanggitu, nanti dikira malah saya meledek.
“Ada juga Pak Bambang kepala Humas, kantornya disebelah situ” kata si satpol lagi sambil menunjuk kantor disebelah kirinya. Bos Bond Kepala Humas? Agak pantas kalau dilihat dari gaya ngebos nya.

     Mobil bergerak menuju “kantor disebelah situ” seperti kata Satpol tadi. Koq sepi sekali? Tidak tampak satu batang hidungpun. Apalagi orang. Saya biyayakan (kalang kabut) sendiri. Mata saya jelalatan. Saya lirik Pak Nur masih didalam mobil pegang setir. Entah mau kemana itu setir kalau tidak dipegangi. Pakde Bagio tampak santai saja seperti orang aras-arasen (ogah-ogahan). Mungkin dalam hatinya kuciwa. Siapa tahu?

     Daripada  terus ngung-bingung, saya telepon Bos Bond.
“Bos saya ada didepan kantor Humas, Bos Kepala Humas bukan?”
“Kepala Humas? Bukan, saya pegawai rendahan koq. Cari saja pintu utamanya, saya ada dilantai dua”
Hadeh. Daripada pusing saya serahkan telepon kepada Satpol.
“Ini nih Pak Bambang, coba sampeyan  tanya sendiri beliau kantornya yang mana”
“Halo Pak, ya ya...oooo...siap pak,  ya, baik pak saya antarkan ke ruangan bapak” kata si Satpol ditelepon.  Berdirinya mendadak jadi sikap sempurna.
“Oh, Pak Bambang yang bapak maksud adalah Staf Ahli Pak Bupati. Mari saya antar kesana Pak” sekarang si Satpol jadi kelewat hormat.

      Saya melongo. Bos Bond Staf Ahli Bupati? Welhadalaaah. Jago mbujuki wong (menipu orang) tenan ki. Katanya pegawai rendahan. Saya salah tingkah sendiri. Mau bertemu Staf Ahli Bupati koq cuma pakai sandal mbaktut, eh, butut. Untung saya sudah beli hem batik tadi. Kalau tidak, bisa tambah kewirangan.

      Dag dig dug der, saya mengikuti Satpol menuju kantor Pak Setap Ahli. Terletak dilantai dua Kantor Bupati, ruang kerja “Bos Bond” berada disebelah ruang kerja Wakil Bupati. Pak Nur, Pakde Bagio dan isteri saya masih thimak thimik (pelan-pelan) jalan dibelakang. Sepertinya semua jadi ngeper mau menghadap Staf Ahli Bupati.

       Yang terhormat Bapak Bambang Dwi Aguswidadi ‘Bond’ (inilah nama lengkap yang tertera dipesbuk) menyambut dengan senyum terkembang. Mengenakan kemeja safari batik khas pejabat, saya tidak asing dengan wajah dan kacamata bacanya. Karena wajah seperti itulah yang tampak di foto profil beliau di akun pesbuk. Rasa jengah (segan) melanda saknalika. Otomatis saya berbicara memakai bahasa Jawa halus. Demikian pula isteri saya. Yang lain memilih bicara dengan bahasa gado-gado dan ketoprak.

      Ruang kerja Staf Ahli Bupati Bondowoso tidak terlalu besar. Sebuah meja kerja terletak disebelah kiri dari pintu masuk. Di samping depannya terletak satu set sofa tamu berbentuk “L”. Suasana semula agak kaku. Bos Bond sebenarnya cukup ramah. Saya langsung memulai dengan kata-kata kocak ketika memperkenalkan ‘rombengan’ pesbuker lansia yang saya bawa. Ini usaha untuk mencairkan susana. Selanjutnya bisa diduga. Tawa cekakakan tak terhindarkan memecah keheningan dikantor yang sudah sepi pegawai itu.

     Bos Bond, eh Pak Staf Ahli sesuai janjinya mengajak kita untuk keliling kota. Pejabat Tinggi satu ini memang kentara sekali suka merendahkan diri. Mungkin juga untuk meninggikan mutu. Hari sudah semakin sore. Sambil berjalan keluar ruangan beliau bercerita bahwa kantor Bupati Bondowoso sehari-hari memang sepi. Soalnya Bupati dan Wakil Bupatinya lebih suka berkantor dirumah kediaman masing-masing. Tidak ada yang tahu dengan alasan apa.

      Saya langsung berkomentar dengan gaya pak Tursilo, suami bu Ruminah:
“Ah, Bupati dan Wakilnya tidak penting pak, yang penting Staf Ahlinya...”
Satu hal yang saya sesali. Mungkin karena rasa  jengah, saya jadi lupa mengabadikan momen-momen penting saat tiga lansia menghadap Staf Ahli Bupati tadi. Padahal kamera dan tablet selalu saya tenteng kemana-mana.
Hilang sudah saat-saat yang bersejarah.  Aseem tenaaan iiik....gelooo akuuu....



bersambung...........