Minggu, 10 Juni 2012

"DARI PAGILARAN SAMPAI GARAHAN" ( 8 )


TIGA LANSIA MENJARAH GARAHAN....

 (KISAH PETUALANGAN KULINER TIGA LANSIA PANGSIYUNAN)

 Tiga turis domestik nampang di Stasiun Kalibaru

-Bagian Keempat-

     Tape dan pisang bakar sudah nyaris habis tadi malam. Dibabat ludes sambil berbincang seru dan saru ditambah tawa cekakakan diteras kamar hotel. Beberapa kali isteri saya sampai mengingatkan bahwa hotel ini bukan punya simbah kita. Tapi siapa peduli? Sama-sama menginap, sama-sama membayar, begitu alasan para pokrol bambu. Maka isteri sayapun menyerah sambil geleng kepala tapi akhirnya ikut cekakakan juga. Malam itu juga saya langsung pesan ke front office agar disiapkan makan pagi dikamar untuk empat orang sebelum jam enam pagi. Soalnya Pakde Bagio berjanji akan menjemput pagi sekali.

Hari Kamis, 10 Mei 2012

     Sehabis sholat subuh saya sudah siap menanti kedatangan ‘tour leader’. Saya nongkrong diteras menikmati semilirnya udara pagi sambil baca koran komplimen. Saya tidak berani mengganggu kamar sebelah, karena tidak yakin apa Pak Nur biasa bangun pagi. Sebelum jam enam sarapan pagi sudah diantar. Masing-masing kamar mendapat kiriman untuk dua orang. Menunya lumayan menggugah selera, soto ayam ala nJember plus kerupuk udang Puger (barangkali). Ternyata masih ada tambahan dua sisir roti tawar dan dua gelas teh manis hangat. 

      Pak Nur akhirnya muncul diteras kamar. Segar bugar seperti habis keluar dari sauna. Rupanya Pak Nur malah sudah sempat jalan kaki sampai ke alun-alun kota. Asem tenan. Tidak ajak-ajak, karena katanya tidak mau mengganggu saya yang sedang bulan madu. Bulan madu? Enak saja. Kan madunya sudah saya titipkan Bu Ruminah untuk dibawa pulang duluan ke Jakarta?

      Usai sarapan pagi Kijang Kencana melesat kerumah mas Didit, putra pertama Pakde Bagio.  Ia jadi korban ‘komando’ sang kumendan, karena harus mengantar kita ke setapsiyun nJember. Dari situ kemudian harus ngebut keluar kota untuk  stand by menjemput di stasiun Kalibaru yang sudah masuk wilayah Kabupaten Banyuwangi. Jaraknya sekitar 40-an kilometer! Benar-benar anak yang berbakti kepada orang tua.

Naik “sepur kluthuk” 

      Stasiun Jember dipagi hari masih tampak lengang. Saya langsung teringat insiden diskon kemarin sore ketika melewati loket penjualan tiket. Pakde buru-buru membeli tiket KA ekonomi Probowangi yang harganya konon hanya 7 rebu perak per orang.  Saya dan Pak Nur cuma mlongo. Mana ada tour leader yang mau mbayari seperti Pakde Bagio ini. Pasti segera bangkrut saknalika.
 Naik 'sepur kluthuk' Probowangi
    Sensasi menaiki kereta api klas ekonomi jurusan Probolinggo-Banyuwangi seakan langsung melontarkan saya ke ‘time-tunnel’. Ingatan saya terlempar jauh ketahun 60-an, ketika saya sering diajak simbah kakung naik ‘sepur kluthuk’ dari Semarang ke Surakarta lewat Kedungjati dan Gundih. Gerbong kereta masih terbuat dari kayu, begitupun tempat duduknya. Lokomotif yang menarik rangkaian juga masih berwarna hitam pekat dengan uap yang menyembur-nyembur. Sesekali dari dapur pacunya melenting bara api. Sering baju saya yang terbuat dari tetoron sintetis sampai berlubang-lubang terkena percikan apinya yang kabur kanginan kemana-mana. Suaranya menderu tak terlupakan. Jeesss jeesss jeessss...ojo jajan ojo jajan........ngooooooook.....!!!!

     KA ekonomi jaman sekarang jauh dari bayangan seperti itu. Semua bahan dari kayu sudah diganti dengan bahan lain. Loko nya juga sudah bertenaga diesel. Namun atmosfer yang diciptakannya tak berbeda jauh. Penumpangnya berasal dari strata kebanyakan, bahkan mungkin banyak kaum marjinal. Benar-benar kelas ekonomi. Walaupun tempat duduk juga bernomor, banyak penumpang yang seolah tak mengerti arti nomor kursi itu. Mungkin karena masih ada yang tuna aksara.

     Pakde Bagio sengaja mengajak tamunya naik KA Probowangi karena dua hal. Pertama karena KA akan melewati dua buah terowongan kereta api peninggalan penjajah Belanda. Terowongan berusia lebih satu abad itu adalah terowongan Garahan, yang panjangnya kurang dari 100 meter (dibuat pada sekitar tahun 1902). Satu lagi yang konon termasuk salah satu yang terpanjang di Indonesia adalah terowongan Mrawan. Nyaris hampir 1 kilometer panjangnya dan dibuat pada tahun 1910. 

"Osama bin Laden" jualan kue di KA 
Yang kedua, sudah lama Pakde Bagio ingin memamerkan ‘heboh’nya para mbok bakul Pecel pincuk Garahan. Mereka dengan sigap melayani para penumpang KA yang berhenti di stasiun Garahan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Konon pecelnya huenaaak dan murah harganya. Ini sudah beberapa kali diposting dalam status pesbuk Pakde.


     Begitulah, namanya saja KA kelas ekonomi, maka hampir disetiap setapsiyun KA ini akan menclok. Barangkali lebih dari 15 kali. Yang juga unik adalah banyaknya pedagang asongan yang berseliweran dengan bebas merdeka didalam gerbong. Salah dua diantara pedagang yang saya jumpai sangat mirip dengan Osama bin Laden dan maestro keroncong kita yang sudah almarhum, mbah Gesang.


Pecel pincuk Garahan yang ‘mbledhos’ rasanya....
Mbok Bakul pecel Garahan in action.
     Ketika kereta api berhenti distasiun Garahan, terjadilah situasi menarik yang memang sengaja akan dipamerkan oleh Pakde Bagio. Begitu kereta berhenti, sontak dari segala penjuru menyerbu para pedagang nasi pecel. Kebanyakan tentu wanita. Mbok-mbok pecel ini tergolong gagah berani. Mereka berebut penumpang, ada yang hanya menawarkan dari luar jendela, ada yang berani menerobos kedalam gerbong. Hanya seharga 3.500 rupiah, sepincuk nasi pecel plus kerupuk akan bisa dinikmati. Pakde Bagio langsung menyambar salah satunya. Saya hanya bengong menyaksikan betapa dahsyat warna sambal pecelnya. Pasti rasanya vuueedaasss sekali. Ternyata dugaan saya betul. Pecel pincuk garahan rata-rata ‘mbledhos’ rasanya. Pakde yang katanya jago lombok saja sampai merah padam wajahnya demi demo makan pecel itu. Untung isteri saya membawa bekal gelas air minum mineral dari hotel. Juga masih ada sisa tape bakar semalam untuk mengusir rasa lombok yang membakar bibir Pakde Bagio.  “Korban demo pecel garahan” kata batin saya, tapi tidak berani tertawa melihat wajah Pakde yang seperti udang bakar. Dan untungnya lagi saya tidak terbius bujukan Pakde untuk ikut membeli. 

Menginjak tanah tarian ‘Gandrung’....

     Sekitar pukul sepuluh pagi KA Probowangi berhenti distasiun Kalibaru. Ini sudah masuk daerah Kabupaten Banyuwangi, daerah paling timur dari Jawa Timur. Turun di stasiun Kalibaru, mas Didit ternyata sudah menunggu. Kasiaaan deh luuuuu....

      Sepanjang jalan sang ‘tour leader’ mulai pidato lagi. Sebentar lagi para tamu akan dibawa melintasi gerbang perbatasan kota antara dua Kabupaten Banyuwangi dan Jember. Letaknya didaerah Gumitir. Ini adalah adalah nama sebuah bukit (ada yang menyebutnya Kumitir), dimana sekarang dibangun semacam ‘rest area’. Tidak lama kemudian memang sampailah para pesbukers lansia itu disebuah gerbang.  

Mantan penari 'Ledhek' beraksi
Terletak dipinggir sebelah kanan (dari arah Banyuwangi), bertepatan dengan sebuah tikungan jalan, ada semacam monumen artistik. Monumen atau gerbang perbatasan itu dihiasi dengan patung seorang wanita yang sedang gemulai menari. Itulah yang disebut sebagai penari Gandrung. Tarian tradisional daerah Banyuwangi yang sangat terkenal. Konon adalah perwujudan rasa syukur para petani sehabis panen (menuai padi). Barangkali bisa disamakan dengan tari Tayub dan Lengger di Jawa Tengah atau tari Ketuk Tilu di daerah Pasundan.

     Tentu saja para wisdom (wisatawan domestik) tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk narsis disini.  Saya dan isteri (juga Pakde Bagio) berfoto dengan gaya biasa saja. Akan tetapi Pak Nur Widodo berpose seolah sedang menari Gandrung dengan luwesnya. Melihat gayanya, siapa sangka Pak Nur ternyata pernah jadi penari ‘Ledhek’. Mudah-mudahan bukan mantan penari  ‘ledhek kethek’ (topeng monyet).
Hua hua hua hua.....mangaaap...sori kecap bos.


bersambung.......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar