Kamis, 07 Juni 2012

"DARI PAGILARAN SAMPAI GARAHAN" ( 2 )


PAGILARAN RIWAYATMU KINI....

(KISAH TOUR ‘WISKUL’ PESBUKERS LANSIA)

 Numpang nampang di Stasiun Pekalongan

-Bagian Kedua-


Pindah tempat duduk yang bikin sengsara

     Tepat pukul 07.30 pagi rangkaian KA Argo Muria mulai bergerak meninggalkan stasiun Gambir. Saya termangu sendirian memandang Jakarta yang mulai diguyur hujan. Duduk dengan santai dikursi yang ‘benar’ (artinya sesuai dengan nomer yang ada di tiket) sembari senyum-senyum sendiri mengingat ‘kecelakaan’ salah gerbong tadi. Kebetulan tempat duduk nomer 4 B disebelah saya kosong. Rencana ngobrol me-rame bertiga dengan sohib anyar berantakan gara-gara Pak Nur salah membaca tiket.
     Sekarang baru terasa perut mulai lapar. Nasi goreng yang ditawarkan petugas restorasi KA langsung saya sambar. Belum habis separo ketika hape saya bergetar. Suara Pak Nur nyaring terdengar:
”Ada tempat disini Pak Tony, harap segera pindah ke gerbong 2, no 10 ABC kosong. Kita bisa duduk ngobrol bertiga” begitu instruksinya.
“Siap bos, tunggu lima menit” jawab saya. Terpaksa nasgor saya kebut masuk perut.
      Saya bersiap ‘rokade’ dari gerbong 5 ke gerbong 2, melewati gerbong 4 dimana Bu Rum dan Pak Tur berada. Beliau berdua tidak tahu insiden gerbong tadi, jadi pasti akan tanya kalau melihat saya boyongan. Untung sekali beliau berdua sedang dibuai mimpi, duduknya mesra sekali. Benar-benar pasangan harmonis. Saya lewat gerbong 4 dengan selamat. Digerbong 2 Pakde Bagio dan Pak Nur menyambut kedatangan saya bak pahlawan menang perang. Gegap gempita. Trio lansia yang baru bertemu muka sekali ini langsung bercanda dengan dahsyatnya.
     Kereta berhenti di Stasiun Cirebon. Rupanya ada penumpang yang naik dari sini. ”Sampeyan nomor kursinya berapa?” Astagfirullah. Saya ingat, kalimat itu adalah pertanyaan Pakde Bagio kepada pemuda digerbong 5 tadi pagi. Kini pertanyaan itu terlontar dari penumpang baru dan (konyolnya) ditujukan kepada saya! Jelas saya kelimpungan, karena merasa duduk bukan ditempat yang layak. Saya lirik Pakde Bagio langsung cabut sambil cengengesan, kembali ketempat duduknya yang benar. Asem tenan ik, saya yang dikorbankan! Pak Nur berusaha menjelaskan duduk berdirinya perkara. Tapi sang empunya kursi bergeming. Dia tetap menuntut hak menduduki kursinya. Untung (orang Jawa selalu untung) masih ada dua kursi kosong didekat situ. Jadi Pak Nur dan saya pindah kursi lagi ketempat kosong itu. Belum sampai 3 jam, tragedi buah apel, eh, salah kursi sudah berulang. Tapi sekarang beda TKP  dan beda korbannya.

Bertemu dengan dokter “penggemar burung”

    Matahari sudah sepenggalah lebih tingginya ketika KA Argo Muria ‘mendarat’ di Stasiun Pekalongan. Saya tidak asing dengan stasiun tua yang sudah berdiri sejak tahun 1919 ini. Berada di Jl. Gajah Mada Pekalongan, gedung tua tapi antik ini awalnya adalah milik Semarang - Cheribon Stoomtram Maatschappij (SCS). Sampai kini masih tampak kokoh dengan arsitektur jaman kolonial yang tetap tak ketinggalan jaman. Sejuta kenangan manis dan buruk berkelebat. Tahun 70-an saat masih jadi Taruna AUP dulu, saya sering sekali naik turun di stasiun ini. Itu karena PKL Taruna AUP Semarang dilaksanakan disekitar laut Pekalongan.
     Turun dari gerbong mata saya sibuk mencari sopir penjemput yang dikirim oleh Bu Tuti. Rencana semula adalah, begitu turun dari kereta, kita berlima akan segera pesan tempat untuk perjalanan berikutnya. Bu Rum dan Pak Tur akan pesan tiket untuk kembali ke Jakarta, sedangkan Pakde Bagio, Pak Nur dan saya akan pesan tiket ke Surabaya, lanjut ke Jember. Sambil menuju keloket penjualan tiket, mata saya bersirobok dengan seorang wanita berjilbab memakai seragam Pemda yang wajahnya nampak tidak asing. Ternyata Bu Tuti malah meluangkan waktu untuk menjemput sendiri.
     Sewaktu bersalaman, sorot mata Bu Tuti menyiratkan sedikit keheranan. Mungkin pangling dengan wajah saya yang pasti lebih jelek dibanding foto profile saya di pesbuk. Ini memang “kopi darat” saya untuk pertama kalinya dengan Bu Tuti. Kalau Pakde Bagio dan Pak Nur sudah pernah bertemu dengan beliau sebelumnya. Disebelah Bu Tuti ada seorang pria sepuh dan seorang wanita berseragam dokter. Saya langsung menebak, ini pasti dokter Penny. Teman pesbuker yang tinggal di Pekalongan. Inilah dokter wanita yang menurut info dari Bu Tuti lewat pesan BBM adalah seorang “penggemar burung”. Ternyata yang dimaksudkan (tentu sebagai gurauan) adalah karena bu dokter Penny adalah ahli vasektomi!  Info berharga ini tentu juga saya sampaikan pada Pakde Bagio dan Pak Nur sebagai sesama laki-laki. Oleh sebab itu ketika hendak bersalaman dengan bu dokter, kita bertiga langsung mengambil sikap “ngapurancang”  (menempatkan kedua telapak tangan diantara pangkal kaki). Sikap hormat ‘wong Jowo” ini memang seolah melindungi ‘sesuatu’ dibaliknya. Tentu saja sikap itu segera meledakkan tawa kita bersama. Bu dokter meski ikut tergelak tapi tampak tersipu-sipu malu. Baru bertemu sudah kena skak, walau tidak sampai mat. Adapun pria sepuh yang ikut menjemput adalah Pak Hadi, seniman lukis yang pernah ngantor di Setneg. Setelah pangsiyun beliau memutuskan untuk menetap dikota Batik yang jauh lebih tenang daripada hiruk pikuknya ibukota.

‘Soda gumbira’ dan teh poci yang lambat datang....

     Urusan tiket akhirnya beres. Bu Rum dan Pak Tur akan kembali keesokan hari dengan kereta Argo Muria yang datang dari Semarang. Sedangkan trio lansia yang lain terpaksa memilih KA Sembrani dari Jakarta menuju Surabaya yang tiba di Pekalongan tengah malam. KA Sembrani yang dipilih karena isteri saya akhirnya memutuskan untuk menemani saya pergi ke Jember. Dia berangkat dari Jakarta juga dengan naik KA Sembrani itu. Nantinya kita bertemu didalam kereta di Stasiun Pekalongan.
      Sebelum beranjak meninggalkan setapsiyun (istilah khas buatan Pakde Bagio) tidak lupa melakukan ritual wajib pesbukers: berfoto dengan latar belakang stasiun! Kata Pak Tursilo,  orang yang difoto tidak penting. Yang lebih penting adalah latar belakang fotonya! Narsis ria me-rame terlaksana penuh gelak tawa. Selanjutnya rombongan tamu lansia diangkut dengan dua mobil dan diajak keliling kota untuk....makan siang. Ini memang saat yang ditunggu-tunggu. Terutama Pakde Bagio yang sudah gelisah. Maklum badan ukuran ekstra besar pasti “isi”nya juga harus banyak. Terakhir ‘isi bensin’ kan hanya sepiring nasgor di Stasiun Gambir jam 6.30 pagi tadi.
     Sempat salah jalan, rombongan pesbukers lansia akhirnya sukses digiring masuk rumah makan. Yang dipilih gaya lesehan dilantai dua RM “Selaras”. Menupun diedarkan. Semua sepakat mengambil menu ayam kremes dan Gurame bakar, serta cah kangkung kecuali.....Pakde Bagio! Entah biar tampak beda entah memang hobi, beliau memilih menu nasi goreng (lagi! Jabang bayiiik!!). Tapi yang ini nasgor jamur dilengkapi pesanan minuman soda nan gembira. Saya membatin, sarapan nasgor, makan siang nasgor....jangan-jangan nanti santap malam Pakde nuntut makan nasgor juga.....bisa kelabakan tuuh panitia.
     Tapi ternyata Pakde memang paling beruntung. Sajian nasi goreng jamur keluar lebih dulu lengkap dengan soda gembiranya! Menu lain masih harus menunggu. Termasuk pesanan minuman yang lain: teh poci! Padahal bukan hanya perut yang meronta, kerongkongan juga sudah sangat kering minta diguyur air. Sewaktu akhirnya menu pesanan semua keluar dan bablaasss sampai bersih tandas, teh poci belum keluar juga. Mungkin pocinya sedang dibeli di Tegal!
     Seusai makan, dokter Penny pamit untuk kembali bertugas. Rupanya beliau bergabung tadi hanya untuk mentraktir makan siang! Terima kasih dokter. Maka rombongan kini hanya memakai satu mobil saja menuju Pagilaran. Pak sopir memilih jalur alternatif menuju kebun teh dengan melewati jalan berliku-liku. Hujan mulai turun rintik-rintik. Mobil yang disesaki 8 orang (6 orang diantaranya lansia) penuh dengan gelak tawa sepanjang jalan. Apalagi ketika Pakde Bagio minta turun dipasar untuk mencari cadangan.....CD. Semua terbahak-bahak membayangkan Pakde mencari : ’onderdil’ ukuran XXL itu di toko pakaian anak-anak.

Pagilaran nan menawan dengan...gethuk ’parutan klopo’.....

     Dan inilah rupanya perkebunan teh PT. Pagilaran yang beken itu. Warna kehijauan mendominasi pemandangan berupa kebun teh yang ditanam dengan teknik terasering. Udaranya sejuk segar dan (pastinya) menyehatkan. Tapi menurut perasaan saya, kawasan Puncak lebih dingin hawanya. Bahkan malam hari di Pagilaran saya masih sanggup tidur tanpa selimut. Setelah mendapatkan kamar masing-masing di Villa Alamanda II, sore itu kami habiskan dengan mengobrol diruang tamu dengan aneka canda ria. Semua tertawa gembira karena....dapat jatah kaos batik seragam dari Bu Tuti. Rencananya kaos batik itu akan dipakai untuk senam pagi keesokan harinya.
     Malam harinya rombongan pesbukers lansia diajak menuju ruang makan  Gedung Pertemuan yang terletak agak keatas, mendekati areal pabrik teh. Katanya akan digelar acara bebas sambil menikmati santap malam. Diruangan itu memang tersedia meja makan panjang, lengkap dengan menu makan malam, satu set organ dan layar OHP. Saya memang khusus diundang untuk berbagi pengalaman dengan para peserta Bimtek yang rata-rata masih berusia muda. Entah dengan alasan apa Bu Tuti memberikan tugas itu kepada saya. Padahal banyak senior yang malam itu juga hadir. Tentu beliau-beliau juga punya pengalaman segudang. Lebih malah.
     Namanya juga acara bebas, sewaktu memasuki ruangan, organ tunggal sudah mulai disetel. Jadi acara bebas menyanyi sudah bisa dimulai. Pada dasarnya Bu Tuti memang hobi menyanyi. Bahkan sudah rekaman, walau untuk konsumsi kalangan sendiri. Jadi beliau mulai menyanyi. Suasana berubah seketika. Para lansia yang tampaknya juga punya bakat terpendam, langsung ikut rengeng-rengeng (menyanyi pelan-pelan). Pak Hadi tampil berikutnya. Dasar seniman, suaranya dahsyat merdu menggelegar. Menghangatkan ruangan yang hawanya semula dingin.
     Ketika ada tuntutan bahwa semua tamu harus nyanyi, maka satu persatu (solo) atau satu perdua (duet) mulai maju. Bahkan ada yang satu pertiga (trio)! Suaranya rata-rata bagus lhooo. Pak Nur duet dengan Pak Tur, lalu trio karena Bu Ruminah akhirnya juga tampil. Tapi ada satu yang mbekengkeng (bersikukuh) tidak mau maju menyanyi sendiri. Yang dipilih adalah maju sebagai backing vocal. Memang pantes sih, sebab sosoknya yang tinggi besar memang pas kalau berdiri dibelakang sang penyanyi sebagai latar. Bwuahahahahaha....sori kecap Pakde.....!!
      Saya akhirnya jadi juga bicara untuk berbagi pengalaman. Sebab tak akan mungkin bagi saya berbagi penghasilan. Lha wong untuk datang ke Pagilaran saja menunggu rapelan uang pangsiyun keluar. Intinya saya mengingatkan generasi muda sekarang bahwa yang penting dalam bekerja adalah rasa ikhlas, jujur, tekun dan ‘nrimo ing pandum’ (menerima ‘jatah’ dari Allah Swt). Sebuah falsafah hidup yang kini nyaris terlupakan, karena generasi sekarang lebih suka yang serba instan. Alias saknalika. Ini yang membuat orang lebih mudah melanggar aturan karena ingin cepat berhasil. Tidak heran kalau sekarang korupsi dilakukan secara berjama’ah.
     Malam semakin larut,  tapi ruangan semakin panas karena anak buah bu Tuti mulai ‘turun’. Ternyata hampir seluruhnya pintar menyanyi, utamanya lagu dang dut. Maka ruangan pun hiruk pikuk dengan suara lagu dang dut ditambah mereka yang turun joged. Sekarang meja makan telah disulap menjadi meja aneka kudapan. Antara lain makanan khas daerah Jawa Tengah dan pala kapendhem. Semua menarik selera. Para tamu asyik bercanda ria karena kehadiran pesbukers dari ‘white water’ alias Banyu Putih. Itulah Bu Endang Ningsih alias bu Bidan alias bu Dokter. Lho koq bisa? Ya bisa, tanya sendiri pada bu Endang, kenapa gelarnya bisa cam-macam begetooo....
     Sebagai tuan rumah yang baik, Bu Tuti berusaha memberikan pelayanan yang terbaik. Kalau perlu menyuguhkan kudapan langsung dari tangannya sendiri.
“Mas Koes dan Pak Nur. Ini ada gethuk lho, monggo dipun kedhapi (ini ada gethuk, silakan dicicipi)” katanya sembari menyorongkan dua piring kecil berisi kudapan yang disebutnya gethuk tadi. Gethuk adalah kudapan yang terbuat dari singkong atau tela pohung (seperti lirik dalam lagu ‘gethuk’ itu).  Biasanya disajikan dengan ditaburi parutan kelapa. Saya menerimanya dengan penuh suka cita. Gethuk adalah kudapan favorit saya. Gethuk buatan daerah pedalaman Jawa biasanya sangat mempur dan lezat. Maka tanpa tanya ba atau bu lagi gethuk itu saya sikat. Semula agak heran, koq rasanya tidak seperti gethuk biasa. Saya lihat Pak Nur juga agak ragu. Pakde Bagio berusaha mencari sang gethuk diantara taburan parutan kelapa dengan membolak balikkan isinya. Tapi tetap aneh saja rasanya. Saya pikir gethuk Pagilaran memang dibuat sangat mempur seperti ini. Agar tidak membuat tuan rumah kuciwa, kudapan istimewa itu amblas juga ditangan saya.
     Setelah itu baru timbul kegaduhan. Gara-garanya ada kudapan yang bernama lemet. Kudapan yang rasanya manis ini terbungkus daun pisang dan dibuat dengan cara dikukus. Didaerah lain, lemet disajikan begitu saja dan langsung bisa disantap. Tapi di Pagilaran, lemet disajikan dengan ditambahi taburan parutan kelapa.  Disinilah terbongkarnya kisah ‘gethuk’ yang disajikan oleh Bu Tuti tadi. Rupanya yang saya makan tadi adalah kelapa parut itu. Tidak ada gethuknya sama sekali. Lha wong memang yang disajikan itu adalah benar-benar parutan kelapa, asli dan murni lhooo.
     Saknalika saya terbeliak sontak mendadak. Jadi yang saya lahap sepiring kecil penuh tadi........Masya Allah. Karena terbuai lagu dangdutan, saya memang melahap ‘gethuk’ jadi-jadian itu sampai tandas ludas. Pak Nur mungkin cuma habis separo saja, itu karena curiga tidak menemukan secuilpun gethuk dipiringnya. Gelak tawa cekakakan meledak diruang makan itu. Bu Tuti yang bertanggung jawab mengedarkan ‘gethuk’ tadi berusaha setengah hidup untuk minta maaf.
     Tapi tiada maaf bagimu bu, lha kalau besok pagi saya kreminen, siapa yang tanggung jawab? Hayoooo......!!!



     bersambung........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar