Kamis, 07 Juni 2012

"DARI PAGILARAN SAMPAI GARAHAN" ( 1 )


NAIK KERETA API....SALAH GERBONG

(KISAH TOUR ‘WISKUL’ PESBUKERS LANSIA)

Para Pesbukers Lansia bertemu di peron Stasiun Gambir

-Bagian Pertama-

PROLOG:
Buka akun di “Pesbuk”.

     Mark Zuckerberg pasti bukan mahasiswa yang “sak baene” (lumrah). Mungkin malah seorang jenius yang ‘extra ordinary’. Ditahun kedua kuliahnya di Universitas Harvard, Amerika Serikat, dia telah berani meretas komputer milik universitas kondang itu. Hanya untuk mengumpulkan foto dan identitas mahasiswa seluruh Harvard. Data tersebut kemudian disebarkannya melalui dunia maya. Nyaris saja dia dikeluarkan karena dianggap melanggar hukum. Untung ada pertimbangan lain. Mark kemudian meluncurkan situs jejariing sosial didunia maya yang diberi nama “Facebook”. Dioperasikan oleh ‘Facebook, Inc’ jejaring sosial yang telah diluncurkan sejak tahun 2004 itu langsung menyebar seperti wabah keseluruh penjuru dunia.
     Menjelang ‘pangsiyun’ sekitar tahun 2007, saya memutuskan membuka akun dijejaring sosial yang paling populer sejagad itu. Di kalangan ‘gaul’ Indonesia, Facebook sering dipelesetkan (dan lebih populer) sebagai “Pesbuk”. Anggotanya kemudian disebut sebagai “pesbukers”. Saya membuka akun bukan untuk gagah-gagahan. Saya merasa perlu untuk membuat semacam ‘networking’ sendiri setelah selesai menjalankan tugas sebagai abdi negara. Menurut hemat saya,  networking terbagus didunia maya waktu itu hanya pesbuk.
     Semula banyak yang mencibir dan mengolok-olok. Termasuk keluarga dan anak-anak saya. Manusia setua saya koq masih ‘pethakilan’ bergaul seperti anak muda. Apalagi banyak yang menganggap ‘pesbuk’ sebagai ajang yang serba negatif. Saya bergeming. Ibarat sebatang pisau, ditangan seorang koki pisau akan berguna untuk menciptakan hidangan yang lezat. Sebaliknya ditangan kaum penjahat, pisau bisa berubah menjadi senjata yang mematikan. Tentu saya juga pilih-pilih teman. Saya punya kriteria sederhana saja. Mereka yang membuka akun dengan memakai nama asli dan berani memasang foto profil wajahnya sendiri, biasanya adalah pesbukers yang jujur dan apa adanya. Tidak neko-neko lah. Sebaliknya banyak yang merasa perlu pakai nama samaran, bahkan menyembunyikan wajahnya. Pesbukers semacam ini saya anggap sebagai anggota yang patut dipertanyakan niat baiknya. Mau berteman (walau hanya didunia maya) koq tidak mau membuka jati dirinya.
     Para pesbukers sendiripun akhirnya seperti terseleksi secara alamiah. Mereka yang bisa ‘nyambung’ ketika membuat status atau memberikan komen, biasanya akan terus mengelompok. Tanpa diminta, tanpa dipaksa. Otomatis begitu saja. Oleh sebab itu usia juga menjadi pertimbangan dalam menerima teman. Kalau “theklek nang krikilan” pasti tak akan bisa klop dengan “sinom gandrung wuyung”. Maksud saya “Wong tuwek sing isih pethakilan” (orang tua yang banyak tingkah) tak bisa berteman dengan “Bocah enom sing seneng ubyang-ubyung” (anak muda yang masih suka bermain kesana kemari). Walaupuin pasti juga ada perkecualiannya. Namanya juga manusia.
     Dalam waktu tak terlalu lama saya sudah punya ribuan teman. Yang terbanyak tentu teman seusia. Tapi ternyata banyak juga anak-anak muda yang tertarik kepada posting, link, status, komentar atau foto-foto yang saya unggah. Akhirnya mereka juga minta berteman. Apa boleh buat, bakso kambing bulat-bulat.
      Salah seorang teman akrab saya di “dumay” (dunia maya) itu adalah seorang wanita yang menjadi Pejabat cukup penting di Kabupaten Batang. Namanya ibu Kusumastuti Setyaningsih. Di pesbuk dipanggil sebagai Bu Tuti atau mBak Tut. Saya lebih suka memanggilnya dengan jeng Kus. Karena saya memang lebih tuwir.

Undangan dari mBatang. 

     Suatu hari sebuah pesan BBM dari Jeng Kus muncul diperangkat BlackBerry saya:
“Mas Koes, mohon dipersiapkan waktu barang sehari dua hari. Saya ingin mengundang Mas Koes ke Batang untuk sebuah acara. Pakde Bagio dan Pak Nur Widodo sudah oke. Hal2 lain menyusul”.
Saya menjawab singkat:
”Siap Bu Komandan! Acara apa dan dimana ini?”.
“Acara Bimtek Pengelolaan Perpustakaan Khusus Dinas/Instansi. Tempatnya di Kebun Teh Pagilaran, Batang”.
Pagilaran? Nah, ini dia. Pucuk dicita teh tiba.
     Sudah sejak lama saya mengenal nama Pagilaran. Sewaktu jadi Protokol (kemudian  ‘naik’ jadi Ajudan) Gubernur Jawa Tengah, saya sudah keliling seluruh daerah dan kota di Jawa Tengah. Termasuk sampai ke pelosok desa Petungkriono didaerah Kabupaten Pekalongan. Namun belum sekalipun saya sempat singgah di Pagilaran yang berada didaerah Kabupaten Batang.
     Dikemudian hari, besan saya sering sekali mengajak pergi keluarganya ke Pagilaran untuk berwisata.  Besan saya orang asli Kudus tapi beristrikan orang Pekalongan, yang dekat dengan kota Batang dimana kebun teh Pagilaran berada. Saya pernah juga diajak ke Pagilaran, tapi waktunya belum pernah bisa cocok.
     Terletak diketinggian sekitar 1.000 sampai 1.500 meter dari permukaan tanah, Pagilaran adalah sebuah perkebunan teh yang mempunyai pemandangan indah menawan. Pada tahun 1880, seorang ‘meneer’ (Bld: mijnheer, tuan) Belanda membuka lahan perkebunan kina dan kopi di Pagilaran yang masuk wilayah Desa Keteleng, Kecamatan Blado, Kabupaten Batang. Karena hasil kebun kina dan kopi tidak maksimal, pada tahun 1899 perkebunan  itu dibeli oleh Pemerintah kolonial Belanda dan diubah menjadi perkebunan teh. Pada tahun 1922 perkebunan teh itu dibeli oleh Pemerintah Inggris. Hak Guna Usaha perkebunan itu kemudian jatuh tempo pada tahun 1964 dan dikuasai oleh Pemerintah RI. Pada tanggal 23 Mei 1964, keluar Skep Menteri PTIP yang menyerahkan pengelolaan perkebunan teh itu kepada Fakultas Pertanian UGM. Skep Menteri PTIP itu masih berlaku sampai sekarang. Tanggal 23 Mei kemudian ditetapkan sebagai hari jadi PT. Pagilaran. Sejak diambil alih oleh Pemerintah RI, Kebun Teh Pagilaran ditetapkan sebagai Perusahaan Negara (PN). Namun kemudian pada tanggal 1 Januari 1974 diubah lagi statusnya menjadi Perseroan Terbatas (PT).

Ke Pagilaran karena ‘pesbuk’.

     Walau sudah pangsiyun dan menjadi golongan lansia, saya tetap aktif dalam kegiatan sosial. Salah satunya dengan membuka akun dijejaring sosial Facebook. Terkenal dengan julukan “Pesbuk”, ternyata anggotanya banyak juga yang telah lanjut usia. Pertemanan di ‘Dumay’ (dunia maya) itu memang unik. Ada yang serius dan ada yang hanya main-main saja. Bahkan ada yang tega menggunakannya untuk melakukan tindakan kriminal. Saya sangat selektif memilih teman dumay. Yang paling sering saya terima adalah yang usianya kira-kira nyaris sama, atau tak banyak beda dengan usia saya. Bermacam profesi ada disitu. Tapi teman dumay saya di pesbuk kebanyakan memang kaum lansia. Yaitu mereka  yang sudah ‘uzur’ tapi masih mau ‘eksis’ mengekspresikan dirinya. Biar tua asal narsis.
     Tak terduga beberapa pesbukers (anggota pesbuk) menjadi sangat akrab berteman. Meski hanya saling menyapa didunia maya. Sayapun mempunyai teman akrab yang jumlahnya cukup banyak. Dari bermacam usia, jenis kelamin dan profesi. Seperti yang saya utarakan di ‘prolog’, salah satu teman di ‘dumay’ adalah ibu Kusumastuti Setyaningsih. Beliau salah seorang Pejabat yang masih aktif di Kabupaten Batang. Sebagai Kepala Perpustakaan Daerah, idenya sungguh terkadang mengejutkan. Tapi sangat positif. Terutama untuk teman-teman beliau yang boleh dibilang “pesbukers lansia”. Entah karena kasihan lihat pangsiyunan menganggur, entah karena kepeduliannya yang sangat tinggi. Beliau sering mengadakan acara ‘pul-kumpul (asal) bermanfaat’.
     Yang sudah pernah diundang menghadiri acara di Batang antara lain Pakde Bagio, dedengkot pesbuker dari Jember. Walau sudah pangsiyun sebagai ‘jubir’ Universitas Negeri terkenal dikotanya, Pakde tetap aktif bermasyarakat. Utamanya di perkumpulan para pensiunan PNS (wredatama) yang disebut PWRI. Status dan komennya di pesbuk sangat menggelitik dan kocak. Beliau katanya cuma punya satu teman, tapi teman yang satu ini punya teman lagi yang buuuaaaanyaaaak buanget. Jadilah Pakde punya ‘gerombolan’. Hehe persis kayak nyamuk. Sori kumendan! Lalu ada Pak Nur Widodo dari Larangan,  Cileduk, Kabupaten Tangerang. Beliau juga sudah pernah diundang bu Tuti ke Batang. Priyayi Yogya yang kelihatan ‘kalem’ (sak kal gelem?) ini sangat santun. Tapi kalau keluar kumat nya, ya sama saja dengan Pakde Bagio. Bisa cekakakan seharian. Sori bos!
     Awal tahun 2012 ini saya sudah menerima pesan BBM beberapa kali dari bu Tuti (saya sendiri memanggil beliau dengan panggilan jeng Kus), agar menyiapkan waktu (dan sangu) untuk pergi ke Batang. Katanya ada penataran atau bimtek yang butuh dihadiri para lansia untuk menumbuhkan motivasi peserta. Katanya Pakde Bagio dan Pak Nur sudah committed, dan siap hadir. Saya sendiri akan diundang untuk membagi pengalaman buat para peserta. Kalau hanya membagi pengalaman sih saya pasti mau, pakai banget lagi. Yang saya tidak bersedia itu kalau harus membagi penghasilan. Manalah mungkiiiin....saya hanya seorang kapiten...eh pangsiyunan.
     Akhirnya hari dan tanggal sudah bisa dipastikan. Yaitu hari Senin dan Selasa, tanggal 7 dan 8 Mei 2012. Memang bukan hari libur, alias hari kerja. Tapi mana ada pangsiyunan yang peduli pada hari kerja? Kan semua hari sudah jadi hari libur? Yang diperlukan sekarang hanya ‘amunisi’ nya saja. Kebetulan rapelan gaji (dan uang pangsiyun) akan diberikan pada awal bulan Mei. Jadi tampaknya semua beres. Tapi nanti dulu, Jeng Kus rupanya masih mencoba nambah undangan lansia lagi. Saya usulkan nama ibu Ruminah Tursilowisanto. Beliau adalah salah seorang pesbukers lansia yang sangat peduli sesama. Bu Tuti alias Jeng Kus setuju dengan catatan, saya yang harus menghubungi bu Ruminah. Segera saya kirim pesan BBM kepada Bu Rum. Jawabannya mengejutkan, “Siap hadir kalau diijinkan datang beserta suami”. Jeng Kus ternyata tidak keberatan, karena katanya masih tersedia banyak kamar. Beberapa teman pesbukers yang berdomisili sekitar Pekalongan juga saya beritahu. Sayang banyak yang tidak bersedia karena bukan hari libur. Akhirnya saya membuat kesepakatan hanya dengan bu Rum dan Pak Nur untuk berangkat bersama-sama naik kereta api Argo Muria jurusan Jakarta-Semarang dan turun di “setapsiyun” Pekalongan.

Senin pagi tanggal 7 Mei 2012.
“Empat sekawan” bertemu muka dan insiden ‘salah gerbong’....

     Ternyata yang masih ‘merkengkong’ (berantakan) itu rencana Pakde Bagio. Semula rencana beliau akan berangkat ke Pekalongan dari Bandung dengan KA Harina jurusan Semarang. Tapi KA ini sampai dikota Pekalongan masih sekitar jam 3 pagi dinihari. Kuatir menunggu di ‘setapsiyun’ sendirian dipagi gelap, Pakde Bagio kemudian memutuskan untuk lewat Jakarta saja. Tiket KA Pakde Bagio diatur oleh Pak Nur, termasuk akomodasi semalam dirumah beliau.
      Sehabis sholat subuh saya langsung berangkat. Menghindari kemacetan karena bukan hari libur. Sampai di stasiun Gambir masih sepi. Saya celingukan, mencoba mengenali orang-orang disekitar. Maklum namanya teman dunia maya, jadi belum pernah bertemu muka. Di pesbuk kan hanya lihat fotonya. Ya kalau fotonya asli, kalau palsu kan bikin kuciwa dan mungkin susah mengenali. Saya telepon ke hape Bu Ruminah, tidak diangkat. Lalu ke hape Pak Nur. Kali ini Pak Nur menjawab kalau beliau dengan Pakde sedang sarapan di kafe. Saya segera nyusul ke kafe. Pakde Bagio mudah dikenali sosoknya, karena persis dengan yang di foto profilnya. Apalagi posturnya yang XXL itu. Sedangkan Pak Nur Widodo saya kenali karena kacamata (baca) nya. Waktu belum menunjukkan pukul tujuh pagi, tapi pak Nur sudah menghabiskan segelas besar jus alpukat! Pakde Bagio masih asyik melahap sepiring nasi goreng. Saya belum lapar jadi memilih menonton saja beliau berdua menikmati sarapan ala masing-masing.
     Selesai sarapan kita memutuskan mencari Ibu Ruminah dan suaminya. Maka naiklah kita menuju jalur sepur 4 dimana KA Argo Muria nanti berada. Karena sama sekali belum pernah bertemu muka, saya mencari kesebelah kanan dan Pak Nur kesebelah kiri. Ternyata Pak Nur lebih jeli, maklum beliau punya empat mata!
     Maka bertemulah kita, empat sekawan pesbukers lansia untuk yang PERTAMA kalinya. Face to face. Aneh bin ajaib, pertemuan itu layaknya orang yang sudah berteman sangat lama. Langsung akrab dan nyambung. Apalagi Pak Tursilo (suami bu Ruminah) ternyata juga priyayi Jawa yang grapyak semanak. Baru ketemu sudah cekakakan bersama. Tidak lupa juga langsung ‘narsis’ bersama. Foto dengan latar belakang emplasemen setapsiyun Gambir. Namanya juga pesbukers, harus narsis. Dimanapun, kapanpun!
     Tibalah saatnya naik ke Kereta. Bu Rum dan Pak Tur dapat gerbong nomer 4, saya, Pak Nur dan Pakde Bagio dapat gerbong nomer 5. Tidak terlalu jauh. Tapi apa yang terjadi saudara-saudara? Setelah membeli tiket beberapa hari sebelum keberangkatan, saya sudah memberitahu pak Nur bahwa saya mendapat tempat duduk di gerbong eksekutif nomer 5. Nomer kursinya 4 A. Alhamdulillah pak Nur yang membeli tiket disalah satu cabang Mini Market terkenal, (katanya) mendapat tempat duduk di gerbong no 5 juga. Jadi kita bisa satu gerbong. Hanya nomor kursi yang berlainan. Pak Nur dan Pakde bagio mendapat kursi nomer 8 C dan D. Bu Rum sempat iri dengan ‘keberuntungan’ kita bertiga itu.
     Namun apa lacur, ketika tiba dikursi nomer 8 C dan D itu, ternyata sudah ada ‘penghuni’nya. Saya agak kaget dengan kejadian nomer kursi dobel  itu. Pakde Bagio langsung bertanya dengan gaya Maduranya:
Sampeyan nomor kursinya berapa?”
“Nomer 8 C dan D pak” jawab pemuda yang sudah enak duduk dikursi itu. Wajahnya tampak ‘ciut’ memandang tiga laki-laki seram yang mengeroyoknya.
“Gerbong berapa?” tanya Pak Nur. Kami bertiga sudah langsung pasang sungu (tanduk) dan ‘mendelik’ (melototkan mata).
Koq tempat duduknya bisa dobel?” Pakde Bagio mulai meradang. Saya juga mulai ‘naik’ tensi. Wah, ada yang gak beres nih.
“Maaf, bapak-bapak kursinya nomer berapa?” anak muda itu bertanya ragu-ragu.
Pak Nur dengan segera melihat tiket ditangannya. Lalu memberikannya kepada pemuda itu untuk dilihat.
Lho, tiket bapak ini di gerbong nomer 2” kata anak muda itu dengan nada menang perang.
Berebut kita memelototi tiket yang kini ada ditangan Pak Nur lagi.
Whaaaat???? Mungkin muka saya merah padam karena malu. Pak Nur salah baca? Aha, tiwas mata mendelik mendelik cak!! Isiiin akuuuuu.....
Sebelum ditertawakan orang, kami bertiga langsung cabut. Bahna malu. Lha wong angka 2 koq dibaca sebagai angka 5! Emangnya baru lulus kursus buta huruf?
Bertiga kita tertawa cengengesan sambil meninggalkan TKP yang memalukan itu. Saya menuju ketempat duduk saya yang “sli asli” di gerbong 5 itu. Pak Nur dan Pakde Bagio harus meneruskan perjuangan mencari tempat kedudukannya, pindah ke gerbong nomer 2 sesuai yang tertera di tiketnya. .
“Awas jangan melarikan diri ya? Kalau nanti digerbong 2 ada tempat kosong, Pak Tony pindah kesana ya?” ancam Pak Nur sambil berlalu.
Haiyaaaa....dia yang salah baca, lha koq malah saya yang diintimidasi!

    
     bersambung......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar