Jumat, 15 Juni 2012

"DARI PAGILARAN SAMPAI GARAHAN" ( 11 )


TIGA LANSIA DAPAT 'SANGU' TAPE mBONDOWOSO....

(KISAH PETUALANGAN KULINER TIGA LANSIA PANGSIYUNAN)

Mborong oleh-oleh khas mBondowoso....

-Bagian Kesebelas-

Melihat Monumen “Gerbong Maut”

      Tiba diteras depan kantor Bupati, Bos Bond minta ijin mengambil mobilnya diparkiran khusus pejabat. Kijang Pakde ternyata masih diparkir di ‘kantor sebelah situ’ tadi. Sepertinya sopir malas banget memindahkan mobil. Jadi sopir koq malas. Saya bayangkan “Bos Bond” datang didalam sebuah sedan mewah khas Pejabat Daerah dengan sopir dan ajudan.

     Sebuah minibus warna gelap datang mendekat. Ternyata itulah mobil dinas Bos Bond. Dan beliau duduk dikursi pengemudi. Weee lhaa kojuuur...Setap Ahli koq nyopir sendiri, batin saya. Untuk menghormati beliau, saya dan isteri ikut menumpang dalam mobil dinas itu.
“Nanti kita berhenti sebentar didepan Monumen itu. Sambil foto-foto. Kan lumayan bisa di up load masuk pesbuk” kata Bos Bond. Entah nyindir entah apa. Mobilpun diparkir dipinggir jalan dekat alun-alun. Pakde dan sopirnya, eh, maaf, Pak Nur ikut parkir dibelakangnya.
'Bos Bond' dan tamunya di monumen "Gerbong Maut"
     Terletak ditengah jalan diantara alun-alun kota dan Kantor Bupati Bondowoso, tegak berdiri sebuah monumen berbentuk gerbong barang Kereta Api jaman doeloe. Alkisah, pada sekitar bulan November 1947, penjara Bondowoso sudah over belast (kelebihan penghuni). Oleh sebab itu Letnan Dua (Marinir) J van den Dorpe selaku penguasa militer Bondowoso memerintahkan Kepala penjara Bondowoso untuk memindahkan sebagian besar tahanan ke Penjara Kalisosok yang berada di Surabaya. Pemindahan tahap pertama dan kedua yang dilakukan dengan kereta api berhasil dengan baik. Pada pemindahan tahap ketiga yang terjadi tanggal 23 November 1947, ada sekitar 100 tawanan ‘ekstrimis’ pribumi yang juga akan dipindahkan ke penjara Kalisosok Surabaya. Menurut almanak Jawa, tanggal itu bertepatan dengan hari Selasa Kliwon. Entah kenapa dalam sejarah yang ditulis disebut sebagai hari Sabtu. Ini perlu diluruskan, tanggal atau harinya yang keliru, karena menyangkut sejarah.

      Tawanan yang dituduh oleh pemerintah kolonial sebagai orang-orang yang melakukan “subversieve activiteit” (gerakan subversif) itu diangkut dengan menggunakan 3 (tiga) gerbong kereta api yang biasa dipakai mengangkut barang. Sebanyak 32 orang dimasukkan dalam gerbong nomor GR 5769, yang 30 orang lagi dijebloskan kegerbong kedua yang bernomer GR 4416. Sisanya yang 38 orang dimasukkan digerbong terakhir bernomer GR 10152. Seluruh gerbong digembok dan ditutup rapat tanpa ada ventilasi. Para tawanan itu bagaikan ‘diungkep’ (dimasak dalam tempat tertutup).

      Ketika tiba di stasiun Wonokromo sekitar 16 (enam belas) jam kemudian, banyak tawanan yang (karena kekurangan udara/oksigen) menjadi korban sampai meninggal dunia.  Jumlah korban meninggal dari semua gerbong berjumlah 44 orang (ada yang menyebut jumlahnya sampai 46 orang). Bahkan tawanan yang berada digerbong tiga (nomer GR 10152 berisi 30 orang) SELURUHNYA meninggal, gugur sebagai bunga bangsa. Itu sebabnya kemudian disebut sebagai peristiwa “GERBONG MAUT”. Replika (tiruan) dari 3 gerbong tersebut kemudian dijadikan sebagai Monumen Perjuangan. Satu gerbong dipajang di Bondowoso, satu di stasiun Wonokromo dan yang satu disimpan dimuseum Brawijaya Malang. Monumen di Bondowoso ini menjadi satu-satunya saksi bisu, karena saksi bisu yang lain, yaitu Stasiun Bondowoso kemudian dinyatakan ditutup sejak jalur kereta api dari dan kekota Jember “dibunuh” sendiri oleh PJKA (kini PT KAI).
     Tiga lansia ‘plus’ (ditambah isteri saya) sempat pula berfoto di depan monumen bersejarah kelam itu. Bahkan yang jadi ‘tukang potrek’ nya adalah Staf Ahli Bupati Bondowoso. Opo ora heiibaaat? Betapapun, saya berfoto sambil bergidik mengingat korban meninggal yang lebih dari 40 orang tersebut.

Oleh-oleh (gratisan) tape khas mBondowoso....

      Hari semakin sore, kota Bondowoso mulai temaram. Sambil menyetir, Pak Bond, eh Bos Bond terus berkisah tentang kota Bondowoso yang ternyata terletak bagai sebuah poros. Jaraknya dari kota Jember sekitar 30 KM. Begitupun jaraknya kekota Besuki, kota yang pernah jadi ibukota Karesidenan itu. Sayang tak cukup waktu untuk menengok pula kota Besuki yang plat nomor Polisinya “P” itu. Kota Besuki kini kalah pamor dengan kota ‘sempalan’nya, Bondowoso.

      Saat adzan magrib berkumandang, tamu lansia sudah sampai dirumah dinas Pak Bambang Dwi Aguswidadi “Bond”. Rumah dinas yang dikelilingi kolam ikan ini ternyata sudah dihuni lama sekali. Sejak Bos Bond bertugas sebagai Kepala Dinas Perikanan. Rumahnya sederhana tapi penuh dengan pernak pernik barang antik. Menggambarkan jiwa sang pemilik (barangkali). Dirumah itulah tamu lansia diperkenalkan dengan ibu Bambang yang ternyata ramah luar biasa. Walaupun baru bersua, bu Bambang menyambut tamunya bak keluarga sendiri. Ramah dan hangat.

      Sewaktu akan pamitan sesudah sholat magrib, beliau berdua ternyata masih berhasil ‘memaksa’ tamunya untuk mengikuti ‘tur malam hari’. Entah kemana. Perjalanan malam (yang bukan mi’raj) itu ternyata mengelilingi kota mBondowoso. Kota kecil sejuk dan tenang ini diwaktu malam semakin menghanyutkan. Pantas saja kalau kota ini mempunyai julukan “Kota Pensiunan”.

      Tapi julukan yang lebih kondang adalah “Kota Tape”. Konon tape mBondowoso terkenal legit dan manis. Walaupun tape cukup terkenal sebagai nama sejenis ‘nyamikan’, tapi baiklah saya jelaskan bahwa tape dibuat dari singkong atau pohung, atau ubi kayu atau ketela pohon (cassava). Singkong dikuliti, dipotong sesuai selera lalu difermentasi dengan ragi (mirip pembuatan tempe yang dari kedele). Oleh karena itu para turis mancanegara menyebutnya sebagai “fermented cassava”. Orang Sunda menyebutnya sebagai ‘peuyeum’. Biasanya dikemas dalam sebuah ‘besek’, tempat yang terbuat dari anyaman bambu.

Tape Bondowoso dalam besek
        Setelah putar-putar kota, Pak Bond memarkir mobilnya dipinggir Jalan Veteran.
“Ini daerah sentra oleh-oleh khas mBondowoso. Silakan kalau ada yang diminati”. Sambil berkata begitu beliau masuk kesebuah toko kecil yang pajangan barang dagangannya komplit sekali. Namanya Toko "Madu Jaya". Ini adalah toko langganan ibu Bambang. Yang dominan memang besek dan kotak kardus bertulisan “Tape Bondowoso”. Uniknya semua diberi label tanggal. Ini untuk menunjukkan kapan tape didalam besek itu layak dikonsumsi.  Semacam expire date, begitulah, tapi ini justru untuk menunjukkan kapan tapenya matang. Jelasnya, kalau anda akan membeli tape untuk dibawa keluar kota (bahkan keluar negeri), maka anda harus membeli tape yang akan matang beberapa hari kedepan. Kalau yang dibeli tape yang matang hari ini, sampai diluar kota sudah ‘mblonyok’ (terlalu matang).

      Tak disangka, tak diduga, tak dinyana, Bu Bambang ‘Bond’ ternyata dengan senang hati membayar semua tape yang malam itu dibeli. Kata beliau untuk oleh-oleh priyayi dari Jakarta.  Sekaligus agar selalu terkenang kota Bondowoso dan suatu hari nanti akan kembali lagi. Wah, lha kalau kita keseringan kembali lagi ke Bondowoso malah  ngrepoti  dan ngentek-entekke lho bu. Tetapi, nanti dulu,  Pakde Bagio kan cuma dari nJember, lha koq ikut kebagian oleh-oleh tape juga!  

      Dasar pesbuker, setelah omong sana omong sini, ketahuan bahwa anaknya yang punya toko ternyata punya akun juga di pesbuk. Yang hapal namanya pasti Pakde Bagio, karena katanya sesampai di Jember langsung mau add untuk berteman dengan si dia.

Haiyaaaaa.....hati-hati Pakde.... jangan sampai terjadi “kasus” kaleng sak dapur grombyangan semuaaa....




bersambung.......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar