Minggu, 17 Juni 2012

DARI PAGILARAN SAMPAI GARAHAN" ( 13 )


TIGA LANSIA BALIK KE nJEMBER KEKENYANGAN...

 Petunjuk arah ke Bandara Notohadinegoro

(KISAH PETUALANGAN KULINER TIGA LANSIA PANGSIYUNAN)

-Bagian Ketiga belas-

Perut kenyang ngantuk menerjang....

     Duduk dijok belakang bersebelahan dengan isteri saya, Pak Nur Widodo langsung tepar. Barangkali porsi nasi cah ayamnya tadi kelewat besar. Yang membikin saya heran, kacamata baca Pak Nur tetap saja nempel seperti ada lem nya. Walaupun sudah tidur sambil setengah mendengkur. Saya sendiri sekarang kebagian tugas nyopir. Maklum hanya saya satu-satunya lansia yang matanya masih ‘genep’. Masih awas dan tidak butuh bantuan kacamata untuk nyetir mobil malam hari. Pasti karena asupan gizinya paling wuuokeee. 

     Meskipun Pakde Bagio sesungguhnya juga tinggal 5 watt saja, tapi beliau terpaksa bertahan duduk disamping pak sopir yang sedang bekerja. Mengendara mobil supaya baik jalannya. Thuk thik thak thik thuk.....eh, mana ada mobil suaranya begitu? Saya memang butuh kethek eits keliru, 'kenek' nding, maklum jalan raya Bondowoso – Jember tidak terlalu lebar, dan rute ini masih barang baru bagi saya. Apalagi sekarang saya nyopir dimalam hari. Kalau tidak dipandu yang hapal jalannya bisa-bisa malah mendarat darurat di Rumah Sakit.

     Udara semakin dingin. Jalanan juga sudah mulai berkurang ramainya. Saya berusaha untuk terus mengajak bicara co-pilot yang duduk disamping. Masalahnya saya tidak yakin benar kalau Pakde masih sadar full. Dibalik kacamata bacanya, saya lihat mata Pakde semakin sipit saja. Kalau sampai ketularan jurus sirepnya Pak Nur dikursi belakang yang asik ngelepus (tidur nyenyak) kan berbahaya. Yang saya khawatirkan,  kalau sedang tidur Pakde justru ‘nyaring bunyinya’ dan banyak polah! Tentu saja saya teringat drama satu babak di setapsiyun Pekalongan tempo hari.

Kisah Bandara untuk ‘mepe’ gabah.....

      Oleh sebab itu saya harus pandai-pandai memancing cerita. Maka Pakde Bagio pun berkisah tentang Jember yang seharusnya (sudah) punya lapangan terbang. Nama yang dipilih adalah Bandara Notohadinegoro. Direncanakan dibangun dengan memakai dana APBD Jember sejak tahun anggaran 2003. Konon biaya yang dibutuhkan waktu itu “hanya” sekitar 50 milyar rupiah. Akhirnya Bandara tersebut dapat diresmikan pada tahun 2005 oleh Bupati Jember Samsul Hadi Siswoyo. Katanya sudah sempat beroperasi beberapa waktu. Presiden Gus Dur juga (katanya) pernah mendarat di Bandara itu. Bagaimana nasibnya sekarang? Pakde Bagio malah tertawa sinis. 

“Sekarang dibuat untuk mepe (menjemur) gabah. Paling meriah untuk ngulukke  layangan (menerbangkan layang-layang)” Pakde tergelak.  Saya tersedak. Hadeeeh! Bandara untuk menjemur padi dan main layang-layang? Ini baru kocak beneran.  Nyaris semua bangunan yang ada berikut landas pacunya kini sudah mosak-masik (rusak) tak terawat. Yang menyedihkan, nasib Bandara itu kedepan bahkan tak ada kepastiannya sama sekali.

       Sebuah kisah khas yang sering terjadi dinegeri ini. Banyak ide, banyak akal, pintar membangun (walau tanpa perencanaan matang) dan.... tidak pintar merawat! Saya menduga ide yang bagus itu hanya ‘jual gengsi’ belaka. Tanpa studi kelayakan yang mendalam. Akhirnya bisa diduga: muspra (hilang sia-sia).

      Tidak lebih setengah jam mobil sudah memasuki kota Jember lagi. Padahal saya hanya melarikan mobil perlahan-lahan saja. Mungkin kecepatan rata-ratanya cuma  100 km/jam saja. Malam ini bukan malam hari libur. Jember diwaktu malam toh tetap lumayan ramai juga.  Sejak di Garahan tadi siang isteri saya sudah ngebet ingin makan tahu campur. Pakde Bagio sudah mendapat ancer-ancer dari mas Didit, lokasi penjual tahu campur yang enak di Jember.  Jadi Kijang kencana langsung saya arahkan kealamat dimaksud. Pak Nur yang ‘geragapan’ (tergopoh) baru sadar dari perjalanan dialam mimpi mungkin heran. Tadi meninggalkan Bondowoso dari sebuah rumah makan, lha koq sekarang sampai di Jember sudah mendarat lagi di warung tenda biru? Namanya juga wisata kuliner Pak Nur ..... jangan gumunan aaah.

      Terletak diemperan sebuah toko yang sudah tutup, penjual “kupat tahu” yang hanya tertutup tenda kain itu penuh pembeli. Ini sebuah tanda kalau masakannya pasti lumayan sedap. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya kita berhasil pulang kehotel menenteng tiga bungkus kupat tahu. Pakde Bagio sendiri malah kipa-kipa (berkeras) menolak ikut menikmati kupat tahu diteras kamar hotel. Katanya malam ini masih banyak urusan. Setahu saya memang Pakde banyak sekali yang diurus. Dari lansia, cam-macam senam sampai...mbak Fitri penjual makanan gendongan!! 

      Mungkin Pakde Bagio belum sampai dirumah, tapi tiga bungkus kupat tahu diteras hotel sudah amblas. Zonder (tanpa) berbunyi wes ewes eweessss....

     Malam itu isteri saya sibuk berbenah dan berkemas. Saya sendiri dibiarkan tergolek lemas. Harap maklum, tiba-tiba dan sekonyong-konyong, barang bawaan jadi membengkak seperti gajah tertimpa pohon sehabis disengat tawon. Pusing tujuh keliling memasukkannya dalam koper agar selamat tiba sampai tujuan. Apalagi kebanyakan berupa “potongan singkong yang di ragi in” (difermentasi) alias tape!


bersambung........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar