Senin, 30 Mei 2011

"KISAH UNIK DISEPUTAR MASJID NABAWI..."



Tulisan lepas:


KISAH TENTANG USAHA PENCURIAN 
JASAD NABI MUHAMMAD SAW



‘Kubah Hijau’ di Masjid Nabawi, dibawah kubah inilah terletak makam Rasulullah.

Released by mastonie on Monday, May 30, 2011 at  3.54 pm

Pernahkah terbersit pada pikiran kita, umat Muslim khususnya, bahwa ternyata pernah terjadi usaha untuk mencuri jasad Nabi Muhammad SAW dari Masjid Nabawi?  Usaha yang dilakukan oleh orang-orang jahat ini bahkan terjadi sampai 5 (lima) kali! Astagfirullah hal adzim…
Dibawah ini rangkuman dari usaha jahat yang tercatat dalam Sejarah Masjid Nabawi.

Usaha pertama:
Niat jahat untuk memindahkan jasad Rasulullah SAW dari kota Medinah (Masjid Nabawi) untuk dipindahkan ke Mesir adalah ide al-Hakim al-‘Ubaidi, yang mengutus Abu al-Futuh untuk melaksanakan tugas mencuri jasad Nabi SAW dan dua orang sahabat yang dimakamkan di areal Masjid Nabawi. Usaha pencurian ini gagal karena Abu al-Futuh kemudian insyaf setelah penduduk kota Madinah membacakan Surah At-Taubah ayat 12 – 13 kepadanya.
 Pintu 'Makam Rasulullah'
Usaha kedua:
Niat jahat al-Hakim ternyata tidak surut. Ia kembali mengutus orang-orangnya untuk berusaha mencoba lagi membongkar makam Nabi SAW dan mencuri jasadnya untuk dibawa ke Mesir. Ketika para utusan itu sedang menggali di bawah tanah, penduduk Madinah melihat banyak cahaya dan terdengar suara gaib: “Wahai manusia, Nabi kalian sedang digali”.
Maka penduduk kota Madinah secara beramai-ramai menangkap utusan al-Hakim, lalu mereka semua dihukum mati. Menurut sahibul hikayat, peristiwa usaha jahat (yang pertama dan kedua) untuk melakukan pencurian jasad Nabi ini terjadi sekitar tahun 386 – 411 H.

 Sehabis ziarah ke Makam Rasulullah......
Usaha ketiga:
Pada tahun 557 H, raja-raja Nasrani menyuruh orang-orang Nasrani dari Maroko untuk membongkar makam Rasulullah SAW, dan mencuri jasad beliau. Pada waktu itu yang berkuasa di Mesir adalah Sultan Nuruddin al-Syahid. Alkisah saat Sultan tidur setelah selesai shalat tahajud dan membaca wirid, beliau bermimpi melihat Rasulullah SAW menunjuk dua orang berambut pirang sambil berkata: “Selamatkan aku dari orang-orang jahat ini”.
Sultan terbangun kaget. Ketika tidur lagi ia bermimpi hal yang sama lagi. Mimpi buruk itu berlangsung terus sampai tiga kali dalam satu malam.
Merasa ada kejadian yang tidak beres, Sultan kemudian memutuskan untuk pergi ke Madinah. Perjalanan dari Mesir ke Madinah pada waktu itu memakan waktu kurang lebih 16 hari. Setiba di Madinah Sultan mengumpulkan seluruh penduduk  kota Madinah dan  membagi-bagikan  harta yang dibawanya. Setelah seluruh penduduk Madinah mendapat bagian, Sultan masih belum menemukan dua orang berambut pirang seperti yang dilihatnya dalam mimpi. Ia bertanya apakah masih ada yang belum kebagian. Penduduk Madinah mengaku sudah menerima semua kecuali dua orang kaya raya yang berasal dari Maroko, karena mereka memang tidak butuh menerima bantuan dari orang lain. Maka dipanggillah kedua orang itu untuk menghadap Sultan Nuruddin. Kedua orang Maroko itu ternyata mirip dengan yang dilihat Sultan dalam mimpinya. Tapi keduanya tetap bersikeras tidak mau mengaku akan mencuri jasad Nabi SAW. Akhirnya Sultan memutuskan untuk melihat penginapan mereka yang ternyata berada dekat dengan makam Rasulullah SAW. Setelah diperiksa dengan seksama, terbukti bahwa di balik tikar tidur mereka terdapat galian yang menuju makam Rasulullah SAW. Sultan Nuruddin al-Syahid akhirnya menghukum mati kedua orang Maroko yang berniat jahat itu.

Usaha keempat:
Kisah tentang usaha yang keempat kalinya untuk mencuri jasad Rasulullah ini diceritakan oleh ibn Jubair yang pada saat itu sedang mengembara ke Iskandarsyah pada tahun 678 H. Di kota itu ia menyaksikan ada tawanan orang-orang Nasrani dari Romawi yang sedang dipekerjakan untuk membuat kapal.
Ternyata setelah kapal yang dibuatnya jadi,  para tawanan itu membawa lari kapal tersebut untuk dibawa kekota Jeddah dimana mereka melakukan beberapa tindak kejahatan dan perampokan. Sesudah itu mereka kemudian menuju kota Madinah dengan maksud mencuri jasad Nabi SAW. Atas ijin Allah SWT mereka dapat tersusul meskipun waktu itu rombongan pengejar sudah tertinggal sekitar satu setengah bulan. Mereka semua kemudian berhasil ditangkap dan dibunuh sebelum niatnya untuk mencuri jasad Nabi SAW terlaksana.

Usaha kelima:
Usaha kali ini (Insya Allah adalah usaha jahat yang terakhir) adalah hasil persekongkolan antara Gubernur Madinah saat itu, dengan beberapa orang yang berasal dari Halab. Mereka memberikan harta yang berlimpah kepada Gubernur agar dapat diijinkan memasuki Masjid Nabawi dan membongkar makam Rasulullah SAW dan kedua sahabatnya. Kalau istilah jaman sekarang barangkali orang-orang Halab berhati jahat itu berusaha melakukan KKN sekaligus melakukan penyuapan kepada Pejabat Negara. 
Entah bagaimana ternyata Gubernur Madinah setuju. Dia kemudian memanggil penjaga masjid Nabawi, Syeikh Syamsu al-Dien al-Showab al-Lamthy dan memberitahukan padanya bahwa pada waktu tengah malam nanti akan ada orang-orang yang mengetuk pintu masjid. Dengan tegas Gubernur memerintahkan agar penjaga pintu masjid membukakan pintu untuk orang-orang dari Halab itu. Sang penjaga masjid tentu saja tak kuasa menolak perintah seorang Gubernur.
Benar saja. Pada waktu tengah malam terdengar ketukan di pintu Al-Amir (pintu  Babu al-Salam). Ketika pintu dibuka masuklah sekitar 40 orang dari Halab yang membawa perlengkapan untuk menggali dan alat penerangan. Mereka langsung menuju ke makam Rasulullah SAW. Tapi baru saja mereka berjalan sampai mimbar masjid, sekonyong-konyong bumi terbelah dan menelan 40 orang Halab berikut semua perlengkapannya  tanpa tersisa dan tanpa meninggalkan bekas sedikitpun. Subhanallah, Allahu Akbar. Ketika esok paginya Gubernur memanggil penjaga lagi untuk menanyakan kejadian semalam, maka penjaga masjid menceritakan apa yang dilihatnya  semalam sejelas-jelasnya. Begitulah akhirnya. Usaha jahat yang kelima inipun gagal atas kehendak Allah SWT. Sayang sekali kapan terjadinya peristiwa ini tidak disebut. 

Wallahu’alam bissawab.



(Disarikan dari buku ‘Sejarah Masjid Nabawi’ karangan Dr. Muhammad Ilyas Abdul Ghani).


Kamis, 26 Mei 2011

"NABAWI.......MASJID NABI YANG RUUUUARRRRR....BIASAAAA.."



(cuplikan dari: “kisah2 spiritual” mastonie)

( 19 )

 Masjid Nabawi

Released by mastonie on Tuesday, May 26 , 2011 at  1.14 pm


Keindahan sebuah masjid buatan manusia….

Ketika Rasulullah SAW melakukan perjalanan hijrah dari kota Mekah ke kota Yatsrib (kemudian diganti jadi Madinah), beliau sempat singgah sejenak disebuah tempat bernama Quba. Disinilah Rasulullah membangun masjidnya yang pertama, yang kemudian terkenal dengan nama Masjid Quba. 
Begitu memasuki kota Madinah, Rasulullah juga langsung membangun sebuah masjid. Inilah masjid yang kemudian sangat terkenal dengan nama Masjid Nabawi.  
Masjid yang dibangun Rasulullah ditahun pertama Hijrah ini (tahun 621 M) masih sangat sederhana, atapnya yang terbuat dari pelepah kurma hanya setinggi 2,5 meter dengan luas tanah sekitar 35 x 30 meter (1.050 meter persegi) saja. Kiblatnya juga masih mengarah ke Baitul Maqdis. 
Baru setelah kurang lebih 16 bulan kemudian, turun wahyu berisi ayat yang bunyinya:
“Wa min haisu kharajta fa walli wajhaka syatral masjidil-haraam, wa innahuulal-haqqumir rabbik, wa mallaahu bi gaafilin’ammaa ta’maluun”
(dan dari manapun engkau -Muhammad- keluar, hadapkanlah wajahmu kearah Masjidil Haram, sesungguhnya itu benar-benar ketentuan dari Tuhanmu. Allah tidak lengah terhadap apa yang kamu kerjakan. surah Al-Baqarah, QS 2:149).
Maka sejak itulah Kiblat Masjid Nabawi lalu diubah oleh Rasulullah, diarahkan ke Ka’bah.  
Sampai saat ini Ka'bah (Baitullah) adalah kiblat bagi  umat muslim  diseluruh penjuru dunia. 
Begitu mulianya Masjid Nabawi sehingga untuk Masjid yang dibuatnya dikota Madinah ini, Rasulullah pernah bersabda:
“Sholat dimasjidku ini lebih utama (afdhol) 1000 kali dibanding sholat ditempat lain, kecuali di Masjidil Haram” (HR. Bukhari). 

Tiang2 Masjid Nabawi                     fotos: mastonie
Dalam perjalanan waktu selanjutnya, tidak kurang dari 8 kali Masjid Nabawi di Madinah mengalami perbaikan ataupun renovasi, bahkan restorasi besar-besaran. Yang terakhir dilakukan restorasi (perbaikan dan penambahan) nyaris total atas perintah Raja Fahd Abd Al-Aziz yang memakan waktu sepuluh tahun (1405 – 1414 H atau 1984 – 1994 M) dan menghabiskan biaya sampai 72 Milyar Real Saudi. 
Setelah restorasi itu, kini Masjid Nabawi mempunyai 27 kubah raksasa yang masing-masing beratnya 30 ton (!) dan 12 payung raksasa yang dipasang di plaza terbuka ditengah masjid. 
Kubah-kubah  raksasa itu bisa digeser, demikian pula dengan payung raksasa yang bisa dibuka dan ditutup sesuai kebutuhan. Semua pergerakan itu dikendalikan oleh operator  secara elektris.
Ketika saya berziarah pada tahun 2007,  Masjid Nabawi  sudah mempunyai lantai dasar seluas kurang lebih 98.326 meter persegi yang bisa menampung 178.000 jemaah. 
Lantai atasnya seluas 67.000 meter persegi, terbagi untuk area shalat seluas 58.250 meter persegi yang dapat menampung 90.000 jemaah. Sisanya yang 8.750 meter persegi dipakai untuk 27 kubah raksasa yang dapat bergeser itu.  
Secara keseluruhan luas area yang bisa dipergunakan untuk sholat adalah 156.576 meter persegi dan bisa menampung 268.000 orang jemaah. Disamping itu masih ada halaman masjid seluas 235.000 meter persegi, dimana area seluas 135.000 meter persegi bisa dipergunakan sebagai tempat sholat bagi 43.000 orang jemaah. Sisanya untuk toilet dan lain-lain.
Jadi anda bisa membandingkan dengan luas awal Masjid pada saat dibangun oleh Rasulullah yang luasnya hanya sekitar 1.050 meter persegi saja. 
(Menurut penuturan teman yang pergi umroh pada tahun 2011, kini seluruh halaman Masjid Nabawi juga sudah dipasangi Payung-payung raksasa seperti yang ada didalam, sehingga pelataran Masjidpun kini sudah ternaungi dari sengatan panas matahari. Subhanallah).
Raja Fahd Abd Al-Azis pastilah seorang yang memiliki selera seni yang tinggi. Interior Masjid Nabawi terbuat dari marmer bermutu tinggi yang didatangkan dari berbagai Negara penghasil marmer berkualitas dunia. Oleh sebab itu interior Masjid Nabawi kini tampak sangat indah dan mengagumkan. 

 "Raudah"

Salah satu tempat didalam Masjid Nabawi yang sungguh sangat indah bergemerlapan adalah  Raudah (arti harafiahnya adalah Taman Surga). Disinilah  terdapat (bekas) Mihrab/Mimbar dimana dahulu Rasulullah dan para Khalifah sesudahnya berkhotbah. 
Di Raudah inilah biasanya para jemaah rela berdesakan antri untuk bisa mendekat guna melakukan sholat sunah didepan bekas mihrab atau mimbar Nabi. Konon doa yang dipanjatkan di Raudah ini akan dikabulkan oleh Allah SWT. Wallahu a'lam.
Untuk menghindari penuh sesaknya Raudah, kini pengurus Masjid Nabawi memberi batas dengan semacam sketsel berwarna putih setinggi pinggang orang dewasa. 
Raudah juga dijaga oleh Askar guna menghindari jemaah yang kadang bertindak diluar batas yang diijinkan oleh syariat agama.

Mihrab Rasulullah
Dibatasi oleh dinding tinggi dan berpintu ukiran sangat indah terdapat bekas rumah ‘Aisyah RA yang kini jadi makam Rasulullah beserta dua sahabatnya:  Abu Bakar, RA dan Umar ibn Khattab RA
Para jemaah kini hanya boleh berdoa sambil melewati pintu makam Rasulullah saja.  
Pada tahun 1992 ketika saya menunaikan ibadah haji yang pertama, saya masih sempat menyaksikan jemaah berdesakan menempel dipintu makam Rasulullah sambil menangis. Bahkan sampai ada yang meratap dan menangis meraung-raung. Kini suasana sudah agak tertib karena Askar bertindak sangat tegas. 
Jemaah harus berjalan antri dengan tertib dan rapi. 
Apalagi kini jemaah wanita disediakan waktu khusus oleh pengurus masjid. Jadi mereka tidak setiap saat  bisa mengunjungi Raudah dan makam Rasulullah.  Waktu itu istri saya hanya mendapat kesempatan mengunjungi Raudah sekitar pukul 10 sampai 11 pagi saja. 
Entah dibuka pada hari apa saja yang khusus untuk ziarah jemaah wanita.

 "Kubah Hijau" diatas makam Rasulullah
Diatas makam Rasulullah itulah dibangun sebuah kubah yang dicat warna hijau. Apabila dilihat dari luar, maka kubah hijau itu akan nampak dengan jelas berada diantara tiang-tiang Masjid Nabawi. Sebuah penanda yang mudah dikenali sebagai hasil pemikiran yang cerdas.
Memang ada perbedaan yang cangat mencolok antara Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Di Masjidil Haram jemaah pria dan wanita bisa bercampur bebas tanpa batasan pada saat melakukan ibadah Tawaf maupun Sa’i. Kecuali pada saat melakukan sholat wajib, jemaah wanita diatur ditempat tersendiri agar tidak berada didepan jemaah pria. Tetapi jika melakukan sholat sunah, jemaah wanita bisa saja bercampur dengan jemaah pria. Bahkan kadang-kadang ada wanita yang sholat didepan laki-laki.  Inilah yang sering menimbulkan keributan kecil. 
Di Masjid Nabawi hal itu tidak akan pernah terjadi, karena adanya aturan yang tegas memisahkan jemaah wanita dengan jemaah pria. Untuk itu ada pintu masuk yang disediakan khusus bagi jemaah wanita. 
Jadi pada waktu mau masuk ke Masjid, jemaah wanita sudah mulai dipisah dari jemaah pria. 
Oleh karena itu tempat sholat jemaah wanita juga terpisah dari jemaah pria.
Selain itu Masjid Nabawi juga tidak dibuka selama 24 jam. Ada waktu tertentu setelah sholat Isya (menjelang tengah malam) pintu Masjid Nabawi akan ditutup dan baru dibuka lagi menjelang sholat Subuh. 
Sedangkan Masjidil Haram terbuka selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu alias terbuka hampir setiap waktu. Sehingga baik jemaah pria maupun wanita bebas keluar masuk untuk beribadah tanpa kendala waktu. 
Banyak jemaah haji ‘backpacker’ (jemaah yang berangkat haji sendiri dengan biaya sangat minim) dari beberapa Negara yang bahkan menginap di Masjidil Haram dengan bebasnya.
Oleh sebab itu tidak heran kalau suasana Masjid Nabawi terasa lebih tertib dibanding dengan suasana di Masjidil Haram. Sebuah hal yang tak bisa dielakkan mengingat hampir semua kegiatan ritual wajib dan rukun haji terpusat di Masjidil Haram. Sedangkan ritual di Masjid Nabawi hanya bersifat ziarah saja. 
Kegiatan di Masjid Nabawi yang disebut sebagai Sholat Arbain (Sholat wajib  lima waktu yang harus dilakukan berjamaah berturutan tanpa terputus selama 8 hari, sehingga berjumlah 40 raka’at), tampaknya hanya dikenal oleh jemaah haji asal Indonesia dan beberapa Negara Asia Tenggara saja.
Walaupun demikian setiap musim haji Masjid Nabawi juga selalu penuh sesak dengan jemaah. Namun suasana dan serba tertib teraturnya  itu membuat jemaah bisa sangat khusyuk beribadah. 
Masyarakat Madinah terkenal sebagai orang yang santun dan halus budi pekertinya. Konon mereka sangat terinspirasi oleh perilaku Rasulullah SAW. Oleh sebab itu jika anda berlaku kurang senonoh didalam masjid, mereka akan memperingatkan dengan tutur kata halus atau hanya isyarat tangan saja. Selama ini saya nyaris tak pernah menemui keributan di Masjid Nabawi seperti apa yang pernah saya saksikan di Masjidil Haram. Kalau di Masjid Nabawi anda ditegur orang secara kasar, dapat dipastikan yang menegur tadi bukan orang Madinah, mungkin jemaah yang berasal dari Negara Timur Tengah lain yang kadang memang berlaku keras dan kasar tingkahnya. 

Saya diantara tiang Masjid Nabawi
Suasana khusyuk beribadah itu juga didukung oleh peralatan modern yang dipunyai oleh Masjid Nabawi. Alat pendingin udaranya dipasang dihampir setiap tiang yang ada didalam masjid. Dimusim panas, alat ini sangat menolong para jemaah yang diluar masjid telah terkena sengatan panas matahari yang kadang suhunya bisa mendekati 45 derajat Celcius. Bahkan bisa lebih. Namun dimusim dingin, jangan coba-coba bersandar didekat tiang, karena semburan hawa dinginnya bisa membuat badan menggigil dan bisa membikin tubuh meriang saknalika



Terjebak suhu dingin.....

Selain daripada itu, amplitudo (perbedaan suhu udara antara siang dan malam) dikota Madinah juga sering kali sangat besar. Saya pernah mengalami ‘terjebak’ fenomena ini. 
Pada suatu siang saya berangkat untuk melaksanakan sholat Dhuhur di Masjid Nabawi. Cuaca diluar cukup panas sehingga saya hanya mengenakan celana panjang biasa (bukan jeans) dengan baju Koko putih tipis yang saya beli di pasar Tanah Abang. Selesai sholat saya lari pulang kehotel yang hanya dua blok jauhnya, untuk makan siang bersama istri yang sudah menunggu. Maklum selama beribadah di Masjid Nabawi kita seringkali berangkat sendiri-sendiri karena pintu masuknya juga berbeda. 
Selesai makan, masih dengan pakaian yang sama saya kembali ke Masjid untuk menunggu sholat Ashar. Sesudah Ashar saya memutuskan untuk I’tikaf (berdiam) di Masjid menunggu sholat Magrib dan Isya berjamaah. Satu dan lain hal karena saya juga termasuk yang akan mencoba mendapatkan Arbain. Daripada wira-wiri dari masjid kehotel PP, mending menunggu saat sholat didalam masjid yang sejuk dingin. Begitu perhitungan saya. 
Ketika sholat Isya berjamaah telah selesai, saya bergegas kembali kehotel. Keluar dari pintu Umar ibn Khattab saya mendadak sontak terkejut luar biasa. Astagfirullah!! Sekonyong hawa dingin menyergap yang terasa langsung menusuk tulang. Saya seperti masuk kedalam cold storage! Baru tersadar bahwa dari tadi siang saya hanya mengenakan celana dan baju yang sangat tipis. Sama sekali tak pernah terpikir bahwa suhu udara  malam hari di Madinah bisa drop sedemikian rendah. Disertai dengan angin yang bertiup kencang, menambah ‘gigitan’ dinginnya kebadan.  
Saya perkirakan suhu dibawah 10 derajat Celcius, karena saya juga pernah mengalami  sergapan hawa dingin dan hujan salju di Washington, DC tahun1992, tapi saat itu saya berpakaian lengkap plus overcoat. Jadi udara dingin tak jadi masalah. 
Kini saya boleh dikata under dressed! Tapi saya kan harus pulang ke hotel, istri saya pasti sudah menunggu direstoran hotel bersama teman-teman yang lain untuk makan malam. Badan saya sudah menggigil, bahkan gigi sudah mulai bergemeretukan menahan dingin. 
Hotel Sofra Al-Huda yang saya tempati terletak hanya dua blok saja. Kalau saya berlari pulang barangkali tidak sampai lima menit. Maka dengan mengatupkan mulut erat-erat, sayapun bersegera lari-lari kecil kembali ke hotel. Sialnya, saya juga tidak memakai tutup kepala, jadi hawa  dingin yang menyergap terasa semakin menyakitkan. Tubuh saya terasa seperti dibungkus dengan es. Mungkin seperti ini rasanya berada di kutub. Perjalanan yang tidak sampai sepuluh menit itu rasanya sudah seperti merontokkan tulang belulang saya. Sewaktu memasuki restoran hotel, semua tercengang melihat bibir saya yang berwarna kebiruan dengan kondisi badan yang menggigil. Beberapa teman menyarankan agar saya masuk kekamar dulu untuk berganti pakaian yang lebih hangat. Istri saya tampak cemas sekali memikirkan kondisi kesehatan saya yang memang agak terganggu sejak saat mabit di Mina.
Sebuah pengalaman berharga baru saja saya pelajari dikota Nabi. 
Barangkali ini juga sebuah peringatan dari Allah SWT agar saya tidak terlalu percaya diri. 
Subhanallah.



bersambung…..

Rabu, 25 Mei 2011

"MADINAH.....KOTA YANG BERCAHAYA...."



(cuplikan dari: “kisah2 spiritual” mastonie)

( 18 )

 Masjid Nabawi


Released by mastonie on Tuesday, May 25 , 2011 at  4.13 pm


Jadi jemaah terakhir yang pulang dari Masjidil Haram…..


Berjalan pulang kembali kehotel saya merasakan gejolak perasaan yang berkecamuk penuh ‘warna’. Hari ini harus saya tinggalkan kota Mekah. Tidak lagi bisa ditunda karena saya sudah menjalankan Tawaf Wada’ (tawaf perpisahan). 
Ketika berdoa sesudah shalat sunah dua raka’at didepan Multazam, saya memohon belas kasih Allah SWT agar kesempatan ini bukanlah kesempatan yang terakhir bagi saya dan istri untuk pergi ketanahNya yang suci, tanah haram. Saya juga mohon berkah keselamatan dan keteguhan iman bagi seluruh keluarga besar saya serta mohon hidayah agar mereka tergugah hatinya untuk bersegera datang ketanah suci ketika telah mampu. Ini yang membuat saya tak kuasa menahan menitiknya air mata.  
Sesampainya dipelataran hotel saya mendapati rekan-rekan jemaah yang sudah ‘siap tempur’ hijrah ke kota Madinah. Sebagian besar bahkan sudah berada didalam bus. Empat buah bus yang disediakan pun sudah menghidupkan mesinnya! Rupanya saya dan istri adalah pasangan jemaah terakhir yang ditunggu-tunggu kedatangannya dari Masjidil Haram. 
Tak terhindarkan olok-olok dan celotehpun bermunculan:
”Kesiangan nih yeeeee…” 
Ooooo….korban tahalul qubro…” dan lain-lain dan sebagainya. 
Meski wajah merah tersipu-sipu, tapi saya berusaha santai dan tenang saja. Mereka toh tidak mengerti apa yang sesungguhnya terjadi tadi pagi, ketika saya dan istri nyaris tak dapat mengendalikan diri buang angin sehingga harus kembali dulu kehotel.
Saya pandangi Hotel “Grand Saraya” dan Masjid Kucing bergantian. Ada rasa getun (sedih dan kecewa) membayangkan perluasan Masjidil Haram yang akan ‘memakan korban’ seluruh bangunan dalam radius sekitar 300 meter dari Masjidil Haram. Termasuk dua bangunan besar ini. Bahkan Pasar Seng (konon katanya) juga akan diratakan dengan tanah.  Jadi seandainya pada suatu hari nanti saya mendapat ijin dari Allah Swt untuk kembali mengunjungi tanah haram ini,  maka kemungkinan besar saya sudah tidak dapat menyaksikan bangunan hotel, pertokoan dan hiruk pikuknya Pasar Seng yang dimulai dari ujung Masjid Kucing ini.


Hijrah ke  Madinah lewat jalan tol bernama “Hijrah”….

Sekitar pukul setengah sepuluh pagi waktu Mekah, empat buah bus yang berisi sekitar seratus dua puluhan jemaah haji Anubi bertolak ‘hijrah’ menuju kota Madinah al-Munawaroh.  Saya dan istri tetap menjadi penumpang di bus nomor empat. 
Pemerintah Kerajaan Arab Saudi telah membangun jalan raya tol yang menghubungkan kedua kota suci di Arab Saudi. Diberi nama Jalan Tol “Hijrah”, jalan raya lebar dan mulus dengan lapisan aspal hot mix yang melewati padang bebatuan tandus itu membentang nyaris sepanjang sekitar lebih dari 442 kilometer.  
Secara teori, dengan kecepatan rata-rata 80 – 90 km/jam saja, jalan tol sepanjang itu bisa ditempuh selama 5 atau 6 jam. Tapi pada prakteknya waktu tempuh itu ternyata susah dicapai. Apalagi pada saat musim haji dimana terdapat beberapa check point yang harus disinggahi. Askar yang bertugas di pos check point akan memeriksa dengan teliti semua kelengkapan administrasi jemaah yang berada dalam bus. Oleh sebab itu pemeriksaan bisa berjalan sangat lama, karena ratusan bus-bus besar berisi ribuan jemaah yang sama-sama menuju kota Madinah harus antri menunggu giliran diperiksa.
Begitu telitinya pemeriksaan dari Askar itu, sehingga apabila terdapat ‘penumpang gelap’ yang tidak jelas kelengkapan adiministrasinya, atau jumlahnya tidak sesuai dengan yang tercantum dalam daftar penumpang, maka penumpang tersebut akan langsung dipaksa turun dari bus. 
Alkisah, kejadian naas dialami (lagi) oleh penumpang bus nomor 3, dua orang penumpangnya (kebetulan mereka adalah pembimbing ibadah) dipaksa turun dari bus. Entah kenapa nama mereka tidak tercantum dalam daftar penumpang. Sebetulnya sopir bus yang ditugaskan oleh Maktab biasanya sangat teliti. Dialah orang yang harus bertanggung jawab terhadap nasib para penumpangnya. Termasuk menyimpan semua dokumen perjalanan dan ijin yang dikeluarkan oleh Maktab. 
Sebelum berangkat biasanya si sopir akan menghitung jumlah penumpang dengan teliti sekaligus dicocokkan dengan daftar nama yang dia pegang. Dia tidak akan mau memberangkatkan bus jika masih ada penumpang yang belum naik bus. Dia juga tidak akan mau memberangkatkan kalau ada penumpang yang namanya tidak tercantum dalam daftar yang dia pegang. Tapi entah kenapa bisa terjadi kasus ‘penumpang gelap’ di bus nomor 3. 
Ternyata nasib sial masih dialami lagi oleh penumpang bus nomor 3. Radiator bus bocor. Jadi setiap beberapa puluh kilometer bus harus berhenti untuk mengisi air radiator. Bisa dibayangkan ditanah Arab yang gersang dan tandus seperti itu harus mencari air setiap saat. Memang ada pemberhentian semacam rest area di jalan tol Hijrah, dimana biasanya terdapat kantin, toilet umum dan mushola, tapi jaraknya sangat berjauhan.
Kisah memprihatinkan itu baru saya dengar dari dokter Naryo (salah seorang penumpang tetap di bus nomor 3) sewaktu sudah berada dikota Madinah. Saya menanggapinya dengan gurauan yang sangat populer ditanah suci:
“Ya semua itu memang tergantung ‘amal ibadah’ kita dok”. Maka dokter Naryo cuma bisa menanggapi komentar miring saya dengan tersenyum kecut……


Madinah kota yang bersih

Yatsrib adalah kota yang dipilih oleh Rasulullah SAW ketika harus meninggalkan kota Mekah. Setelah hijrah kekota ini, beliau mengganti nama kotanya menjadi Madinah al-Munawwaroh. Artinya Madinah yang bercahaya. Rasulullah sendirilah yang membuat batas atas kota ini, seperti yang telah beliau sabdakan:
“Batas Madinah adalah antara ‘Ayr dan Tsur, barangsiapa mengadakan hal yang baru, atau menempatkan sesuatu yang baru, maka atasnya laknat Allah, malaikat dan manusia seluruhnya. Allah tidak akan menerimanya di Hari Kiamat” (HR. Muslim)

 Pemandangan kota Madinah al-Munawwaroh

‘Ayr dan Tsur adalah nama Jabbal (bukit) yang jaraknya satu sama lain sekitar 15 kilometer. Keduanya merupakan batas tanah suci kota Madinah disebelah selatan dan utara.
Dikisahkan pula bahwa ketika memasuki kota Yatsrib, saat itu sedang terjadi wabah penyakit.  Rasulullah kemudian berdoa untuk kota suci ini:  
“Ya Allah berikanlah kecintaan kami kepada Madinah, sebagaimana Engkau berikan kecintaan kepada Mekah, atau lebih besar dari itu. Bersihkanlah ia dan berkatilah kami dengan makanan dan bekalnya serta gantilah wabah penyakitnya dengan juhfah” (HR. Bukhari dari ‘Aisyah RA)

Rest area di jalan Tol 'Hijrah'
Alhamdulillah bus nomor 4 yang saya tumpangi bersama istri aman-aman saja meluncur di jalan bebas hambatan yang kinclong itu. Kemacetan hanya terjadi pada saat mendekati check point, setelah itu bus bisa melaju kencang. Pemandangan diluar jendela bus full AC itu memang harus saya akui agak membosankan. Dimana-mana yang terlihat hanya tanah tandus, bebatuan dan tanah yang kering gersang. Lebih menyenangkan melihat pemandangan di Tol Purbaleunyi (Cipularang). Apalagi jarak yang ditempuh menuju Madinah hampir 500 kilometer. Bersyukur bus berhenti disetiap rest area yang ada, jadi bisa beristirahat sejenak untuk melonjorkan kaki dan pergi ke toilet serta menunaikan sholat (walaupun diperbolehkan juga untuk menjamak atau mengqodo’ sholat karena termasuk sedang menjalani safar atau pergi jarak jauh).
Tabir senja sudah mulai turun ketika bus nomor 4 memasuki kawasan check point terakhir sebelum masuk kota Madinah. Berupa sebuah lapangan parkir yang sangat luas, disini terlihat ratusan bus besar yang sedang menanti sopirnya menyelesaikan urusan administrasi dengan  petugas. Memakan waktu hampir setengah jam lebih sebelum akhirnya bus menuju kota dimana Rasulullah SAW dimakamkan. 

Subhanallah, sungguh arif dan bijaksana Rasulullah memberikan julukan kota Madinah dengan sebutan “Al-Munawwaroh”, yang artinya kota yang bercahaya. Pada sore hari menjelang petang itu, kota Madinah tampak gemerlapan dengan cahaya. Apalagi ketika Masjid Nabawi tampak samar-samar dikejauhan. Menaranya yang menjulang tinggi terlihat anggun dan indah sekali. 
Berbeda dengan kota Mekah, Madinah sudah terlihat sebagai kota yang  ‘well-planned’. Terencana dengan baik, bangunan teratur rapi dengan jalan raya yang lebar dan mulus. 
Masjid Nabawi yang didirikan oleh Rasulullah nampak seperti sebuah ‘center point’ yang memukau. Dikelilingi oleh hotel-hotel ternama dan pertokoan yang diatur menjadi blok-blok seperti lazimnya kota modern. 
Kota Madinah agaknya juga menerapkan motto: ”Kebersihan adalah bagian dari iman”. Walaupun penuh sesak dengan jemaah yang berdatangan dari seluruh pelosok bumi, kota Madinah tetap tampak bersih. Bahkan kendaraan pribadi maupun kendaraan umum dan taksi yang lalu lalang dijalanan tampak bersih berkilat. Secara teratur dan rutin mobil penyapu jalan beroperasi dengan jadwal yang tetap. 
Penduduk kota Madinah juga terlihat lebih santun dan lemah lembut tutur bahasanya. Situasi itu membuat pikiran  saya lalu  membandingkan dengan situasi kota Mekah yang (menurut pendapat saya pribadi) terlihat kurang teratur, kurang bersih dengan kendaraan pribadi maupun umum yang kotor dan kadang terlihat penyok-penyok di body nya. Setidaknya itulah yang saya lihat pada tahun 2007. (Konon setelah perluasan Masjidil Haram, kota Mekah al-Mukaromah kini sudah tampak lebih teratur dan bersih, semoga benar demikian adanya).


Masjid Nabawi
Turun didepan hotel persis ketika adzan Magrib bergema dari Menara Masjid Nabawi, saya terpana. 
Meski kali ini untuk yang ketiga kalinya saya datang ke Madinah, saya masih tetap ternganga……jadi inilah “kota yang bercahaya” itu. 
Padahal ketika Baginda Rasulullah SAW memberi julukan nama sekian abad lalu, listrik belum diketemukan.
.

bersambung……

Selasa, 24 Mei 2011

"TENTANG NURANI"

Tulisan lepas:

 

 Fotos courtessy Google

released by mastonie on Tuesday, April 27, 2010 at 9:39pm

Ni’mah bin Basyir RA pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda:
“Bahwa sesungguhnya dalam diri setiap manusia itu ada segumpal daging. Apabila daging itu baik, maka baiklah seluruh tubuhnya. Namun apabila daging itu busuk, maka seluruh tubuh (manusia) itu akan menjadi busuk pula. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah HATI” (HR. Bukhori dan Muslim).

Sejatinya sabda Rasulullah SAW itu adalah sebuah peringatan bagi setiap muslim untuk berusaha agar dapat senantiasa “menjaga hati” nya. Hati atau kalbu   adalah sebuah benda yang bisa dikategorikan sebagai benda nyata maupun benda abstrak. (Saya bukan ahli tata bahasa Arab, tapi menurut seorang Ustadz, Qalb arti harfiahnya adalah jantung. Dalam hadits diatas banyak yang mengartikan Qalb/kalbu itu dengan hati. Dan yang saya pakai dalam konteks tulisan ini memang hati)
Hati sebagai benda yang nyata bagi seorang manusia adalah sebuah organ sangat penting yang berfungsi menyaring darah yang akan beredar keseluruh tubuh. Dalam ilmu kesehatan disebutkan bahwa apabila fungsi hati terganggu, maka kesehatan manusia juga akan terganggu. Apalagi kalau hati sampai rusak (terkena kanker hati atau sirosis misalnya), maka jiwa si manusia bisa terancam ‘rusak’ pula. Bahkan bisa menyebabkan ‘game over’ alias tamat riwayatnya (sebagai manusia). 
Dengan demikian menjaga -kesehatan- hati (sebagai benda nyata) berarti menjaga tubuh kita agar tetap dalam kondisi prima alias sehat wal afiat.
Hati sebagai benda abstrak adalah nurani yang dimiliki setiap insan manusia, mahluk yang sempurna dan mulia ciptaan Allah SWT. Didalam hati nurani manusia itu pulalah sesungguhnya Sang Maha Pencipta berkenan menitipkan (walau hanya setitik saja) dari sifat rohman dan rohim Nya. 
Namun apakah setiap manusia mampu menerjemahkan titipan sifat ‘pengasih dan penyayang’ dari Sang Khalik itu? Ternyata tidak. Dalam kehidupan sehari-hari pasti akan kita temui orang-orang yang bersikap welas asih terhadap sesama. Orang yang begitu peduli kepada nasib orang lain. Orang yang tidak mementingkan keperluan diri pribadinya. Pendek kata ia adalah orang yang didalam sabda Rasulullah SAW diatas termasuk yang mempunyai “segumpal daging yang baik”.
Akan tetapi tidak jarang pula kita temukan orang-orang yang mempunyai “segumpal daging yang rusak” dalam tubuhnya. Dan sebagaimana “rumus” sifat-sifat buruk lainnya, (yang lebih mudah menular kepada orang lain), maka ternyata lebih banyak orang yang hidup dengan “segumpal daging yang rusak” dibanding dengan orang yang mempunyai “segumpal daging yang baik”.
Jaman memang telah berubah. Tentu saja kehidupan umat manusia juga ikut berubah seiring dengan kemajuan jaman yang sangat pesat. Jaman modernpun telah berkembang menjadi jaman globalisasi. Ini mengakibatkan tata kehidupan manusia berubah mengikuti ‘tren’ atau pola yang tersebar merata kesegala penjuru dunia. 
Tren kehidupan manusia modern cenderung berkiblat kepada kehidupan duniawi. Kehidupan yang membuat manusia mudah sekali terperangkap dalam pola hidup yang bukan saja tidak Islami, tetapi juga sudah menafikan semua ajaran moral agama. Agama apapun juga.
Manusia mulai lupa pada kaidah dan akidah ajaran agama. Ditandai dengan makin menipis atau bahkan menghilangnya apa yang sering kita sebut sebagai hati nurani tadi. 
Di negeri yang kita cintai ini, makin nyata tanda-tanda semakin banyaknya orang yang memiliki “segumpal daging yang rusak” itu. Akhir-akhir ini tak dapat kita pungkiri adanya kenyataan, bahwa semakin banyak manusia dinegeri ini yang telah menjadikan uang, kekuasaan, materi ataupun harta sebagai panglima dalam kehidupannya. Mulai dari para pemimpin, penguasa, pengusaha, politikus bahkan tak terkecuali (maaf) kaum ulama. Alih-alih menyadari bahwa jabatan yang diemban adalah sebuah amanah, para empunya jabatan itu justru memakai dan mendaya-gunakan jabatannya untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya bagi diri pribadi dan golongannya.
Padahal selama ini sering kita dengar ceramah dari para Da’i dan Ustad, bahwa dalam salah satu hadits, Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Apabila sebuah amanah (pekerjaan, jabatan, kekuasaan) diberikan kepada orang yang bukan AHLINYA, maka tunggu saja saat kehancurannya”. 

Senyatanya, pemimpin yang mendapat amanah untuk memerintah negeri ini, justru memilih para “pembantu” dekatnya yang sebagian besar diambil dari “konco-konco” dan dari partai koalisi yang menjadi pendukungnya. Hanya sedikit saja pejabat yang menduduki kursinya karena profesi  atau keahlian yang dipunyainya. Ini memperlihatkan sang pemimpin telah nyata-nyata melupakan hakikat sebuah amanah seperti yang telah disabdakan Rasulullah SAW diatas. 
Artinya, walau merupakan sebuah hak prerogatif, namun yang berlaku disini agaknya bukan lagi nurani dan nalar sehat yang berbicara. Yang jadi pertimbangan utama justru hanya sebuah alasan yang “praktis, pragmatis” dan penuh dengan “nuansa politis”. Untuk apa?
Tentu saja keputusan memilih para pembantu itu dibuat untuk memperkuat, memperkokoh dan (kalau bisa) melanggengkan kekuasaan semata.
Lalu apa jadinya? Jadinya ya sebuah lakon bak drama reality show di televisi yang bertema utama: ABS, (Asal Bos Senang). Disinilah tujuan menghalalkan segala cara dipertontonkan.
Anda ingin bukti? Beberapa waktu yang lalu, hampir setiap hari kita disuguhi berita di media cetak dan elektronik tentang kisah perseteruan antara “Cecak dan Buaya”. Sebuah kisah penuh intrik dan rekayasa, dimana para penguasa dibidang hukum saling tangkap dan baku tuduh.
Lalu hiruk pikuk tentang partai yang terbelah pendapatnya, antara koalisi atau oposisi. Juga berita hangat lain: debat antar pejabat tentang perlu tidaknya 'remunerasi' dan menaikkan gaji (mereka sendiri). 
Astagfirullah. Naik Gaji? Padahal baru beberapa hari para pejabat itu dilantik dan (tentu saja) belum tampak bekerja dengan sepenuhnya. Alangkah TEGA. Apapun alasannya.
Berita-berita itu bagi rakyat menjadi kisah yang sungguh aneh tapi nyata, karena seolah para petinggi negeri ini sama sekali tak punya sense of crisis.
Tak punya rasa keadilan. Tak ada lagi rasa malu dan sungkan pada rakyat yang notabene telah rela memilih mereka. Rakyat yang masih berkutat dengan bencana, rakyat yang makin melarat. Rakyat yang makin menderita karena harga-harga kebutuhan pokok (dengan seribu satu alasan) dinaikkan secara tidak semena-mena. Rakyat miskin yang (bahkan) nyaris tak bergaji!
Kemudian kita juga dibuat terpana dengan hingar bingar kasus sebuah Bank yang ‘sukses’ memaksa para penguasa dibidang moneter di Republik ini untuk menggelontorkan uang Negara sampai 6,7 trilyun!
Jumlah uang yang sampai saat ini tidak diketahui dimana gerangan rimbanya berada. Walau sebuah Pansus di DPR telah dibentuk dan telah berhasil menyodorkan sebuah kesimpulan, namun sampai detik ini tak pernah ada putusan dan ‘kata akhir’. Kalaupun ada hanyalah merupakan sebuah kesimpulan yang mengambang. Atau sengaja diambangkan. Agaknya kasus inipun lambat laun akan melemah dan lenyap ditelan angin seiring berjalannya waktu.
Dan berita seru yang terbaru selain perburuan (yang dituduh) para teroris adalah kisah perseteruan para bintang ‘buaya’ gara-gara “MARKUS” (MAkelaR KasUS) yang diduga mampu menyulap bin menilep uang setoran pajak dalam jumlah milyaran rupiah.  
Astagfirullah (sekali lagi).APA KATA DUNIA? 
Selagi penguasa getol menyerukan agar rakyat (dari para petani, pegawai, bahkan pensiunan sampai pengusaha dan para cukong) tak terkecuali harus membayar pajak, ternyata disisi lain oknum petugas pajaknya justru getol menggerogoti dan menilep uang setoran pajak. Ironis sekali.
Tentu wajar saja kalau rakyat dan masyarakat ramai kemudian bertanya dimana gerangan sesungguhnya hati nurani mereka: para pejabat dan penguasa negeri ini.

Ah, QUO VADIS , akan dibawa kemanakah kau, wahai negeriku tercinta?
Atau mari kita ajak  rakyat jelata berdoa:

“Ya Allah, Ya Rabb, Sang Maha Penguasa atas segala, kembalikanlah nurani para pemimpin kami ketempatnya semula, sehingga mereka punya mata hati lagi, sehingga mereka bisa mendengar tangisan dan melihat penderitaan rakyatnya. Sesungguhnyalah kami yakin azab Mu sangatlah pedih, azab yang akan Kau timpakan pada sebuah negeri yang para pemimpinnya berbuat durhaka kepada rakyatnya”

 
(Cuplikan dari sajak “doa rakyat yang tertindas” oleh mastonie)

"sajak biru laut"


released by mastonie on Sunday, April 4, 2010 at 8:49pm
 
 
-sajak jiwa yang kusut-

gunung
laut
hujan
badai
kilat
yang bersabung
itulah sesungguhnya
yang menghadang
perjalanan ku menuju
ke arasy
Mu

sementara
perahu layarku
seperti tak akan kuat
menempuh pusaran
angin yang mencabik
satu demi satu
layar yang rapuh
terkulai dan jatuh
larut dan karam
kedasar samudra
Mu yang entah
seberapa dalam seberapa jauh

sementara ujung
malam selalu menghadirkan
wajah aslinya kepada
ku yang bersimpuh
terpana dalam
sejuta
tanda seru
titik
koma
dan
tanda tanya
!

lalu
apalagi kini
yang harus kurangkai
agar jiwaku tak goyah dan tetap tertaut
pada keagungan mantra
Mu?


awal bulan tua
saat mendung menyaput Jakarta

"AYAT-AYAT SAJDAH"

 

Tulisan lepas:

 


by mastonie on Friday, May 7, 2010 at 11:25pm
 
 
Didalam Kitab Suci Al-Qur’anul Karim, terdapat beberapa ayat yang disebut sebagai “AYAT SAJDAH”. Bagi anda yang belum mafhum, apakah ‘Ayat Sajdah’ itu, dibawah ini kami coba rangkumkan selengkapnya:

‘Ayat Sajdah’ (baca: sajadah) adalah ayat yang terdapat pada -beberapa- Surah didalam Al-Qur’an, yang apabila kita membaca/mendengar ayat tersebut (baik sewaktu shalat atau pada saat membaca Al-Qur’an/mengaji), maka disunahkan bagi kita untuk melakukan ‘Sujud Tilawah’, tepat setelah kita membaca/mendengar ayat itu. 
Ayat Sajdah biasanya ditandai dengan tulisan kecil atau gambar sajadah, tapi sayang tidak semua kitab Al-Qur’an (terutama cetakan dalam negeri) mencantumkan tanda ini.

Ada 15 (limabelas) ‘Ayat Sajdah’ yang dapat kita temukan didalam 14 (empatbelas) surah dalam Al-Qur’an. Khusus didalam surah Al Hajj (QS. 22) terdapat sekaligus 2 ayat sajdah yaitu pada ayat 18 dan 77.

Berikut ini adalah nama-nama surah yang ada di Al-Qur’an dimana didalamnya terdapat ‘Ayat Sajdah’:

1. Surah Al A’raaf (Tempat Tertinggi, Makkiyyah, Surah ke 7, 206 ayat)) ayat 206 (QS. 7: 206)
2. Surah Ar Ra’d (Petir, Makkiyyah, Surah ke 13, 43 ayat)) ayat 15 (QS. 13: 15)
3. Surah An Nahl (Lebah, Makkiyyah, Surah ke 16, 128 ayat) ayat 50 (QS. 16: 50)
4. Surah Al Israa’ (Perjalanan Malam, Makkiyah, Surah ke 17, 111 ayat) ayat 109 (QS. 17: 109)
5. Surah Maryam (Makkiyyah, Surah ke 19, 98 ayat) ayat 58 (QS. 19: 58)
6. Surah Al Hajj (Haji, Madaniyyah, Surah ke 22, 78 ayat) ayat 18 dan 77 (QS. 22: 18, 77)
7. Surah Al Furqaan (Pembeda, Makkiyyah, Surah ke 25, 77 ayat) ayat 60 (QS. 25: 60)
8. Surah An Naml (Semut, Makkiyyah, Surah ke 27, 93 ayat) ayat 26 (QS. 27: 26)
9. Surah As Sajdah (Sujud, Makkiyyah, Surah ke 32, 30 ayat) ayat 15 (QS. 32: 15)
10. Surah (As) Shaad (Makkiyyah, Surah ke 38, 88 ayat) ayat 24 (QS. 38: 24)
11. Surah Fushshilat (Yang Dijelaskan, Makkiyyah, Surah ke 41, 54 ayat) ayat 38 (QS.41: 38)
12. Surah An Najm (Bintang, Makkiyyah, Surah ke 53, 62 ayat) ayat 62 (QS. 53: 62)
13. Surah Al Insyiqaaq (Terbelah, Makkiyyah, Surah ke 84, 25 ayat) ayat 21 (QS. 84: 21)
14. Surah Al ‘Alaq (Segumpal Darah, Makkiyyah, Surah ke 96, 19 ayat) ayat 19 (QS. 96: 19)

Adapun do’a yang dibaca pada saat kita melakukan ‘Sujud Tilawah’ itu (menurut Riwayat Tirmidzi) adalah sebagai berikut:
“Sajada wajhiiya lilladzii khalaqahu wasyaqqa sam’ahu wabasharahu bihaulihi waquw-watihi”
(-Telah- Saya sujudkan wajahku kehadapan Allah, dzat yang menciptakannya, yang membuka pendengaran dan penglihatannya dengan segala daya dan kekuatan Nya)

Rincian selengkapnya ‘Ayat-ayat Sajdah’ (dalam bentuk transliterasi) adalah sebagai berikut:

1. QS. 7: 206 : ”Innalladziina ‘inda rabbika laa yastakbiruuna ‘an ‘ibaadatihii wa yusabbihuunahuu wa lahuu yasjuduun”
(Sesungguhnya orang-orang yang ada disisi Tuhanmu tidak merasa enggan untuk menyembah Allah dan mereka menyucikan-Nya dan hanya kepada-Nya mereka bersujud)

2. QS. 13: 15 : “Wa lillaahi yasjudu man fis-samaawaati wal ardhi thau’aw wa karhaw wa zhilaaluhum bil ghuduwwi wal aashaal”
(Dan semua sujud kepada Allah baik yang dilangit maupun dibumi, baik dengan kemauan sendiri maupun terpaksa –dan sujud pula- bayang-bayang mereka diwaktu pagi dan petang hari)

3. QS. 16: 50 : “Yakhaafuuna rabbahum min fauqihim wa yaf ‘aluuna maa yu’maruun”
(Mereka takut kepada Tuhan yang –berkuasa- diatas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan –kepada mereka-)

4. QS. 17: 109 : “Wa ya khirruuna lil adzqaani yabkuuna wa yaziiduhum khusyuu’aa”
(Dan mereka menyungkurkan wajah sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’)

5. QS. 19: 58 : “Ulaa-ikalladziina an’amallaahu ‘alaihim minan nabiyyiina min dzurriyyati aadama, wa mimman hamalnaa ma’anuuhi wamin dzurriyyatti ibraahiima wa israa’iila wa mimman hadainaa wajtabainaa idzaa tutla ‘alaihim aayaaturrahmaani kharruu sujjadaw wa bukiyyaa”
(Mereka itulah orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu dari –golongan- para nabi dan keturunan Adam dan dari orang yang kami bawa –dalam kapal- bersama Nuh dan dari keturunan Ibrahim dan Israil dan dari orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pengasih kepada mereka, maka mereka tunduk sujud dan menangis)

6.1. QS. 22: 18 : “Alam tara annallaaha yasjudu lahuu man fis-samaawaati waman fil ardhi wasy-syamsu wal qamaru wan-nujuumu wal jibaalu wasy-syajaru wad-dawaabbu wa katsiirum minan naas, wa katsiirun haqqa ‘alaihil ‘adzaab, wamay yuhinillaahu famaa lahu mim mukrim, innallaaha yaf’alu maa yasyaa’”
(Tidakkah engkau tahu bahwa siapa yang ada dilangit dan siapa yang ada dibumi bersujud kepada Allah, juga matahari, bulan, bintang, gunung-gunung, pohon-pohon, hewan-hewan yang melata dan banyak diantara manusia? Tetapi banyak -manusia- yang pantas mendapatkan azab. Barangsiapa dihinakan Allah, tidak seorangpun yang akan memuliakannya. Sungguh Allah berbuat apa saja yang Dia kehendaki)
6.2. QS. 22: 77 : “Yaa ayyuhal ladziina aamanur ka’uu wasjuduu wa’buduu rabbakum waf’alul khaira la’allakum tuflihuun”
(Wahai orang-orang yang beriman, rukuklah, sujudlah dan sembahlah Tuhanmu; dan berbuatlah kebaikan agar kamu beruntung)

7. QS. 25: 60 : “Wa idzaa qiila lahumus-juduu lirrahmaani qaalu wamar-rahmaan anasjudu lima ta’murunaa wa zaadahum nufuuraa”
(Dan apabila dikatakan kepada mereka “Sujudlah kepada Yang Maha Pengasih”, mereka menjawab:”Siapakah yang Maha Pengasih itu? Apakah kami harus sujud kepada Allah yang engkau –Muhammad- perintahkan kepada kami? Dan mereka makin jauh lari-dari kebenaran-)

8. QS. 27: 26 : “Allaahu laa-ilaaha illaa huwa rabbul ‘arsyil ‘azhiim”
(Allah, tidak ada tuhan melainkan Dia, Tuhan yang mempunyai ‘Arsy yang agung)

9. QS. 32: 15 : “Innamaa yu’minu bi-aayaatinalladziina idzaa dzukkiruu bihaa kharruu sujjadaw wa sabbahuu bihamdi rabbihim wahum laa yastakbiruun”
(Orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat kami, hanyalah orang-orang yang apabila diperingatkan dengannya –ayat-ayat Kami-, mereka menyungkur sujud dan bertasbih serta memuji Tuhannya serta tidak menyombongkan diri)

10. QS. 38: 24 : “Qaala laqad zhalamaka bisuaali na’jatika ilaa ni’aajah, wa-inna katsiiram minal khulathaa-I layabghii ba’dhuhum ‘alaa ba’dhin illal ladziina aamanuu wa’amilush shaalihati wa qaliilum maa-hum wa zhanna daawuudu annamaa fatannaahu fastaghfara rabbahuu wa kharra raaki’aw wa anaab”
(Dia –Dawud- berkata:”Sungguh dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk –ditambahkan- kepada kambingnya. Memang banyak diantara orang-orang yang bersekutu itu berbuat zalim kepada yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, dan hanya sedikitlah yang begitu”. Dan Dawud menduga bahwa Kami mengujinya, maka dia memohon ampunan kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertobat)

11. QS. 41: 38 : “Fa-inistakbaruu falladziina ‘inda rabbika yusabbihuuna lahuu billaili wannahaari wahum laa yas-amuun”
(Jika mereka menyombongkan diri, maka mereka -malaikat- yang disisi Tuhanmu bertasbih kepada Nya pada malam dan siang hari sedang mereka tidak pernah jemu)

12. QS. 53: 62 : “Fasjuduu lillahi wa’buduu”
(Maka bersujudlah kepada Allah dan sembahlah Dia)

13. QS. 84: 21 : “Wa-idzaa quri-a ‘alaihimul qur-aanu laa yastuduun”
(Dan apabila Al-Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka tidak –mau- bersujud)

14. QS. 96: 19 : “Kallaa laa tu thi’hu wasjud waqtarib”
(Sekali-kali tidak! Janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujudlah serta dekatkanlah dirimu kepada Allah-)

Demikian sekilas uraian tentang ‘Ayat-ayat Sajdah’ semoga bermanfaat bagi kita semua. 
Amin
 
 
 
*) Dari berbagai Sumber: 
1. “Al-Huda” Tafsir Qur’an Bahasa Jawa, karangan
Kol. Drs. H. Bakri Syahid, Mantan Rektor IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Penerbit Bagus Arafah, Cet.1, 1979
2. The Noble Qur’an, Transliteration in Roman Script, Penerbit Darussalam Riyadh, Cet.1, 2002

Senin, 23 Mei 2011

"SHOLAT PINDAH TEMPAT DAN JALAN 'ATRET' DI MASJIDIL HARAM"



(cuplikan dari: “kisah2 spiritual” mastonie)

( 17 )

 Ka'bah dimalam hari


Released by mastonie on Monday, May 23, 2011 at 09.10 pm


Tawaf dan sholat a’la jemaah Timur Tengah..

Bagi anda yang baru pertama kali pergi ketanah suci (entah dalam rangka Umroh ataupun menunaikan ibadah haji), pasti akan terheran-heran bin tersongong-songong menyaksikan aneka tingkah laku para jemaah yang berasal dari segenap penjuru dunia itu. Terutama kalau sedang beribadah di Masjidil Haram.
Jemaah calon haji dari Indonesia terkenal paling banyak jumlahnya. Begitu juga terkenal adab sopan santunnya. Namun demikian jumlahnya masih kalah banyak oleh jemaah calon haji dari Negara-negara Timur Tengah (bila digabung). Mungkin  karena kesamaaan bahasa (Arab), dan jarak yang tak terlalu jauh dicapai dari Negara mereka. Selain itu mereka juga mudah terlihat dari postur tubuhnya yang tinggi besar. Bahkan sampai ke jemaah wanitanya juga punya body yang size nya rata-rata lebih besar dari ukuran badan jemaah Indonesia.
Tapi yang lebih mencengangkan adalah perilaku mereka dalam melakukan ibadah. Banyak hal aneh dan lucu yang saya jumpai. Setidaknya menurut pola pikir dan keyakinan orang Indonesia. Misalnya orang yang sholat tanpa bersidekap. Atau yang sholat dengan wajah menengadah. Ada pula yang melakukan tawaf dengan ‘gegap gempita’ dipimpin oleh seorang mutawif yang membawa tongkat dengan atribut dan bendera Negara masing-masing. Sang mutawif ini biasanya memimpin tawaf sambil membaca doa dengan suara sangat keras. Barangkali untuk mengalahkan suara ribuan jemaah lain yang memang bergemuruh suaranya. Jemaah haji dari Iran atau Irak lebih ‘heboh’ lagi. Sepanjang jalan menuju ke Masjidil Haram mereka berbondong berjalan beriringan sambil mengibarkan bendera Negara maupun lambang lain atau bahkan ‘mengibarkan’ sandal diatas sebatang tongkat seraya berteriak-teriak (dalam bahasa Arab tentu saja). Persis seperti orang sedang unjuk rasa.  Konon hal seperti itu sekarang sudah dilarang oleh Pemerintah Kerajaan Arab Saudi.

Pada suatu siang ketika sedang melaksanakan tawaf sunah, saya menyaksikan seorang jemaah haji yang sedang sholat didepan “Maqom Ibrahim”. Banyak yang salah menafsirkan tempat ini sebagai makam Nabi Ibrahim AS. Padahal bukan. Berbentuk mirip sebuah sangkar burung berwarna emas, didalamnya terdapat sebuah batu dimana terdapat bekas telapak kaki Nabi Ibrahim. Batu bekas telapak kaki Ibrahim, itulah sejatinya arti “Maqom Ibrahim”. Konon inilah sebuah batu ajaib yang dikirim oleh Allah SWT untuk membantu Nabi Ibrahim membangun Ka’bah. Batu (yang disebutkan oleh Ibnu Abbas, RA sebagai batu dari surga) itu berlaku seperti sebuah lift yang membawa Nabi Ibrahim naik turun pada saat membangun dinding Ka’bah. Konon dengan menaiki batu itu pula, Nabi Ibrahim AS melayang keatas bukit untuk menyerukan panggilan berhaji bagi umat manusia, baik yang sudah lahir maupun belum. Barangsiapa pada saat itu menjawab panggilannya, maka kelak (entah kapan) suatu ketika dia akan bisa pergi haji.   Wallahu’alam.
Selain Hajar Aswad, Multazam dan Hijir Ismail, “Batu dalam sangkar” ini termasuk tempat yang paling diminati oleh ribuan jemaah haji maupun umroh untuk didekati. Banyak yang berusaha untuk menjamah, bahkan berusaha memegang batu yang terkurung rapat itu. Ada Askar yang menjaga tempat itu, yang akan melarang jemaah menjamah, apalagi sholat (sunah) didepan tempat yang terletak hanya beberapa meter saja disamping kiri depan pintu Ka’bah. Larangan itu diberlakukan karena apabila banyak jemaah yang berkerumun di Maqom Ibrahim, maka akan mengganggu jalannya jemaah yang sedang tawaf. Tapi larangan tinggal larangan. Buktinya siang itu saya melihat seorang jemaah pria lanjut usia berpakaian gamis putih dengan kopiah haji dikepalanya memaksakan diri sholat didekat Maqom Ibrahim. Entah bagaimana tak ada Askar yang melihat orang yang sholat ditempat ‘verboden’ itu. Tapi tentu saja dia terganggu sholatnya dengan banyaknya orang yang sedang melakukan tawaf mengelilingi Ka’bah.
Disinilah terjadi kelucuan. Pria lanjut usia berjenggot putih itu meletakkan barang bawaannya dihadapannya untuk menandai batas tempat dia sholat. Dia berdiri dengan mengacungkan tangan kirinya lurus kedepan, maksudnya untuk melarang orang lewat didepannya. Sedangkan tangan kanannya bersidekap seperti layaknya orang sholat. Tapi mana ada orang yang peduli dengan ‘larangan’nya itu. Tetap saja orang lewat dihadapannya, karena begitu banyaknya jemaah yang sedang melakukan tawaf. Maka sambil tetap sholat dia sibuk mengibaskan tangan kirinya untuk mencegah orang lewat.  Suatu saat barang bawaan yang ada dihadapannya tertendang oleh jemaah lain yang lewat ditempat itu. Benda semacam tas itu kemudian terus tertendang oleh kaki kaki jemaah lain sehingga makin menjauh dari tempat asalnya. Yang membuat saya geli sehingga hampir tertawa ‘ngakak’ adalah ulah pria nekat itu yang kemudian melakukan tindakan yang (bagi saya) sangat menggelikan. Sambil terus mengacungkan tangan kirinya kedepan dan tetap dalam posisi sedang sholat, dia berjalan miring mengejar barang bawaannya yang makin menjauh. Kaki kanannya berusaha menggapai-gapai miliknya itu, tapi dia bersikukuh tetap tidak membatalkan sholatnya! Akhirnya kaki kanannya berhasil juga menginjak benda miliknya itu, maka berhentilah pengembaraan barang itu. Dan posisi akhir dari lelaki itu meledakkan tawa saya. Pria lanjut usia itu sholat dalam posisi masih mengacungkan tangan kirinya kedepan, sementara kaki kanannya terentang kearah samping depan menginjak barang bawaannya. Dia sudah bergerak sekitar dua meter lebih dari tempat awalnya, tapi dia tetap keukeuh sholat!
Saya tidak tahu apakah sholat (sambil bergerak) seperti itu syah atau tidak. Entah kalau dimasukkan sebagai kategori darurat!


“Atret” (jalan mundur) sambil melambaikan tangan kearah Ka’bah…..

 Tawaf,    foto2 by mastonie
Tawaf Wada’ adalah salah satu wajib haji. Tawaf perpisahan ini harus dilakukan oleh jemaah haji  beberapa saat sebelum meninggalkan kota Mekah al-Mukaromah. Kalau tidak dilakukan maka jemaah haji itu harus membayar Dam. Setelah melaksanakan tawaf wada' para jemaah harus segera meninggalkan Masjidil Haram dan kota Mekah. Tidak boleh lagi tinggal di Masjid apalagi masih bermalam dikota Mekah.
Bersama dengan istri, saya berniat melakukan tawaf wada’ pada hari menjelang keberangkatan menuju kota Madinah al-Munawaroh. Saya sengaja berdiam di Masjidil Haram sesudah sholat subuh, agar setelah hari agak terang bisa melaksanakan wajib haji yang terakhir itu. Kurang lebih pukul enam pagi waktu setempat, saya bersama istri mengambil air wudhu dan bersiap-siap menjalankan tawaf wada’. Cuaca kota Mekah pada pagi hari yang cerah itu cukup dingin. Tapi baru beberapa langkah memasuki pelataran didalam Masjidil haram dimana Ka’bah berdiri dengan megah, saya (maaf) buang angin. Lucunya istri saya juga mengalami hal yang sama. Maka dengan segera saya balik lagi mencari tempat wudhu terdekat. Tapi kejadian yang sama terulang lagi, bahkan sampai tiga kali! Astagfirullah, saya beristigfar memohon ampun atas segala dosa. Saya putuskan untuk kembali saja kehotel (yang hanya sekitar 200 meter jauhnya dari Masjidil Haram) untuk minum obat. Siapa tahu bisa mencegah buang angin yang terus-terusan itu.
Sudah sekitar pukul setengah delapan pagi ketika akhirnya saya bersama istri kembali ke Masjidil Haram untuk memulai kembali tawaf wada’.  Jadwal keberangkatan ke kota Madinah adalah pukul sembilan. Masih ada waktu tersisa sekitar satu setengah jam. Selama ini saya catat waktu untuk tawaf (tujuh putaran) ditambah sholat sunah dua raka’at, kurang lebih satu sampai satu setengah jam. Tergantung keadaan penuh atau tidaknya jemaah yang melakukan tawaf. Jadi saya yakin bisa menepati jadwal waktu. Beruntung pada saat itu saya tidak tahu bahwa kami berdua adalah  jemaah yang paling akhir melakukan tawaf wada’ dalam rombongan kami. Jadi saya tidak merasa terbebani. Berdua dengan istri saya menjalankan tawaf wada’ dengan panduan alat pemutar doa tawaf yang bisa kita dengarkan bersama sambil sekaligus menirukan  lewat stereo earphones. Kemajuan alat elektronika buatan manusia yang sangat memudahkan umat untuk beribadah.
Subhanallah, sekitar pukul setengah sembilan pagi saya sudah selesai melaksanakan shalat sunah dua raka’at sesudah tawaf. Saya selalu berusaha mengambil tempat sholat (wajib ataupun sunah) yang lurus dengan arah multazam. Saya senantiasa meyakini sabda Rasulullah SAW:  
“ Antara Rukun Aswad (sudut dimana terletak Hajar Aswad) dan Pintu Ka’bah, disebut Multazam. Tidak ada orang yang berdoa memohon sesuatu (kepada Allah) di Multazam, melainkan akan dikabulkan permohonannya itu oleh Allah SWT” (HR. Baihaqi dan Ibnu Abbas)
Sebelum meninggalkan Masjidil Haram saya sempat melihat pemandangan yang bagi saya terlihat unik dan menarik. Serombongan jemaah haji (entah dari Negara mana) tampak berbaris rapi meninggalkan Masjidil Haram melalui salah satu pintunya. Kalau hanya berbaris begitu saja tentu tidak aneh. Tapi rombongan ini berbaris sambil ‘atret’ (berjalan mundur)! Semua wajah tampak tak berkedip menatap Ka’bah sambil mulutnya tak berhenti  melantunkan doa. Sesekali mereka melambaikan tangan kearah Baitullah. Saya melihat beberapa orang diantara mereka tampak meneteskan airmata. Pasti airmata haru karena harus berpisah dengan Rumah Allah. Perasaan saya campur aduk. Antara takjub, geli dan tersentuh. 
Beberapa waktu kemudian ketika saya bertanya kepada pembimbing haji Anubi tentang perilaku aneh itu, saya baru mendengar cerita bahwa memang ada ‘ritual’ Tawaf Wada’ semacam itu (harus meninggalkan Masjidil Haram dengan berjalan mundur, karena harus tetap dapat melihat Ka’bah sampai keluar dari masjid) yang dilakukan oleh jemaah haji dari beberapa Negara. 
Tapi ritual itu tidak jelas bersumber darimana dan entah dari aliran apa.  


bersambung…..