Selasa, 19 Juni 2012

"DARI PAGILARAN SAMPAI GARAHAN" ( Tamat )


AKHIR PERJUMPAAN DAN PERJALANAN .......

Nampang didepan Kampus UNEJ

(KISAH PETUALANGAN KULINER TIGA LANSIA PANGSIYUNAN)

-Bagian Kelima belas (Tamat)-

Akhir kisah di ‘setapsiyun’  nJember......

       Jadwal keberangkatan KA Mutiara Timur dari Jember ke Surabaya adalah pukul 11 siang. Setelah (akhirnya) berkenan menyikat habis sepiring nasi pecel, Pakde Bagio langsung mengajak tamunya ‘check out’ dari hotel. Sisa waktu sekitar 2 jam pagi hari ini masih akan dipergunakan untuk keliling kota melihat pemandangan yang ada. Saya menawarkan diri untuk nyopir lagi. Pakde Bagio duduk disamping sopir sebagai ‘Ajudan’ sekaligus penunjuk jalan. Pak Nur dan isteri saya duduk berdampingan dikursi belakang, berperan sebagai “Toean dan Nyonyah” alias majikan. 

     Kebanggaan Pakde Bagio terhadap alma mater nya begitu besar. Maklum, nyaris seluruh masa baktinya dihabiskan di kampus paling terkenal di Jember itu. Tidak heran kalau rute pertama yang dipilihnya adalah berkeliling didalam area kampus Universitas Negeri Jember. Pakde hafal luar kepala lokasi seluruh fakultas yang ada dikampusnya. Bahkan sanggup bercerita tentang sejarah berdirinya UNEJ, yang sebelumnya berbentuk Perguruan Tinggi Swasta bernama Universitas Tawang Alun.

Pakde 'ngrumpi' dengan sobatnya.....didepan UNEJ
       Tidak hanya mengenal kampus dengan baik. Pakde Bagio ternyata juga dikenal dengan baik oleh nyaris seluruh civitas academica UNEJ. Dimana-mana Pakde bertemu orang yang dengan hangat akan menyapanya. Bahkan ada kejadian menarik sewaktu sedang berpotret dengan  tamunya didepan pagar halaman UNEJ.  Seorang wanita muda bersepeda motor gumrojog tanpa larapan (datang secara tiba-tiba) meluncur mendekat sambil setengah berteriak dari balik helmnya:
“Pakdeeee.......kemana saja siiiih, koq lama sekali kita tak bertemu....?”
Yang mengherankan, walaupun sang gadis (atau janda? Hahahaha..) masih memakai helm, Pakde Bagio langsung bisa mengenalinya dengan baik. 

      Disiang ndrandhang (panas terik) yang membuat peluh berleleran, keduanya asyik masyuk bercerita. Persis sepasang merpati yang lama tak bersua. Bahkan Pakde kelihatan sampai mendekatkan kepalanya kearah helm ‘teman dekat’nya seakan membisikkan kalimat yang orang lain tak boleh tahu. Mirip adegan yang terjadi dikebanyakan sinetron dan film teve. Ini baru peristiwa seru dan langka. 

      Dari kampus UNEJ, saya masih diminta untuk nyopir keliling kota sebentar. Kali ini untuk menunjukkan sebuah bangunan didekat alun-alun Jember. Dari jauh terbaca sebuah tulisan cukup besar dan jelas: “Pintu Tobat”. Rupanya itulah penjara alias hotel prodeo. Sekarang dikenal sebagai Lembaga Pemasyarakatan. Apakah mereka yang keluar melalui pintu itu dijamin bertobat? Wallahu ‘alam.

      Masih sekitar pukul sepuluh pagi sewaktu Kijang kencana (yang sekarang sudah jadi ‘saksi sejarah’ kiprah tiga lansia) saya belokkan memasuki lapangan parkir stasiun Jember. Susananya masih sepi sekali. Bahkan pintu masuk kedalam peron belum dibuka. Walaupun bentuk fisik stasiun Jember relatif kecil dibanding stasiun Gambir, tapi ternyata inilah stasiun terbesar di Kabupaten Jember. Disinilah pusat Daops (Daerah Operasi) IX Jember yang meliputi kota Pasuruan sampai Banyuwangi.

      Bangunannya terawat dengan baik dan ditata cukup rapi. Meskipun saya mempunyai pengalaman kurang baik dalam hal pelayanan, harus saya akui stasiun Jember bahkan lebih bagus dibanding dengan stasiun Pekalongan.  Semua terlihat bersih. Dari kantin, jajaran kursi yang ada diperon sampai kamar kecilnya. Bahkan ruang tunggu eksekutifnya sangat apik. Dihiasi sebuah TV LCD besar, berpendingin udara dan kursi-kursi yang nyaman diduduki.

      Tiga lansia yang nyaris seminggu ngerumpi bersama, pagi itu masih tampak tertawa-tawa. Tapi canda tawanya terdengar sedikit sumbang. Ada sedikit perasaan mengganjal yang membuat seolah ada pemberat menekan dada. Celetukan guyonan memang masih ada, tapi atmosfer nya beraroma beda. Saya nervous sekali. Sampai harus bolak-balik  kekamar kecil. Mungkin Pak Nur juga merasakan hal yang sama. Oleh sebab itu ia terlihat menyibukkan diri dengan memotreti dokumentasi foto-foto lama yang ada didinding ruang tunggu. 

     Salah tingkah saya menatap keberadaan Pakde yang ikut duduk diruang tunggu. Padahal sebenarnya orang yang tidak punya tiket tak diijinkan memasuki peron. Bukan Pakde kalau kalah oleh aturan. Aturan dibuat kan untuk dilanggar, barangkali itu prinsip nyeleneh Pakde. Saya pikir-pikir, lelaki lansia berambut cepak ini jangan jangan  punya jimat panglipuran. Begitu gampang berkenalan sekaligus menarik simpati orang yang baru saja dijumpainya. 

      Pria kelahiran Bondowoso yang mengaku trah Madura itu, juga berbakat mudah mempengaruhi orang. Kalau tidak begitu, mana mungkin Pak Nur dan saya keplantrang-plantrang manut saja diajak Pakde pergi kemana-mana. Dari Pagilaran sampai Garahan. Seperti kambing congek diusap brambang dihidungnya. Nyaris patuh pada apa saja yang dikatakannya.
  Ruang Tunggu Eksekutif, Stasiun Jember

      Diruang tunggu yang sejuk itu pikiran saya terbagi dua. Pertemuan akan selalu diakhiri dengan perpisahan. Itu hukum alam sekaligus kodrat yang tak lagi bisa dilawan. Menyesalinya pun tak akan ada artinya. Walau sudah tahu pasti akan terjadi, tak urung ada juga terbersit aneka rasa. Sedih, senang, haru, melow campur aduk jadi satu. Persis rasa permen ‘anu-anu’ itu. 

     Angan saya nglambrang (melayang) jauuuuh sekali.
“Mas Koes, saya punya teman yang mirip mas deh. Priyayinya juga sudah senior, senang nulis dan suka celelekan (bercanda) juga”
Begitu suatu ketika Jeng Kusumastuti yang jadi salah satu teman  ‘dumay’ menulis di inboks akun pesbuk saya.
“Namanya Imam Soebagio. Tapi nama pesbuknya Pakde Bagio. Beliau juga sudah pangsiyun. Tapi aktif luar biasa. Pasti mas Koes cocok deh” Jeng Kus terus saja berpromosi. Saya suka banyak teman. Tapi berteman di dunia maya harus selektif. Soalnya banyak juga orang yang buka akun pesbuk untuk hal-hal yang negatif.

      Reaksi saya yang pertama  adalah mencoba mengintip diam-diam akun orang yang dipromosikan oleh Jeng Kus itu. Foto profilnya cukup meyakinkan. Pria separuh baya memakai kacamata. Wajahnya serius tapi saya lihat ada sudut kocak nya, entah bagian apanya. Disitu tertera keterangan sangat minim:
“Work at Pangsiunan. Studied at seadanya asal bisa baca tulis. Lives in Jember. From Bondowoso”
Ada beberapa mutual friends disitu. Saya langsung merasa sreg. Bukan mau umuk ataupun nyombong, saya punya insting kuat jika melihat wajah seseorang. Itu sebuah karunia yang saya syukuri. Karena biasanya selalu tepat, apakah saya akan cocok atau tidak dengan orang yang saya lihat.

      Saya tidak tahu persis, apakah Jeng Kus juga ‘mempromosikan’ diri saya ke “Arek Njember” itu. Yang jelas blog saya seperti banyak dikunjungi tamu anonim.

     Singkat kata akhirnya sayapun berteman di “dumay” dengan Pakde Bagio. Ternyata sejarah hidupnya banyak yang mirip dengan saya. Hobinya juga. Terutama dalam hal tulis menulis. Ada beberapa tulisan di blog Pakde Bagio yang ‘believe it or not’, mempunyai tema yang sangat mirip dengan tulisan saya. Padahal saya tak pernah sekalipun membaca blog orang lain sebelumnya. Termasuk blog Pakde. 

      Sesudah berkenalan, hubungan menjadi sangat intens. Status dan komen kita saling bersahutan. Gayeng dan kocak habis. Belum pernah bertemu muka langsung, tapi sudah akrab dan berani poyok-poyokan (saling meledek), tanpa merasa saling tersinggung.


 “Pah, mbok daftar harga makanan dikantin itu dipotret”
Suara isteri saya membuyarkan segala lamunan. Ada-ada saja permintaannya. Ternyata harga yang tertera dikantin memang termasuk murah. Apalagi kalau dibandingkan dengan harga di Jakarta. Harga seporsi nasi rawon hanya sepuluh rebu perak.  nJember geetuuuu lhoooh......

       Saya lirik Pakde masih duduk diruang tunggu dengan setia. Padahal saya dan Pak Nur sudah meminta beliau untuk pulang saja. Tidak usah menunggu sampai kita berangkat. Bukan Pakde Bagio kalau mau menurut begitu saja. Kalau dia yang memerintah harus dituruti. Kalau diperintah? Nanti dulu. Namanya juga kumendan.

       Niat saya ngusir Pakde bukan karena apa. Saya kuatir rasa haru pada saat berpisah nanti menjebol benteng pertahanan mata saya. Gengsi dong. Lansia setua dan segede ini koq mewek-mewek. Harak digeguyu (ditertawakan) tikus.

Ke Jakarta aku ‘kan kembaliiiii....

        Akhirnya rangkaian KA Mutiara Timur masuk juga ke stasiun Jember. Beberapa menit sebelum pukul sebelas. Entah mengapa rangkaian masuk disepur dua. Bergegas kita menuju ke gerbong dengan menenteng semua logistik. Kini jumlahnya bertambah banyak. Eh, Pakde Bagio tak mau kalah, beliau ikut saja menginthili naik kedalam gerbong. Padahal ini yang sebenarnya ingin saya hindari. Kalau sampai terjadi hujan  air mata, kemana mencari ojek payungnya, coba?

        Saat yang mengaduk-aduk perasan itu akhirnya datang juga. Mata saya pedih, tapi tak sepedih rasa dihati. Sebentar lagi nJember akan tinggal kenangan. Termasuk meninggalkan sosok lansia yang selama seminggu terakhir ini bak sparring partner. Dalam bercanda ataupun berdebat. Sosok priyayi Jawa setengah Madura yang pribadinya extra ordinary.

      Lonceng khas stasiun sebagai penanda kereta api harus berangkat telah berbunyi. Sewaktu berjabat tangan dengan Pakde Bagio, justru tak ada suara yang keluar. Mendadak kelu, lidah saya tercekat, mulut bak tersumbat. Emosi saya terkuras habis. Mungkin ucapan terima kasih yang keluar hanya lirih saja. Saya tahu itu tak mewakili apapun juga. Tak ada yang bisa menggantikan budi baik Pakde Bagio selama ini. 

      Menuruni gerbong kereta, Pakde tidak langsung keluar stasiun. Berdiri di peron, sosoknya yang tingi besar mengabur dalam pandangan mata saya yang barangkali mulai berair. Makin lama makin kabur, karena kereta sudah bergerak. Makin lama makin cepat. Masih terlihat samar senyum ikhlas Pakde melepas kepergian kita......

     Duduk didalam kereta eksekutif yang suhunya sejuk, badan saya justru terasa meriang. Walau isteri duduk disamping saya, siang ini saya merasa ada yang kurang. Seperti ada sesuatu  yang hilang. Bukan karena Pak Nur yang ternyata duduk berlainan gerbong, tapi karena saya kehilangan canda tawa dan celetukan Pakde.

     Selamat tinggal Pakde Bagio. Yakinlah, kita akan bersua lagi. Entah kapan dan dimana......

     Kereta belum sampai  memasuki stasiun Rambipuji ketika hape saya bergetar. 
Ada sms masuk:
"Slmt jln sohib. Smg slmt smp ditujuan. Maaf klo  ada keslhn dlm penerimaan slm di Jember. Smp ktm lg"  
Menerima sms dari Pakde Bagio, kini giliran tangan saya yang bergetar....



T a m a t

Tidak ada komentar:

Posting Komentar