Kamis, 07 Juni 2012

"DARI PAGILARAN SAMPAI GARAHAN" ( 5 )


TIGA LANSIA ‘NAKAL’ BERKELANA....

(KISAH PETUALANGAN KULINER TIGA LANSIA PANGSIYUNAN)

 Didalam KA Sembrani, Pakde Bagio usil dibelakang

-Bagian Kelima-


Kelimpungan di ‘setapsiyun’

     Berlagak gagah, Pakde Bagio, Pak Nur Widodo langsung masuk kedalam setasiyun Pekalongan. Mobil Pak Seten (beserta Bu Tuti) sudah langsung berlalu. Tidak enak kalau beliau berdua menunggu di stasiun. Pasti sudah terlalu lelah, soalnya ini bukan hari libur. Saya sempatkan melambaikan tangan sebelum menyusul kedalam stasiun. Setelah ada peraturan yang melarang orang masuk peron kecuali mempunyai karcis KA, nyaris semua stasiun jadi bersih dan lengang. Tapi stasiun Pekalongan tampaknya lebih dari itu.
      Tiga lansia yang sebetulnya juga sama capeknya, berusaha mencari sandaran di kafe. Setidaknya warung apa saja. Lhadaalaaah...ternyata didalam stasiun tak ada satupun warung. Apalagi kafe! Terpaksa kita langsung menuju ruangan tunggu eksekutif yang ada. Yang disebut ruang tunggu eksekutif itu adalah sebuah kamar berukuran sekitar 5 x 6 meter. Cukup bersih dan ada alat pendingin udara (AC) nya. Terdapat dua set tempat duduk terbuat dari stainless steel, khas ruang tunggu, letaknya agak berjauhan. Disalah satu pojok terdapat kamar kecil. Tidak terlalu bersih. Suasananya remang-remang saja. Tidak ada lampu neon yang menyala. AC menyemburkan angin yang tidak terlalu dingin. Masih mending suhu sejuk di Pagilaran. Ruang tunggu itu masih kosong blong. Waktu baru menunjukkan sekitar pukul 8 malam. Kereta masih lama datangnya.

Gaya tidur Kumbokarno 'van' nJember
       Saya mencari lubang stop kontak untuk mengisi batere HP. Hanya ada satu dan letaknya cukup tinggi. Saya lihat Pak Nur langsung ‘mapan’. Merasa ruangan masih kosong, maka satu baris kursi stainless langsung dikuasainya. Tanpa ragu sedikitpun langsung lheeep....eh tidur nding. Lansia dari nJember masih kelimpungan. Melihat satu set kursi sudah dikuasai, maka Pakde langsung meng invasi satu set kursi diseberangnya. Badan segede Kumbokarno itu merebahkan diri. Saknalika bablaaaaas......kealam mimpi. Tapi nanti duluuuu....kenapa mau tidur saja tangan direntangkan kesamping dua-duanya? Untuk menghalangi orang lain meng intervensi tempat duduknya? Haallaaaah!!
     Kini tinggal saya sendirian kelop-kelop. Kethap-kethip menikmati sepi sambil ngaplo. Persis seperti ‘tulup di kethek’! Bagaimana tidak? Kalau saya ikutan tidur, terus siapa yang menjaga barang-barang? Apalagi saya juga sedang ngecas BB. Perut rasanya sudah lapar lagi. Edan tenan. Nasi megono satu setengah pincuk tadi kurang nendang rupanya. Kalau lapar sih masih bisa ditahan. Tapi bagaimana kalau haus ikut menerjang? Saking asiknya ngobrol sambil cekakakan, sampai lupa membawa bekal air minum. Untuk membunuh waktu, saya abadikan saja tingkah polah dua lansia yang sedang berlayar dialam mimpi. Buat bukti otentik, kalau nanti saya ceritakan gaya tidur masing-masing.
     Waktu seperti berjalan merayap. Tapi kerongkongan makin kering. Ada dua orang ikut masuk keruang tunggu sekarang. Mereka mengambil sisa kursi yang tersedia. Nah sekarang ada orang lain. Saya putuskan keluar sebentar cari air mineral plus sari jeruk buat menambah kekuatan mata. Biar tidak mudah ngantuk. Sewaktu masuk keruang tunggu lagi, Pak Nur ternyata sudah bangun. Sesudah masuk kamar kecil beliau cuma bilang:
“Saya keluar sebentar ya Pak Tony?”
Nggih” jawab saya cekak aos (singkat) saja.
     Ternyata yang dimaksud ‘sebentar’ itu sampai hampir satu jam lebih! Trondolo tenan. Syak wasangka segera menyergap. Pasti Pak Nur juga kelaparan lagi. Dan sekarang mungkin sedang ri-nyari nasi sak ketemunya. Siapa tahu?. Pakde sih kalau sudah lelap, mbok ada macan datang juga tidak akan bangun. Kecuali kalau mendengar suara kaleng “gerombyangan”. Kebiasaan di rumah yang rupanya jadi kebiasaan. Untung saya bawa tablet, jadi bisa main ‘angry bird’ sambil suh-misuh sendiri.
     Menjelang pukul setengah sebelas Pak Nur muncul. Wajahnya tampak lebih cerah. Entah habis bertemu siapa. Mungkin ada bakul wedang yang bathuk (jidat)nya kelimis. Untuk menebus ‘guilty feeling’ nya, Pak Nur langsung nyerocos tanpa saya tanya.
Trembelane betul, saya ngubek nyari orang jual martabak disekitar sini, hasilnya nol besar. Yang banyak malah orang jualan nasi goreng”.
Nah ini diaaaa. Rupanya wajah cerahnya karena sudah melahap nasi goreng. Kata hati saya. Tapi saya tak berkomentar. Kalau ‘nyari’ martabak, lha mbok semalam suntuk ya tidak bakalan ada. Kalau beli, baruuuuu..... saya menggerutu, dalam hati juga. Mangkel aku.
     Hape saya menerima pesan singkat: ”Cirebon”. Ini pasti isteri saya yang mengirim. Wah, KA Sembrani ternyata baru sampai Cirebon. “OK, klo smp Tgl ksh tau lg” saya jawab sms nya. Diam-diam saya merasa bersalah juga. Karena isteri saya menyusul pakai KA Sembrani, dua orang lansia ini sekarang ikut terkena imbasnya. Kelimpungan di stasiun Pekalongan yang ternyata kalau malam fasilitasnya minim sekali. Kasihaaaan deh looooo....

Surabaya I’m comiiiing.........

     Pakde Bagio akhirnya bangun juga. Mungkin perutnya juga sudah mulai ‘demo’. Maklum nasi megono yang dilahap tadi cuma satu pincuk. Itupun sambil ogah-ogahan, karena yang dibayangkan hanya nasi goreng plus soda gumbira saja. Tapi apa daya, tangan tak sampai. Hallaaah. Tidak tahan menunggu didalam, akhirnya tiga lansia lapar brol-ngobrol sambil berdiri diperon. Angin malam bertiup perlahan. Stasiun masih sunyi senyap. Tapi lampunya berpendaran. Pakde mulai mengeluarkan jurus kisah klasiknya. Semuanya seru tapi lucu. Diperon setapsiyun Pekalongan itulah Pakde Bagio mulai buka kartu ‘bis-habisan’. Dari soal pekerjaan sampai ‘struktur organisasi’ keluarganya yang sangat menggemparkan. Dalam kesenyapan malam itu kita bertiga tertawa cekakakan, seolah dunia milik kita bertiga. Barangkali orang yang melihat akan berpikir, ini koq ada tiga orang yang kemungkinan besar patut disangka dan diduga “lupa minum obat”. Menjelang kedatangan KA malam, banyak penumpang yang berdatangan. Stasiun Pekalongan rupanya jadi titik tengah perhentian KA jurusan Jakarta maupun Surabaya.
     Akhirnya KA Sembrani datang juga. Tapi ini KA yang dari Surabaya menuju Jakarta! Alamak yang datang dari Jakarta rupanya malah terlambat. Tiwas dandan. Sekitar 15 sampai 20 menit kemudian baru KA Sembrani dari Jakarta ‘mendarat’. Itupun disepur dua. Sepur satu sudah terlanjur diduduki KA Sembrani lawannya.  Kita bertiga agak panik. Bagaimana menyeberang ke sepur dua, sementara sepur satu masih ada rangkaian KA nya. Ternyata ada yang memberitahu agar tidak perlu tergesa. Karena sepur satu yang berisi rangkaian KA Sembrani jurusan Jakarta akan diberangkatkan lebih dulu. Jadi masih menunggu lagi.
     Akhirnya dapat naik juga kita setelah sepur satu kosong. Stasiun Pekalongan belum menyediakan lantai emplasemen yang tinggi (seperti stasiun Gambir) agar penumpang bisa naik ke gerbong dengan mudah. Masih diperlukan bangku untuk memanjat. Repotnya kalau sudah tengah malam begini petugas kut-angkut bangku itu sudah lenyap semua. Hoiiii Pak Kasep, eh Pak Kepala Stasiun nding, tolong diperhatikan soal bangku itu. Soalnya kalau penumpang perempuan pasti sangat kesulitan. La wong kita bertiga yang laki-laki tulen saja kerepotan. Apalagi Pakde dan Pak Nur sambil nenteng tas kresek.
      Istri saya duduk di gerbong nomer dua. Sedangkan kita bertiga dapat tempat duduk digerbong lima. Saya jadi teringat kisah sedih berebut tempat duduk waktu berangkat dulu. Soalnya dulu juga menyangkut gerbong nomer dua dan gerbong nomer  lima.  Akankah tragedi berulang lagi. Mbuh ra weruuuh...!!
     Setelah menemukan tempat duduk yang baik dan benar, saya ternyata malah diusir para sohib untuk segera mencari tempat duduk istri saya digerbong nomer dua. Kebetulan saja digerbong nomer lima ada beberapa tempat duduk kosong. Terus terang, terang terus saya agak trauma diusir oleh penghuni yang berhak seperti saat di Cirebon dua hari lalu. Tapi dua sohib ini tak henti menghibur dan menyemangati. Cari isteri dulu, baru balik kesini lagi.
     Tidak mudah mencari seseorang disebuah gerbong kalau semua dalam kondisi tidur njingkrung berselimut rapat. Suhu udara digerbong dua memang sangat dingin. Mata saya jelalatan melirik kanan kiri mencari isteri. Katanya sih dia duduk dikursi nomer 4. Tiba-tiba mak jegagik, sebuah kaki menjegal kaki saya. Asem tenan. Rupanya isteri saya malah lebih dulu tahu tingkah saya. Dia melihat dari bayangan pintu kaca didepannya. Pantesan.
      Tak butuh waktu lama untuk menyeret isteri saya ke gerbong nomer lima. Disana dua sohib menyambut dengan gaya cengengesan nya. Dasar lansia ‘nakal’. Saya akhirnya mendapatkan dua tempat duduk kosong didepan kursi Pak Nur yang sebelahnya juga kosong (karena saya tinggalkan). Pakde duduk diseberang Pak Nur bersebelahan  dengan laki-laki separuh baya yang pulas tidur. Kalau nanti ternyata kursi saya ada yang punya, ya urusan belakang lah. Yang penting diduduki dulu.
     Setelah perkenalan sambil basa basi sebentar, kita mulai ancang-ancang tidur. Tapi koq perut makin bergolak ya? Untung isteri saya dibekali roti coklat untuk empat orang. Jadi tengah malam itu saya edarkan roti untuk.... makan sahur barangkali. Mula-mula sih pada menolak, sambil lu-malu geetuuu....lama-lama mau juga. Habis memang lapar beneran sih!. Sehabis makan roti, Pakde ternyata langsung lelap. Suaranya melebihi suara lokomotip diesel yang menarik rangkaian KA Sembrani. Alamaaaak.....jaaan...kasihan amat laki-laki yang duduk disebelahnya.
Padahal si Amat saja kagak kasihan-kasihan amat........


bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar