Jumat, 08 Juni 2012

"DARI PAGILARAN SAMPAI GARAHAN" ( 6 )


TIGA LANSIA BINGUNG DI GUBENG...

 Sarapan di Stasiun Gubeng

(KISAH PETUALANGAN KULINER TIGA LANSIA PANGSIYUNAN)


-Bagian Keenam-

Hari Rabu dinihari, 9 Mei 2012
Stasiun Tawang yang penuh kenangan

     KA Sembrani terlambat sekitar setengah jam ketika meninggalkan stasiun Pekalongan. Hawa dingin dalam gerbong membuai angan kealam ‘panglipuran’ alias mimpi. Saya terperangah bangun ketika kereta berhenti di stasiun Tawang Semarang. Hampir pukul 3 pagi dan saya terloncat bangun mengira sudah sampai di tujuan. Selama hampir 30 tahun kota Semarang sudah saya tinggalkan. Kota yang meninggalkan kenangan masa bersekolah yang penuh haru biru. Kota dimana anak-anak saya lahir. Kota dimana saya merintis karir kepegawaian dari nol besar. Kota yang sekarang mungkin akan jarang lagi saya singgahi, semenjak ibu berpulang. Ada rasa nyeri menusuki hati. Terkenang saat berdiri bersama almarhumah ibu diperon stasiun ini. Waktu itu saya berhasil membujuk beliau pindah sementara waktu ke Jakarta untuk berobat.
Meski akhirnya dua hari sebelum Lebaran tahun 2011, Ibu ngotot (berkeras) minta kembali ke Semarang lagi. Hanya beberapa bulan setelah itu beliau wafat.

      Stasiun Tawang yang kerap terlanda rob, tapi menggoreskan kenangan tak terlupakan. Kini saya hanya bisa memandang lewat jendela kereta. Entah kapan saya akan turun lagi di stasiun ini. Ketika Sembrani kembali bergerak, meluncur digelap ujung pagi, anganpun pudar. Meninggalkan rasa sentimentil yang tak bisa saya hindari. Saya melihat dua sohib masih terlena dengan gaya sing-masing. Yang dari nJember terlelap dengan gaya ‘kumbokarno-an’. Yang dari Tangerang lelap masih dengan mencengkeram BB nya yang setia. Saya pikir yang dirumah pasti akan iri, tidur saja yang dipegang malah hape.

Pertama kali ‘mendarat’ di stasiun Gubeng

      Seumur hidup saya selalu menginjak kota Surabaya lewat stasiun Pasar Turi, kalau melalui jalan darat (kereta api). Atau lewat Bandara Juanda kalau datang dengan pesawat terbang. Waktu menunjukkan pukul 7.30 pagi saat Sembrani merapat di stasiun Pasar Turi. Tepat dengan jadwal waktu yang tercantum di tiket. Itu berarti sang masinis sukses ‘ngebut’ menebus keterlambatan waktu tiba di Pekalongan.

     Angin pagi berhembus segar. Udara seputar stasiun sangat cerah. Sebagai ‘tour leader’ merangkap tuan rumah, Pakde Bagio bertindak cepat. Langsung nego dengan sopir taksi gelap untuk ‘rokade’ (lukir kata orang Jawa) ke stasiun Gubeng. Karena KA Mutiara Timur bertolak dari stasiun Gubeng, maka calon penumpang jurusan nJember dan mBanyuwangi yang turun di Pasar Turi harus segera menuju Gubeng. Jam keberangkatan KA masih pukul 09.00 pagi, jadi masih ada sedikit waktu untuk pindah stasiun sekaligus mencari sesuatu untuk mengganjal perut. Maklum semalam hanya sempat mengunyah sepotong roti (yang didalamnya tak ada ‘cinta’, seperti judul film). Ini saat bersejarah bagi saya, pertama kali menginjak stasiun Gubeng Surabaya yang ternyata ada dua, Gubeng Lama dan Gubeng Baru. Stasiun nya sih cuma satu, hanya letaknya saling bertolak belakang menghadap dua jalan yang berbeda.

     Pakde langsung menggiring tamunya kesemacam ruko yang berderet disamping stasiun. Isinya adalah warung yang menjual cam-macam makanan. Begitu kondangnya Pakde, belum sempat duduk dikursi sudah ketemu kenalan lama. Saya teringat sewaktu di stasiun Gambir, Pakde juga ketemu sobat lamanya. Ruaaar biasa, terbukti Pakde Bagio memang benar-benar bukan orang ‘biasa’. Kenalan dan relasinya ada dimana-mana.

     Menu diwarung ini memang cem-macem. Sayangnya cuma satu, disini tidak tersedia nasi goreng! Yang ada hanya aneka soto (babat, daging atau ayam) dan beberapa menu Jawa Timuran (rawon dan konco-konco nya). Anehnya menu soto Gubeng yang terkenal itu malah tidak ada. Konon warung soto Gubeng bukan distasiun Gubeng tempatnya. Lucu. Saya terpana melihat kedua sohib saya bingung membaca menu. Padahal dua-duanya sudah memakai kacamata. Pakde jelas kuciwa karena menu favoritnya tidak ada. Lha priyayi yang satu itu cari menu apa lagi? Saya dan isteri sudah langsung menentukan pilihan: soto ayam. Ini satu-satunya menu yang (saya anggap) paling cocok dipagi hari. Mungkin rikuh terlalu lama memilih dan melihat saya sudah menentukan pilihan, akhirnya Pak Nur ikut pilihan kita. Kini tinggal Pakde yang masih bimbang dan ragu. Ma-lama pasti juga malu. Maka akhirnya Pakde memilih menu nasi gudeg buat tombo judeg (pengobat bingung). Sayangnya lagi soda gumbira juga tidak ada! Lha masa’ sih, pagi-pagi sudah mau minum yang serba gumbira? Neh-aneh saja sampiyan Pakde. Tapi tampaknya hari ini memang bukan hari baik kita. Yang dipesan soto ayam yang keluar soto daging. Entah Pak Nur yang salah tulis atau kokinya yang salah baca. Sampai sekarang tetap gelap, TIDAK JELAS. Berhubung perut memang glondangan, walaupun salah menu tetap saja sikat bleeeeh.....

      Sehabis sarapan kita berempat masuk ke stasiun Gubeng. Kesan pertama saya, stasiun Gubeng bersih dan terawat. Aturan PT KAI yang melarang non penumpang masuk peron sangat membantu terjaganya kebersihan. Antara Gubeng Lama dan Gubeng Baru ternyata hanya dipisahkan beberapa lajur rel kereta saja. Karena waktu menunggu cukup lama, maka kita masuk keruang tunggu eksekutif yang tidak terlalu luas. Disitu ada kamar kecil dan kafe didalam (yang ternyata harganya selangit) serta full berpendingin udara. Cukup nyemoot (nyaman) pokoknya.

Melewati daerah korban “Lumpur Lapindo”

      KA Mutiara Timur adalah kereta api yang rangkaiannya mengandung gerbong eksekutif dan gerbong ekonomi. Gerbong eksekutif justru ada dibagian belakang rangkaian (arah ke nJember). Nanti sesampai di mBanyuwangi, gerbong eksekutif akan jadi yang terdepan (arah ke Surabaya). Ini terjadi karena rangkaian KA tidak bisa ‘diputar’ se-enaknya. Susah kan mutar rangkaian kereta yang seperti ular naga panjangnya?

      Tepat pukul 09.00 pagi KA Mutiara Timur bergerak meninggalkan stasiun Gubeng. Rombongan lansia mendapat tempat duduk digerbong eksekutif nomer 3, kursi nomer 7 ABCD. PT KAI membuktikan dirinya betul-betul sudah ‘on line’. Empat tiket itu sudah kita beli sejak dari stasiun Pekalongan. Jadi tempat duduk ‘dobel’ memang seharusnya tidak akan terjadi lagi. Kecuali ada yang SALAH BACA tiket!

      Begitu kereta api bergerak Pakde sudah mengumumkan, bahwa kereta akan melewati daerah yang terkena imbas lumpur Lapindo disekitar Sidoarjo. Letaknya disebelah kiri dari gerbong. Saya dan isteri beruntung mendapat kursi yang berada disebelah kiri. Ini juga akan jadi momen bersejarah bagi saya, karena baru untuk pertama kali akan melihat dahsyatnya lumpur Lapindo. Tentu juga korban yang diakibatkan oleh ‘amukan’ lumpurnya. 

 Rumah korban lumpur Lapindo
     Jarak Surabaya – Sidoarjo ditempuh tidak sampai 20 menit. Pakde langsung memberi aba-aba untuk mempersiapkan kamera. Karena mengambil gambar dari jendela kurang leluasa, saya dan Pak Nur lari ke bordes (sambungan antara satu gerbong ke gerbong lain). Disini agak sedikit longgar untuk beraksi.  Saya agak kecewa karena yang dapat terlihat hanya hamparan dinding tanggul yang membendung luapan lumpur saja. Namun agak terhibur juga karena beberapa rumah dan bangunan yang menjadi korban masih ada juga teronggok dipinggir-pinggir rel kereta. Hati saya tercekat pilu membayangkan  kini penghuni perkampungan dan bangunan yang tergusur paksa itu hidup terlunta-lunta. Bahkan sampai kini nasibnya tidak jelas. Gara-gara tak perbah ada ketegasan pemerintah dalam melaksanakan sendiri keputusannya. Saya lebih muak lagi tatkala melihat hamparan spanduk berwarna kuning  milik salah satu partai, yang tega-teganya berkampanye tentang kehebatan partainya! Dasar muka badak. Mengurus korban lumpur Lapindo saja tidak becus, masih nekat mau maju jadi pemimpin negara.

Makan siang diwarung ‘bas-bebas’ 

      Pakde sudah mengumumkan lagi, bahwa nanti kita tidak akan turun distasiun nJember tapi di stasiun Rambipuji. Sebuah stasiun kecil beberapa kilo sebelum masuk kota nJember. Saya masih belum begitu jelas alasannya. Sekilas saya dengar alasannya karena kita akan makan disebuah warung makan yang sangat istimewa. Entah apanya yang istimewa. 

      Jadwal masuk stasiun Jember sesuai tiket adalah pukul 13.04 siang. Namun beberapa puluh menit sebelum pukul 13.00 kereta sudah berhenti di stasiun Rambipuji. Berempat kita bergegas turun. Dipagar ruang tunggu tampak seorang pemuda yang sudah menunggu. Rupanya itulah mas Anto, putra kedua Pakde Bagio yang rupanya sampai harus membolos (beberapa jam) dari kantor untuk menjemput ke stasiun. Ini semua demi menaati perintah sang ayah yang setengah mati berusaha menyenangkan hati tetamunya. Alamaaak, sampai anak sendiri tega di ”korban” kan.

     Bukan Pakde Bagio kalau mau kehilangan momen bernarsis ria. Baru saja kereta berlalu, Pakde sudah memerintahkan kita semua untuk berfoto dengan latar belakang stasiun Rambipuji. Orangnya tidak penting. Yang penting adalah tulisan nama stasiunnya! Mas Anto segera mendapat perintah untuk mengambil foto. Bahkan PPKA yang baru saja ‘menyemprit’ KA ikut diperintah Pakde Bagio untuk ikut berfoto ria. Siapa berani menolak perintah orang segede Pakde? Coba? Sambil berwajah bingung, sang PPKA pun akhirnya masuk ‘frame’, ikut kefoto juga.

      Rombongan segera menuju kendaraan yang sudah siaga satu didepan stasiun. Sebuah “Kijang Kencana” (merk karoseri mobil Kijang paling terkenal di masa jayanya) bernomor polisi B-2030-DZ. Waduh, Pakde sampai harus menyiapkan mobil jauh-jauh dari Jakarta, saya membatin ngungun (takjub dalam hati). Ternyata itulah mobil pribadi Pakde yang memang sengaja tak pernah diganti plat nomornya sejak dibeli. Tapi jangan heran, tak satu orangpun Polisi nJember yang berani menangkap Kijang sakti ini.
Siapa dulu yang punya. Mobil Pakde Bagio dilawaaaan......

Didepan "Warung Bebas" Jember
  Tak lama kemudian mobil yang dikemudikan mas Anto berhenti disebuah warung makan dipinggir jalan besar Rambipuji - nJember. Tidak usah tanya juga langsung maklum. Ada sebuah baliho besar (mana ada baliho kecil sih?) bertulisan serba besar: WARUNG BEBAS. Sejak 1979. Sekali lagi sebelum masuk warung WAJIB hukumnya untuk foto dulu. Pakde Bagio gitu lhooooo....

     Memasuki warung saya tertegun melihat pemandangan yang ada. Nyaris disemua meja terhidang barisan terik tempe lidong dele bodong, eiitsss keliru, barisan lauk dan pauk yang cem-macem ujudnya. Ada iwak peyek udang, tahu tempe goreng, telor ceplok, ayam goreng, sambal dan aneka sayur versi beberapa daerah. Pokoknya lengkap-kap, mirip menu yang biasanya dihidangkan direstoran Padang. Tapi nanti dulu, ada perbedaan sangat pokok. Diwarung bebas ini nasi dan lauk boleh bebas makan seberapa saja sekuat perut anda. Nasinya ada dua macam, nasi jagung atau nasi putih yang semuanya masih hangat. Fresh from the Cosmos! Dan yang lebih menghebohkan lagi adalah harganya. Satu orang cukup membayar sepuluh rebu perak saja, sudah lengkap dengan teh manis berapa gelaspun anda mampu minum. Jika anda makan telor ceplok, cukup tambah dua ribu. Kalau makan ayam goreng, tambah empat ribu. Apabila makan dua-duanya ya hitung sendiri. Masak menghitung segitu saja minta bantuan saya.
Aneka lauk pauk Warung Bebas
     Isteri saya dan saya sendiri makan sangat lahab tapi dengan terus tercengang. Masih tidak masuk dalam hitungan saya makan sebanyak ini cukup dengan selembar ‘cebanan’ saja. Bagaimana si empunya warung bisa dapat untung? Kalau lihat yang datang untuk makan pada siang hari itu memang luar biasa. Semuanya pasti tergolong jago makan. Itu bisa dilihat dari penuh sesak nya piring masing-masing. Tidak ada yang makan sedikit disini, sebab itu artinya rugi. Tapi koq ya masih mendatangkan untung buat yang punya warung. Heran saya. 

      Saya lirik Pakde dan Pak Nur juga ikut ‘ngiwut’ makannya. Jatah gratisan sambel plus tempe goreng satu lepek (masing-masing) sudah sampai bersih licin bak dicuci sabun deterjen. Belum lagi lauk dan sayur lainnya. Didepan beliau masih tersedia satu botol bir temulawak dan segelas es batu. Angaaaak hooooo.... Hanya mas Anto putra Pakde yang cuma minum temulawak. Tampaknya dia lebih mementingkan jadi ahli hisap, daripada ikut makan. Barangkali juga sudah bosen, tiap kali Pakde terima tamu mas Anto harus ikut mengantar kewarung ini. Kasihan deeeh looo...

     Untuk menebus dan menyembuhkan penyakit heran-heran saya, sehabis makan saya minta ijin untuk bertemu dengan pemilik warung. Kebetulan siang itu sedang ada diwarung. Namanya Muhammad Nur Widodo, eh salah nding...Muhammad Baridi al Hajj. Isterinya juga ada, namanya bu Hajjah Naniek. Sumpah tanpa pocong!, nama itu sama persis dengan panggilan isteri saya yang nama lengkapnya Ratna Hernani.

      Keduanya tampak sangat serasi, rukun, ramah tamah, baik hati, tidak sombong dan gemar menabung (barangkali). Pak Haji Baridi menjelaskan bahwa warung ini semula milik mertuanya. Berdiri sejak tahun 1979. Tidak pernah menjadi sangat besar tapi juga tidak pernah bangkrut. Ketika saya tanya bagaimana mempraktekkan subdsidi silang akibat keseragaman harga yang dipatok sangat murah itu, beliau hanya tersenyum.
“Niat saya berdagang meneruskan milik mertua adalah dengan selalu bersyukur dan lillahi ta’ala. Semua saya serahkan kepada yang membuat hidup dan memberi rejeki. Sekeras apapun saya berdagang, kalau bukan rejeki saya pasti tak akan saya terima. Jadi saya niatkan dan  saya ikhlaskan membantu orang dengan makan sepuasnya disini, dengan harga yang wajar saja. Insya Allah, saya akan mendapat ganti yang sepadan dariNya..”
Subhanallah. Saya tertegun mendapat jawaban lugu dari pak Haji Baridi dan isteri. Tidak perlu kiat dan teori cem-macem, tapi hanya haqul yaqin akan pertolongan Allah Swt. Tidak mengherankan, dari hasilnya membuka warung, beliau berdua bisa menunaikan ibadah haji.

     Sepanjang perjalanan menuju kota nJember saya masih termenung, seandainya lebih banyak pengusaha (terutama) pribumi yang mampu berpikir sederhana dan semudah itu...... Udara yang panas menjadi tak begitu terasa. Mungkin juga karena jendela mobil terbuka semuanya....



bersambung.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar