Kamis, 07 Juni 2012

"DARI PAGILARAN SAMPAI GARAHAN" ( 4 )


     SIANG CARI BATIK DI SETONO....MALAM BERBURU NASI MEGONO....

(KISAH TOUR ‘WISKUL’ PESBUKERS LANSIA)

Istirahat sejenak setelah lelah mborong batik di setono
 
-Bagian Keempat-


Meninggalkan Pagilaran langsung ke...Setono...!

     Dua buah mobil berplat merah (artinya mobil dinas) meluncur turun dari area Kebun Teh Pagilaran mBatang. Kedua mobil mengangkut para tamu lansia yang akan melanjutkan perjalanan. Sayang tidak dikawal voor rijders pakai ‘nguing nguiiing’. Biar kelihatan ‘orang penting’ gituuu. Memasuki kota Pekalongan, mampir dikantor ‘yang punya kerja’ dulu untuk menurunkan barang-barang. Selanjutnya meluncur ke pusat perkulakan batik ‘Setono’.
     Waktu asar sudah lewat, sedangkan KA Argo Muria dari Semarang yang akan dinaiki Bu Rum dan Pak Tur baru akan tiba sekitar pukul 5 sore. Masih ada waktu menghabiskan sisa uang rapelan para pangsiyunan. Kalau perlu sampai ludes. Beberapa orang seperti kerbau dicucuk hidung mengikuti tuan rumah yang dianggap sudah tahu seluk dan beluknya Setono. Termasuk mungkin bisa dapat diskon banyak. Siapa tahu?
     Saya mencoba melihat situasi sebentar. Tawar sana tawar sini. Yang dikios utama sepertinya menerapkan harga ‘orang luar’. Jadi saya pindah kedalam. Sudah lama saya selalu menerapkan taktik menawar dengan patokan setengah harga dari yang ditawarkan. Biasanya berhasil. Terbukti teman-teman haji dan umroh dulu sampai mengangkat saya sebagai “Boss Shopping”. Semua gara-gara saya dianggap ‘the best negosiator’, sehingga selalu dapat harga murah. Padahal mereka tidak tahu, mungkin faktor wajah saya yang memelaszz yang membuat iba hati pedagang. Ternyata di Setono saya berhasil memperoleh batik sawitan dua stel dengan harga yang termasuk murah. Mutunya juga bpleh diadu Bung!
    Sewaktu sudah berkumpul kembali ditempat parkir, semua saling cek harga. Saya melihat wajah-wajah yang KUCIWA, ketika tahu harga batik yang saya beli lebih murah dari lainnya. Bukan salah saya dong! Salah siapa berlagak bos dan orang kaya? Hahahaha.....Jelas jadi makanan empuk para pedagang. Lha wong Bu Tuty koq diikuti. Kan semua warung, toko obat dan pedagang batik Setono sudah tahu beliau itu Bu Ndoro Seten? Artinya dompetnya tidak pernah ‘tipis’.
    Walau banyak hati yang kuciwa, perjalanan harus diteruskan. Pukul setengah 4 sore mobil saya jalankan pelan-pelan menyusuri jalanan kota Pekalongan. Ternyata saya diberi besluit  (SK) jadi sopir lagi tapi non gaji. Ini jelas lebih sengsara daripada buruh out sourcing! Kota Pekalongan masih seperti yang dulu. Jadi saya tidak keder dan tersesat. “Setapsiyun” Pekalongan juga masih berdiri kokoh di Jalan Gajah Mada. Belum ada yang berani menyulap stasiun ‘tuwir’ itu jadi airport, misalnya. Manajemen PT KAI sekarang menerapkan kebijakan melarang siapapun masuk kedalam stasiun, kecuali yang mempunyai karcis KA. Karcis peron pun tidak lagi dijual. Jadi nyaris semua setapsiyun sekarang lengang.
     Dengan gaya sopir Pejabat Tinggi, mobil saya parkir tepat di teras stasiun. Soalnya saya kasihan, kalau mobil parkir didepan bagian paket pengiriman barang, nanti dikira Bu Rum dan Pak Tur mau saya paketkan. Ora ilok, priyayi sepuh jeeee.. Diteras stasiun canda tawa dilanjutkan. Tidak peduli penumpang lain mau masuk lewat teras atau tidak. Rombongan lansia penting koq. Bu Rum dan Pak Tur, pasangan “Romidin dan Yulinem” eks Pejabat Deptan akan kembali ke Jakarta. Pakde Bagio, Pak Nur Widodo dan saya akan melanjutkan petualangan kewilayah timur Jawa.
    Pak Tur sarimbit akan ‘take off’ sekitar pukul lima sore, sedangkan kita bertiga masih harus menunggu sampai lewat tengah malam. Soalnya KA Sembrani yang mengangkut istri saya (yang akan ikut bertualang) baru berangkat dari Jakarta pukul 7.30 malam. Sudah pasti nanti akan ada cerita “tiga lansia terlantar disetapsiyun”. Bagus untuk ‘sunario’ pilem horor non honor.
     Tiba-tiba saya teringat bingkisan dari “juragan” madu mBanyu Putih. Sepertinya riskan sekali oyang-oyong mbetotong  (membawa) dua botol madu yang tidak asli itu. Apalagi harus ganti KA beberapa kali. Bisa kewirangan kalau botolnya pecah sak maunya sendiri. Namanya juga botol. Jadi dengan tanpa mengurangi rasa hormat, tapi dengan mengurangi beban, saya minta ijin kepada Bu Rum untuk titip dua botol madu itu. Ternyata dengan suka cita bu Rum berkenan membawakan madu itu sampai ke Jakarta. Bahkan menantang (atau ‘nglulu’?) kalau ada titipan barang-barang lain silakan. Eh, ternyata Pak Nur tidak mau kalah. Ikut nitip madu juga. Itulah kalau madu tidak asli. Coba kalau MADU ASELI lhoooo, dijamin 200% pasti malah terus dikekepi. Eh, ini bicara madu cap apa sih?
      Hari semakin sore. Tidak mungkin saya parkir mobil terus ditengah teras Stasiun. Penumpang lain mulai berdatangan. Jadi kini saatnya ‘auf wiedersehen’. Kita lepas kembalinya Bu Rum dan Pak Tur dengan tertawa riang gumbira. Padahal terakhir Pakde Bagio minum soda gumbira sudah kemarin siang. Keluar dari stasiun saya jalankan mobil pelan-pelan, sebenarnya perut saya sudah mulai main jazz. Maklum makan siang tadi terburu-buru gara-gara Pakde kesusu mau mengajar “terapi tawa”, sampai nyaris habis staminanya. Pantesan sepanjang jalan Pagilaran – Pekalongan Pakde terlihat tenang hanyut dialam mimpi. Kuwaregen cak!
       Bu Tuti menjanjikan akan mengajak makan nasi megono di pingir alun-alun kota mBatang. Hati saya sedikit terhibur membayangkan nasi dan sayur cacahan nagka muda yang mirip urap itu. Tapi Pakde pasti hilang selera, soalnya yang ada dibayangannya hanya nasi goreeeeng saja.
       Sewaktu mobil masuk kejalan menuju rumah Bu Tuti, dari jauh kelihatan seseorang naik sepeda motor mengawal sebuah mobil ber plat nomor tentara. Saya pikir ini ‘voor rijders’ cap apa. Koq tidak pakai seragam, cuma pakai sendal butut, helmnya saja sudah mbluwek (pudar) catnya! Ah pasti petugas parkir yang diminta menunjukkan jalan. Ternyata Bu Tuti berteriak:
Eh, itu mobil dinas adik sepupu saya dan yang naik motor itu mas Budi!” Jabang bayiiik cindhil abang. “Mas Budi” yang disebut itu adalah suami Bu Tuti. Saya benar-benar salah tingkah. Sebab mobil yang saya sopiri ini sebetulnya malah mobil dinas Pak Budi yang Pejabat Teras Pemda mBatang jeee....lha koq malah kita yang enak-enak methongkrong, yang punya mobil malah ‘nrimo’ naik motor. Segera mobil saya parkir ketepi jalan yang tak terlalu lebar itu. Mesinnya masih menyala.
    Belum habis saya tersepona, tiba-tiba sebuah wajah muncul dijendela mobil, sontak saya njenggirat:
Eh, Pak Seten!!!” Otomatis saja mulut saya berteriak. Suami Bu Tuti memang menjabat Asisten I di Pemda. Saya biasa menyebut Asisten dengan “Seten” saja. Mungkin mirip wong Jowo yang manggil Pak Opsichter dengan “Sinder”. Kaleee.... Pak Budi hanya tersenyum.
Nuwun sewu, saya nganterin adik keluar dulu sebentar....silakan mampir kerumah”. Kata beliau mencoba seramah mungkin.
Saya membatin, lha emangnya kita mau kemana? Ya memang kita mau nunut mandi dan sholat dirumah Bapak!

Lesehan makan nasi megono didekat lampu “bangjo”.....

     Sampai dirumah Pak Seten, eh Pak Budi, kita tertawa cekakakan tidak henti-hentinya mengingat kisah pertemuan dijalan tadi. Sesudah magrib kita mandi dan sholat bergantian dikediaman Bu Tuti yang cekli. Kini saatnya berburu ‘nasi Megono’ yang konon kabarnya paling Top sak alun-alun mBatang.
    Pak Budi sudah rapi dan langsung mengambil alih kemudi. Mobil dilarikan menuju ke alun-alun. Karena bukan hari libur, alun-alun tampak tidak terlalu ramai. Memutari alun-alun sampai kedepan masjid besar mBatang, mobil langsung diparkir. Semua tukang parkir di sekitar alun-alun tampaknya hapal benar mobil siapa itu. Mobil Pak Seten geeetu lhooooh.
     Terletak persis diujung jalan dimana terdapat  traffic light, berdiri sebuah warung tenda tak terlalu besar. Dari kejauhan yang nampak cuma sekelompok orang yang sibuk makan secara lesehan. Ramai sekali. Paling ramai dibanding warung tenda lainnya. Saya punya pegangan sederhana, kalau warung ramai pengunjung hanya ada dua opsi. Enak atau murah, atau gabungan keduanya. Kalau melihat pengunjung makan dengan dokoh (lahap), sepertinya sih cukup enak masakannya.
    Setelah menunggu beberapa saat, barulah kita kebagian tempat lesehan. Saya lihat meja disekeliling saya penuh lauk dan pauk yang menggoda iman. Ada peyek udang, sate jerohan, sate telor puyuh, telor asin, bermacam lauk goreng dan kawan-kawannya. Ada juga lauk yang dibungkus daun pisang. Mungkin sebangsa bothok. Ada dua cara makan nasi megono disini. Mau yang pakai piring atau pakai pincuk. Saya jelas memilih yang memakai pincuk. Kapan lagi ketemu pincuk dikota besar. Susah nyarinya walau pasti ada. Sejak dari setapsiyun sebenernya mobil Bu Bidan ‘juragan madu’ mBanyu Putih menginthili mobil saya. Tapi entah kenapa kemudian kabur. Mungkin takut kalau diajak makan nasi megono. Bisa sakit perut beliau. Sewaktu kita mulai makan lesehan, bu Bidan baru datang. Tapi tetep tidak mau ikut makan. Pasti tadi sudah makan di restoran.
     Saya menikmati betul nasi megono itu. Rasanya seperti gabungan antara sayur thewel (nangka) dan urap. Pokoknya mak joooos. Saya sampai nambah separo. Yang separo disikat bersih oleh Pak Nur. Saya lirik Pakde Bagio makan kurang semangat. Pasti sedang membayangkan nasi goreng dan soda gumbira kareman (kesukaan)nya. Orang koq gak bisa lepas makan nasgor. Cuma habis sepincuk Pakde langsung berdiri. Alasannya gak kuat kalau lama-lama lesehan. Haiyaaaa Ngelesdotcom dia.
      Nasi megono tandas, tibalah saatnya kita berpisah. Bu Bidan mau meneruskan pulang ke Istananya dipedalaman  mBanyu Putih sana. Kasihan malam-malam nyopir sendiri, kuatir dinunuti mbak kunti.
      Merasa sudah merepotkan banyak fihak, terutama Bapak dan Ibu Budi, beliau berdua pasti sudah capek sekali melayani tiga lansia ‘nakal’ ini. Maka kita langsung minta diantar ke setapsiyun lagi. Lebih baik nunggu di ruang tunggu eksekutip walau mungkin kurang representatip. Kalau dihitung-hitung, dalam sehari ini kita sudah bolak balik ke setapsiyun, kayak calo karcis saja.
     Meski agak menahan-nahan supaya kita beristirahat lagi dirumah beliau, akhirnya kita menang juga. Maka sebelum pukul setengah embilan malam kita sudah harus ngendon di setapsiyun. Sembrani baru tiba tengah m,alam. Apa boleh buat, onde- onde selalu bulat.
      Selamat tinggal Bapak dan Ibu Budi, terima kasih atas semua bantuan dan pelayanan. Moril, materiil dan onderdil. Semoga Allah Swt yang membalas dengan pahala berganda. Aamiiin. Sampai jumpa digelombang yang sama. Kalau masih ada kesempatan dalam kesempitan.  Stay tune babeee....lho koq?

bersambung...........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar