Selasa, 12 Juni 2012

"DARI PAGILARAN SAMPAI GARAHAN" ( 9 )


TIGA LANSIA MENYERBU..... WARUNG MAKAN!

(KISAH PETUALANGAN KULINER TIGA LANSIA PANGSIYUNAN)

Warung Nasi  "Tanpa Nama" di Garahan


-Bagian Kesembilan-

Kursi “buto” dibukit Gumitir

     Kabupaten nJember sebagian besar merupakan daerah yang berbukit-bukit. Sepanjang perjalanan dari Kalibaru menuju kota Jember yang jaraknya sekitar 40-an kilometer penuh dengan tanjakan dan turunan. Lepas dari gerbang batas kota dimana Pak Nur Widodo bernostalgia saat jadi penari ‘tayub’, terdapat semacam rest area (tempat rehat) disebelah kiri jalan. Terdiri dari beberapa saung atau pondok, letaknya saling berjauhan dengan kontur dataran yang naik turun. Kelihatannya masih baru saja direhab atau direnovasi. Konon tempat rehat ini dikelola oleh salah sebuah PTP. Oleh sebab itu lumrah kalau tampak terawat. Lapangan parkir cukup luas dan bersih.

 Kursi "buto" di bukit Gumitir
       Hawa sejuk langsung terasa dikulit. Segar terasa sampai kesungsum tulang. Seandainya saja udara Jakarta bisa sesejuk dan sesegar ini. Mimpi kali yeeee.... Boro-boro hawa segar, pengap dan macet iya. Melihat pemandangan sekitar sungguh menyejukkan mata. Sejauh mata memandang adalah hijau perbukitan. Tapi nanti dulu. Ada yang aneh disini. Bercokol dengan jumawa diujung pelataran parkir, sosoknya seperti sedang mengawasi perbukitan sekitarnya.  Ukurannya jelas bukan untuk ukuran mahluk biasa. Terbuat dari kayu entah jenis apa, sosok yang berdiri kokoh itu adalah sebuah kursi! 

       Untuk siapa dan untuk apa kursi sak hohah (sebesar) itu, saya tak butuh tahu. Pakde Bagio saja tidak bisa menjelaskan hal tersebut. Pasti hanya seorang ‘buto’ (eh, apakah buto termasuk golongan orang sih?) yang bisa duduk bercengkerama dikursi itu. Ukurannya yang jelas ekstra amat sangat besar sekali langsung jadi point of view dilapangan terbuka itu. Barangkali tingginya sekitar 3 sampai 4 meter. Luas tempat duduknya mungkin lebih dari 3 x 3 meter. Jadi kalau ada orang yang nekat naik keatas kursi ‘buto’ itu, mungkin bisa bergerombol sampai satu regu sekaligus.

      Sekitar setengah jam lebih berada dikawasan yang semilir sejuk menenangkan itu,  sambil mendengarkan cerita pak sopir yang tak lain adalah mas Didit. Mantan peragawan kondang di Jember,  yang putra sulung Pakde Bagio itu ternyata mewarisi bakat bercerita sang ayah. Padahal sebelumnya Pakde bilang mas Didit seorang pendiam. Mungkin dengan Pakde ia pendiam, soalnya ‘sang Kumendan’  sangar banget siiih. Buktinya mas Didit malah ngobrol ngalor ngidul dengan tamu-tamu lansia ini.  Wajahnya yang ganteng sangat santai bercerita.

       Bukit-bukit sekitar  Gumitir ini dari jauh kelihatannya masih sangat rimbun dan hijau menghutan. Begitu cerita mas Didit. Tapi jangan kaget, kalau bukit itu didaki maka yang ada  dipedalaman  adalah tanah yang gundul dan gersang. Pohon-pohonnya sudah bablas ditebang pembalak liar. Apalagi sewaktu jaman reformasi baru bergulir. Semua merasa punya hak untuk menebang pohon. Sesuka hati. Reformasi geeetu lhooooh.... Euforia reformasi tampaknya malah membuat masyarakat pedalaman jadi ‘repot nasi’. Artinya kurang pangan. Tak heran rakyat jadi semakin nekat.

Warung nasi 'tanpa nama' yang swalayan

      Hari semakin siang. Niat Pakde untuk memamerkan obyek wisata di Bukit Gumitir yang harus ditempuh dengan jalan kaki terpaksa tak bisa dipenuhi. Saya dan Pak Nur (juga isteri saya) merasa sudah tak mampu lagi jalan kaki jauh. Apalagi kalau harus naik turun bukit. Bisa-bisa malah pulang dalam kondisi di dabyang-dabyang (digotong). Maka perjalananpun diteruskan. Mobil melaju kencang menyusuri jalanan yang naik turun berkelak kelok. Suasananya mirip daerah Alas Roban, Jawa Tengah. Tapi turunan dan tikungan disini lebih banyak serta panjang sekali. 

     Tepat beberapa saat sesudah adzan dhuhur, mobil menepi kesebuah warung. Masih disekitar daerah Garahan. Ini adalah ‘obyek’ yang akan dipamerkan oleh Pakde kepada tamu-tamunya. Warungnya sih biasa saja. Dindingnya terbuat dari setengah batu campur tahu, weh anu, salah nding,  campur anyaman bambu. Sangat sederhana. Tapi isinya ternyata ruaarrr biasaaa. Begitu masuk kedalam, yang tampak hanya hamparan bermacam lauk pauk. Kebanyakan aneka gorengan. Didinding terdapat rak-rak gantung berisi aneka kudapan kemasan plastik nan mengundang selera.

Aneka ikan goreng di Warung tanpa nama Garahan
    Digelar diatas nampan plastik, tampak bermacam ikan goreng, baik ikan laut atau ikan air tawar. Potongannya lumayan besar. Ada telur dadar, telur ceplok, hati dan ampela serta ayam goreng. Tak ketinggalan lauk favorit banyak orang, Tempe dan tahu goreng. Ada pula bermacam lauk yang dibungkus daun pisang. Nyaris komplit plit.

     Angan saya langsung melayang ke Warung Bebas di Rambipuji. Tapi disini jangan mencari jangan (sayur). Yang ada hanya dedaunan mentah untuk lalapan.  Seperti di Warung Bebas, disini para pelanggan juga harus swalayan. Nasi dan lauk ambil sendiri. Nasi dan teh tawar gratis. Mau ambil berapa piring. Itu juga masih biasa. Yang istimewa adalah, sambal cobeknya. Pengunjung harus memesan khusus sambalnya kepada seorang ibu yang berada didapur. Si ibu ini tugasnya memang hanya khusus mengulek sambal. 

     Memakai cobek tanah liat ukuran cukup besar, sambal akan langsung diulek didepan mata anda. Soal tingkat kepedasannya, anda bisa menentukan sendiri jumlah cabe sesuai kehandalan lidah masing-masing. Jadi kalau nanti mulut anda berbunyi huh hah huh hah kepedasan, itu sepenuhnya adalah tanggung jawab anda sendiri. Secara moril, materiil maupun onderdil. Sambal ulek disini berwarna merah ‘manyala bob’. Murni hanya campuran cabe, garam, terasi dan tomat. Hebatnya, sambal itu gratis tis, alias cuma-cuma. Karena diwarung ini yang harus dibayar hanya seberapa banyak anda mengambil lauk pauknya. Mungkin kalau anda mau sangat berhemat, makan saja nasi putih dengan sambal dan minum air teh tawar. Ditanggung anda keluar tanpa bayar. Tapi masa’ anda tega sih? Boleh saja anda coba kalau memang benar-benar sedang bokek bin bangkrut. 

Sambel ulek Garahan
    Saya lihat Pakde Bagio dan Pak Nur Widodo langsung mengambil lauk pilihan hatinya. Sepertinya yang dipilih ikan laut goreng. Tidak jelas ikan apa namanya. Tapi bisa saya pastikan bukan ikan paus goreng. Dipiring kaleng ada setekruk dedauan dan sambal secobek penuh. Warnanya merah bibir gadis merekah, menandakan tingkat rasa pedas yang tinggi. Heran juga Pakde bisa makan dengan begitu lahabnya. Padahal yang dimakan bukan menu idealnya: nasi goreng.  Hanya mas Didit yang nampak malu-malu. Cah Bagus yang peragawan itu makan dengan tenang, sama sekali tidak mirip cara makan sang kumendan.

      Ternyata ada satu minuman yang sangat kondang disini. Dikemas dalam sebuah botol mirip botol bir. Namanya juga pakai embel-embel bir, "Bir Temulawak". Kata Pakde asli bikinan pabrik rumahan di sekitar daerah Jember.  Karena penasaran, saya mencoba minum sebotol, tapi tanpa es batu. 
Rasanya? Wuidiiiiih.. suueeeger tenan reeek.....Angaaaak hooooo...

     Seketika ingatan saya melayang ke jaman tahun 60-an ketika Kris Biantoro menyanyikan lagu yang populer pada waktu itu:
“Biiiiiiiiiir..... temulawaaaak.... lambemu njedhiiiirrrr.... eits salah nding...... yen dipikiiiiir ngrusakke awaaaak.......!!!”

       Yang jelas saya minum sebotol bir temulawak tapi  gak pakai mikir, takut kalau kantong saya yang malah tambah rusak.  
Opo hubunganeeee???



bersambung........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar