Senin, 18 Juni 2012

"DARI PAGILARAN SAMPAI GARAHAN" ( 14 )


TIGA LANSIA HARUS SALING PAMITAN.......

(KISAH PETUALANGAN KULINER TIGA LANSIA PANGSIYUNAN)

 "Tiga Lansia" berpose didepan Stasiun Jember


-Bagian Keempat belas-


Jum’at Kliwon, 11 Mei 2012 dinihari, 

      Ini adalah catatan yang paling tidak saya sukai untuk menuliskannya. Memandangi tingkah isteri saya yang semalaman inpaken (menata pakaian) dan bebenah, saya berusaha keras untuk tidur,  walau hati gelisah. Bahkan memicingkan mata sebelah saja amat sangat susah. 

      Bayangan hitam putih berkelebat laksana nonton pilem misbar dilapangan bola. Rangkaian peristiwa dari stasiun Gambir, Pagilaran, Pekalongan, nJember, Garahan dan terakhir di mBondowoso semalam saling bersirobok. Ada rasa suka, gembira, anyel, mangkel campur aduk bagai segelas es doger.  Manis dan segar tapi bisa membikin selesma. Ternyata kenangan itu memang menimbulkan rasa sakit yang nyelekit entah dilubuk hati bagian mana. Tapi saya tak biasa meneteskan air mata.

      Semalam sebelum pulang kerumah, Pakde Bagio hanya berpesan kalau besok pagi akan datang ke hotel agak terlambat. Katanya ada tugas sangat penting yang harus diselesaikannya. Tawaran kita untuk santap pagi bersama dihotelpun ditolaknya. Saya terkesiap. Terngiang kata-kata Pak Nur, bahwa sebetulnya siang tadi Pakde harus menghadiri rapat penting. Entah di PWRI, entah dikantor lain lagi.  Saya merasa sangat berdosa. Saya sesali Pak Nur baru bilang pada saat membeli kupat tahu diemperan toko semalam. Suengiit akuuu.....

     Ide untuk pergi ke Bondowoso seratus persen adalah inisiatif saya. Hanya karena saya iseng menanggapi pesan singkat dari Bos Bond. Padahal sesungguhnya Pakde Bagio telah menyiapkan pantai Puger untuk acara perjalanan kita. Mungkin kalau pergi ke Puger, sore sudah bisa pulang lagi ke Jember. Dan Pakde masih bisa ikut rapat. Tapi semalam kita pulang sudah sangat larut. Saya menyesal sekali. Merasa sangat egois sehingga mengorbankan acara Pakde Bagio, padahal beliau sudah berkorban begitu banyak. 

      Lamat-lamat terbayang wajah Pakde Bagio selama di Bondowoso sesorean. Tidak sumringah seperti biasanya. Saya pikir hanya kuciwa, karena tidak berhasil makan nasi goreng dan minum soda gumbira kesukaannya. Alangkah naifnya saya. Terlalu banyak menurutkan kata hati sendiri. 
"Maafkan ulah saya Pakde.." Itu saja yang bisa terucap dalam hati yang laksana tertusuk duri. 

      Adzan subuh berkumandang, saya terloncat bangun. Thenger-thenger (terpaku diam) dibibir kasur. Ini hari terakhir saya (bersama isteri dan juga Pak Nur) berada dikota Jember. Terakhir pula bertemu Pakde Bagio. Begitu cepatnya waktu berlalu. 

Selama ini kita bertiga, Pakde, Pak Nur dan saya (isteri saya kan cuma anggota ‘waskat’), bergaul dalam pola ‘persohiban’ yang bagi orang lain tampak membingungkan.  Apalagi orang lain. Lha wong kita sendiri juga bingung koq. Mau dibilang sohib, tapi sedikit-sedikit regejegan (bersilang pendapat), sedikit-sedikit regejegan (lagi). Regejegan koq cuma sedikit? Untung tak pernah sampai ada yang mutung kesarung. Orang Jawa kan memang banyak untungnya. Sudah buntung saja masih bilang untung koq.
     Ada beberapa hal kecil yang sepertinya memang mentakdirkan kita bertiga harus bertemu. Begini ceritanya: Pakde Bagio punya tiga orang anak lelaki (ditambah seorang putri angkat yang sudah dianggap sebagai anak kandung, karena memang keponakan sendiri). Pak Nur Widodo juga mempunyai tiga orang anak lelaki. Saya mempunyai tiga orang anak juga, tapi seorang lelaki dan dua orang perempuan.

      Nama panggilan putra sulung Pakde Bagio adalah Didit. Sama persis dengan nama panggilan anak sulung saya yang juga Didit. Sedangkan nama panggilan anak bungsu Pakde Bagio adalah Andi. Salah satu anak Pak Nur juga punya nama panggilan Andi! Horotokono!! Orang Jawa memang pintar dan suka sekali main ilmu “othak athik gathuk”  ini. Kayaknya memang tiga lansia ini sudah ‘berjodoh’.

     Belum lagi hal-hal ‘aneh bin ajaib’ yang lain. Antara lain, kita bertiga adalah maniak pesbuk, alias pesbuker sejati. Tapi ketiga isteri kita (maksudnya isteri kita masing-masing, bukan masing-masing kita punya isteri tiga!) sama-sama gaptek dan tidak gableg main komputer. Apalagi pesbukan. Punya hape saja hanya dipakai untuk menelepon dan SMS an. Jadi percuma andaikata dibelikan hape canggih yang mahal harganya. Sayang duit nya.
Tapi ini “off the record” lho ya? Soalnya menyangkut “rahasia perusahaan”.

Tanda mata darimuuuuu......

    Diruang makan hotel ‘Seven Dream’ saya sarapan tanpa gairah. Bukan karena menunya hanya pecel dan tahu tempe. Pagi hari Jum’at Kliwon itu sekonyong mood saya lenyap dadakan. Pertama karena masih merasa menyesal membuyarkan acara penting Pakde Bagio.  Yang kedua karena saya terpengaruh berita hilangnya pesawat Sukhoi 100 di Gunung Salak. Yang ketiga mungkin karena semalaman saya nyaris tidak tidur. Apalagi isteri saya malah sibuk sendiri.

      Pak Nur muncul diruang makan setelah nasi dipiring saya ludes. Saya mencoba menerawang ‘penampakan’ diwajahnya. Ada kesan tidak nyaman membayang diraut muka berkaca mata itu. Entah karena sudah nyaris seminggu meninggalkan isteri tercinta, atau ada hal lain. Itu dapat saya simpulkan setelah melihat betapa ‘sibuk pusing’ nya jari dan jempol Pak Nur main SMS atau BBM an lewat ‘blekberi’ nya.
Semoga bukan karena ‘kecanthol’ seseorang di Garahan sana. Amit-amit jabang bayiiiik....

      Persis seperti yang dijanjikannya, Pakde Bagio baru muncul dihotel sekitar pukul delapan pagi lebih. Kijang kencana diparkirnya dibagian dalam hotel. Tapi tidak seperti kemarin, pagi ini wajah Pakde Bagio cerah sekali. Secerah mentari pagi hari. Kita bertiga menyambutnya dengan gegap gempita. Isteri saya menawarkan makan pagi. Aneh sekali, Pakde Bagio kali ini mau menerimanya! Selama ini saya menengarai, kalau wajah Pakde cerah ceria, itu tandanya Pakde sudah dalam kondisi perut pol teng (penuh terisi). Dan pasti juga sudah meng upload gambar sarapannya dipesbuk dengan komentar hingar bingar.

     Akan tetapi, siik siiik siiiik......lakone opo iki Pakde? Dikedua tangannya Pakde menenteng dua tas kresek besar-besar. Senyum khasnya mengembang.
“Ojok dilihat harganya. Ini sekedar tanda mata dari nJember...” katanya sembari tertawa renyah.
Masya Allah. Saya kamitenggengen (diam terpana) menyaksikan adegan itu. Mata saya terasa panas. Mungkin malah sudah jadi merah merona. Tapi saya pantang menangis. Saya tidak suka lelaki yang “gembeng kreweng” alias cengeng. Apalagi kalau yang cengeng seorang pemimpin sebuah negeri!

      Setidaknya saya agak lega sedikit. Jadi semalam waktu Pakde bilang minta ijin datang agak siang,  pasti bukan karena ada rapat penting. Yang lebih masuk diakal, Pakde Bagio pasti pagi-pagi sudah keluar masuk pasar hanya untuk mencari ‘tanda mata’ itu. Padahal statusnya saat itu adalah ‘DRS’, Duda Rada Sauntara (duda untuk sementara). Tak bukan karena beliau sorangan wae dirumah, Bude dan putra bungsunya sedang tetirah di Bandung.

       Saya merasa trenyuh dua kali. Pertama karena selama tamu-tamunya ada di nJember, Pakde telah rela mengerahkan segenap daya upaya untuk menyenangkan tetamunya. Bahkan jika dirasa perlu, akan mengerahkan “barisan terik tempe” dibawah komandonya, yang tak lain adalah putra-putranya. Yang kedua, dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada Pakde, saya merasa tak sepantasnya sesama pangsiyunan memberikan ‘upeti’ apalagi ‘gratifikasi’. Berupa apapun juga. Saya tahu pasti, Pakde bukan termasuk golongan pangsiyunan yang purna bhakti dalam kondisi “basah kuyup” (bergelimang harta hasil korup). 

      Yang jelas,  Pak Nur, saya dan isteri sempat kehilangan kata-kata. Kalau menurut istilah Pak Nur "speechless". Saking terharu. Keliwat saking, malah. Pria gagah pideksa (tinggi besar) berperawakan bagai ‘Kumbokarno’ itu ternyata berhati selembut salju. Berjiwa besar dan sangat tinggi solidaritasnya. Tidak semua orang yang lahir pada hari “Anggara Kasih” (Selasa Kliwon) memiliki kelebihan itu. Semoga Allah Swt memberikan karunia kebahagiaan dan membalas budi baik Pakde dengan pahala berlipat ganda. Aamiiin.



bersambung.......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar