Kamis, 31 Maret 2011

"LANGKAH AWAL KELUAR NEGERI"



 (dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (42)



      Released by mastonie, Monday, June 7, 2010 at 09.32 am


      Mendampingi Mendagri ke PNG.

Menteri Dalam Negeri RI secara ex-officio merangkap jabatan sebagai Ketua JBC (Joint Border Committee). Sebuah Komite Perbatasan Bersama dengan Negara-negara tetangga yang sama-sama mempunyai “daerah perbatasan” (darat) diantara kedua Negara dan saling bersinggungan. Yang paling sering mengadakan rapat perbatasan bersama adalah dengan  Negara tetangga PNG (Papua New Guinea atau Papua Nugini). Rapat setidaknya dilakukan setahun sekali, dengan mengambil tempat bergantian. Kadang diadakan di Indonesia (bisa di Jakarta atau Bandung atau Jayapura) atau diselenggarakan di PNG (di Port Moresby atau kota lainnya).
Pada saat awal Pak Pardjo menjabat Mendagri, dalam kapasitasnya sebagai Ketua JBC, beliau bersama Ketua DPR/MPR-RI M. Kharis Suhud mendapat undangan dari Pemerintah Papua Nugini untuk menghadiri Peresmian Gedung Parlemen (DPR) PNG yang menurut rencana akan dilakukan oleh Putra Mahkota Kerajaan Inggris, Pangeran Charles “Prince of Wales”.
Sebagai Ajudan Mendagri, tentu saya  ditugaskan untuk mengikuti Mendagri dalam kunjungan itu. Artinya saya harus ikut ke Port Moresby yang merupakan ibukota PNG.
Dan Papua Nugini adalah Negara lain…Wah jadi saya harus pergi ke Negara lain alias keluar negeri nih. Sudah barang tentu ini adalah pengalaman baru buat saya:
pergi ke LUAR NEGERI!
Saya sudah tahu kalau pergi keluar negeri harus mempunyai Paspor. Akan tetapi saya baru tahu kalau yang pergi keluar negeri seorang pegawai negeri atau pejabat Pemerintah, maka yang dipakai harus Paspor Dinas. Dan yang menerbitkan Paspor Dinas adalah Departemen Luar Negeri. Saya juga jadi tahu bahwa ada tiga macam Paspor Republik Indonesia, pertama adalah Paspor biasa yang bisa dimiliki oleh siapa saja warganegara RI yang mau bepergian ke luar negeri. Paspor ini mempunyai sampul berwarna hijau dan diterbitkan oleh kantor Imigrasi Departemen Kehakiman (sekarang Depkumham). Yang kedua adalah Paspor Dinas bersampul biru, dan yang ketiga Paspor Diplomatik bersampul hitam. Keduanya diterbitkan oleh bagian Konsuler Departemen Luar Negeri.
Paspor Dinas (biru) dipakai oleh para Pegawai dan Pejabat Pemerintah. Sedangkan Paspor Diplomatik (hitam) dipakai oleh (terutama) Pejabat Korps Diplomatik dan Pejabat Tinggi Negara setingkat Menteri, atau yang diberi kewenangan untuk memakainya. Selain itu Pemerintah juga memberlakukan Paspor khusus bagi Jemaah haji Indonesia. Dan Paspor yang hanya berlaku dan dipakai untuk sekali musim haji itu berwarna coklat.  Dikeluarkan oleh Departemen Agama.
Saya baru tahu bahwa ternyata untuk dapat pergi keluar negeri urusannya tidak mudah. Paling tidak tak semudah bepergian didalam negeri yang paling-paling hanya harus mempunyai KTP dan dompet (yang tentu saja harus ada ‘isi’nya).
Akhirnya, menurut catatan saya, dipertengahan tahun 1984, sewaktu hendak pergi ke PNG itulah saya memperoleh Paspor bersampul biru (Paspor Dinas)  saya yang pertama.
(Kelak sepanjang karir saya di Depdagri, saya telah menghabiskan tidak kurang dari 3 (tiga) buah Paspor Dinas @ 48 halaman. Plus satu Paspor Haji yang bersampul coklat. Dari ke 3 Paspor Dinas bersampul biru itu, kebanyakan saya pakai pergi keluar negeri ketika diperbantukan -selama 5 tahun- di kantor Menko Kesra. Pengalaman yang cukup lumayan juga).

     Pertama kali keluar negeri naik pesawat jet eksekutif ‘G-III’.

Karena membawa Rombongan Delegasi RI yang cukup penting, Pak Pardjo merasa perlu mencarter pesawat khusus milik Pelita Air Service untuk terbang ke Port Moresby, Papua New Guinea (PNG).
Malam sebelum terbang, saya tidur agak gelisah. Sekarang jelas bukan karena soal  mau terbangnya. Yang jadi pikiran saya adalah mau pergi keluar negerinya. Terus terang harus saya akui bahwa penguasaan Bahasa Inggris saya hanya setingkat  “little little I can” saja. Tapi saya berusaha menghibur diri sendiri, kan saya punya dua tangan yang bisa dipakai untuk “bahasa Tarsan”. Betul?
Jadi bagaimanapun, sekecil apapun tugas saya, ini tugas dari Pemerintah yang dibayar dengan uang Negara. So, why not? Go ahead man. Saya harus berangkat.
Pada hari Minggu tanggal 5 Agustus 1984, saya diantar anak isteri pergi ke Bandara Internasional Halim Perdanakusumah (saat itu Bandara Kemayoran hanya dipakai untuk penerbangan domestik, sedang Bandara Cengkareng masih dalam penyelesaian). 
Seperti biasa -kalau mengerjakan sesuatu untuk yang pertama kali- saya merasa agak ‘nervous’.  Perasaan saya pada waktu itu Bandara Halim sudah begitu hebat. Terlihat di Apron terparkir pesawat berbagai jenis dan ukuran dari bermacam Maskapai Penerbangan berbagai negara. Di landas pacu Bandara terlihat kesibukan naik turunnya pesawat.
Delegasi RI berkumpul di ruang tunggu VIP Bandara Halim, menunggu kedatangan Mendagri dan Ketua DPR/MPR-RI.
  
 Grumman American Gulfstream III      foto: airliners.net
Pada pagi hari itu pesawat jet eksekutif Grumman American Gulfstream-III (dikenal dengan nama G-III -three-), yang berpenumpang Mendagri dan Ketua DPR/MPR-RI, masing-masing beserta isteri, dan beberapa orang staf JBC (termasuk saya), lepas landas melesat terbang dari Bandara Halim Perdana Kusumah (HPK) Jakarta menuju Port Moresby. 
Pesawat jet kecil buatan pabrik Grumman (kini Gulfstream) Amerika Serikat itu mempunyai 2 buah mesin buatan Rolls Royce, berkecepatan maksimal  0,85 Mach dengan daya jelajah sekitar 7500 kilometer tanpa mengisi ulang bahan bakar. Dan mampu mengangkut penumpang sampai 18 orang.
Penerbangan ke Papua Nugini dilakukan secara nonstop dengan perkiraan waktu sekitar 6  jam.
Ketika mendarat di Bandara Internasional Jacksons Port Moresby PNG pada sekitar jam 4 sore hari, saya terkejut. Karena (pada tahun 1984) Bandara Ahmad Yani Semarang jauh lebih bagus keadaannya daripada Bandara Jacksons, Port Moresby. Walau ada sedikit keunggulannya, Bandara Jacksons (yang diberi nama sebagai kenangan atas kehebatan John Jackson, Pilot pesawat tempur Royal Australia Air Force -RAAF- yang  tewas saat terlibat pertempuran udara dengan Pilot pesawat Kamikaze Jepang diatas Port Moresby pada tahun 1942), mempunyai status “Internasional” dan mempunyai lahan yang lebih luas. Tetapi kondisi bangunannya masih tampak sederhana sekali. Ruang tunggu VIP nya hanya memakai  beberapa AC window, yang suaranya lumayan bising. Udara diluar ruang tunggu jadi lumayan panas menyengat.
Bagaimanapun, Papua Nugini (PNG) adalah Negara tetangga pertama yang saya kunjungi diawal kisah perjalanan saya pergi keluar negeri.
Pernah menjadi daerah kekuasaan Inggris Raya, (dengan nama British New Guinea), Negara ini menjadi Negara Persemakmuran Australia pada tahun 1906. Secara resmi Papua New Guinea (Papua Nugini, disingkat PNG) baru dinyatakan sebagai Negara merdeka pada bulan September 1975, jadi mereka memang sedang berada dalam masa restrukturisasi sebagai Negara merdeka yang berdaulat. Termasuk pembangunan sarana dan prasarananya.
Petugas dan security Bandara kebanyakan warga kulit putih Australia. Hanya portir dan petugas kebersihan saja yang tampaknya penduduk asli. Ternyata kondisi tersebut sama dengan ditempat lain. Di Hotel ataupun jalan raya. Tampaknya warga Negara Australia masih mendominasi lapangan kerja yang  dianggap penting dan strategis di PNG.
Kota yang ditemukan oleh Kapten John Moresby pada tanggal 20 Februari 1873 ini diberi nama “Port Moresby” untuk mengenang dan menghormati ayah Si Kapiten yang bernama  Admiral Sir Fairfax Moresby. Port berarti Bandar.
Kondisi kota Port Moresby yang terletak dipantai Teluk Papua tidak jauh berbeda dengan kota Jayapura. Banyak sekali bukit yang bertebaran ditengah dan pinggir  kota. Iklim negeri tropis sangat terasa. Suhu udara di ibukota PNG itu pada bulan Agustus bisa mencapai 35 derajat celcius disiang hari. Panas terik.
Menurut perasaan saya Jakarta agak sedikit lebih dingin. Belum banyak bangunan modern ketika itu. Saya tidak melihat ada pertokoan besar, kecuali gerai “Circle K” yang ada dibeberapa tempat dengan simbolnya yang khas. Huruf “K” dalam lingkaran merah. Itupun berupa bangunan yang sederhana saja. Komunikasi dilakukan dalam bahasa Inggris Australia yang aksennya terdengar sedikit aneh. Atau dalam bahasa daerah yang disebut “Pijin” atau “Tok Pisin”.
Pemerintah PNG menyiapkan akomodasi untuk Delegasi RI di sebuah hotel bernama “Travelodge” yang mirip Motel, karena kamarnya berbentuk paviliun atau cottage yang terletak saling berjauhan.

  Nampang didepan kantor KBRI PNG
foto: dok pribadi





Malam pertama di Port Moresby dihabiskan dikediaman Bapak Soepomo, Duta Besar RI untuk PNG. Rumah Dinas Pak Dubes terletak disebuah bukit dengan pemandangan yang cukup cantik. Rombongan dijamu santap malam dengan makanan ala Sunda, karena Ibu Soepomo adalah orang Sunda yang pintar memasak. Jadi walaupun berada diluar negeri, tapi malam itu saya serasa makan direstoran ‘Kurang Kuring’ saja. Sedap.


     Bertemu dengan Pangeran Charles, “Prince of Wales”.

foto: zimbio


Sebagai Negara yang ‘ditemukan’ dan pernah dijajah oleh bangsa Inggris, PNG ternyata tetap berhubungan baik dengan negeri bekas penjajahnya itu. Tidak mengherankan kalau kemudian justru Pangeran Charles, putra mahkota Kerajaan Inggris raya yang diminta untuk meresmikan Pembukaan Gedung Parlemen PNG yang baru.
Terletak disebuah bukit, Gedung Parlemen untuk para wakil rakyat  itu terlihat cukup megah.
Upacara peresmiannya dilaksanakan disebuah Lapangan Upacara besar yang berada tidak jauh dari lokasi Gedung Parlemen berdiri.
Mengenakan seragam kebesaran Angkatan Laut Inggris berwarna putih dengan topi bersetrip emas, suami Lady Diana itu memang tampak gagah sekali. Wajah berhidung mancung itu tersenyum lebar saat melambai-lambaikan tangannya menyambut sorak gegap gempita rakyat PNG yang dengan semangat mengelu-elukan kedatangannya. Saya duduk ditribun VVIP, bersebelahan dengan Bapak dan Ibu Kharis Suhud, yang posisi duduknya berada tepat ditepi jalan yang dilewati Sang Pangeran. Beberapa kali saya sempat mengabadikan wajahnya dari jarak sangat dekat. Sayang tidak ada waktu untuk bisa berbicara dengan Pangeran dari Wales itu.

      Pergi kekota Rabaul, terbang bersama ayam.

Masih ada beberapa hari tersisa di Port Moresby, oleh karena itu Bapak Soepomo
Dubes RI untuk Papua Nugini mengajak Delegasi RI terbang ke Rabaul, kota kecil yang menyimpan peninggalan sejarah Perang Dunia II, ketika pasukan sekutu dibawah Jenderal Mc’Arthur bertempur dengan pasukan Jepang.
Menggunakan pesawat F-28 Air Nugini, kita terbang menuju kota Rabaul. Rupanya pesawat terbang adalah moda transportasi penting di PNG. Sama dengan keadaan alam di Irian Jaya (Papua) yang tidak memungkinkan perjalanan darat antar kota karena penuh hutan rimba yang sangat lebat, maka penduduk PNG terpaksa harus selalu menggunakan pesawat terbang untuk bepergian.

Tidak ada seat khusus untuk VIP, jadi Pak Pardjo, Pak Dubes dan rombongan terpaksa duduk bercampur baur dengan penumpang pesawat yang merupakan penduduk setempat. Celakanya mereka naik pesawat dengan cara dan gaya mereka. Berpakaian ala kadarnya dan membawa barang bawaan dan ‘tentengan’ kedalam kabin pesawat. Termasuk beberapa ekor ayam (hidup!) yang sepanjang perjalanan berkotek-kotek menyanyikan mars ‘ayam den lapeh’. Selain itu mereka ternyata senang sekali saling mengobrol dengan suara keras dalam bahasa ‘Pijin’ yang tentu saja tidak bisa saya mengerti. Jadi suasana didalam pesawat mirip dengan suasana dalam bis kota atau metro mini jurusan Blok M – Ciledug, minus kernetnya, tentu saja! Untung ada larangan merokok didalam kabin pesawat, kalau tidak, saya tidak bisa membayangkan apa jadinya.
Rabaul ternyata kota pantai yang lebih panas dari Port Moresby. Pada tahun 1942, kota ini pernah diduduki oleh Pasukan Jepang yang menjadikan kota Rabaul sebagai basis Angkatan Lautnya di Pasifik Selatan. Tentara Jepang juga membuat kubu pertahanan dengan melubangi dinding-dinding bukit yang banyak terdapat disekeliling kota. Kubu tersebut sampai sekarang masih ada. Penduduk setempat menyebutnya sebagai “Gua Jepang”.
Pantai Rabaul sangat indah. Pesisir pantainya bahkan jadi obyek wisata “Scuba Diving” dan “Snorkeling” (menyelam) yang keindahan dasar lautnya konon bisa menyaingi keindahan pantai Bunaken di Sulawesi Utara.
Kota ini mempunyai dua buah Gunung berapi yang masih aktif, Gunung Tavurur dan Gunung Vulvcan. Pada tahun 1937 kedua gunung berapi itu pernah  meletus bersamaan dan membuat kerusakan dan korban jiwa sangat besar.
Disiang hari yang panas terik itu saya bersama pak Malikus Suamin, Sekretaris JBC dari Direktorat Asia Pasifik Deplu, berkeliling kota melihat pemandangan yang ada. Saya dan pak Malikus bahkan sempat mencoba masuk kebeberapa ‘gua Jepang’ yang cukup menyeramkan dan berfoto ria didepannya.
Malam harinya rombongan menginap di Hotel Travelodge Rabaul, dan esok paginya kita kembali ke Port Moresby, bersama para ‘bakul gendong’  lagi.
Tanggal 9 Agustus 1984 Delegasi RI kembali ke Jakarta dengan pesawat carter Pelita Air Service, jet eksekutif yang sama, Grumman G-III.
Sepanjang perjalanan saya ‘ngudarasa’ (berbicara dalam hati): “Begini rasanya terbang dengan pesawat jet pribadi, bagaikan raja minyak atau pesohor kaya raya”. Sungguh pengalaman pertama terbang keluar negeri yang mengasyikkan.



bersambung.....


"KUNJUNGAN KERJA YANG 'MAKAN' KORBAN"




(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (41)

      by mastonie on Thursday, may 27, 2010



      Kunjungan ke Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara.

    Panas terasa menyengat di siang bolong itu. Hari ini adalah kunjungan kerja atau perjalanan dinas Menteri Dalam Negeri kebeberapa daerah di Indonesia bagian timur. Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan  tujuan terakhir dari lawatan Mendagri dan Ibu Soepardjo Roestam beserta rombongan. Kunjungan dilakukan setelah lawatan ke Provinsi Maluku dan Irian Jaya. Gubernur Sulawesi Tenggara (pada waktu itu dijabat oleh Ir. Alala) mengundang Mendagri untuk meresmikan beberapa proyek pembangunan daerah. Salah satunya adalah Peresmian Rumah Dinas Gubernur Sulawesi Tenggara yang baru selesai dibangun. Rumah Dinas Gubernur yang besar dan megah ini terletak disebuah bukit.
    Pesawat C-130 Hercules khusus VIP milik TNI AU (yang selalu dipinjamkan oleh KSAU atas permintaan khusus Mendagri), mendarat dengan mulus di Bandara Kendari. Tanpa diduga (karena tidak termasuk dalam jadwal yang sudah diacarakan) Gubernur Alala ternyata langsung mengajak Mendagri untuk melakukan kunjungan ‘on the spot’ dari udara kesuatu daerah perkebunan kapas dengan menggunakan pesawat helikopter. Meskipun agak terkejut, Pak Pardjo tidak dapat menolak ajakan Pak Gubernur. Karena BO 105 adalah helikopter kecil, dan akan diisi penumpang “VVIP”, maka Pak Gubernur memutuskan hanya 2 orang saja yang dapat masuk kedalam heli. Jadi praktis hanya Mendagri dan Gubernur saja yang masuk. 
Rombongan lainnya dipisah menjadi 2 bagian. Ibu-ibu mengikuti rombongan Ibu Soepardjo, sedang sebagian yang lain (rombongan Bapak-bapak ternasuk saya) masuk kedalam rombongan tersendiri yang diangkut dengan beberapa bus. Rombongan Ibu Soepardjo dengan didampingi Ibu Alala langsung mengadakan kunjungan ketempat yang telah ditentukan, sedangkan rombongan bapak-bapak diarahkan menuju ke sebuah lapangan sepakbola ditengah kota.
Dilapangan inilah nanti heli yang ditumpangi Mendagri akan mendarat setelah kunjungan on the spot dari udara selesai. Pada waktu menaiki helikopter, Pak Pardjo masuk dari pintu sebelah kiri dimana ada sepasang petugas ‘jajar kehormatan’: 2 orang personil Polisi Militer (PM) yang masih muda, gagah dan bertubuh tinggi. Pak Gubernur Alala masuk dari pintu sebelah kanan.
Detil cerita secara terperinci tentang Pak Pardjo masuk kedalam heli ini saya kisahkan, karena gara-gara ‘masuk dan keluar dari pintu heli’ inilah nantinya sebuah ceritera tragis akan terjadi.

      Gugurnya seorang Prajurit Jajar Kehormatan.

    Sepanjang perjalanan bermobil menuju lapangan sepakbola (dimana tersedia helipad), hati saya merasa gundah. Saya merasa ‘tak berdaya’ karena dipaksa oleh keadaan -yaitu keterbatasan seat dalam heli yang diatur oleh Pak Gubernur-.  Sehingga kali ini saya tidak dapat mendampingi Pak Pardjo melakukan kunjungan lewat udara. Ini memang diluar kebiasaan. Biasanya meskipun menggunakan BO 105, saya masih diijinkan untuk ikut naik. Karena BO 105 sebetulnya  mempunyai kapasitas maksimal 5 orang (termasuk pilot dan copilot).
Setelah menunggu sekitar setengah jam di helipad, dari jauh terdengar sayup suara gemuruh heli yang akan segera mendarat. Beberapa petugas Protokol termasuk 2 orang petugas Jajar Kehormatan dari Polisi Militer tadi segera merapat ke tanda H besar berwarna kuning (tanda untuk tempat pendaratan heli) yang terletak ditanah. Saya juga ikut mendekat dan berdiri tepat dibelakang 2 orang petugas Jajar Kehormatan dari POM itu. Mereka berdua berdiri tegap menghadap kearah pintu sebelah kiri dimana Mendagri diperkirakan akan turun dari heli tersebut. 
Angin bertiup sangat kencang akibat putaran baling-baling helikopter. Saya berdiri sambil menutup muka dengan saputangan karena debu beterbangan. Ketika kaki-kaki heli (BO 105 tidak mempunyai roda) sudah menapak tanah, terlihat bahwa ternyata Mendagri telah berpindah tempat kesebelah kanan, dan dengan demikian beliau akan turun melalui pintu sebelah kanan helikopter. Melihat hal itu Danplek (Komandan Komplek, perwira militer yang bertanggung jawab atas keamanan kunjungan Pejabat Tinggi Negara disuatu tempat) langsung memberikan perintah kepada 2 orang petugas Jajar Kehormatan untuk berpindah tempat kesebelah kanan heli. Dengan cepat perintah itu dilaksanakan. 
Disinilah malapetaka bermula. Seorang petugas (yang ada dikiri saya) langsung berlari melewati ‘moncong’ heli untuk menyeberang kesebelah kanan. Sedang petugas yang satu lagi (ada disebelah kanan saya) tanpa berpikir panjang langsung bergerak lari menyeberang melewati ekor heli yang pada saat itu mesinnya belum dimatikan. Menyadari bahaya yang bisa menimpa petugas itu, saya langsung berteriak untuk mengingatkan. Tapi rupanya terlambat. Teriakan “Eeeee…….” saya belum habis separuh ketika terdengar sebuah bunyi lain yang sangat keras: “Plethaaak!!!!”
Dari jarak kurang dari 2 meter dihadapan saya, petugas Jajar Kehormatan yang tinggi gagah itu tampak terduduk (seperti orang bersujud), tangan kirinya bertelekan ketanah. Yang membuat saya terkesiap adalah kepalanya yang tertutup helm baja berwarna putih itu telah terbelah menjadi entah berapa bagian! Rupanya kepalanya yang memakai helm putih itu tersambar baling-baling yang terletak diekor helikopter. Beberapa detik kemudian tubuh yang malang itu tersungkur jatuh menelungkup. Teriakan histeris terdengar dibeberapa tempat. Saya sendiri hanya bisa berdiri gemetaran menyaksikan tragedi yang terjadi tepat didepan mata kepala saya sendiri dan berlangsung sangat cepat itu. Tak terasa ada serpihan dan cairan yang menempel dilengan, muka dan rambut saya. Dalam suasana gaduh itu, petugas protokol Pemda langsung mengarahkan Mendagri dan Gubernur untuk memasuki mobil yang telah dipersiapkan. Mau tidak mau saya juga langsung menempatkan diri di ‘front seat’ (kursi depan disamping pengemudi). Tubuh saya masih gemetar. Apalagi menyadari bahwa serpihan yang menempel dilengan dan muka saya ternyata adalah cairan berwarna merah dan serpihan kecil kecil berwarna putih. 
Namun seperti tak terjadi apa-apa, Pak Alala malah mengajak Pak Pardjo berbicara masalah kunjungan lewat udara tadi. Saya pikir beliau mungkin berusaha mengalihkan perhatian. Atau memang tidak mengetahui kejadian tragis tadi?  Dengan suara masih terbata-bata saya beranikan diri untuk melapor kepada Mendagri. Saya berpendapat bahwa Pak Pardjo harus langsung mengetahui terjadinya peristiwa tragis itu, karena korbannya adalah prajurit yang ditugaskan untuk memberikan penghormatan bagi beliau. Saya melihat wajah Pak Alala (yang duduk disamping Mendagri) merah padam. Mungkin beliau tak berkenan saya melapor langsung. Tapi saya mempunyai alasan yang kuat. Saya adalah saksi mata terdekat dari peristiwa itu. Bahkan Danplek-pun (Perwira yang bertanggung jawab atas 2 personil POM tadi dan nantinya secara resmi harus melaporkan peristiwa naas itu) berada lebih jauh dibanding dengan keberadaan saya pada saat peristiwa terjadi. Buktinya adalah serpihan yang melekat ditubuh saya.  
Air muka Pak Pardjo terlihat sangat muram. Beliau langsung memerintahkan untuk mencari alamat Prajurit Polisi Militer yang menjadi korban dan memutuskan untuk datang melayat kerumah duka setelah acara-acara resmi selesai.


      Pintu kaca pecah dan korban tertabrak mobil rombongan.

    Peristiwa naas tersebut rupanya tidak berhenti cukup disitu. Pada saat Upacara Peresmian Penggunaan Rumah Dinas Gubernur Sultra, ternyata  juga diwarnai kejadian ‘ruaaaar biasa’. Sesaat setelah rangkaian acara peresmian berakhir, maka diadakanlah peninjauan keliling Rumah Dinas yang besar dan megah itu. Pada saat berada dilantai dua,  Pak Pardjo dimohon untuk berkenan membuka pintu rumah. Pintu itu berupa dua buah daun pintu kaca yang sangat besar. Pada waktu dua pintu kaca itu telah terbuka keluar, mendadak bertiup angin sangat kencang yang mengakibatkan dua daun pintu itu menutup kembali dan menimbulkan suara sangat keras yang disusul suara gemerincing. Brraaaak . . . praaaaang!!!. 
Rupanya kedua buah pintu kaca yang sangat besar itu (karena tertiup angin sehingga menutup lagi dengan sangat keras) menjadi  pecah berantakan kacanya! Beruntung serpihan kaca yang melesat kemana-mana itu tidak mengenai Pak Pardjo dan Pak Gubernur yang berdiri paling dekat dari pintu. Bahkan tidak mengenai seorangpun yang sedang mengikuti acara yang khidmat itu. Semua yang menyaksikan peristiwa itu tampak kaget dan tercekam. Pak Gubernur Alala dengan cepat memersilakan Mendagri beserta Ibu Soepardjo untuk segera berlalu meninggalkan tempat itu. Sekali lagi saya lihat wajah Pak Alala merah padam. Kali ini entah karena marah entah karena memendam perasaan malu.
 Pada waktu diadakan jamuan makan siang setelah selesai peninjauan tadi, beberapa teman memperingatkan saya karena melihat adanya banyak serpihan berwarna putih dirambut saya. Secara refleks tangan saya meraba rambut dan melihat serpihan kecil berwarna putih yang lengket dan berbau anyir. Saya tersentak. Tidak salah lagi. Ini pasti adalah serpihan (maaf) benak/otak dan darah dari Prajurit Polisi Militer yang terkena musibah tadi. Saya merasa mual tiba-tiba. Hilang sudah nafsu makan saya. Saya segera berlari masuk kekamar yang disediakan dan langsung menuju kamar mandi untuk keramas dan membersihkan seluruh tubuh. Entah bagaimana rasa laparpun mendadak lenyap seketika. Walaupun Pak Bambang Irawan (rekan sekamar), yang tahu saya belum makan siang berbaik hati membawakan buah-buahan kedalam kamar, tapi saya sudah terlanjur “ilfil” kehilangan selera makan.

    Dua peristiwa itu menjadi bahan pembicaraan hangat diantara anggota rombongan. Seorang rekan dari bagian Humas yang mengikuti rombongan Ibu Soepardjo malah menambahkan cerita seram lainnya. Ketika rombongan Ibu Soepardjo kembali dari peninjauan untuk bergabung dengan Rombongan Mendagri  di Rumah Dinas Gubernur, sebuah mobil yang ditumpangi Humas Provinsi tertinggal dari rombongan dan terpaksa ‘ngebut’ untuk mengejar rombongan inti. Karena ‘ngebut’, mobil itu menabrak seorang pejalan kaki yang menyeberang jalan hingga tewas seketika. Dua nyawa hilang dalam satu hari. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Ini jelas bukan peristiwa biasa dan bukan cuma kebetulan. Lalu mengapa dan kenapa? 

     Misteri Rumah Dinas yang ‘gemetaran’.

    Salah seorang staf Pemda akhirnya membocorkan sebuah cerita yang sedikit berbau mistik. Konon pada waktu diadakan upacara selamatan sehubungan dengan telah selesainya pembangunan Rumah Dinas Gubernur, terjadi hal yang juga ‘tidak biasa’. Selamatan (yang diadakan beberapa hari sebelum Upacara Peresmian) diselenggarakan sesudah magrib dan bertempat di ruang jamuan makan di Rumah Dinas yang masih baru ‘gres’ itu. Sesaat setelah pembacaan doa berakhir tiba-tiba terjadi getaran yang cukup keras. Getaran itu terjadi diseluruh bangunan gedung dan berlangsung cukup lama. Konon semua lampu gantung yang ada dalam ruangan bergoyangan. Semula dikira terjadi gempa bumi. Tapi ternyata orang-orang yang berada diluar gedung tidak merasakan adanya getaran. Mereka hanya mendengar suara gemuruh dan menyaksikan bangunan Rumah Dinas diatas bukit itu seperti ‘gemetaran’. Semua yang menyaksikan ‘fenomena aneh’ itu merasa terheran-heran. Apakah itu benar gempa bumi? Tapi mengapa terjadi hanya di satu lokasi? Sedangkan lokasi lain yang berdekatan tidak terjadi apa-apa? Wallahu ‘alam bisawwab. 
 
    Seperti biasa kalau Mendagri bermalam disuatu tempat, maka tuan rumah selalu akan mengadakan jamuan makan malam. Biasanya diteruskan dengan acara malam ramah tamah atau pergelaran kesenian daerah. Demikian pula di Kendari. Saya secara khusus mendapat hadiah dari Pak Gubernur Alala sebuah kemeja tenun ikat khas Sulawesi berwarna merah menyala. Pesannya jelas dan tegas. Harus dipakai pada jamuan makan malam pada hari itu. Pada malam hari itu memang diselenggarakan jamuan makan malam serta pergelaran kesenian daerah yang sangat meriah. Bermacam makanan khas daerah dihidangkan. Termasuk ikan cakalang atau tuna yang menjadi andalan ekspor Sulawesi Tenggara dan udang lobster yang dimasak begitu lezat. Pada saat pentas kesenian akan dimulai, saya mendengar kabar ‘bisik-bisik’ yang tak kalah seru. Ada korban ketiga! Astagfirullah. Seorang Kepala Dinas yang juga mendapat undangan untuk hadir pada jamuan makan malam itu mendapat musibah. Ia mengalami kecelakaan lalu lintas. Sepeda motor yang dikendarainya bertabrakan dengan mobil yang lalu kabur tanpa sempat dikenali identitas mobil maupun pengemudinya.
Saya dan beberapa teman anggota rombongan dari Jakarta tercenung. Baru sekali ini kita mengikuti kunjungan Mendagri kesuatu daerah yang ‘memakan’ begitu banyak korban. Sedihnya, jatuhnya korban itu berkaitan langsung dengan acara kunjungan Mendagri. Sebagai orang yang takwa kepada kebesaran Allah SWT, saya yakin bahwa hidup dan mati seseorang tetap menjadi rahasia Allah Sang Maha Pencipta. Hanya caranya yang kadang membuat kita terpana.

     Ternyata masih ada korban lagi.

    Saya dan rekan-rekan anggota rombongan bersepakat untuk ‘menutup’ dulu kisah tentang korban yang ‘berjatuhan’. Kita tidak ingin Pak Menteri mengetahui korban lain selain Prajurit anggota Jajar kehormatan dari Polisi Militer.  Untuk korban yang satu ini, Pak Pardjo telah meluangkan waktu datang melayat kerumah duka dan memberikan santunan atas nama beliau pribadi. 
    Tapi ceritanya jadi lain sewaktu kita akan bertolak meninggalkan Kendari. Pada saat rombongan memasuki pesawat Hercules yang siap lepas landas menuju Jakarta, ternyata ada tambahan penumpang yang masuk ke pesawat dengan memakai kursi roda. Saya bertanya-tanya dalam hati. Siapa pula gerangan penumpang ini? Saya menemukan penumpang ‘ekstra’ ini duduk dideretan kursi paling akhir dipesawat. Dia adalah salah seorang pilot helikopter BO 105 yang membawa Mendagri melakukan peninjauan dari udara. Tapi kenapa pula ia harus duduk dikursi roda? Ternyata ketika baling-baling ekor heli menghajar helm baja sang Prajurit, serpihan bajanya (entah dari pecahan helm atau dari pecahan baling-baling itu sendiri), melesat dan ganti ‘menghajar’ kaki sang pilot heli! Pada saat itu memang pilot yang naas itu sedang turun dari pintu kokpit heli. Serpihan baja itu menyebabkan luka yang cukup parah dikakinya. RS Daerah Kendari merekomendasikan untuk tindakan operasi di RS di Jakarta yang peralatannya lebih modern dan lengkap. Karena berada dalam satu pesawat, mau tak mau akhirnya Pak Pardjo mengetahui juga keberadaan sang penumpang ‘ekstra’ itu. Apalagi penumpang ‘ekstra’ itu ternyata adalah korban ‘ekstra’ pula!
    Sampai sekarang saya masih tidak mengerti adanya “misteri” dibalik Peresmian      Rumah Dinas Gubernur Sulawesi Tenggara yang menelan begitu banyak korban. 
Tapi pengalaman buruk itu menjadi kenangan yang tak akan terlupakan sepanjang sisa hidup saya.



bersambung.....



"MELIHAT 'SALAK', DAN 'PAPAYA' ASLI WAMENA"



 (dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (40)

 Mendagri Soepardjo di Wamena



      released by mastonie on Friday, July, 23, 2010 at 11:35 pm


      Kunjungan kerja kedaerah “salak”, “papaya” dan koteka.

Sebagai Mendagri, Pak Pardjo sangat akrab dengan Pak Beny Murdani, Panglima ABRI (kini disebut Panglima TNI), Apabila beliau ingin mengadakan kunjungan kerja kedaerah, maka biasanya Pak Pardjo minta ijin Pak Beny untuk mengontak KSAU guna meminjam pesawat terbang (atau helikopter, tergantung keadaan), yang akan dipakai selama mengadakan kunjungan kerja. Seingat saya bantuan itu selalu ‘cuma-cuma’, paling-paling Pak Pardjo hanya memerintahkan Kepala Biro Umum untuk memberikan tambahan uang saku atau souvenir buat para Pilot dan kru pesawat. Yang sangat sering dipinjamkan adalah pesawat angkut C-130 Hercules yang disediakan untuk VIP (nomor badan 1314 atau 1341). Berbeda dengan pesawat Hercules pengangkut pasukan yang tempat duduknya merapat kedinding pesawat dan saling berhadapan, kedua Hercules VIP 1314 atau 1341 mempunyai tempat duduk yang semuanya menghadap kedepan seperti pesawat terbang komersial biasa. Pertama kali saya merasakan terbang dengan Hercules VIP itu pada saat mengikuti Latgab ABRI tahun 1981 kewilayah Indonesia Timur. Ketika itu saya masih jadi Ajudan Gubernur Jawa Tengah.

Hercules C-130 adalah pesawat terbang pengangkut serba guna buatan Lockheed , Amerika Serikat yang produksi awalnya sudah terbang sejak tahun 1955. Mempunyai empat buah mesin turboprop buatan Allison dengan kekuatan masing-masing sampai 4500 HP, pesawat yang didisain mempunyai sayap agak tinggi (high mounted wings) ini bisa mendarat dan lepas landas di landasan pacu yang tidak terlalu panjang. Bahkan selain punya kemampuan terbang “Touch and Go” (mendarat dan langsung terbang lagi), Hercules juga merupakan salah satu diantara pesawat terbang yang bisa berjalan mundur dilandasan. Sangat ideal untuk melakukan kunjungan kerja didaerah yang hanya mempunyai lapangan terbang perintis (airstrip) yang berlandas pacu pendek.
Dengan memakai pesawat inilah biasanya Pak Pardjo terbang menjelajah sampai kepelosok daerah terpencil. Termasuk ke Kabupaten Jayawijaya yang beribukota di Wamena. 
Agak ‘susah’ masuk kekota yang sesungguhnya mempunyai pemandangan indah ini, karena untuk menuju Wamena hanya bisa melalui jalur udara. Tidak (belum) ada jalur darat atau sungai. Apalagi laut. Lewat jalur udarapun harus dengan perhitungan yang tepat karena letaknya yang diapit pegunungan Jayawijaya dan berada dilembah yang disebut Lembah Baliem. Harus memilih waktu yang tepat untuk terbang ke Wamena agar tidak terjebak cuaca buruk yang bisa membahayakan penerbangan. Sangat menakjubkan terbang menuju Wamena, terutama saat hendak mendarat, karena pesawat harus melintasi celah dimana dikiri kanan pesawat berwujud hutan rimba yang penuh pepohonan hijau yang amat lebat. Pemandangan yang eksotis dan fantastis.
Sebagai ibukota Kabupaten, Wamena (konon berasal dari bahasa daerah: Wa dan Mena yang berarti “Babi jinak”) adalah kota yang masih bersih dari polusi. Udaranya selalu segar dengan suhu udara yang rata-rata dingin sejuk. Maklum kota yang dialiri sungai Baliem ini berada diketinggian lebih dari 1500 meter diatas permukaan laut. Banyak orang yang bilang belum ke  tanah Irian Jaya (Papua) kalau belum pergi ke Wamena. Mungkin ada benarnya juga mengingat keindahan alam (termasuk orangnya) yang masih asli dan menawan.
Pada waktu pesawat yang membawa rombongan Mendagri mendarat di Bandara Wamena, sambutan yang disiapkan Pak Bupati Alberth Dien cukup meriah. Dari pintu pesawat sampai keruang tunggu VIP dipenuhi masyarakat yang berjajar menyambut. Beberapa orang tampak sudah berpakaian ‘masa kini’, tapi lebih banyak yang masih berpakaian tradisional alias adat. Para pria nyaris telanjang kecuali sebuah tongkat yang ‘mencuat’ diantara kedua pangkal pahanya. Itulah pertama kalinya saya melihat ‘koteka’ asli yang bertengger ditubuh orang Papua. Bentuk dan ukurannya beragam. Mungkin disesuaikan dengan ukuran ‘penghuni’ nya. Yang jelas, dibawah koteka itu masih menyisakan (maaf) bagian tubuh paling rahasia (untuk ukuran orang kota) yang tak terlindungi dan mirip buah salak. Itu sebabnya ada olok-olok tentang “salak Wamena” yang berbulu tapi tak berduri itu. 

Penduduk asli Papua di Wamena
Para wanita juga sama saja. Ada yang sudah mengenakan busana modern, tapi ada juga yang tanpa risih dan malu masih topless,  bertelanjang dada (yang menyebabkan orang bisa melihat dua buah ‘papaya’ menggantung disana)! Bahkan rok bawahan yang dipakai juga hanya berwujud rumbai-rumbai entah terbuat dari apa. Oleh karena itu banyak ibu-ibu anggota rombongan Mendagri (yang notabene ‘orang kota’) merasa jengah melihat pemandangan unik dan langka itu. Akan tetapi bapak-bapak kebanyakan malah tersenyum suka ria menyaksikan adegan “semi primitif” itu. Bahkan banyak yang menggunakan kesempatan untuk berfoto bersama dengan mereka. Termasuk saya, tentu saja. Kapan lagi bisa berfoto dengan ‘salak’, ‘papaya’ dan koteka di Wamena.
Pemandangan kota Wamena memang “ruuuuar biasa”. Dikelilingi gunung dan lembah, disepanjang jalan yang tampak adalah daerah yang masih hijau. Banyak terlihat rumah penduduk asli yang disebut “Honai” (baca: onai) yang bentuknya bulat terbuat dari semacam tumpukan daun alang-alang dan hanya berpintu satu tanpa jendela. Mirip rumah orang Eskimo yang disebut “Iglo” itu. Menurut cerita salah seorang pejabat Kabupaten, rumah berbentuk bulat dan tanpa jendela itu membuat udara didalamnya menjadi hangat.
Ketika jamuan makan siang disajikan, selain nasi, Ibu Dien (istri Bupati) juga memamerkan makanan asli penduduk setempat, yaitu “hipere” (ubi jalar) yang disajikan dengan dibakar atau direbus dan bubur sagu. Tentu ditambah lauk pauk yang sudah disesuaikan dengan selera orang kota. Bubur sagu termasuk makanan yang harus disantap dalam keadaan panas, karena kalau sudah dingin jadi seperti lem. Tapi saya tidak melihat ada sajian daging babi. Padahal katanya itulah sajian utama yang selalu dihidangkan untuk menghormati para tamu. Mungkin Pak Bupati merasa sungkan karena pasti tahu Pak Mendagri (dan banyak anggota rombongan dari Jakarta) beragama Islam.
Lembah dan sungai Baliem tampaknya membuat daerah Wamena menjadi lahan yang cukup subur. Selain ubi jalar, penduduk juga menanam jagung, singkong (ketela pohon) bahkan padi. Tentu juga sayur dan buah-buahan. Penduduk asli juga berternak. Kebanyakan adalah babi. Itu sebabnya kota ini dinamakan kota “Babi Jinak” (Wa Mena). Babi menjadi binatang yang sangat akrab dengan kehidupan sehari-hari penduduk asli Wamena dan sebagian besar penduduk Irian Jaya (Papua). Dijaman dahulu katanya para wanita juga menyusui anak babi peliharaan mereka saking sayangnya. Mereka juga melumuri seluruh tubuhnya dengan minyak babi untuk menghindari gigitan nyamuk dan serangga lainnya.
Pak Bupati dengan bangga memamerkan pertunjukan ‘tari perang tradisional’ yang diperagakan secara massal. Sangat mengagumkan melihat semangat mereka mempertontonkan tarian yang menggambarkan betapa dijaman dahulu perang suku sering tak dapat mereka hindarkan.
Saya sungguh terpesona dan tidak menyangka, bahwa Indonesia ternyata masih mempunyai sisa peradaban ‘purba’ disalah satu pelosok tanahnya.
Saya juga tak bisa memperkirakan, apakah gelombang peradaban jaman modern nantinya akan melibas juga adat dan tradisi penduduk asli Wamena. Sesuatu yang sangat mungkin terjadi. Tetapi alangkah sayangnya. Barangkali anak cucu saya kelak tak akan lagi bisa menyaksikan ‘salak’ dan ‘papaya’ asli Wamena. 
Kalau koteka barangkali masih bisa dilihat di Museum atau toko cinderamata dimana saja di Papua.
Saya terbang pulang ke Jakarta dengan membawa beberapa koteka (tentu koteka baru ‘gres’, siapa yang mau membeli koteka bekas) sebagai kenangan.
Tapi sayang, saya tidak mungkin bisa membeli ‘salak’ dan ‘papaya’ Wamena, walaupun hanya sebiji. Itu hil yang mustahal, kan?



bersambung.....


"NJAJAH DESA MILANG KORI.....EPISODE DUA"



(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (39)


      Menikmati status pegawai 'berskala' nasional

    Wilayah kerja seorang Menteri Dalam Negeri tentu saja berskala nasional (bahkan kadang internasional). Dengan demikian Ajudan Mendagri juga nunut mukti (ikut beruntung) jadi pegawai berskala nasional. Dan karena wilayah kerja yang berskala nasional, maka Pak Pardjo sering mengadakan kunjungan kerja dinas keseluruh daerah yang ada di Indonesia. Seperti judul lagu wajib jaman sekolah dahulu: “Dari Sabang sampai Merauke”.
Kunjungan kerja kedaerah ini bisa bermacam-macam bentuknya, ada Pelantikan Gubernur, ada peresmian proyek, ada peninjauan daerah tertinggal dan lain-lain. Dengan demikian maka daftar ‘koleksi’ kota atau daerah yang saya kunjungi juga ikut bertambah banyak. Kalau dulu hanya kota-kota di Jawa Tengah dan daerah sekitarnya, kini merambah keseluruh daerah yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 
Bagi saya pribadi, pengalaman ini adalah sebuah anugrah dan nikmat dari Allah SWT yang terus saya syukuri. Terkadang saya teringat pada ‘ramalan’ garis tangan saya yang dibaca Kiai dari Jawa Timur dulu. Saya tidak percaya ramalan itu, tapi saya menganggap apa yang dibaca dan ditafsirkan oleh Sang Kiai sebagai doa yang dikabulkan oleh Allah, Sang Maha Tahu. Alhamdulillah wa Syukurillah.
Wilayah Indonesia yang (pada tahun 80an) terdiri dari 27 Provinsi, sudah lengkap saya kunjungi. Tentu saja dalam rangka ikut kunjungan kerja Menteri Dalam Negeri. Tidak hanya sampai di ibukota Provinsi saja. Tapi sampai ke kota-kota kecil bahkan desa terisolir dipelosok Nusantara. 
Baru setelah jadi Mendagri, saya tahu Pak Pardjo ternyata orang yang suka pada kegiatan ‘avonturir’ (petualangan) juga. Saya kadang agak ciut nyali juga mengikuti kiprah beliau dalam melakukan kunjungan kerja kedaerah terpencil. 
Di Provinsi Jambi (yang jalur transportasinya kebanyakan berupa sungai) Pak Pardjo memutuskan untuk menggunakan speedboat untuk berkunjung ke Kabupaten Bungotebo. Padahal saat itu hujan deras sedang mengguyur wilayah Jambi disepanjang hari. Jadilah kita menyusuri sungai dengan speedboat yang melaju kencang menyibak air sungai Batanghari ditengah rintik hujan. Waktu kunjungan kerja di Kalimantan Tengah dalam rangka Pelantikan Gubernur kejadian serupa terulang lagi. Meskipun rombongan Mendagri dalam kunjungan kerja itu mendapat pinjaman pesawat Fokker 27 dari AURI sejak berangkat dari Jakarta, tapi Pak Pardjo bersikukuh menempuh perjalanan dari kota Palangkaraya (ibukota Provinsi Kalimantan Tengah)  menuju kota Banjarmasin (ibukota Provinsi Kalimantan Selatan), dengan naik speedboat juga. Jarak sejauh itu kalau ditempuh dengan pesawat udara hanya butuh waktu sekitar 1 jam, sedangkan kalau menggunakan speedboat lama perjalanan yang ditempuh bisa memakan waktu sekitar delapan jam! Itupun sambil berpacu dengan waktu, karena kalau terlalu sore, air sungai bisa surut dan tentu saja membahayakan perjalanan perahu atau speed boat antar kota antar Provinsi yang melewati sungai itu. Akhirnya pesawat F-27 itu itu terbang dari Palangkaraya ke Banjarmasin dalam keadaan ‘ngglondhang’ (tanpa penumpang). Banyak lagi kisah-kisah ‘kenekatan’ Pak Pardjo yang secara rinci akan saya uraikan dalam bab tersendiri.

      Mendagri melantik para Gubernur.

Sebagaimana sudah saya kisahkan dalam ‘Mantan Gubernur melantik Gubernur’ sebenarnya Gubernur yang pertama kali dilantik oleh Mendagri Soepardjo Roestam adalah justru Gubernur Jawa Tengah, Bapak Letjen TNI (Purn). H.M. Ismail (Mantan Pangdam VII/Diponegoro) yang terpilih menggantikan Pak Pardjo. Akan tetapi yang agak unik adalah, pada saat melantik Gubernur Jawa Tengah tersebut (yang dilaksanakan pada sekitar bulan April tahun 1983), Pak Pardjo juga masih merangkap jabatan. Selain sebagai Mendagri, Pak Pardjo saat itu masih menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah, karena acara serah terima jabatan sebagai Gubernur Jawa Tengah baru dilakukan beberapa saat kemudian setelah acara pelantikan selesai.
Setelah itu barulah sebagai Mendagri (yang sudah tidak merangkap jabatan), Pak Pardjo mulai melantik para Gubernur yang lain.
Seingat saya, Gubernur yang termasuk dilantik pada awal-awal masa kerja sebagai Mendagri adalah Bapak Letjen TNI (Purn) Kaharuddin Nasution, sebagai Gubernur Sumatera Utara (akhir 1983) dan kemudian Bapak Soeprapto, BA sebagai Gubernur Bengkulu pada bulan Juli tahun 1984.
Menurut pengamatan saya, kedua orang Gubernur tersebut sangat akrab dengan Pak Pardjo. 
Saya tahu dengan persis bagaimana usaha Pak Pardjo  membujuk Pak Kaharuddin  Nasution (mantan Komandan RPKAD dan mantan Gubernur yang terkenal keras kepala) agar -sekali lagi- mau jadi Gubernur Sumatera Utara.
(Tentu setelah Pak Pardjo -sebagaimana ‘kebiasaan’ pada saat rejim Orde Baru- mendapat sinyal ‘lampu hijau’ dari Pak Harto, tentang siapa orang yang akan ‘ditempatkan’ sebagai calon Gubernur Sumatera Utara).
Sedangkan Pak Prapto (yang alumnus APDN Malang) adalah ‘arek’ Jawa Timur yang selain humoris dan agak ‘nyentrik’, juga suka bicara ceplas-ceplos dan apa adanya. Mirip dengan kebiasaan orang Banyumas yang juga terkenal suka bicara ‘blaka suta’ (terus terang, apa adanya). 
Tidak aneh kalau Pak Pardjo (yang orang “Banyumas Asli”) bisa sangat akrab dengan beliau. 

 foto: dok.suaramerdeka



Seusai Upacara Pelantikan Gubernur Bengkulu yang berlangsung pada tanggal 17 Juli 1984 di kantor DPRD Provinsi Bengkulu, Pak Gubernur Soeprapto langsung mengajak Mendagri untuk naik sebuah dokar yang telah dipersiapkannya, untuk meninjau sekaligus meresmikan beberapa Proyek. 

Tidak tanggung-tanggung, Pak Pardjo bahkan dengan suka cita bersedia menjadi kusir (sais) kereta kuda beroda dua itu.
Saya kira hanya Gubernur Bengkulu Soeprapto, BA  yang punya keberanian ‘memerintah’ Mendagri (yang notabene adalah atasan langsungnya)  untuk menjadi seorang kusir dokar!
Tapi justru karena Mendagri jadi kusir itu, peresmian proyek jadi sangat meriah.
Masih banyak lagi kisah unik, lucu bahkan ‘aeng-aeng’ (aneh), yang saya alami pada waktu mengikuti Mendagri Soepardjo Roestam melantik para Gubernur di provinsi lain diseluruh Indonesia. Akan tetapi apabila semua saya kisahkan, maka pasti sangat menghabiskan tempat dan mungkin malah membosankan.



bersambung.....

"REALISASI SEBUAH JANJI VS 'ULTIMATUM' ..."



(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (38)


Tak berani menagih janji

Masih ingat janji Pak Sekjen Daryono SH, kepada saya? Mari saya ingatkan.
Pada waktu saya berhasil meyakinkan Pak Pardjo untuk menyesuaikan jam kerja beliau dengan jam kerja Pegawai Depdagri, Pak Daryono berjanji akan memberi hadiah kepada saya. Entah kapan dan entah berwujud apa. Sebagai bawahan tentu tak elok kalau saya yang menagih janji. Tapi tunggu punya tunggu, sepertinya Pak Daryono bakalan lupa dengan janjinya. Harap maklum, Sekjen itu banyak sekali yang diurus. Sebagai orang ‘nomor dua’ di Departemen, segala urusan dalam maupun luar tampaknya harus lewat beliau. Jadi saya menerima nasib saja.
Judulnya: Pasrah jilid dua!
Selama beberapa bulan menjadi Ajudan Mendagri, dari mulai jadi single fighter sampai mendapat partner kerja, saya tinggal bersama Pak Menteri.  
“Nunut mukti”, (ikut mendapat berkah) hidup gratis di Kantor Perwakilan Pemda Jawa Tengah.
Dik Syaiful sih tenang-tenang saja, bahkan dia merasa “ayem tentrem gemah ripah loh jinawi” (hidup tenteram rejeki melimpah). Maklum dia masih bujangan. Jadi dalam waktu beberapa bulan saja timbangan badannya naik beberapa kilo. 
Sebaliknya saya. Saya kan sudah berkeluarga. Punya anak istri. Istilah plesetannya: “Anak sudah tiga, istri baru satu”! Jadi ya normal saja kalau saya selalu gelisah, karena anak dan istri masih saya tinggal di Semarang. Hidup berkeluarga tapi pisah domisili. Mana tahan?
Dalam waktu sebulan, paling-paling saya dapat ijin pulang ke Semarang selama 2 atau 3 hari saja. Mana cukup? Anak bungsu saya yang masih balita sampai pangling, kalau ketemu bapaknya. Karena saya jarang pulang. Untung waktu itu belum ada lagu “Bang Toyib”. Kalau sudah ada lagu dangdut itu,  pasti saya bakal disindir habis-habisan sama tetangga. 

Mencoba main-main 'ultimatum' ....
 
Setelah hampir setahun, saya betul-betul tidak tahan lagi. Saya mulai bergerilya kepada teman-teman yang sudah lama dinas di Depdagri dan sudah dapat fasilitas rumah dinas. 
Depdagri mempunyai beberapa kompleks perumahan dinas golongan III (rumah dinas yang bisa dibeli), antara lain di Cipinang, Cempaka Putih, Pondok Labu, Pondok Gede dan Pondok Kelapa. Saya mendapat beberapa informasi berharga, salah satunya dari Pak Gatot, staf Protokol yang ditugaskan ‘stand-by’ diruang Spri Menteri. Pak Gatot tinggal di Kompleks DDN Pondok Gede. Menurutnya ada beberapa rumah yang kosong, karena pemegang SIP (Surat Ijin menempati Perumahan) nya sudah meninggal dunia. Ada juga informasi beberapa kapling kosong di Komplek DDN Pondok Kelapa.
Suatu waktu ketika ada liburan sekolah, anak-anak dan istri saya menyusul ke Jakarta. Saya ajak mereka untuk melihat-lihat situasi kompleks Perumahan DDN di dua tempat, Pondok Gede dan Pondok Kelapa. Ada satu rumah kosong di Pondok Gede. Terletak di ujung gang. Tampak kumuh dan tidak terawat. Mantan penghuninya bernama Pak Ahmad, sudah lama meninggal. Dia tidak menikah, jadi rumah itu ditempati oleh saudaranya (yang samasekali tidak punya hak menempati). Di Pondok Kelapa ada beberapa kapling kosong. Tapi istri saya merasa tidak ‘sreg’ (tidak cocok).  Karena terletak dipinggir sungai besar yang bernama Kalimalang. Dia trauma dengan banjir. Lingkungannya juga masih kering kerontang. Tidak tampak ada pepohonan. Jadi saya minta pertimbangan Pak Gatot. Katanya rumah Almarhum Pak Ahmad yang di Pondok Gede termasuk yang tanahnya cukup luas, hampir dua kapling. Hanya memang rumahnya memerlukan banyak perbaikan. Sayangnya, kabarnya rumah Pak Ahmad itu sudah diminta oleh salah seorang staf Bagian Rumah Tangga DDN bernama Pak Saleh. 
Dalam kondisi tidak ada pilihan yang menguntungkan, saya menghadap Kepala Biro Umum. Pak Soeroso Hadisuryo orang Jawa yang halus tutur katanya.
“Mohon ijin pak, seperti Bapak ketahui selama ini saya masih hidup terpisah dengan anak istri saya” kata saya memulai pembicaraan.
“Ya, saya tahu. Yang sabar saja dik, siapa tahu nanti ada jalan keluarnya’ Jawab Pak Roso dengan tenang.
“Sepertinya saya sudah tahu jalan keluarnya pak. Sayangnya jalannya buntu” kata saya mencoba berkelakar. Pak Roso tertawa.
“Serius Pak. Saya harus segera memindahkan anak istri saya ke Jakarta. Ini emergency plan lho Pak”. Pak Roso tambah lebar senyumnya.
“Ah, Dik Tonny ini bisa saja”
“Betul Pak, sungguh. Bapak rak sampun dangu (sudah lama) di Jakarta, Pasti pirsa (tahu) dong situasinya”
“Maksud dk Tonny?”
“Hidup di Jakarta kan besar godaannya, kalau saya tidak tahan bagaimana? Bapak berani tanggung jawab?”
Husssykoq jadi begitu?” Pak Roso seolah terperanjat mendengar kalimat saya yang terakhir.
“Ya, karena itu saya mohon dapat dispensasi mendapat rumah dinas pak” Saya mencoba to the point. Wajah Pak Roso berubah jadi serius.
“Kalau tidak, saya bisa kawin lagi di Jakarta lho Pak. Dan Bapak yang harus bertanggung jawab melamar” jawab saya dengan wajah lebih serius lagi.
Pak Roso bengong.  Mungkin merasa kalimat saya ada benarnya.
Wah jangan begitu dong dik Tonny” kini Pak Roso benar-benar tampak bingung. Tampaknya ‘sodokan’ saya tepat mengenai sasaran.
“Habis, banyak cewek yang menggoda lho Pak, karyawati sini juga ada. Saya kan jadi bingung nih”.
Pak Roso tersenyum lebar, sepertinya ingin segera mengakhiri komplain dari saya.
“Ya sudah. Nanti saya lapor dulu ke Pak Sekjen. Biar beliau yang memutuskan”
“Tapi jangan sampai keburu saya kawin lagi lho pak” sergah saya dengan muka serius, mencoba memberi ‘ultimatum’ walaupun hanya main-main atau bercanda.
Lhooooo…ya jangan begitu tooooo….sabaaarr…” Jawab Pak Roso.

      Dapat jatah kapling “Eselon I ½”.

Alhamdulillah, saya belum “kawin lagi”, ketika dipanggil Pak Roso keruangan Kepala Biro Umum pada suatu pagi. Kurang lebih dua minggu sejak saya main-main mengeluarkan ‘ultimatum’.
“Dik Tonny, ini ada kabar baik dan kabar buruk dari Pak Sekjen” kata Pak Roso memulai pembicaraan.
Saya langsung membayangkan kabar baiknya dulu: Pasti dapat rumah dinas nih. Tapi kabar buruknya? Amit-amit jabang bayi.
“Saya mulai dari kabar buruknya dulu saja” lanjut Pak Roso.
“Ternyata sudah tidak ada lagi rumah dinas di kompleks yang bisa diberikan buat dik Tonny. Semua sudah ada penghuninya. Tahun depan kalau ada anggarannya, mungkin kita baru bisa membangun komplek perumahan baru untuk pegawai didaerah Ciledug”. Saya terkesiap. Pupus sudah harapan.
Barangkali Pak Roso melihat kekecewaan diraut muka saya. Ia tersenyum.
“Tapi kan masih ada kabar baiknya”. Pak Roso melanjutkan bicara. Tapi saya sudah hampir tak berselera lagi untuk mendengarkannya.
“Pak Sekjen masih punya persediaaan beberapa kapling jatah Eselon I di kompleks Perumahan kita di Pondok Kelapa. Lumayan lho, luasnya sekitar 300 sampai 400 meter persegi”. Mendengar kata kapling dan Pondok Kelapa, hati saya ciut. Saya sudah melihat lokasinya dengan istri saya. Dan istri saya sama sekali tidak tertarik.
“Kalau dik Tonny berminat dengan kapling itu, mungkin SIP nya bisa segera saya proses” Pak Roso menjelaskan. Saya tercenung, barangkali cukup lama. Saya ragu untuk memutuskan ya atau tidak.
Lho koq malah ngalamun”. Kata-kata Pak Roso ini mengejutkan saya.
“Terima saja dulu dik, jatah Eselon I lho. Nanti dibangun rumah kalau sudah ada rejeki. Siapa tahu Pak Sekjen juga berkenan membantu” sepertinya Pak Roso mau menghibur hati saya yang kecewa.
“Matur sembah nuwun (terima kasih) Pak. Kalau boleh dan diijinkan, saya ingin berpikir dahulu” jawab saya. Jelas dengan nada suara kecewa berat.
“Ya boleh saja, tapi jangan terlalu lama. Siapa tahu ada orang lain yang butuh kapling juga”. Kini saatnya Pak Roso yang ganti meng ’ultimatum’ saya! 
Saya keluar dari ruangan Kepala Biro Umum dengan kepala penuh pikiran.
Diruangan Spri Menteri, saya konsultasi dengan Pak Gatot.
“Mas, apa betul rumah kosong di Komplek Pondok Gede itu sudah diincar Pak Saleh? Katanya malah sudah keluar SIPnya?” Tanya saya pada Pak Gatot yang juga tinggal dikomplek Pondok Gede.
“Coba saya tanyakan  ke sub bagian perumahan dulu ya, rumah bobrok gitu, masak Pak Saleh berminat juga” jawab Pak Gatot sambil memutar nomor telepon lokal untuk menghubungi Kepala Sub Bagian Perumahan. Sesaat kemudian ia berkata: 
Wah bener mas. Tapi SIP nya baru dikonsep koq. Belum diteken Pak Sekjen”
“Mas Gatot dekat dengan Pak Saleh? Coba tolong tanya kepada beliau, mau apa tidak kalau saya tukar dengan kapling 400 meter di Pondok Kelapa?”
Lho, itu kan kapling jatah Eselon I? Memang Mas Tonny dapat juga?”
Saya hanya tersenyum.
“Tanya Pak Saleh dulu deh” jawab saya. Pak Gatot rupanya tak terlalu yakin dengan kata-kata saya.
Beberapa hari kemudian Pak Saleh (dia ternyata menjabat sebagai salah seorang Kasubag di bagian Rumah Tangga) datang menemui saya.
“Saya dengar Pak Tony butuh rumah ya?” Tanya Pak Saleh. Saya sebetulnya belum terlalu kenal dekat dengan orang Kuningan ini, dibanding dengan Pak Gatot, orang Semarang yang sudah saya kenal sejak saya masih tugas di Protokol Jawa Tengah.
“Ya begitulah Pak Saleh. Namanya juga masih belum bisa kumpul dengan anak istri di Jakarta” jawab saya.
“Saya juga dengar dari Pak Gatot, katanya Pak Tony berminat dengan rumah almarhum Pak Ahmad di Komplek Pondok Gede. Apa betul?”
“Masalahnya memang saya benar-benar sedang butuh rumah Pak. Menurut Pak Gatot hanya rumah itu yang kosong di Pondok Gede, tapi ternyata sudah lebih dulu diambil Pak Saleh ya?”
Pak Saleh tersenyum mendengar ‘sodokan langsung’ saya.
“Saya memang belum pernah dapat jatah rumah dinas  Pak Tony, tapi belum pasti juga rumah itu diberikan kepada saya. SIP nya pun sedang dalam proses”  jawab Pak Saleh.
“Bagaimana kalau saya tukar dengan kapling? Luasnya hampir 400 meter persegi” kata saya serius.
Pak Saleh tertawa. Mungkin heran atau malah tidak mempercayai kata-kata saya.
Ah yang benar, kapling dimana tuh?”
“Dikomplek Pondok Kelapa”
“Bukannya yang disana jatah untuk Eselon I?” Pak Saleh masih bertanya lagi.
“Betul. Tapi salah satunya diberikan Pak Sekjen untuk saya, saya kan Eselon I 1/2”
Semua tertawa mendengar kelakar saya. Wajah Pak Saleh tampak sedikit berbinar.
“Wah, boleh juga atuh kalau begitu, tapi omong-omong saya nombok sabaraha nih?”
Saya tertawa mendengar Pak Saleh mulai keluar asli sundanya.
“Yang penting  teh Pak Saleh setuju. Terserah mau nombok sabaraha wae” saya coba ikut-ikut jadi orang Sunda.
“Beres atuh, biar saya urus nanti sadayana” katanya sambil menjabat tangan saya.
Singkat cerita akhirnya terjadi juga “barter” itu.
Saya mendapat SIP rumah di Komplek Perumahan Depdagri Blok B nomor 70 Pondok Gede. Kalau nomornya disingkat jadi B-70.
Kata orang Jawa B-70 bisa dibaca “BEJO” (untung). Insya Allah, rumah itu akan membawa keberuntungan bagi saya sekeluarga. Amin.
Tahu apa yang dipakai Pak Saleh untuk “tukar tambah” rumah itu dengan kapling?
Saya mendapat kompensasi satu buah jam tangan merk “Rolex” asli ditambah uang tunai lima ratus ribu rupiah. Nilai yang cukup besar untuk ukuran tahun 1984.  



bersambung....