Rabu, 28 Desember 2011

"MASIH ADAKAH DISIPLIN LALU LINTAS?"


Tulisan lepas:

MENGAPA LALU LINTAS KOTA SELALU 'SEMRAWUT'?

Kemacetan di Jakarta

Benarkah disiplin berbanding lurus dengan tingkat pendidikan dan budaya suatu bangsa?
Mengapa lalu lintas  dikota besar di Indonesia selalu tampak seperti benang kusut ?
Ini adalah DUA dari sekian pertanyaan yang selalu mengganggu benak saya, jika melihat kondisi lalu lintas  di Indonesia.


Kisah “si Kabayan saba Singapura”

Akhir tahun 1993 saya berkesempatan ‘menyeberang’ ke Singapura dengan kapal ferry dari pelabuhan Sekupang Batam. Saya berangkat berdua dengan isteri menggunakan paspor dinas.
Ini bukan pertama kalinya saya datang ke Negara Kota berlambang Singa itu. Tapi ini kunjungan saya yang pertama lewat jalan samudra. Kunjungan saya yang sebelumnya adalah selalu kunjungan dinas dengan pesawat udara. Jadi semua diatur oleh Protokol KBRI Singapura.
Kali ini saya berkunjung sebagai free man (diIndonesiakan jadi preman, tapi lalu dikonotasikan sebagai ‘orang jahat’. Padahal sebetulnya maksudnya adalah seorang yang sedang bebas, tidak terikat dengan dinas). Semua saya atur sendiri. Saya hanya mengandalkan teman-teman yang kebetulan sedang berdinas atau sudah menetap di Singapura.

Turun dari ferry saya dan isteri mirip “si Kabayan saba kota”. Celingak-celinguk, seperti orang desa ‘kluthuk’ masuk kota besar. Yang lucu adalah, kami berdua merasa sangat canggung. Justru karena melihat ketertiban dinegara kota yang konon didirikan oleh Sir Thomas Stamford Bingley Raffles (Jamaica, 6 Juli 1781 – London, 5 Juli 1826). 

Terminal ferry Singapura tampak sangat bersih dan teratur. Begitupun dengan shelter atau halte kendaraan angkutan umum. Masyarakat yang heterogen ras nya menunggu dengan tertib. Tak tampak sampah dimanapun. Melihat antrian dalam shelter yang begitu padat, saya dan isteri memilih berdiri agak jauh. Maksud saya biar lebih dahulu mendapatkan taksi. Yang membuat saya heran, tak satupun taksi yang mau berhenti. Walau kedua tangan saya sudah melambai-lambai memanggilnya.
Sudah nyaris setengah jam berlalu. Panas semakin menyengat. Tak satupun sopir taksi mengindahkan lambaian saya. Saya lalu berpikir, apa yang salah? Ada apa dengan taksi yang tidak mau berhenti? Setelah saya perhatikan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, muka saya berubah merah padam.
Ternyata semua kendaraan umum hanya mau berhenti di shelter atau halte. Tak satupun sopir yang sudi berhenti menarik penumpang disembarang tempat. Alamaaaaak...malunya itu bah! Saya kelihatan persis seperti orang ‘primitif’ dari negeri yang primitif juga! Kalau waktu itu sudah ada Tukul Arwana, pasti dia akan berteriak: ”Ndesoooo....!!!”.
Sungguh pengalaman yang sangat memalukan. Hebatnya, saya tidak melihat ada orang yang tersenyum. Apalagi tertawa terbahak-bahak. Mereka tampak sangat tak peduli. It’s not my bussiness maaan. Begitu barangkali mereka menggerundel.
Belum lima menit berdiri di halte, saya akhirnya dapat taksi. Sopir taksi (dengan bahasa Inggris dialek Singapura yang penuh kata ‘laaaa’) lalu bercerita bahwa baik penumpang atau sopir kendaraan umum di Singapura sama-sama disiplin mentaati aturan. Mereka tidak akan naik dan turun disembarang tempat. 
Sangat mungkin si sopir sempat membatin:”Dasar Indon luuuh...!”.
Itu kisah saya jadi ‘Kabayan’ di Singapura. Pasti akan sangat berbeda ceritanya kalau terjadi di Singaparna.

Lalu lintas selalu ‘semrawut’

Saya teringat pada seorang teman yang sudah sangat lama bermukim di Perancis. Dia bercerita, bahwa kalau pulang ke Indonesia dia selalu menderita sakit ‘heran-heran’. Sakit apakah gerangan itu? Tak lain tak bukan ‘sakit’ karena melihat tingkah laku orang Indonesia yang ‘seenaknya’ berlalu lintas. Dia sangat ‘takjub’ melihat sopir angkutan kota yang bisa berhenti kapan saja, dimana saja. Demikian juga dengan ulah para penumpangnya. Sami mawon, sama saja. Setali tiga uang. Itu agaknya yang membuat lalu lintas selalu ‘semrawut’ seperti benang kusut.
Teman saya itu sangat jengkel kalau naik angkot. Dia melihat betapa penumpang angkot dengan seenaknya minta berhenti. Belum sampai dua meter sudah ada lagi penumpang yang juga minta turun. Tapi justru tak seorangpun penumpang minta turun atau berhenti di halte yang sudah tersedia! 

Apakah di Indonesia memang tidak punya aturan lalu lintas? Jangan salah, Indonesia juga mempunyai Undang Undang (UU) Lalu Lintas. Yaitu UU nomor 22 tahun 2009, yang baru mulai diberlakukan pada bulan Januari tahun 2010. UU itu mengggantikan UU nomor 14 tahun 1992. Sejatinya UU Lalu Lintas dinegara manapun mempunyai satu benang merah. Karena mengacu pada peraturan lalu lintas internasional.
Jadi kebiasaan buruk masyarakat Indonesia dalam berlalu lintas bisa dikategorikan menyalahi standar aturan internasional. 


Bahwa halte, rambu lalu lintas, traffic light (lampu ‘bangjo’) dan lain-lain adalah sesuatu yang sudah menjadi fakta sosial. Karena keberadaannya juga diatur dengan sebuah UU. Penyimpangan terhadap keberadaan fakta sosial tersebut berarti melanggar kekuatan hukum yang membatasi individu berbuat seenaknya.
Traffic light yang mempunyai lampu merah, kuning dan hijau misalnya. Masing-masing warna sudah disepakati secara internasional. Lampu merah artinya berhenti, kuning berarti siaga atau waspada dan hijau artinya boleh berjalan. Pengetahuan tentang warna lampu 'bangjo' ini bahkan sudah diajarkan sejak masih di Taman Kanak-kanak. Demikian juga dengan rambu-rambu lalu lintas yang ada. Misalnya tanda dilarang berhenti, dilarang parkir, dilarang memutar dan tanda larangan yang lain.
Tapi dikota-kota besar di Indonesia sering terlihat, betapa para pengendara kendaraan bermotor sangat suka melanggar rambu dan aturan. Secara ekstrim bisa dikatakan bahwa rata-rata pengguna jalan di Indonesia berani mengingkari fakta sosial yang ada.  Mereka secara sadar melanggar semua aturan yang mengarahkan tingkah laku individu di jalan raya dan tempat lain.

Yang terlihat sangat menonjol senang melanggar aturan adalah para pengemudi angkutan umum. Walaupun tidak kurang pengendara mobil pribadi dan sepeda motor yang juga ugal-ugalan.
Betapa seringnya kita melihat pengendara kendaraan bermotor yang ‘menyerobot’ lampu merah. Padahal perbuatan itu sangat berbahaya. Baik bagi diri sendiri atau orang lain. Lampu kuning yang berarti harus mulai mengurangi kecepatan dan berhenti, diartikan sebagai ‘tancap gas’. Para pengendara sepeda motor lebih ‘parah’ lagi. Jarang yang mau berhenti digaris batas yang ada dilampu merah. Kebanyakan mereka menjorok kedepan, kadang malah melewati lampu merah itu sendiri. Lampu kuning baru menyala tanda bersiap jalan, mereka sudah tancap gas. Saling berebut untuk ngacir lebih dahulu. Seolah dikejar hantu.

Undang-undang atau aturan dibuat untuk dilanggar.

Dibawah ini beberapa pasal dari UU Lalu Lintas yang sering sekali dilanggar:
Pasal 284 UU nomor 22/2009 menyebutkan para pengemudi kendaraan bermotor roda dua ataupun lebih, bila akan berbelok atau berbalik arah harus memberikan isyarat. Tapi dikalangan sopir Bajaj (kendaraan roda tiga), sudah terkenal pemeo: “Hanya malaikat dan sopir Bajaj yang tahu kapan dia akan berbelok”.  Hal itu karena seringnya mereka asal belok tanpa memberi isyarat apapun. Mereka tidak menyadari bahwa tindakan itu sangat membahayakan kendaraan lain. Baik yang datang dari depan atau terlebih lagi yang berada dibelakangnya. Yang melanggar pasal 284 ini akan dikenai pidana kurungan selama sebulan atau denda sebesar Rp. 250.000.
Adapun Pasal 295 UU yang sama menyebutkan: Para pengemudi yang akan berpindah jalur atau bergerak ke samping, wajib mengamati situasi lalu lintas di depan, samping dan dibelakang kendaraan serta memberikan isyarat. Jika tertangkap melakukan pelanggaran, akan dikenai sanksi paling lama satu bulan kurungan atau denda Rp 250.000. Tapi prakteknya para pengemudi angkot sering berpindah-pindah jalur semau gue. Mereka juga sangat sering berhenti seenaknya ditengah jalan untuk menaik turunkan penumpang.  
Pasal 297 menyebutkan, pengendara kendaraan bermotor yang balapan di jalan akan dikenai pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp 3.000.000. Ini termasuk salah satu pasal yang ancaman hukumannya tinggi. Tapi kenyataannya masih banyak juga yang berani melanggarnya. Para pengendara angkutan umum seperti tidak ada jeranya saling berpacu dijalan untuk berebut penumpang.


Namun pelanggar aturan tidak hanya didominasi para pengemudi. Para (calon) penumpang angkotpun tidak kalah ngawur. Mereka menunggu kendaraan disembarang tempat. Itu terlihat setiap hari pada saat jam masuk kantor atau pulang kerja. Dimana saja. Tak ada lagi  kata antri dalam kamusnya. Mereka saling berebut bila ada angkot yang datang. Bahkan untuk alat transportasi elit seperti taksi dan ‘busway’ di Jakarta.
Singkat kata, para pengemudi dan pengguna jalan serta para penumpang itu seperti punya semboyan: “Bukankah Undang-undang dan aturan itu dibuat untuk dilanggar?”
Tragisnya, kebiasaan buruk para pengguna jalan itu seolah ditolerir oleh petugas Polantas yang berada dilapangan. Jarang ada Polantas yang mau menegur atau menilang perbuatan para pengemudi yang jelas melanggar aturan itu. Kalaupun ditilang, pasti akan diselesaikan ‘secara adat’ ditempat itu juga.

Disiplin yang jadi Diselipin.

Inilah sebenarnya kunci dari semua permasalahan: 
Kita maklum bahwa ‘Law Enforcement’ (tindakan/sanksi hukum) di Indonesia terbukti sangat lemah. Termasuk untuk pelanggaran lalu lintas. Ditambah dengan adanya ‘denda damai’ yang sering terjadi antara sipelanggar dan petugas polantas, maka lengkap sudah ‘derita’ yang dialami negeri ini. (Hmmm ... seperti lirik lagu cengeng bikinan Cikebas saja).
‘Hobi’ melanggar hukum (apa saja) tampaknya erat kaitannya dengan disiplin. Dan disiplin tidak lahir begitu saja. Disiplin berkaitan dengan hal kepatuhan, ketaatan dan ketertiban. Oleh sebab itu disiplin adalah ilmu yang harus diajarkan. Kalau perlu sejak anak berusia dini. Anak-anak yang tidak pernah mendapat pelajaran disiplin akan tumbuh menjadi seorang anak yang tak terkendali. Tidak bisa diatur dan cenderung berbuat seenak perutnya sendiri. Apalagi kalau tidak ‘makan sekolahan’. 
Bisa dikatakan tingkat kedisiplinan seseorang itu berbanding lurus dengan tingkat pendidikannya. Contoh konkrit tentang hal ini adalah yang tampak pada warga Singapura. Mereka sangat disiplin dalam segala hal karena rata-rata tingkat pendidikannya lumayan tinggi. Bandingkan dengan masyarakat kita (terutama pengemudi angkot) yang kebanyakan masih rendah tingkat pendidikannya.

Akan tetapi fakta membuktikan, bahwa ternyata pelajaran disiplin saja tidak cukup. Buktinya aparat yang mau terima ‘salam tempel’ atau ‘denda damai’ itu. Kita tahu pendidikan berbasis militer sangat ketat dan disiplin. Jadi aparat yang mudah menerima suap itu apakah kurang mendapat pendidikan  disiplin? Tentu tidak. Karena itu perlu ditambahkan juga pendidikan mental dan moral agamanya. 
Kalau hal tersebut dilupakan,  jangan heran kalau DISIPLIN bisa berubah jadi DISELIPIN.
Demikian pula dengan para pengguna jalan. Tanpa disiplin, mereka bisa berubah menjadi ‘pembantu malaikat maut’. Artinya berpotensi mencelakakan diri sendiri, bahkan orang lain.

Lalu bagaimana sesungguhnya cara yang ampuh untuk mengatasi itu semua?
Kembali kepada kita sebagai warga negara Indonesia yang bertanggung jawab.
Bisakah kita membudayakan disiplin sebagai bagian dari hidup keseharian kita?
Artinya sanggupkah kita menjadi insan yang berbudaya?  
Budaya disini diartikan sebagai fakta sosial yang bisa mengarahkan kesadaran kolektif masyarakat. Dengan demikian masyarakat dapat bertingkah laku seperti yang ditentukan oleh aturan dan norma yang ada.
Mudah-mudahan dengan kembali menjadi manusia yang berbudaya, dapat mengeliminir sifat buruk manusia yang cenderung melanggar aturan. Termasuk aturan dalam hal ber lalu lintas.

Itulah sedikit 'urun rembug'  (saran) dari saya. Selanjutnya terserah anda.

3 komentar:

  1. Tulisan mas Tony ini sudah berpikiran dari berbagai segi. Kasus DISIPLIN dan DISELIPIN yang ada di dalam tulisan mas Tony, secara tersirat sudah mengandung pemikiran sibernetik yang mengatakan bahwa masyarakat adalah sistem komunikasi di mana rangkaian komunikasi dikelola dan bisa dimanfaatkan sebagai sumber daya. Yang terjadi di jalan raya adalah sistem komunikasi. Kalau di Indonesia komunikasi yang terlibat di jalan raya adalah antara polisi dan manusia penggunanya, sedangkan kode-kode lalu lintas hanya sebagai hiasan saja dan untuk pantas-pantasan saja. Saya perhatikan pengguna lalu lintas di Medan sangat terampil dlm menggunkan jalan, cepat sekali tanggap apakah di sekitar ada polisi, cepat dlm melihat ruang. Ruang adalah peluang. Kalau tidak ada polisi dan ada ruang kosong untuk masuk maka lampu merah akan di langgar. Justru kita yang tertib dibilang bodoh krn tak bisa memanfaatkan peluang. Pengguna jalan raya ingin buru-buru sampai tujuan krn macet, ingin mengejar setoran dan lain-lain. Jika ada razia sopir-sopir truk, misalnya, akan melempar kotak korek api yg berisi uang kepada pelaku razia. Bagi polisi jalan raya adalah sumber daya yang bisa dikelola dengan memanfaatkan kesalahan pengguna jalan raya. Kalau masuk ke kas negara ya tidak apa-apa dan harus tp kalau masuk ke kantong pribadi, itulah yg dinamakan DISELIPIN.

    Dengan demikian budaya lalulintas yang telah disepakati oleh internasional menjadi tidak kontekstual di jalan raya di Indonesia tapi yang ada adalah transaksional. DISELIPIN lannjjjjjuut.

    Sebenarnya inilah habitus kebanyakan pengguna lalulintas diIndonesia, "ketrampilan" berlalulintas tadi akibat sosialisasi yang kita dapat ketika kita berada di jalan raya sehingga kita tidak sadar bahwa hal-hal tersebut salah. Namun dr semua itu masih banyak juga yang tertib dan walaupun saya masih ragu berkorelasi antara tertib lalu lintas dengan pendidikan.

    Begitulah komen saya mas Tony, coba cari masukan dari kawan-kawan lain yang akan lebih memperkaya tulisan mas Tony.

    Makasih dah dipercaya untuk memberi komen tulisan mas Tony. Selamat berkarya, ditunggu bukunya.

    BalasHapus
  2. Ruuuaaaaar biaaaasasaaaa.....
    Dalam kesibukan abang memberikan kuliah utk para mahasiswa, masih berkenan panjang lebar memberikan komentar. Salut saya.
    Sejatinyalah apa yg saya tulis menjadi santapan kita sehari-hari. Bagi mereka yg pernah mengalami berada dinegeri lain, lalu lintas dinegeri kita termasuk 'sangat berbahaya'. Semua pengguna jalan mau menang sendiri. Klakson dibunyikan tanpa henti, menandakan temperamen si sopir yang tdk sabaran. Di Amerika sangat jarang klakson dibunyikan, kalau klakson berbunyi itu menandakan ada sesuatu yg sangat luar biasa. Tentang korelasi antara pendidikan dan displin, saya rasa memang ada hubungannya. Sebab Singapura dan Malaysia, negara jiran terdekat, bisa sangat tertib lalu lintasnya. Apakah krn mereka cukup tinggi pendidikannya, bekas dijajah Inggris dan kita bekas dijajah Belanda? Atau karena penegakan hukum kita yg sgt lemah? Jangan2 malah paduan dr semuanya.......sangat memprihatinkan ya kalau kita merasa tak berdaya utk mengubahnya.
    Btw cepatlah menulis bang, saya tunggu karya2nya...salam sejahtera!

    BalasHapus
  3. Tulisan masTonie yang diawali dengan kisah pribadi yang merendah dengan 'ndeso'nya sungguh bagus mengalir kearah yang dituju, untuk menceritakan kesemrawutan lalu lintas di Indonesia khususnya di kota besar terutama Jakarta. Ditambah lagi dengan kelengkapan UU Lalu Lintas dan pasal-pasalnya, yang justru sering dilanggar. Hal inilah yang diangkat oleh penulis menjadi umpan balik pertanyaan: MASIH ADAKAH DISIPLIN LALU LINTAS?, MENGAPA LALU LINTAS KOTA SELALU SEMRAWUT?
    Di kota besar di Indonesia, terutama di Jakarta jelas penduduknya sekarang sudah banyak dan banyak pula yang mempunyai dan menggunakan kendaraan. Baik kendaraan umum maupun kendaraan pribadi tumpah ruah dijalan apalagi pada jam-jam sibuk berangkat/pulang sekolah/kantor. Saya yakin kapasitas jalan di Jakarta sudah tidak sebanding dengan jumlah kendaraan yang tumpah memadati jalan, terutama pada saat sibuk tersebut ditambah lagi dengan kurangnya (atau tak adanya?) disiplin berlalu lintas di Indonesia. Saya bukan ahli matematik, namun kalau dibandingkan dengan Singapore, jelas lebih padat di Jakarta termasuk pengguna kendaraannya. Yang saya herankan, dimanakah kini 'sopan santun' masyarakat Indonesia yang dulunya sangat terkenal itu? Bila sopan santun masih ada di negri ini, tentunya sopan santun berlalu-lintas pun terpelihara, malu kalau sampai menyerobot jalan karena bukankah sesama pengguna jalan raya juga selayaknya 'berkomunikasi' dengan santun?
    Mohon maaf apabila saya kurang setuju tentang adanya korelasi antara pendidikan dan disiplin, sebab Singapura dan Malaysia sangat tertib lalu lintasnya.
    Yang jelas, jumlah penduduk di Jakarta sudah sangat padat, demikian juga pengguna jalan dan jumlah kendaraan yang tentunya juga sangat banyak. Ditambah lagi dengan penegakan disiplin dan hukum di Indonesia sangat lemah.
    Sungguh menarik, tulisan masTonie bermuara pada kunci permasalahan DISIPLIN yang berubah menjadi DISELIPIN. Disinilah hal yang seharusnya menjadi moment "malu" bagi aparat yang bertugas.
    Sanggupkah kita menjadi insan yang berbudaya, santun dan punya malu??
    Mudah-mudahan komen saya berkenan.

    BalasHapus