Sabtu, 02 April 2011

"MENDADAK MAMPIR KE NEGERI 'GAJAH PUTIH'..."



(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (49)


 Numpang nampang didepan Banghok's Grand Palace

 

      Tak terduga terbang ke “Siam”.

Hari Jum’at, 5 September 1986. Kini tiba saatnya kita pulang kembali ke Jakarta. Rombongan Gubernur Jambi memisahkan diri, karena mereka memilih terbang kembali ke Jakarta lewat Hongkong. Sedangkan Pak Pardjo berketetapan hati memilih pulang kembali ke Jakarta lewat Bangkok, Thailand. Penerbangan dari Tokyo ke Bangkok dilayani oleh beberapa maskapai penerbangan terkenal, seperti Thai Airways, Cathay Pacific dan Japan Airlines (JAL). Pak Pardjo memilih terbang dengan JAL, yang sudah terkenal reputasinya dalam hal ketepatan waktu.
Sayangnya hari itu JAL mencoreng reputasinya sendiri. Pesawat Jumbo 747 yang menuju Bangkok mengalami gangguan ‘teknis’, sehingga jadwal penerbangan mengalami ‘delay’  (penundaan waktu). Dan delay kali ini betul-betul ruaaarrr biasa: nyaris tujuh jam full! Walaupun JAL memberikan kompensasi untuk penundaan itu, tapi siapa yang tidak pegal menunggu di Bandara Narita selama itu? Bapak dan ibu Soepardjo langsung di’aman’kan oleh Protokol KBRI kehotel transit. Tapi saya dan dr. Gunawan (dokter spesialis penyakit syaraf dari RSPAD) yang ditugaskan mendampingi Pak Pardjo sejak dari Jakarta, memilih berkeliaran saja di sekitar Bandara, sambil “window shopping”. Ya memang kita berdua hanya bisa melihat-lihat saja,  soalnya harga barang-barang yang dijual di kios-kios Bandara tak terjangkau kantong.

B-747-200 JAL
Sudah agak larut malam ketika Boeing 747-200 JAL lepas landas dari Bandara Narita, Tokyo menuju Bandara Don Muang, Bangkok, Thailand.
Kunjungan Pak Pardjo ke negeri Gajah Putih ini sungguh diluar dugaan saya. Waktu saya tanyakan ke dokter Gunawan (karena dia sudah medampingi Pak Pardjo sejak dari Amerika Serikat) tentang rencana ‘menyimpang jalur’ ini, ternyata pak dokter juga sama saja dengan saya. Sama-sama tak tahunya.
Alhasil kita berdua pasrah saja. Pasrah menikmati kunjungan ‘dadakan’ ke negeri Siam yang tak pernah terimpikan. Gratis lagi.

      Bangkok, I’m coming…….

Salah satu negeri Kerajaan di Asia Tenggara yang semula bernama Siam, Thailand (atau Muangthai) sangat terkenal dengan beras, gajah dan buah-buahan tanpa biji. Kota terbesarnya adalah Bangkok,  yang sekaligus menjadi  ibukota Negara.
Sabtu pagi, 6 September 1986, ketika pesawat Jumbo JAL menjejakkan roda-rodanya di landasan Bandara ‘Don Mueang’ (Don Muang) Bangkok. Itulah awal mula  saya  menginjakkan kaki di “Tanah Kebebasan” (Muang Thai). Bandara Don Muang adalah bandara paling tua di Asia. Sudah dipakai oleh Angkatan Udara Kerajaan Siam sejak tanggal 27 Maret 1914, dan secara resmi dipergunakan sebagai Bandara Komersial pada tahun 1924. Konon Negeri Siam memang sebuah negeri yang tidak pernah dijajah oleh bangsa asing. Oleh sebab itu negeri Gajah Putih ini berbangga diri dengan kesenian dan budayanya yang nyaris tak ternoda oleh pengaruh budaya asing. Warna kulit penduduk Thailand sangat mirip dengan penduduk Indonesia. Hanya setelah mereka bicara, kita bisa tahu perbedaaannya.
Di Bandara Don Muang tampak menjemput Bapak dan Ibu Gatot Soewardi (Mantan KSAU), Dubes RI untuk kerajaan Thailand. Ketika bermobil menuju Rumah Dinas Dubes RI, tampaklah wajah asli kota Bangkok. Pada awal bulan September tahun 1986 itu, Bangkok masih belum banyak mempunyai jalan layang. Jadi tidak banyak berbeda dengan Jakarta, lalulintas macet disana-sini. Kendaraan saling serobot berebut jalan dan riuh dengan suara klakson bersahutan. Untuk pertama kalinya saya melihat “Tuk-tuk”, kendaraan roda tiga semacam bajaj, tapi berukuran agak sedikit lebih besar. Sama dengan Bajaj, hanya Malaikat dan sopir Tuk-tuk itu sendiri yang tahu kapan dia akan berbelok!
Benar-benar lengkap sudah ciri sebuah ibukota Metropolitan.

      Siang melihat “Wat” (Vihara), malam melihat “syahwat”

Sekpri Dubes bernama Pak Supardi. Perwira AURI (kini TNI-AU) ini juga ‘diboyong’ sebagai orang bawaan Pak Gatot Soewardi dari Mabes AURI. Karena tinggal dikompleks AU di Halim, maka Pak Pardi jadi cepat akrab dengan saya yang tinggal di Pondokgede, daerah pemukiman yang ber’tetangga’ dengan Bandara Halim Perdanakusumah.
Selama berkunjung di Bangkok Pak Pardjo tidak mempunyai acara resmi. Oleh karena itu dokter Gunawan dan saya diijinkan untuk pergi berdua keliling kota Bangkok. Hebatnya, Pak Pardi langsung menyediakan dirinya untuk menjadi penunjuk jalan bagi kita berdua, guna menjelajahi negeri Gajah Putih ini.

Kota Bangkok terletak dipinggir sebuah sungai bernama ‘Chao Phraya’. Banyak kanal ditengah kota yang dilintasi perahu, oleh karena itu ada yang menyebut Bangkok sebagai “Venesia from the East”. Disungai itu pula terdapat banyak sekali perahu-perahu kecil yang berjualan segala macam buah  dan barang-barang lainnya, sehingga dinamakan Pasar Terapung. Tapi yang paling mencolok adalah banyaknya Vihara atau “Wat”, tempat ibadah pemeluk agama Budha Theravada yang merupakan agama mayoritas di Thailand. Siang hari yang panas itu dokter Gunawan dan saya diajak mengunjungi beberapa ‘Wat’ yang tersohor dikota Bangkok, antara lain Wat Po yang terkenal dengan “reclining Buddha” (patung Budha ‘tiduran’) dan Wat Phra Kaew dimana terdapat patung Budha yang terbuat dari batu giok. 


Tentu tidak boleh disebut telah ke Bangkok kalau tidak mengunjungi kompleks  “Bangkok’s Grand Palace” yang dibanggakan oleh rakyat Thailand. Istana yang memang sangat besar dan luas itu memamerkan segala keindahan seni dan budaya Kerajaan Siam, yang konon tak pernah ternoda dengan pengaruh budaya dari bangsa lain itu.
Yang membuat saya tertarik adalah banyaknya penjual burung pipit (Jawa: emprit) dihampir setiap halaman Wat yang ada dikota Bangkok. Konon ada kepercayaan, siapa yang membeli burung pipit tersebut dan kemudian melepaskannya dihalaman Wat sambil menyebutkan permintaaan, maka akan terkabullah permintaannya itu. Atau paling tidak dengan melepas burung itu, akan mendapatkan keberuntungan. Makin banyak burung dibeli dan dilepaskan makin besar rejeki atau keberuntungan yang akan didapat. Wallahu ‘alam.
Malam hari itu selepas jamuan makan malam di rumah Pak Dubes, Pak Pardi mendekati saya:
“Tadi siang sudah nonton Wat kan? Bagaimana kalau malam ini saya ajak nonton ‘syahwat’?” ia bertanya sambil menunjukkan wajah jenaka.
Nonton “syahwat”? ‘Bekakas’ (barang) macam mana pula itu?
Saya agak tercengang, belum sepenuhnya dapat menangkap arah pertanyaannya. Barangkali karena tadi saya kekenyangan makan Po Phia Thot (lumpia isi daging rajungan), Gai Obb Bai Tay (ayam goreng pandan) dan sup Tom Yang (sup sea food) yang pedas tapi lezat sekali rasanya.
“Sudah tidak usah banyak mikir, pokoknya kalau sampeyan betah melek , ikut saya lihat Bangkok by nite, pasti nanti lupa pulang” lanjut Pak Pardi sambil terkekeh. Dalam kebimbangan, saya langsung bertanya pada dokter Gunawan apa mau diajak keluar malam ini. Ternyata dokter Gunawan semangat sekali. Kapan lagi lihat Bangkok diwaktu malam, katanya.
Sudah mendekati pukul sepuluh malam ketika diam-diam kita keluar dari rumah dinas Dubes. Dengan memakai mobil jip dinas Pak Pardi, malam itu jadilah kita bertiga menuju tempat hiburan malam dikota Bangkok. Menurut saya Bangkok lebih ‘hidup’ kalau malam tiba. Jalanan dan gedung berhiaskan lampu aneka warna, lalu lintas padat merayap dipenuhi sorot lampu kendaraan, ditingkah suara Tuk-tuk yang sangat khas. Rasa-rasanya semakin malam Bangkok justru semakin ‘hidup’.
Mobil berhenti disebuah lokasi yang sangat hiruk pikuk. Terlihat banyak sekali bangunan berderet-deret, dilengkapi hiasan lampu yang gemerlap warna-warni. Semuanya dilengkapi dengan papan nama besar yang bertuliskan aksara Siam, (mirip dengan aksara Jawa kuno), dan gambar wanita-wanita cantik yang nyaris tidak berbusana. Beberapa diantaranya menambah dengan huruf latin dalam bahasa Inggris. Intinya sama: “Live show”. Didepan pintu tampak tukang promosi yang berteriak-teriak (mungkin) saling bersaing menawarkan kehebatan pertunjukan ditempat masing-masing. Saya tidak faham karena mereka memakai bahasa Thailand. Semua orang tampaknya begitu bersemangat membuat saya bengong, sampai lupa bertanya pada Pak Pardi, apa nama daerah itu.
Pak Pardi kelihatan sudah terbiasa pergi kesini, dengan santai dia memilih salah satu tempat, membeli tiket diloket yang tersedia dan mengajak dokter Gunawan dan saya masuk kedalam.
Kursi-kursi ditata melingkar. Ditengah-tengah ruangan ada semacam panggung setinggi kurang lebih satu meteran, berbentuk lingkaran dengan semacam matras tergeletak diatasnya.  Tidak ada pembatas apapun antara kursi penonton dan panggung yang jaraknya tidak sampai dua meter. Penonton tidak terlalu banyak. Mungkin karena banyak saingan. Tapi menurut Pak Pardi ditempat ini yang paling “seru dan saru”. Saya dan dokter Gunawan memilih duduk dibaris kedua, walaupun kursi baris pertama masih kosong melompong. Maklum, kita belum tahu pertunjukan nanti akan berlangsung seperti apa. Kalau duduk terlalu dekat dengan panggung saya khawatir jangan-jangan nanti malah diajak "ikut serta" berpartisipasi! Wiiiih....nenek bilang itu berbahayaaaa!!
Didalam ruangan yang sumpek itu tidak ada penyejuk udara, yang ada hanya kipas angin. Hawa panas dan pengap ditingkah suara musik yang menghentak-hentak dari lagu rock yang dinyanyikan dalam bahasa……Siam!.
Tidak lama kemudian acarapun dimulai. Diiringi dengan musik mendayu-dayu dari tape recorder, muncullah seorang wanita cantik bertubuh ‘semlohai’ (seksi) dengan busana amat sangat minim. Saya sempat berpikir barangkali harga kain disini mahal sekali, sampai-sampai rok wanita itu dibuat dengan begitu ‘irit’nya.
Diatas panggung sang ‘bintang’ menari-nari dengan gerakan seronok dan erotis. Lalu muncullah seorang pria, dengan santainya dia duduk dipinggir matras, sambil memegang sebuah gelas whiskey berkaki. Wanita itu terus menari dengan asyiknya. Tiba-tiba dia membuat gerakan seperti kayang tepat didepan lelaki yang tampak serius memperhatikan tingkah lakunya. Dan upso lala… sebuah bola ping pong sekonyong meloncat keluar dari bagian tubuhnya yang paling rahasia! Bola ping pong melayang dan tepat masuk kedalam gelas! Goooollll!!!
Penonton berteriak dan bertepuk tangan. Ada dua atau tiga kali dia melakukan ‘aksi’ serupa itu. Luar biasa. Dokter Gunawan dan saya saling berpandangan, kemudian tertawa terbahak-bahak bersama. Adegan berikutnya lebih ‘sadistis’ dan gila. Wanita itu mengambil sebotol minuman ringan merk “CC” yang masih belum dibuka tutupnya. Ditunjukkannya botol itu kepada penonton untuk meyakinkan bahwa tutup botol itu betul-betul belum dibuka. Kemudian digoyang-goyangkannya botol itu sebelum diselipkannya diantara kedua pahanya. Sejurus kemudian botol itu diarahkannya kedepan, kini cairan “CC” menyemprot keluar dari botol yang sudah terbuka tutupnya! Persis seperti ulah para pembalap F-1 yang merayakan kemenangannya diatas podium dengan menyemprotkan ‘champagne’ kemana-mana.
Dokter Gunawan kontan menggerutu:
“Untung tadi saya tidak memilih minuman itu”.
Kini saya yang tergelak-gelak. Sebelum duduk tadi kita memang ditawari minum oleh Pak Pardi. Saya memilih air mineral dan dokter Gunawan memilih minuman ringan berwarna merah merk“F”.
Sungguh sebuah petunjukan extra ordinary, yang (benar menurut kata Pak Pardi) “seru dan saru”.
Semakin malam acaranya semakin seru, bahkan semakin saru lagi. Melibatkan sepasang manusia berlawanan jenis. Sehingga tidak pantas kalau saya ceritakan disini. Apalagi belum tentu anda percaya. Jadi lebih baik suatu ketika anda pergi saja ke Bangkok dan menyaksikannya dengan mata kepala anda sendiri.
Menjelang subuh kita baru masuk kerumah Pak Dubes lagi.
Pak Pardi tampak puas sekali bisa membuat tamunya senang, walaupun kenyataannya  saya malah jadi pusing tujuh keliling.
Benar-benar sebuah pengalaman BARU yang SERU dan SARU.
Bangkok, oh Bangkok…ternyata engkau begitu………..
Hari Minggu siang, 7 September 1986, Bapak dan Ibu Soepardjo, dokter Gunawan dan saya terbang kembali ketanah air dengan pesawat Jumbo Cathay Pacific.
Pengalaman ‘seharmal’ (sehari semalam) di negeri Gajah Putih itu memang lain daripada yang lain.



bersambung.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar