Selasa, 05 April 2011

"BERADA DI DUA BENUA PADA HARI YANG SAMA"



(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (67)

Released by mastonie, Sunday, July 11, 2010 at 11.43 am


      Perjalanan pertama kali menuju negeri “Paman Sam”

Awal bulan Maret tahun 1990 Pak Pardjo berniat melakukan pemeriksaan kesehatan lagi di Amerika Serikat. Kali ini saya yang ditugaskan sebagai ajudan, didampingi seorang dokter dari AURI (kini TNI-AU), Kolonel dr. Sudjarwo, mantan dokter pribadi Jenderal M. Yusuf. Mungkin merasa bosan pergi ke Amerika selalu lewat selatan (Hawaii), kali ini beliau memutuskan pergi lewat utara, Tokyo, Los Angeles, New York, baru ke Washington. Sebuah rute yang cukup ‘aneh’ sebetulnya, karena jaraknya jadi semakin jauh dan memutar.

Dari Jakarta pesawat Boeing 747 Garuda Indonesia lepas landas pada hari Rabu malam tanggal 7 Maret 1990 menuju Narita Tokyo lewat Denpasar Bali. Saya sudah pernah terbang dengan rute  ini pada tahun 1986, yaitu pada waktu menjemput Pak Pardjo yang pulang berobat dari Amerika Serikat juga.
Hari Kamis, 8 Maret 1990, sekitar pukul 07.00 pagi waktu Narita, pesawat mendarat dengan selamat Di Bandara Internasional Narita.
Tampak menjemput beberapa staf KBRI Tokyo. Salah seorang sudah sangat baik saya kenal. Namanya Pak Subagyo. Pria setengah umur ini adalah ‘local staff’  (staf lokal) KBRI Tokyo, yang sudah lama bertugas dibagian Protokol. Dia termasuk senior, bahkan istrinya adalah seorang wanita Jepang tulen.
Pak Bagyo inilah yang selalu dikontak Pak Pardjo lebih dahulu, kalau beliau ingin berkunjung ke Jepang.
Ternyata pada hari ini masih tersisa waktu beberapa jam untuk menunggu jadwal keberangkatan  pesawat Jumbo JAL yang akan membawa kita ke Los Angeles.

      Melihat Kuil (Pagoda) Narita-San.
foto: google/istimewa
Karena waktu menunggu yang cukup lama, maka Pak Pardjo memutuskan untuk menunggu di hotel NIKKO Narita untuk sekedar beristirahat. Tapi Pak Bagyo, yang memang sangat menguasai medan, malah mengajak Pak Pardjo untuk melihat Kuil Narita-San yang katanya berada tidak jauh dari Bandara.
Terletak disebuah bukit (oleh karena itu disebut dengan “San”, panggilan untuk menghormati sebuah gunung atau bukit) yang kemudian dijadikan taman wisata didaerah Narita, Kuil pemeluk agama Budha Shingon ini disebut sebagai Narita-San Shinsoji. Kuil ini merupakan tujuan wisata pertama para turis yang masuk ke Jepang, setelah Bandara Internasional Narita dibangun didekat Kuil kuno itu. 

Adalah Kaisar Suzuka,  yang telah memberikan perintah kepada seorang pendeta bernama Kanyo untuk membangun Kuil atau Pagoda itu sekitar tahun 940 M. Ada kisah yang menyebutkan bahwa Kuil atau Pagoda itu berasal dari sebuah batu besar yang merupakan jelmaan Dewa Fudomyoo, salah satu Dewa di Agama Budha Shingon yang berwajah paling sadis dan bengis, tapi yang telah memberikan berkah dan pertolongan atas hancurnya para pemberontak yang berada didaerah Narita karena membangkang dan  melawan Kaisar Suzuka.
Taman Wisata itu (tahun 1990) mempunyai beberapa kuil (Pagoda). Yang paling mencolok adalah sebuah Pagoda setinggi 58 meter yang konon dibangun sebagai tempat pemujaaan untuk keselamatan dan perdamaian dunia. Disitu juga ada Pagoda beratap 3 tingkat setinggi 25 meter yang dibangun pada tahun 1712. Karena letaknya diketinggian, Pagoda atau kuil ini memiliki anak tangga bertingkat-tingkat. 

Banyak sekali turis asing yang berkunjung ke kuil ini karena letaknya tidak terlalu jauh dari stasiun kereta dan dekat dengan Terminal 2 Bandara Internasional Narita. Ditengah taman terdapat sebuah kolam berair mancur yang airnya jernih sekali. Disini para pengunjung biasanya melakukan ‘ritual’ membuang uang koin kedalam kolam. Syahdan menurut kepercayaan mereka,  barangsiapa rela dengan sengaja membuang koin kedalam kolam, dia akan  dapat kembali mengunjungi Kuil di Narita itu lagi. Iseng saja saya dan dokter Jarwo ikut membuang koin Yen 25 sen kedalam kolam. Sama sekali  tidak bermaksud percaya kepada ‘tahayul’ semacam itu. Tapi kemudian ternyata memang beberapa kali saya kembali lagi ke Narita. Wallahu’alam.
Dengan banyaknya turis yang berdatangan, maka disekeliling kuil Narita-San lalu ‘bertumbuhan’ banyak sekali kios dan lapak yang menjual makanan kecil khas Jepang. Uniknya, kue dan kembang gula yang dijual dikaki lima itu dikemas dan disajikan dalam bungkusan dan tatawarna yang sangat menarik selera, termasuk pernak pernik cinderamatanya.

     Terbang diatas Samudra Pasifik, terjebak ‘CATS’.

Hari Kamis 8 Maret 1990 itu pula, tepat pukul 17.30 waktu Narita, pesawat Boeing 747-200 JAL dengan  nomor penerbangan JL 62, lepas landas menuju Los Angeles, Amerika Serikat. Ini penerbangan saya yang kedua dengan Maskapai Penerbangan milik Jepang yang sangat terkenal itu.  Yang pertama pada tahun 1988 saat terbang dari Narita menuju Bangkok. Waktu itu ada penundaan penerbangan sampai sekitar 7 jam. Sekarang kelihatannya semua tepat waktu. Pramugari cantik berkulit kuning bersih tapi bermata sipit itu menyebutkan, penerbangan menuju LA akan memakan waktu sekitar 10 jam nonstop. Hampir sama waktunya dengan penerbangan dari Jeddah ke Jakarta dengan jenis pesawat yang sama..

Ini adalah penerbangan saya yang pertama menuju benua Amerika. Jadi saya bersemangat sekali.
Saya senang terbang dengan pesawat milik JAL, karena pilihan menunya sangat variatif. Ada meat, chicken dan fish. Bahkan disiapkan pula menu untuk para vegetarian. Daftar menu itu sudah dibagikan jauh sebelum saat makan tiba, jadi para penumpang bisa lebih leluasa memilih. Saya tak pernah berani memilih meat, karena khawatir yang disajikan adalah daging B2. Ayam juga sudah bosan. Saya lebih suka memilih menu fish, karena saya tahu orang Jepang sangat lihai memasak ikan segar dengan berbagai cara dan gaya. Apalagi menu fish ini memakai appetizer (makanan pembuka untuk menggugah selera) ‘Sashimi’, berupa irisan aneka daging ikan segar (mentah) yang hanya diberi bumbu kecap asin dan jahe (?) parut berwarna hijau yang disajikan terpisah. Rasanya? Wooo…jangan tanya. Tapi jangan pernah mencoba kalau belum terbiasa.
Pramugari JAL juga rata-rata ramah dan pemurah. Minuman ringan (bahkan wine dan sake) diberikan tanpa batas. Walaupun saya duduk dikelas “Y” (ekonomi). Ketika tahu bahwa saya orang Indonesia, Pramugari itu dengan kenes nya masih menawarkan lagi ekstra ‘gohan’ (baca: gohang, artinya: nasi). Tentu saja saya tidak menolak karena ‘gohan’ ini rasanya sangat pulen dan kenyil-kenyil (liat tapi enak) seperti ketan. Tahu saja dia, kalau orang Indonesia (apalagi orang Jawa seperti saya) belum merasa kenyang kalau belum makan nasi. Dalam hati saya lalu membandingkan dengan pengalaman buruk saya ketika  naik pesawat Garuda dari Sydney ke Jakarta lima tahun yang lalu (1985). Sungguh sangat jauh berbeda, seperti bumi dan langit.
Mudah-mudahan Pramugari Garuda yang ‘mendholimi’ saya waktu itu membaca tulisan saya ini, walaupun saya yakin saat ini ia pasti sudah pensiun.
Sesudah kekenyangan menyantap makanan dan minum sedikit ‘sake’ (anggur beras khas Jepang), saya putuskan untuk tidur-tidur ayam sambil mendengarkan musik di earphone. Maklum tayangan filmnya memakai teks aksara “kanji”. Jadi sudah pasti saya tidak akan ‘mudheng’  (paham) jalan ceritanya.
Sejak sering bepergian dengan naik pesawat keluar negeri, saya punya kebiasaan untuk selalu memasang ‘safety belt’ (sabuk pengaman), setiap saat jika berada ditempat duduk. Walaupun agak kendor. Bukan karena apa, hanya saya merasa lebih aman saja.
Cuaca malam itu diatas ‘Lautan Teduh’ kelihatannya baik-baik saja. Hentakan-hentakan kecil memang sering terjadi, tapi saya anggap lumrah. Saya anggap saja ‘jalannya’ rusak dan banyak ‘lobang’. Apalagi saya lihat lampu tanda ‘fasten  seat belt’ (kencangkan sabuk pengaman) tidak menyala, jadi Pilot pasti yakin cuaca malam itu cukup baik.

Sekonyong-konyong tanpa peringatan apapun, pesawat Jumbo jet itu seperti dibanting, tersedot kebawah dengan mendadak. Penurunan ketinggian yang tiba-tiba dan mendadak itu membuat semua penumpang menjerit histeris. Apalagi yang tidak memakai sabuk pengaman, langsung terhempas keatas membentur langit-langit pesawat dengan keras. Saya terjaga dari tidur-tidur ayam karena merasa badan saya seperti tersedot kebawah. Beruntung sabuk pengaman yang terpasang mencegah saya terlempar dari tempat duduk. Saya mendengar deru mesin pesawat yang lebih keras dari biasa. Dari jendela tak tampak apapun kecuali kegelapan malam. Tapi saya merasa bahwa pesawat seolah meluncur turun dengan kecepatan sangat tinggi seolah tersedot oleh sebuah kekuatan yang sangat besar. Saya mengalami kecemasan dan ketakutan yang luar biasa. Beberapa penumpang masih ada yang berteriak-teriak histeris. Tapi tak ada pengumuman dan komentar apapun, baik dari Pilot ataupun awak kabin. Perasaan saya disaat krisis itu menjadi sangat tidak menentu. Saya serahkan sepenuhnya hidup saya kepada Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa dan Penentu Segala. Barangkali kejadian mengerikan itu tidak sampai dua menit lamanya. Karena saya sudah tidak merasakan lagi adanya daya sedot yang kuat itu lagi. Mesin pesawat juga sudah terdengar bersuara normal lagi. Baru kemudian terdengar suara Kapten Pilot berbicara melalui pengeras suara yang memberikan keterangan bahwa beberapa saat yang lalu pesawat telah memasuki “CATS” (Clear Air TurbulenceS, turbulensi dicuaca cerah) yang memang tidak dapat terdeteksi, yang menyebabkan pesawat mengalami penurunan ketinggian secara tiba-tiba lebih dari 1.500 feet (lebih dari 500 meter)! Untuk itu dia atas nama seluruh kru pesawat minta maaf yang sebesar-besarnya atas ketidak nyamanan yang telah terjadi seraya menegaskan bahwa kondisi pesawat dalam keadaan baik-baik saja. Subhanallah. Alhamdulillah. Padahal tadi saya sempat berpikir telah sampailah sudah saatnya ajal saya. Suara Kapten Pilot yang begitu tenang yang menandakan kehandalan dan pengalamannya sungguh menenteramkan perasaan hati saya. Sudah tentu juga perasaan penumpang lain yang sudah sempat mengalami kepanikan sesaat. Saya lihat para Pramugari mendatangi satu persatu para penumpang yang tadi sempat terlempar karena tidak mengenakan sabuk pengaman, untuk memberikan pertolongan seadanya. Setelah itu tanda “fasten your seat belt” terlihat terus menyala sampai pesawat kemudian mendarat dengan mulus di Bandara Internasional Los Angeles. Saya baru sadar bahwa setelah menempuh perjalanan malam hari sekitar 10 jam, pesawat mendarat di LA pada hari yang sama, Kamis pagi tanggal 8 Maret 1990! Aneh tapi nyata.   

Saya sudah mendarat di Amerika Serikat, Benua AMERIKA!

Hari “bersejarah” melewati garis batas tanggal internasional. 

“Kamis Kliwon, 8 Maret 1990”. Ini hari yang sangat bersejarah buat saya. 
Bukan karena “Kliwon”nya. Jadi mengapa rupanya?
Yang pertama, kini saya sudah sampai di Amerika Serikat! 

Kaki saya sekarang sudah benar-benar menginjak bumi “Uncle  Sam”  (Paman Sam) sebutan ‘sinis’ untuk Negara Adikuasa itu, disebuah kota yang bernama Los Angeles (dari bahasa Spanyol yang berarti -kota para- Dewa). 
Yang kedua, saya telah mengalami berada didua kota berlainan yang berada di dua Benua yang lain pula pada hari , tanggal dan tahun yang sama!
Hari Kamis, 8 Maret 1990, saya mendarat di Narita, Tokyo dibenua Asia dan sempat melihat Kuil Narita, tapi pada hari yang sama, Kamis, 8 Maret 1990 juga, saya berada di Los Angeles, salah satu kota dinegara bagian California, Amerika Serikat, dibenua Amerika. Kalau tidak ada aral melintang, bahkan pada hari ini juga saya akan mendarat di New York City.
Saya sampai bingung menuliskannya di buku harian.
Mirip cerita dalam film “Time Tunnel” , tapi ini kisah nyata, Bung!
Ternyata keberadaan di LA ini hanya sekejap mata saja, istilah bahasa Jawanya barangkali hanya “mampir ngombe” (berhenti sejenak untuk minum). Karena Pak Pardjo hanya sempat keliling kota LA sampai dirumah dinas Pak Konsul Jenderal RI yang ada di LA, kemudian balik lagi ke Bandara LA untuk menunggu keberangkatan Boeing 747 Pan American  (Pan Am) yang akan membawa kita terbang ke New York City hari ini, Kamis 8 Maret 1990 juga.




bersambung.....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar