Minggu, 03 April 2011

"SELAMAT TINGGAL..(GADIS)...PYONGYANG..."

(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (58)
Released by mastonie on Saturday, June 19, 2010 at 10:37pm

Saatnya kembali ke Moskow......

Cuaca pada hari Senin, 12 September 1988 cerah ceria.
Siang nanti Delegasi RI (yang hanya bertiga) sudah harus bertolak kembali ke Moskow.
Pagi hari sebelum check out dari Hotel “Pyongyang Koryu”, saya dan Pak Andi Syamsu sempat mengadakan semacam ‘farewell party’ dengan gadis-gadis yang biasa melayani kita makan di restoran. Terus terang kita memang lebih sering makan direstoran Korea itu, dibanding dengan makan ditempat yang disediakan untuk tamu, Bisa datang setiap saat, makanannya enak, tidak terlalu mahal dan pelayannya cantik-cantik dan ramah. Ehm. Meski terkadang terjadi communication gap gara-gara keterbatasan mereka menguasai bahasa asing. Tapi bahasa a’la “Tarzan” ternyata memang bisa dipakai universal.
Termasuk ketika harus mengucapkan ‘selamat tinggal’ pada mereka…

 foto: dok.pribadi



Duta Besar RI beserta seluruh staf KBRI mengadakan semacam upacara pelepasan di Bandara. Suasananya hangat dan mengesankan sekaligus mengharukan. Tidak sampai satu minggu kita berada di Pyongyang, tapi kita sudah bergaul seperti saudara saja. Akrab dan hangat.

Diancam bedil tentara RRC dan tembok besar Cina yang mengagumkan…..

Penerbangan pulang ke Moskow kali ini memakai pesawat TU-154B milik maskapai “Air Koryo” Korea Utara. Dalam bayangan saya TU (Tupolev, pabrik pesawat terbang Uni Soviet) adalah spesialis pembuat pesawat tempur, terutama ‘bomber’.  Tapi ternyata tidak. TU 154B adalah pesawat penumpang dengan 3 buah mesin NK-8-2 buatan Kuznetsov. Bentuknya mirip Tristar (atau mungkin juga DC-10dalam bentuk kecil). Kecepatannya mencapai 900 km/jam dengan jarak jelajah antara 2.750 – 4.000 kilometer.







TU-154B mengudara dengan mulus. Cuaca sangat bagus. Dan sama dengan waktu menumpang maskapai Aeroflot, selama take off juga diperdengarkan lagu-lagu berirama ‘mars’ yang riang gembira gegap gempita. Setelah terbang beberapa jam, pesawat mulai merendah dan ternyata malah mendarat untuk ‘refuel’ di Bandara… Beijing!
Ini sungguh diluar dugaan saya. 
Siapa menyangka saya akan menginjakkan kaki di Beijing, sementara Pemerintah RI sama sekali tidak punya hubungan diplomatik dengan pemerintah RRC! 
Tapi itulah kenyataannya. Saya sekarang berada didalam pesawat TU-154B Air Koryo yang pada siang hari terik itu parkir diapron “Beijing Shouda Guoji Jichang” atau Bandara Internasional Ibukota Beijing (Beijing Capital International Airport). 
Terletak didistrik Chaoyang, yang berada 32 kilometer sebelah timur laut kota Beijing,  Bandara ini sudah dipakai sebagai lapangan terbang komersial sejak tanggal 2 Maret 1958. 
Pramugari mengumumkan bahwa pesawat akan refueling sekitar 30 sampai 45 menit. Para penumpang dimohon untuk tidak meninggalkan tempat duduk. Apalagi turun dari pesawat. 
Tapi siapa sih yang betah duduk menunggu dengan manis diatas pesawat? Sedangkan mesin pesawat dalam keadaan mati dan otomatis AC dikabin juga tidak hidup. 
Bersama beberapa penumpang lain yang kegerahan saya nekat keluar dari pintu pesawat yang terbuka. Beberapa berhasil keluar dengan sukses dan berdiri bergerombol dibawah sayap TU-154B. 
Saya sedang menapakkan kaki ditangga pesawat ketika tiba-tiba datang seorang prajurit Angkatan Bersenjata RRC. Tanpa mengucap sepatah katapun, dia mengacung-acungkan moncong senapannya kearah saya. Tampaknya dia memberi isyarat melarang saya turun dan harus masuk kedalam kabin pesawat lagi. Saya terheran-heran, bukankah sudah ada penumpang yang turun dari pesawat dan berdiri dibawah sayap? Kenapa hanya saya yang tampaknya dilarang keras untuk turun? Oooo…saya baru sadar, muka saya jelas kelihatan bukan tipe muka ‘mongol’. Barangkali itu penyebabnya.
Peduli amat, pikir saya. Salah siapa pesawat mampir disini. Kalau dia berani menembak, pasti jadi panjang urusannya. Oleh karena itu saya nekat bergerak menuruni tangga. Eh, si prajurit tampaknya tak mau kalah gertak. Ia makin maju dan laras bedilnya diarahkan kebadan saya. Tapi saya kira senapannya masih dalam keadaan terkunci. Tak kalah gertak saya berteriak ke pramugari:
”Young lady, would you please help me to go down from the airplane? You know it’s very hot here..”
Pramugari bermata sipit itu tersenyum, melongokkan kepalanya keluar pintu dan mengatakan sesuatu kepada prajurit yang sedang menodongkan senjatanya kearah saya. Entah apa yang dikatakannya. Saya tidak faham bahasa Mandarin. Yang saya tahu hanya lapis legit merk ‘Mandarin’ dari Solo yang uuenaak itu.
Yang jelas, saya lihat prajurit itu menurunkan laras senapannya pelan-pelan. He he…saya berhasil. Dengan cepat saya menuruni tangga dan bergabung dengan penumpang lain, berteduh dibawah sayap pesawat dalam cuaca yang panas terik. Tapi diluar sini angin berhembus kencang. Jadi bak ada yang mengipasi.
Sebagai kenang-kenangan saya nekat berpose dengan latar belakang TU-154B Korea. Kesempatan langka yang belum tentu bisa terulang kembali.
Ketika pesawat mengangkasa lagi menuju Moskow, saya tak tahu pasti, apakah memang itu rute yang asli atau pilot sengaja ingin mengajak para penumpangnya menikmati pemandangan yang sangat menakjubkan. Dan pemandangan spektakuler yang luar biasa menakjubkan itu adalah “THE GREAT WALL” (Tembok Besar Tiongkok / Cina)!  

  The Great Wall, China
fotos: google

Konon inilah satu-satunya bangunan didunia yang dibuat oleh manusia yang dapat terlihat dari bulan.
Dari dalam pesawat yang terbang tidak atau belum terlalu tinggi, maka Tembok Besar terlihat dari udara bagai sebuah ular naga sangat panjang yang meliuk-liuk dengan gerakan nan indah gemulai.
Sungguh pemandangan sangat langka dan memesona.
Tiba-tiba saja saya jadi begitu melankolis .....dan teringat gadis Pyongyang yang menari bersama saya di jalanan......

Good bye, auf wieder sehen, sayonara, adios ....the lady from Pyongyang.......



bersambung.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar