Minggu, 10 April 2011

"PAK GUB YANG SANGAT PEDULI....."




 (dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (29 B)


Released by mastonie, Sunday, April 10, 2011 at 01.43 am



Menapak karir dari bawah: Ajudan Panglima Besar Soedirman

Mungkin karena mengawali karirnya dari bawah (sebagai Ajudan Panglima Besar Soedirman), yang menempa diri dan pribadi Pak Pardjo menjadi seorang yang ‘hangat’, dan sangat peduli.
Kedekatannya dengan ‘wong cilik’ jangan ditanya lagi. Pada dasarnya beliau memang berasal dari keluarga sederhana, kalau tidak boleh disebut sebagai keluarga kalangan bawah.
Sewaktu bergerilya mengikuti Jenderal Soedirman yang dikenal mempunyai tekad berkobar, disitulah Pak Pardjo ditempa menjadi seorang tentara yang dekat dengan rakyat kecil.
Tapi bukan hanya itu, Pak Pardjo juga digembleng untuk menjadi seorang pemimpin pasukan gerilya yang tangguh, mempunyai solidaritas tinggi terhadap kawan dan bawahan serta sangat patuh dan loyal kepada atasan.
Masih berpangkat Kapten BKR, ketika Jenderal Soedirman sudah memberikan kepercayaan yang begitu besar kepada Pak Pardjo untuk menyusup melewati daerah musuh guna mencari bantuan. Keteguhan hatinya untuk menjaga rahasia yang diembannya dibuktikan ketika Kapten Soepardjo ditangkap anggota pasukan BKR lain karena dicurigai sebagai mata-mata Belanda. Walaupun diinterogasi pasukan yang menangkapnya, Pak Pardjo tetap tidak membuka identitasnya sebagai ajudan sekaligus utusan Panglima Besar Soedirman.
Pangkatnya belum naik sewaktu Panglima Soedirman wafat pada tahun 1950. Tapi Kapten Soepardjo sebagai perwira muda sudah dipercaya komandannya untuk dikirim ke sekolah infanteri di Fort Benning Amerika Serikat, beberapa saat setelah wafatnya Pak Dirman.
Bahkan setelah kembali ketanah air, kemudian menyunting gadis idamannya yang putri seorang Asisten Wedana (Camat) keturunan Bupati Pemalang, pangkatnya belum naik juga. Masih seorang Kapiten!
Dengan menyandang pangkat Kapten pula, Pak Pardjo yang masih pengantin baru “kinyis-kinyis” mendapat tugas sebagai Sekretaris Atase Militer (Atmil, kini Athan) di KBRI Belanda. 
Tugas inilah barangkali yang menggembleng sifat ‘tambahan’ Pak Pardjo: menjadi seorang yang pandai bergaul dan jago berdiplomasi. Di negeri Belandalah karir diplomatnya bermula. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau Pak Pardjo (dan Bu Pardjo) sangat senang bernostalgia dinegeri kincir angin itu.
Pasca kudeta gagal G-30-S/PKI, Pak Pardjo ditugaskan oleh Pimpinan Angkatan Darat (kini TNI/AD) untuk bertugas di Departemen Luar Negeri sebagai Kepala Direktorat (Direktur) Asia Pasifik (Pejabat Eselon II). Di Deplu inilah karir diplomatnya makin terasah. Terbukti Presiden Soeharto mempercayainya menjadi Duta Besar Luar Biasa dan berkuasa penuh untuk Republik Yugoslavia dan kemudian ditugaskan sekali lagi sebagai Duta Besar di  Malaysia.

Dekat dengan semua kalangan dan peduli disemua bidang

foto2: courtessy suaramerdeka   
 
Dipundak Pak Pardjo telah tersemat Bintang Emas dua buah (Mayor Jenderal), ketika Presiden Soeharto memberikan kepercayaan penuh kepadanya untuk menjadi Pejabat Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah pada tahun 1974, untuk menggantikan Gubernur Munadi.
Gaya kepemimpinannya sewaktu menjadi orang nomor satu di  Jawa Tengah dikenal  sangat persuasif. Dekat dengan rakyat, lihai memberikan motivasi kepada pejabat bawahannya dan pandai pula bergaul dengan teman sejawat sesama Gubernur. Bahkan Pak Pardjo juga dikenal dekat dengan Pejabat-pejabat tinggi yang berada di ”pusat kekuasaan” termasuk dengan Presiden Soeharto. 
Sebagai mantan Dubes dan diplomat, Pak Pardjo juga mempunyai banyak sekali kawan Duta Besar. Silih berganti para Duta Besar Negara sahabat berkunjung ke Jawa Tengah dimasa Guberrnur Soepardjo Roestam, yang menyebabkan kepopuleran Provinsi Jawa Tengah semakin meningkat dimata internasional. Tidak mengherankan kalau akhirnya Pak Pardjo terpilih lagi untuk yang kedua kalinya memimpin Jawa Tengah. 

Dengan “slogan” kerjanya yang khas: 
“lapor keatas, koordinasi kesamping, instruksi kebawah, pengawasan”, Pak Pardjo pula yang akhirnya sukses membawa Provinsi Jawa Tengah mendapatkan penghargaan tertinggi dibidang pembangunan daerah untuk tingkat Provinsi: 
"Pataka Parasamya Purnakarya Nugraha". Jawa Tengah adalah Provinsi kedua (setelah Jawa Barat) yang berhasil meraih Pataka lambang keberhasilan pembangunan daerah tersebut.
Gubernur Soepardjo juga terkenal sangat dekat dengan semua kalangan.
Mulai dari politisi, seniman, wartawan,  atlit, usahawan besar maupun kecil, mahasiswa, pelajar, pemuda bahkan para pensiunan dan warakawuri semua dirangkul dan diajak bicara. Semua dibangkitkan motivasinya untuk berprestasi lebih baik lagi demi mengangkat nama Provinsi Jawa Tengah.
Semua partai yang ada di Jawa Tengah (waktu itu hanya 3 partai: Golkar, PDI, PPP) akur-akur saja, dengan demikian suasana politik jadi adem ayem. 
Bahkan dua kali pelaksanaan Pemilu (tahun 1977 dan 1982) berlangsung dengan damai dan sukses di Jawa Tengah, karena Pak Pardjo bisa menjadi 'wasit' Pemilu dengan senetral-netralnya. 
Nyaris tidak ada Parpol yang 'komplain' tentang hasil Pemilu di Jawa Tengah.

Hubungan dengan para "kuli tinta" juga sangat baik. Tidak ada wartawan yang tidak bisa mendekati (untuk mewawancarai) Pak Gub. 
Pak Pardjo adalah pejabat yang tidak segan mengkritik wartawan, tapi juga tidak marah kalau dikritik wartawan. Oleh sebab itu PWI Jawa Tengah sampai mengangkat beliau sebagai anggota kehormatan dan memberikan hadiah kepada beliau  sebuah “Pena Emas” PWI.


Nasib seniman tidak luput, diperhatikan dengan sungguh-sungguh, dari mulai Pak Gesang yang dihadiahi rumah BTN di Palur, sampai nasib Gatotkaca-Pergiwa WO Sriwedari (Rusman-Darsi) yang status kepegawaiannya terkatung-katung, dan banyak lagi. 

Ide-ide brilian banyak bermunculan dari Gubernur Soepardjo Roestam yang sangat energik Termasuk ide  pembuatan museum di Jawa Tengah. Beberapa yang terkenal antara lain Museum Tebu, (di PG Gondang) Museum Wayang di Semarang  dan Museum Rokok Kretek di kota Kudus penghasil kretek terbesar di Jawa Tengah. 
Beliau juga dikenal sebagai pejabat yang sering memberikan penghargaan yang layak kepada atlet asal Jawa Tengah yang berprestasi mengharumkan nama bangsa (bukan hanya Provinsi) seperti Liem Swie King dan atlet-atlet lainnya.
Pak Pardjo  sangat dekat dengan para pengusaha, dari rokok kretek, batik, pemborong, sampai pedagang kecil yang butuh dana pinjaman dari bank. Pada masa kepemimpinanya, KUD tumbuh subur disemua daerah di Jawa Tengah. BPD Jawa Tengah menjadi Bank Pembangunan Daerah yang paling maju pada waktu itu.
Dibidang pemerintahan, Pak Pardjo menjalin hubungan kerja yang sangat harmonis dengan para Bupati/Walikota se Jawa Tengah. Walaupun kadang terdengar ‘sangat galak’ kalau melihat sesuatu tidak beres terjadi di wilayah kerja Bupati/Walikota yang bersangkutan. 
Gubernur Jawa Tengah yang satu ini juga dikenal paling hormat kepada Para Menteri sekaligus paling berani mengajukan usul dan berani menelpon kapan saja kepada para pejabat ditingkat pusat. 

Loyalitasnya kepada atasan tak diragukan lagi. Ini adalah salah satu contoh yang paling sederhana.  Setiap habis melaksanakan sholat Idul Fitri (biasanya diselenggarakan dilapangan Simpang Lima Semarang), lalu bersilaturahim dengan para pejabat Muspida Jawa Tengah, Bapak dan Ibu Soepardjo akan langsung terbang ke Jakarta untuk mengucapkan selamat Idul Fitri kepada Presiden, Wakil Presiden dan beberapa Menteri yang sangat dekat hubungannya dengan beliau berdua. Sore hari itu pula biasanya beliau sudah terbang pulang kembali ke Semarang.

Tak kenal lelah, giat bekerja dengan tempo 'tinggi', tapi tak pernah tidak peduli. 
Itulah sedikit dari beberapa kelebihan yang dikaruniakan Allah Swt kepada Pak Pardjo.


bersambung.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar