Sabtu, 02 April 2011

"BLUSAK-BLUSUK DI ISTANA PRESIDEN DAN BINA GRAHA"

(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (51)



Istana Negara     


      Istana yang berasal dari rumah pribadi pengusaha.

Selama menjalankan tugas sebagai Ajudan Menteri, sedikitnya dua kali dalam sebulan saya harus mengikuti Pak Menteri masuk ke kompleks Istana Presiden (Istana Negara, Istana Merdeka dan Gedung Bina Graha) di Jakarta, untuk menghadiri sidang kabinet atau acara lain yang dipimpin oleh Presiden. 

foto: dok. suaramerdeka
Jadi selama periode Pak Pardjo menjabat sebagai Menteri (Mendagri dan Menko Kesra), sudah tak terhitung banyaknya saya ‘blusak-blusuk’ (keluar masuk) kompleks Istana Presiden. Sebagai pegawai negeri rendahan, saya sangat bersyukur bisa ‘wira-wiri’ (lalu lalang) dengan leluasa keluar masuk Istana Presiden, yang mempunyai penjagaan keamanan sangat ketat dari Paswalpres (sekarang Paspampres).
Tidak sembarang orang bisa masuk dikompleks Istana Presiden.

Mempunyai lahan seluas kurang lebih 6,8 hektar, kompleks Istana Presiden di Jakarta terletak diantara dua jalan raya, yaitu Jalan Medan Merdeka Utara dan Jalan Veteran (Raya) yang sejajar dengan kali Ciliwung.
Sebelumnya saya sering bingung membedakan antara Istana Negara dan Istana Merdeka. Ternyata Istana Negara adalah gedung yang pertama kali dibangun dilahan itu (sekitar tahun 1796 sampai 1804, dijaman pemerintahan Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten sampai masa Gubernur Jenderal  Johannes Siberg). Semula gedung dipinggir kali Ciliwung yang menghadap kearah utara  itu adalah sebuah rumah peristirahatan milik pribadi pengusaha Belanda bernama J.A. Van Bram.  
Pada tahun 1820 rumah peristirahatan itu disewa oleh Pemerintah Kolonial Belanda, akan tetapi setahun kemudian (tahun 1821) rumah itu dibeli untuk dijadikan Rumah Dinas Gubernur Jenderal Belanda dan disebut sebagai Istana Rijswijk, walau nama resminya adalah “Hotel van den Gouverneur-Generaal”

Saat dibangun pertama kali, gedung yang bergaya Yunani kuno seluas 3.375 meter persegi ini mempunyai dua lantai. Namun pada tahun 1848 diadakan perombakan total. Lantai atasnya dihilangkan sehingga bentuk bangunannya seperti yang bisa kita lihat sampai sekarang ini. Di Istana Rijswijk ini Gubernur Jenderal Graaf van den Bosch menetapkan peraturan ‘Cultuur Stelsel’ atau yang lebih dikenal sebagai ‘Tanam Paksa’ (tahun 1830-1870), yang sangat merugikan kaum petani Pribumi itu. Pada tanggal 25 Maret 1947, terjadi penanda tanganan naskah “Persetujuan Linggarjati” oleh Sutan Sjahrir dan H.J. van Mook di Istana Rijswijk yang akhirnya dinamakan sebagai Istana Negara.
Pada tahun 1873, dijaman pemerintahan Gubernur Jenderal J.W. van Lansberge, didekat lokasi Istana Rijswijk dibangun lagi sebuah Istana baru yang dikenal orang sebagai Istana Gambir (mungkin karena terletak didaerah Gambir). Bangunan seluas 2.400 meter persegi itu dirancang oleh arsitek Drossaers, dan menghadap kearah selatan yang saling bertolak belakang dengan Istana Rijswijk yang menghadap kearah utara. Halaman belakang kedua Istana itu (jadi berada tepat ditengah antara kedua Istana) dijadikan sebuah taman yang dipenuhi pohon peneduh yang sangat rindang. Sampai saat ini usia pohon-pohon itu pasti sudah ratusan tahun. Istana Gambir menjadi saksi bisu, saat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan A.H.J. Lovinnk menandatangani naskah Pengakuan Kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dilakukan pada hari Senin Wage, tanggal 27 Desember 1947.  
Istana yang mempunyai banyak pilar inilah yang kelak disebut sebagai Istana Merdeka, karena menghadap kearah Taman Merdeka (kini Taman Monas) dan Jalan Medan Merdeka Utara.  

 Istana Merdeka,        fotos: google

Dijaman Pemerintahan Pak Harto kedua Istana itu difungsikan sendiri-sendiri. Istana Negara dipakai untuk acara Peringatan Hari Besar Nasional dan Upacara Pelantikan Pejabat Tinggi Negara serta Upacara Pembukaan Seminar, Rapat Kerja dan acara lain yang dibuka oleh Presiden. Sedangkan Istana Merdeka dipakai khusus untuk menerima Tamu Negara, Upacara Penerimaan Surat Kepercayaaan Duta Besar Negara Sahabat dan pada tanggal 17 Agustus setiap tahun dipakai untuk Upacara Peringatan Detik-detik Proklamasi. Istana Merdeka juga pernah dipakai sebagai rumah kediaman resmi Presiden pertama RI Bung Karno. Sedangkan Pak Harto memilih tinggal dirumah pribadinya di Jalan Cendana. 

(Demikian pula Presiden ketiga RI dimasa transisi Reformasi Prof. Dr. Ir. BJ Habibie, memilih tinggal di rumah pribadinya di Komplek Patra Kuningan.
Baru pada masa pemerintahan  Presiden Abdurahman ‘Gus Dur’ Wahid, Istana Merdeka dipakai lagi sebagai kediaman resmi Presiden Republik Indonesia. Bahkan dimasa Presiden “Gus Dur” yang terkenal sangat merakyat,  masyarakat umum bisa mendapat ijin memasuki kompleks Istana Presiden).
Tepat disebelah kanan dari Istana Negara ada sebuah gedung berlantai dua yang diberi nama “Bina Graha”. Gedung ini konon dibangun atas prakarsa (dan biaya) dari Dr. Ibnu Soetowo, Direktur Utama Pertamina. Saat itu Pertamina sedang “berjaya” karena harga minyak dunia sedang melambung tinggi. Gedung berbentuk persegi dengan arsitektur modern inilah yang dipakai oleh Pak Harto sebagai kantor resmi Presiden RI. Disinilah Sidang Kabinet (Paripurna maupun Terbatas) dilangsungkan. Ditempat ini pula Pak Harto biasanya memanggil atau menerima para menteri dan tamunya.
Disebelah kiri Istana Negara (berarti disebelah kanan Istana Merdeka) ada sebuah bangunan bertingkat yang dinamakan Wisma Negara. Ini adalah sebuah Wisma yang khusus dipersiapkan untuk para tamu Negara yang bermalam di Jakarta. Memiliki fasilitas yang tidak kalah dari hotel bintang lima berlian, Wisma Negara terkadang juga dipakai sebagai tempat transit oleh para Menteri dan Pejabat Tinggi lain apabila ada acara berkesinambungan (seperti rangkaian acara ulang tahun Proklamasi Kemerdekaaan RI) yang waktunya sangat ‘mepet’ (berhimpitan) di Istana Negara maupun di Istana Merdeka.

(Selama hampir sepuluh tahun ‘full’ saya bertugas sebagai ajudan Menteri. Dan selama itu pula telah tak terhitung lagi berapa kali saya ‘blusak-blusuk’ dan ‘wira-wiri’ dikompleks Istana Presiden. Tentu banyak sekali kejadian menarik, kisah mencekam bahkan cerita lucu yang saya alami dikompleks Istana orang nomor satu di Indonesia itu).


      Kisah “Prajurit Goblog!!”.

Pada saat Pak Pardjo menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri (tahun 1983 – 1988), jatah kendaraan dinas untuk anggota Kabinet Pembangunan IV adalah sedan merk ‘Volvo’ tipe 264 GL berwarna biru tua gelap. Ini adalah sedan tipe paling mutakhir dari Volvo pada saat itu. Nomor polisi untuk mobil dinas Mendagri adalah B-19. Setiap sedan dinas Menteri mendapat tiga buah nomor polisi. Satu nomor resmi berplat nomor putih diatas dasar hitam yang harus dipakai apabila mobil tersebut dinaiki oleh Menteri yang bersangkutan. Satu lagi nomor ‘bayangan’ berisi empat angka dengan huruf ‘BS’ dibelakang untuk dipakai apabila Pak Menteri mengadakan perjalanan ‘incognito’, serta satu lagi nomor polisi ‘plat merah’ yang dipakai apabila mobil tersebut sedang tidak dipergunakan oleh Pak Menteri tapi dikendarai oleh orang lain (misalnya dipakai sopir sendirian waktu isi bahan bakar, dsb).
Tergantung pada dana yang ada di masing-masing Departemen, tidak semua Menteri mempunyai mobil dinas cadangan. Termasuk Pak Pardjo, walaupun beliau adalah Menteri Dalam Negeri.  Kalau mobil dinas yang satu ‘thok thil’ (hanya satu-satunya) itu sedang ada masalah, maka Pak Pardjo (yang mantan Gubernur Jawa tengah) biasanya lebih senang memakai mobil pinjaman dari Kantor Perwakilan Pemda Jawa Tengah.
Pada suatu ketika, itulah yang terjadi, mobil Volvo sedang dalam perbaikan, maka Pak Pardjo menggunakan sedan Toyota Crown berwarna coklat milik Kantor Perwakilan Pemda Jawa Tengah. Tentu nomor polisinya adalah nomor ‘preman’ (nomor kendaraan pribadi) dengan huruf “H” (Semarang).
Dalam perjalanan menghadiri acara di Istana Negara, Pak Pardjo sempat mampir menemui Menteri Tenaga Kerja Laksamana Soedomo, (yang sebagai mantan Pangkopkamtib ternyata masih punya ‘ruang khusus’ yang berada satu halaman dengan kantor Menko Polkam). Sesudah mengadakan pembicaraan dengan Pak Domo, dan mungkin karena masalah yang dibicarakan belum tuntas, Pak Domo ternyata malah ikut menumpang mobil sedan ‘preman’ yang dinaiki Pak Pardjo.
Dengan yakin (karena yang dibawanya adalah Mendagri dan Menaker yang mantan Pangkopkamtib) sopir membawa mobil memasuki pintu gerbang Istana Negara. Gerbang ini terlarang untuk mobil lain selain mobil Menteri dan Pejabat Tinggi setingkat Menteri.
Moncong sedan bernomor polisi Semarang itu baru memasuki separuh bagian pintu gerbang Istana, ketika mendadak muncul seorang prajurit berpakaian dinas POM ABRI memakai baret biru.  Dengan garang dia langsung menghadang laju mobil sambil menggebrak kap mesin dan berteriak lantang:
“Hai, berhenti! Mobil siapa ini!!” 
Saya yang duduk dikursi ajudan terhenyak kaget, tidak menyangka ada prajurit yang bersikap begitu kasar. Saya bahkan belum sempat membuka pintu untuk menjelaskan, waktu tiba-tiba Pak Domo sudah membuka jendela mobil sambil melongokkan kepala keluar jendela. Beliaupun berteriak tidak kalah kerasnya:
“Prajurit goblog!!, kamu tidak tahu kalau ini mobil Mendagri??!!”              
Kini Sang Prajurit arogan itu yang ganti terhenyak.
Dengan muka pucat pasi dia mengambil sikap sempurna dan langsung berdiri tegak sambil memberikan penghormatan. Tanpa mengucap sepatah katapun.
Sewaktu mobil berjalan perlahan memasuki halaman Istana Negara, Pak Domo masih sempat mendamprat lagi:
“Prajurit goblog kamu, lain kali tanya baik-baik! Jangan main bentak saja!”
“Siap Jenderal!” jawab Prajurit naas itu. Kini suaranya tidak selantang tadi.
Didalam mobil Pak Domo masih menggerutu. Sementara Pak Pardjo hanya berkomentar pendek saja:
“Memang para prajurit itu biasanya melihat mobil saja, bukan penumpangnya”
Saya rasa Pak Pardjo betul. Sering sekali saya yang hanya berdua dengan sopir mengalami masuk daerah “terlarang” dengan naik mobil dinas Menteri, dan tidak ada hambatan. Para penjaga yang bertugas digerbang malah dengan sukarela memberikan penghormatan. Jadi dia memang hanya menghormat kepada mobil dinas Menteri, walaupun Menterinya sendiri sedang tidak berada dalam mobil. Akan tetapi terjadi hal sebaliknya  kalau Pak Menteri naik mobil selain mobil dinas Menteri. Bisa jadi sewaktu memasuki kawasan terlarang, Pak Menteri  selain tidak mendapat penghormatan juga besar kemungkinan akan mengalami  perlakuan yang tidak menyenangkan. 
Seperti kejadian dipintu gerbang Istana Negara itu. Namanya juga Prajurit. Bisanya memang hanya mematuhi ‘Protap’ dan perintah komandan saja.

     ‘Balada’ seorang Ajudan yang ketiduran.

Selain sebagai tempat Upacara, Istana Negara juga biasa dipergunakan oleh Pak Harto untuk mengadakan Jamuan Santap Malam Kenegaraan bagi Tamu Negara yang berkunjung ke Indonesia. Setelah itu dilanjutkan dengan pergelaran kesenian daerah Indonesia serta pertukaran tanda mata.
Biasanya acara dimulai pada pukul 19.30 sampai pukul 22.00 WIB.
Terkadang apabila pergelaran keseniannya agak panjang, acaranya bisa selesai lebih larut malam lagi.
Para ajudan Menteri dan Pejabat Tinggi lain yang selalu ikut mendampingi ‘bos’ masing-masing, biasanya berkumpul disebuah tempat yang berada dibelakang Pos Penjagaan. Disitu kadang-kadang disediakan sekedar snack dan minuman teh atau kopi panas yang ditempatkan dalam sebuah teko besar. Tapi tidak selalu hidangan itu tersedia. Entah kenapa. Mungkin pada saat-saat tertentu Kepala Rumah Tangga Istana sedang kekurangan dana. Siapa tahu.
Karena letak Istana Negara yang jauh dari restoran (apalagi warung Tegal), maka kalau sedang tidak tersedia ‘nyamikan’ (makanan kecil), para ajudan yang merasa perutnya ‘keroncongan’,  lalu mencari tempat ‘strategis’ untuk mojok dan……ngorok.
Saya sendiri biasanya mencari tempat yang aman untuk ‘leyeh-leyeh’ sambil mendengarkan radio, dan tempat itu  adalah didalam mobil. Setelah sandaran kursi saya rebahkan, maka itulah tempat saya  menikmati ‘mimpi yang terindah’.
Sedangkan para sopir Menteri biasanya duduk ‘lesehan’ berkumpul dibawah pohon yang ada dihalaman parkir Istana Negara untuk merokok dan ….main gaple.
Syahdan pada suatu malam (yang saya lupa tanggalnya), sewaktu ada jamuan santap malam kenegaraan untuk menghormat Tamu Negara, terjadi peristiwa yang menyedihkan sekaligus menggelikan.
Karena acara jamuan makan malam berlarut-larut sangat lama, Pak “A”, Ajudan Menpora Abdul Gafur (agar tidak mempermalukan yang bersangkutan, saya sebut inisial namanya saja), mencari tempat sangat strategis untuk tidur. Tempat itu adalah sebuah lorong yang terselip diantara Pos Penjagaan dan kamar kecil. Tempatnya betul-betul “aman dan terkendali”, karena tak ada seorangpun yang akan mengganggunya, saking terselipnya tempat itu.
Konon menurut ‘saksi mata’ (yang akhirnya menyebarkan peristiwa unik itu), menjelang tengah malam setelah acara selesai, Pak Gafur sempat beberapa waktu menunggu sang sopir mencari Pak “A”, Ajudan yang ‘raib’ dengan sukses itu. Namun karena sampai lama sang Ajudan tetap tak diketemukan, maka dengan menahan geram Pak Gafur beserta istri pulang kerumah hanya dengan sopir tanpa disertai Ajudan.
Menjelang pagi seorang penjaga kebersihan Istana menemukan Pak “A” yang masih terlelap tidur diruangan yang terselip itu.
Dengan hati-hati dibangunkannya ‘orang asing’ yang kelihatan sangat menikmati tidurnya itu. Tampak dari posisi tidurnya yang ‘njingkrung’.
Alangkah kagetnya sang Ajudan ketika dibangunkan dari tidur dan diberitahu bahwa saat itu adzan subuh sudah selesai dikumandangkan. Dengan langkah gontai dan hati kecut khawatir terkena damprat Menpora, Pak ‘A’ keluar dari halaman Istana Negara. Dia menyetop taksi untuk bergegas pulang kekediaman dinas Pak Gafur didaerah Slipi.  Sayang sekali Pak ‘A’ sendiri tidak pernah mau bercerita, apakah dia kena semprot Pak Gafur atau malah dapat ‘hadiah hiburan’.

      Cendera mata dari Istana Presiden RI.

Pada masa jayanya Pak Harto dahulu, peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia selalu dirayakan dengan acara besar-besaran. Rangkaian acaranya juga selalu sangat padat namun  tertata dengan rapi.
Tanggal 14 Agustus adalah peringatan HUT Pramuka, biasa dilaksanakan di Cibubur atau di Istana Negara. Tanggal 15 Agustus ada Upacara Penganugerahan Tanda Jasa dan Bintang Kehormatan yang juga diselenggarakan di Istana Negara. Lalu pada tanggal 16 Agustus biasanya Pak Harto membacakan Pidato Kenegaraan didepan Sidang Paripurna DPR/MPR di Senayan.
Tengah malam menjelang tanggal 17 Agustus ada Renungan Suci di TMP Nasional Kalibata dan sebagai puncak acaranya adalah Peringatan Detik-detik Proklamasi dengan Pengibaran Duplikat Bendera  Pusaka Merah Putih yang diselenggrakan diteras dan dihalaman Istana Merdeka sampai meluber kejalan raya didepan Istana Merdeka. Sore harinya ada Upacara Penurunan Bendera dan dilanjutkan malam harinya beramah tamah dengan para janda pahlawan dan para teladan di Istana Negara atau dihalaman tengah antara Istana Negara dan Istana Merdeka. Acara ramah tamah ini biasanya diisi dengan jamuan santap malam dan pergelaran kesenian.
Yang sangat menarik pada acara jamuan santap malam dengan para janda pahlawan dan para teladan ini adalah, para tamu undangan mendapatkan banyak sekali souvenir dari sponsor (mulai pabrik rokok sampai pabrik minuman ringan), berupa payung, jam dinding dan lain-lain.
Akan tetapi yang paling menyenangkan adalah, seluruh tamu undangan diijinkan membawa pulang peralatan yang dipakai untuk makan, mulai  dari piring, sendok, garpu dan gelas. Sesudah selesai acara, para tamu (bahkan para Pejabat Tinggi) tampak sibuk memasukkan barang-barang itu kedalam tas yang juga sudah disediakan. Semua tamu undangan pulang dengan ‘mbrengkut’ (penuh barang bawaan).
Saya sendiri yang sudah beberapa kali ikut acara Ramah Tamah dalam rangka ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan RI,  sempat mengoleksi beberapa set peralatan makan. Semuanya berlogo Istana Presiden RI!
Sungguh cendera mata yang pasti akan jadi kenangan tak terlupakan bagi siapa saja yang memilikinya, untuk selamanya.

      Kantin “4 WD” di Kantor Presiden.

Kantor Pak Harto yang disebut sebagai Gedung “Bina Graha” berada disamping kanan Istana Negara. Bentuk arsitekturnya yang modern sangat kontras dengan arsitektur Istana Negara yang bergaya Yunani kuno.
Seingat saya setiap hari Rabu minggu kedua ada Sidang Kabinet Paripurna yang langsung dipimpin oleh Pak Harto didampingi Wakil Presiden.
Ruangan Sidang Kabinet berada dilantai dua Bina Graha, bersebelahan dengan ruang kerja Pak Harto yang berada diruangan paling depan sebelah kanan. Ada sebuah pintu penghubung dimana Pak Harto keluar masuk dari dan ke ruang kerjanya. Didepan ruang Sidang Kabinet terdapat sebuah ruangan terbuka yang dilengkapi beberapa kursi dan sofa, dimana para Ajudan biasanya berkumpul menunggu.
Seperti yang sudah saya kisahkan pada acara jamuan makan malam, dalam Sidang Kabinet kadang-kadang untuk para Ajudan disediakan sekedar makanan kecil dan minuman. Tapi lebih sering tidak disediakan apa-apa. Tidak pernah ada yang tahu alasannya. Satu-satunya orang yang paling tahu alasannya pasti hanya Mayjen TNI (purn) Sampurno SH, yang menjabat sebagai Kepala Rumah Tangga (Karumga) Istana Kepresidenan, hampir seumur hidupnya.
Oleh sebab itu begitu Sidang Kabinet dimulai (ditandai dengan ditutupnya semua pintu masuk keruang sidang) maka para Ajudan biasanya langsung berebut turun kelantai satu untuk menyerbu kantin.
Yang disebut sebagai “kantin” di kantor orang yang paling berkuasa di Indonesia itu ternyata hanya sebuah ruangan kecil berukuran kurang lebih 4 x 4 meter. Tempatnyapun ‘nyelempit’ (terselip) antara bangunan Gedung Bina Graha dan kantor staf Sesdalopbang (Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan).
Karena ukurannya (yang hanya 4 x 4 meter itu), saya sering menyebutnya sebagai Kantin “4 WD” (“four wheel drive”, istilah otomotif untuk mobil berpenggerak 4 roda atau 4 x 4). Tapi, jangan salah. Walaupun tempatnya terkesan seadanya, namun rasa makanannya termasuk “oke punya” meski dengan harga kaki lima! Tidak heran kalau pelanggannya berjubel. Bayangkan kalau para Pejabat Tinggi yang ikut Sidang Kabinet berjumlah hampir empat puluh orang, maka lebih kurang sejumlah itu pulalah ‘barisan’ Ajudan yang menyerbu kantin. Belum lagi para staf dan karyawan Sekretariat Negara. Apalagi kalau bertepatan waktunya dengan jam makan siang. Semua harus rela antri menunggu giliran dilayani oleh ‘Bude’  (nama panggilan pemilik kantin, nama aslinya adalah Bu Tumbar). Walaupun nasi ramesnya terasa sangat pas dilidah, tapi makanan terfavorit para Ajudan adalah gorengannya. Tahu dan tempe goreng ‘made in’ Bu Tumbar selalu disajikan dalam keadaan hangat  lengkap dengan cabe rawitnya.
Woooo…..bisa membuat orang jadi lupa mertua.

      Wisma Negara, “Hotel Bintang Lima” dikawasan Istana.

Terletak di’sayap’ kiri Istana Negara ada sebuah bangunan bertingkat yang menghadap ke taman yang berada dipertengahan antara Istana Negara dan Istana Merdeka. Itulah bangunan yang disebut sebagai “Wisma Negara”. Konon dibangun atas ide Bung Karno, yang merasa perlu mengadakan penghematan anggaran untuk menjamu para Tamu Negara (termasuk para Kepala Negara) yang berkunjung ke Indonesia, karena para tamu  tidak perrlu bermalam dihotel. Walaupun ‘hanya’ berbentuk Wisma, namun fasilitasnya dibuat setaraf dengan fasilitas hotel berbintang lima. Mulai dari kamar sampai kesemua perlengkapan perabotannya. Juga pelayanan kamar sampai kateringnya. Konon Wisma Negara juga mempunyai mesin binatu (laundry) sendiri. Pendek kata, apabila ada tamu Negara yang bermalam di Wisma Negara, mereka akan mendapatkan pelayanan laiknya bermalam di hotel ‘bintang lima’.
Pak Pardjo (karena alasan kesehatan beliau) pernah mendapatkan kesempatan untuk bermalam di Wisma Negara, disebabkan oleh padatnya acara kenegaraan dalam rangka Peringatan hari ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan, yang (dimasa Pak Harto) biasanya dilakukan mulai dari tengah malam (Renungan Suci di TMP Kalibata tanggal 17 Agustus dinihari) sampai malam hari lagi (Ramah Tamah di Istana Negara pada tanggal 17 Agustus malam). Sebagai ajudan beliau saya juga ikut merasakan bermalam di ‘hotel bintang lima’ milik Negara itu.


 bersambung.....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar