Sabtu, 02 April 2011

"SEMBUH BERKAT DOA BANYAK ORANG..."



      (dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (47)


       Berhasil sembuh nyaris 90 persen.

Pak Pardjo termasuk salah satu dari sedikit ‘sisa-sisa’ pejuang Angkatan ’45 yang masih eksis, yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari. 
Oleh karena itu tidak heran kalau falsafah hidup, prinsip dan semangat hidupnya masih tetap menyala-nyala. Ditambah dengan pengalaman beliau menjadi Ajudan Panglima Besar Jenderal Soedirman dijaman perang kemerdekaan, maka sedikit banyak beliau mewarisi pula kekerasan dan keteguhan hati serta sikap agak “koppig” (bhs Bld: keras kepala) nya. Walaupun sesungguhnya bagi mereka yang telah mengenal lebih dekat, Pak Pardjo adalah seorang yang tampak “keras diluar namun lembut didalam”.
Setidaknya menurut pengamatan saya sendiri selama menjadi bawahannya.
Namun ternyata sikap teguh, keras hati dan agak ‘koppig’ itulah yang justru menguntungkan beliau. Pada saat terserang ‘stroke’, kekerasan dan keteguhan hati serta sedikit keras kepala karena ingin bisa segera sembuh, sangat membantu proses ‘recovery’ (pemulihan) kesehatannya. Tentu juga berkat limpahan doa yang dipanjatkan oleh keluarga serta sahabat-sahabat beliau, serta atas ijin dan karunia Allah SWT.
Saya terkadang trenyuh melihat beliau dengan semangat tinggi meremas-remas bola karet dengan tangannya. Itu adalah salah satu metode untuk mengembalikan fungsi tangan kanannya yang lumpuh agar bisa kembali seperti sediakala. 
Selama beberapa waktu beliau juga mengalami “pelo” (cadel) ketika berbicara. Tim Dokter Kepresidenan di RSPAD menyediakan tenaga fisioterapis khusus yang dipimpin oleh Pak Suhardi, fisioterapis senior lulusan RC Surakarta dan beberapa orang perawat RSPAD yang dengan sabar dan tekun  melatih beliau. Baik untuk terapi kelumpuhan maupun terapi bicara.
Seingat saya hanya kurang lebih dua minggu dirawat secara intensif di RSPAD, Pak Pardjo sudah minta untuk berlatih berdiri dan berjalan. Setiap pagi, kalau ajudan belum datang, beliau minta Polisi Pamong Praja menuntunnya berlatih berjalan diruangan fisioterapi RSPAD.
Ketika Hari Raya Idul Fitri yang jatuh sekitar pertengahan bulan Juni tahun 1986 tiba, Pak Pardjo sudah diijinkan dokter untuk menerima kunjungan tamu yang ingin ber halal-bihalal diruangannya. Suasana haru dan gembira bercampur aduk jadi satu. Haru karena pada saat menerima tamu, sambil duduk dikursi roda Pak Pardjo tampak berusaha keras menunjukkan kesembuhannya. Walaupun terkadang sambil menitikkan air mata. Rasa gembira menyeruak karena wajah Pak Pardjo sudah mulai tampak segar. Meskipun rona pucat masih membayang diwajahnya, beliau berusaha tegar dan menunjukkan kegembiraan hatinya.
Sedikit demi sedikit timbul keyakinan lagi dihati saya yang pernah ‘nglokro’ (patah semangat). Sekarang saya bahkan sangat yakin, penyakit ‘stroke’ (yang ditakuti banyak orang) ini TIDAK AKAN MENGAKHIRI karir Pak Pardjo.
Alhamdulillah wa syukurillah.

      Keluar masuk Taman Impian Jaya Ancol.

Setelah keluar dari RSPAD, Pak Pardjo masih harus intensif melakukan perawatan untuk mengembalikan kondisi kesehatannya. Atas nasehat Tim Dokter Kepresidenan dan ahli fisioterapi, Pak Pardjo harus sering berenang. Itu adalah olahraga yang bisa melatih dan menggerakkan semua bagian tubuh. Dan itu sangat berguna untuk mempercepat penyembuhan mereka yang pernah terkena serangan ‘stroke’. Apalagi kalau berenangnya di air laut! Secara kebetulan Direktur Taman Impian Jaya Ancol (Bapak Soekardjo) adalah kerabat dekat Pak Pardjo. Sejak bertugas di Depdagri, saya bahkan mendapat “free pass”  (kartu bebas masuk) Ancol -yang berlaku setahun penuh- dari Pak Kardjo. Atas petunjuk Pak Pardjo saya segera melapor ke Pak Kardjo, yang dengan cepat memutuskan untuk memberikan fasilitas gratis di salah satu ‘cottage’ di Pondok Putri Duyung Ancol, untuk tempat transit sebelum dan sesudah Pak Pardjo berenang di laut. Syaratnya hanya satu, memberi tahu manajemen Putri Duyung ketika Pak Pardjo akan latihan berenang.  Setiap saat, setiap waktu.
Satu hal lagi yang harus saya catat dari diri Pak Pardjo: sangat “bisa rumangsa” (bisa merasa). Taman Impian Jaya Ancol dahulu sangat terkenal dengan Pantai “Bina Ria” nya, (dengan permohonan maaf yang sebesar-besarnya) yang sering dipakai sebagai tempat orang untuk “rendezvous” (berpacaran).
Pak Pardjo agaknya sangat memperhatikan hal itu. Oleh sebab itu, apabila akan berlatih berenang di Ancol, beliau minta agar Ajudan harus ikut. Plat nomor mobil Menteri juga harus diganti menjadi plat nomor ‘bayangan’. 

(Untuk diketahui, bahwa saat itu -tahun 1986- semua mobil Menteri mempunyai TIGA plat nomor, satu nomor dinas resmi untuk Menteri terdiri dari dua angka, satu nomor ‘bayangan’ terdiri dari empat angka dengan akhiran huruf ‘BS’ dan satu plat nomor dinas berwarna merah dengan empat angka. Plat nomor yang terakhir dipakai apabila mobil dikendarai oleh sopir sendirian, misalnya untuk mengisi bahan bakar dll). 

Pak Pardjo tidak ingin kedatangannya ke Pondok Putri Duyung Ancol yang begitu sering (bisa seminggu dua kali) menjadi bahan pembicaraan yang tidak baik (gosip atau isu) bahkan fitnah. Padahal kenyataannya adalah untuk berlatih berenang dalam rangka penyembuhan sakitnya. Begitu tekunnya beliau berlatih berenang dan melakukan fisioterapi, sehingga dalam waktu tidak terlalu lama kondisi fisiknya sudah berhasil kembali nyaris seperti sediakala.
Kalau saya tidak salah ingat,  pada bulan keempat setelah terserang ‘stroke’, Pak Pardjo sudah mulai aktif lagi sebagai Mendagri.
Tak ada yang akan percaya kalau Pak Pardjo pernah terkena serangan ‘stroke’, kalau melihat dari penampilan luarnya saja.

      Perintah Presiden untuk berobat ke Amerika Serikat.
       
Akan tetapi bagaimanapun Pak Pardjo harus tetap dipantau kesehatannya dengan ketat. 
Presiden Soeharto bahkan memerintahkan Tim Dokter Kepresidenan untuk merujuk Pak Pardjo ke Walter Reed Army Hospital (Rumah Sakit Tentara/RSPADnya Amerika) yang berada di Washington, DC, Amerika Serikat.
Disaat-saat proses penyembuhan Pak Pardjo berlangsung, yang sangat terkena dampak psikologisnya adalah keluarga dan staf yang terdekat dengan beliau. Beberapa waktu lamanya Pak Pardjo menjadi mudah sekali marah. Sangat sensitif dan menjadi agak sulit dilayani. Saya melihat ketegaran dan ketabahan hati Ibu Soepardjo sebagai seorang istri pada saat ‘kritis’ itu.  
Sebagai ajudan yang paling lama mengenal pribadi beliau, saya juga mencoba dengan sangat keras untuk memakluminya. Tapi tidak demikian dengan Dik Syaiful. Ajudan yang relatif masih baru ini mungkin merasa sangat tertekan akibat kelelahan fisik maupun mental. Akhirnya diapun jatuh sakit. Terkena sakit liver yang cukup parah sehingga harus beristirahat total untuk waktu yang cukup lama. Maka sayapun menjadi single fighter lagi. 
Terpaksa salah seorang staf Protokol ditugaskan sementara untuk menjadi ajudan cadangan, namun tampaknya Pak Pardjo belum merasa ‘sreg’ menerima kehadirannya. Pada saat itulah muncul ‘wajah baru tapi stok lama’. Dia adalah seorang ajudan pejabat teras Depdagri yang ditugaskan didaerah (untuk menghormatinya, saya lebih baik tidak menyebut nama).
Karena pejabat yang diikutinya wafat, “orang baru tapi lama” itu kembali ke Depdagri lagi.
Di Depdagri dia jelas jauh lebih senior daripada saya, oleh sebab itu Pak Soeroso (Kepala Biro Umum) akhirnya mengambil keputusan untuk menempatkannya sebagai ajudan (pengganti) sementara, sambil menunggu kesembuhan sakitnya Dik Syaiful. 
Pria setengah baya ini mempunyai penampilan yang sangat supel, ramah tamah dan sangat pandai mengambil hati Bapak dan Ibu Soepardjo. Dan punya hobi olah raga yang sama dengan Pak Pardjo: main tenis. Tapi kehadirannya ternyata sambil membawa unsur intrik. Saya belum pernah berada dalam suasana penuh intrik seperti saat itu. Sepanjang perjalanan karir saya menjadi pegawai negeri, saya sering menghadapi banyak persaingan, baik tertutup atau terbuka. Tapi tidak dengan melakukan intrik seperti yang dilakukannya. Ketika bertugas berdua (baik dengan Pak Tris -saat jadi ajudan Gubernur- ataupun dengan Dik Syaiful) sebagai ajudan Pak Pardjo, memang terkadang terjadi selisih faham. Sangat manusiawi. Bagaimanapun juga kita adalah manusia biasa. Tapi saya tak pernah sampai pada tingkat berseteru dengan Pak Tris atau Dik Syaiful, apalagi sampai main intrik.
Namun ketika “bintang baru” itu muncul dan bisa melayani dan mengambil hati Bapak dan Ibu Soepradjo, sedikit demi sedikit saya mulai agak tersisihkan. Kentara sekali bahwa beliau sarimbit (berdua) sangat berkenan mendapat pelayanan yang ‘istimewa’. Lebih dari yang bisa saya lakukan selama ini. Saya memang tak mungkin bisa berbuat lebih baik lagi, karena saya berusaha untuk tetap memegang teguh prinsip saya sendiri: “Ngawula nanging dudu abdi”.
Selain itu saya juga merasa bahwa sedang ada semacam ‘konspirasi’ untuk menggusur saya (yang notabene “dibawa” Pak Pardjo dari daerah/Jawa Tengah) untuk diganti orang yang “asli” pegawai Depdagri. 
Sejak semula bertugas di Depdagri saya dan dik Syaiful sudah merasakan ‘aroma’ tak sedap itu. Tapi kita bisa bersatu untuk tetap ‘kekeuh’ bertahan. Sekarang mereka betul-betul mulai ‘buka front’ setelah dik Syaiful sakit dan dipulangkan ke daerah asalnya. Kini tinggal saya bekerja sendiri (lagi). Jadi (mungkin mereka menyangka) saya jadi lebih mudah untuk disingkirkan.
Tapi saya bergeming. Saya tunjukkan kepada Pak Pardjo, bahwa loyalitas saya sebagai bawahan beliau sejak lama, tak terlunturkan.  Apalagi hanya karena intrik dan konspirasi murahan.
Oleh karena itu saya bersikap tenang saja ketika Pak Pardjo memberitahu saya sewaktu sedang latihan berenang di Ancol:
“Ton, saya mau berobat keluar negeri. Sekali ini jij tidak usah ikut. Karena sudah ada si “A” (beliau menyebut nama ajudan ‘baru’ itu). Nanti saja Tonny menjemput di Tokyo. Karena saya pulang lewat Jepang”.
Ah, saya pikir kalimat Pak Pardjo yang terakhir itu hanya untuk menenangkan dan menyenangkan hati saya saja.
Saya mendengar dengan taksim. Sama sekali tidak kaget. Sedikit banyak saya telah melihat gelagat dan permainan ‘kasak-kusuk’ ajudan ‘baru’ itu, karena saya juga mengikuti seluruh proses pembuatan paspor dan exit permit (surat ijin keluar negeri bagi pegawai/pejabat) nya.
“Mboten dados punapa Pak, dalem nderek kersanipun Bapak kemawon (tidak masalah, saya mengikuti kehendak Bapak saja)” demikian jawab saya.
Ada sedikit perasaan kecewa, karena intrik dan konspirasi itu tampaknya mulai menunjukkan hasil. 
Saya merasa pada saat itu Pak Pardjo tampak seperti terlena.  
Tapi tak mengapa, saya berusaha melupakannya. Apapun yang terjadi, saya yakin Allah SWT yang mengaturnya. Dan saya senantiasa yakin: “Gusti Allah ora sare” (Tuhan tidak tidur).
Sebagai orang Jawa saya juga dibekali pedoman dari para sesepuh:
“Becik kethithik, ala ketara. Sapa salah, seleh” (Yang benar maupun yang salah akan ketahuan. Siapa bersalah, akan menerima hukuman). 

Pak Pardjo berobat ke Amerika Serikat
 
Medio bulan Agustus 1986, Bapak dan Ibu Soepardjo beserta dokter dan ajudan “edisi baru” berangkat ke Walter Reed Army Hospital, Washington, DC, Amerika Serikat. 
Saya hanya mengantar sampai Bandara Soekarno-Hatta saja.
Didalam ruang tunggu VIP sambil menunggu saat boarding, Pak Pardjo memanggil saya:
“Jangan lupa, Tonny nanti menyusul saya ke Tokyo. Kebetulan Pak Maschun (Gubernur Jambi) beserta istri dan rombongan PKK Jambi juga akan ke Tokyo. Saya sudah bicara dengan beliau, jij bisa berangkat bersama dengan rombongan dari Jambi, tinggal menyesuaikan tiketmu saja”. 
Saya merasa tersentuh. Hati saya trenyuh (terharu)
Rupanya Pak Pardjo masih sempat memperhatikan saya juga.
“Inggih, ngestokaken dhawuh Pak, matur sembah nuwun. Sugeng Tindak (Baik, saya akan mengindahkan petunjuk  Bapak, terima kasih dan selamat jalan), Insya Allah dalem mapag wonten (saya menjemput di) Tokyo” jawab saya. 



bersambung.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar