Senin, 11 April 2011

"ASTAGFIRULLAH......ADA USAHA PELECEHAN SEKSUAL..!!"


     
 (dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (95)

Released by mastonie, Saturday, June 12, 2010 at 08.19 pm

       Jemaah 'terjebak' didalam lift.......

Kota Madinah dimusim panas mempunyai perbedaan suhu antara siang dan malam (amplitudo) yang sangat besar. Kalau siang panas terik, bisa melebihi 40 derajat Celicius, sedangkan kalau malam suhu udaranya bisa menjadi sangat dingin.
Tak banyak pekerjaan yang harus dilakukan TPOH kalau pemantauan kedaerah pemondokan jemaah haji dan poliklinik yang merawat jemaah sakit, telah selesai dilaksanakan. Secara umum kasus yang dijumpai tentang pemondokan jemaah haji Indonesia di Madinah hampir sama dengan kasus di kota Mekah. Yaitu kondisi pemondokan yang tidak layak huni dan jarak yang terlalu jauh dari masjid.
Pada suatu siang yang panasnya sangat menyengat, sehabis salat Dhuhur berjamaah di masjid Nabawi, sebagian anggota TPOH (termasuk saya) memutuskan untuk pulang ke penginapan. Anggota TPOH yang lain mempunyai acara sendiri-sendiri. Gedung bertingkat lima yang dijadikan penginapan ini termasuk sebuah bangunan yang masih ‘terbelakang’. Pintu masuknya hanya satu dan dilengkapi dua buah ‘lift’ model ‘baheula’. Yang saya maksud dengan ‘baheula’ (kuno) ini adalah karena lift digedung ini mempunyai pintu seperti pintu rumah biasa. Harus dibuka dulu oleh penumpang lift sebelum atau sesudah memasukinya. Jadi bukan pintu geser otomatis yang bisa membuka dan menutup sendiri selayaknya lift modern. 
Digedung ini saya pernah mengalami sendiri sebuah kejadian yang entah lucu entah menyedihkan. 
Pada suatu hari (sewaktu mau naik kelantai 4 dimana kamar saya berada), saat membuka pintu lift, saya ‘menemukan’ beberapa orang jemaah haji wanita lanjut usia yang sedang menangis  'bombay' (nyaris histeris) didalam lift. Ketika saya tanyakan apa yang terjadi, mereka secara serempak menjawab:
”Aduh pak, sudah hampir setengah jam kita terjebak didalam sini. Lift ini pintunya tidak mau membuka, jadi kita dari tadi hanya naik turun saja, untung Bapak bisa membuka pintunya. Alhamdulillah, Terima kasih ya pak “.
Walaupun saya agak geli, tapi saya berusaha menahan senyum. Saya jelaskan kepada ibu-ibu itu bahwa memang pintu lift kuno digedung ini TIDAK AKAN TERBUKA SENDIRI  kalau tidak KITA BUKA.
Kejadian ini kelak menjadi salah satu bahan laporan saya, tentang sangat kurangnya informasi yang diberikan kepada para jemaah calon haji Indonesia mengenai keadaan penginapan beserta perlengkapannya ditanah suci.
Berbeda dengan Wisma Indonesia di Aziziah yang dijaga cukup ketat, dipenginapan ini tidak ada penjaga. Bahkan pengelola atau pemilik gedungpun tidak berada disini.
Petugas haji (dan beberapa jemaah) perempuan ditempatkan dilantai satu dan dua.  Sedangkan petugas dan beberapa jemaah laki-laki ditempatkan dilantai 3 sampai 5. Kami anggota TPOH mendapatkan kamar dilantai 4. Salah seorang anggota TPOH yang berasal dari sebuah instansi pemerintah dibidang pengawasan keuangan, bernama Pak Tata (bukan nama sebenarnya) ternyata juga membawa istrinya untuk pergi haji. Tapi Bu Tata ikut dalam rombongan jemaah reguler (bukan petugas). Namun pada saat TPOH berada di Madinah, pasangan suami istri ini bisa diatur ditempatkan dalam satu penginapan meskipun tidak berada dalam satu kamar.
Sehabis makan siang, sambil menunggu tibanya saat salat ashar, saya dan beberapa teman TPOH (termasuk Pak Tata) beristirahat dalam kamar. Dalam keadaan tidur-tidur ayam, tiba-tiba kami (hanya sekitar 5 orang), dikejutkan oleh suara gaduh dilantai bawah. Terdengar sayup-sayup suara teriakan seorang perempuan yang berteriak-teriak:
“Tolong, tolong….papa toloong….!!!! Papa toloooong!!!” disusul suara derap langkah kaki bergedebukan seperti orang yang sedang lari berkejaran. 
Seisi kamar langsung meloncat turun dari tempat tidur dan berlari keluar kearah datangnya suara. Pak Tata berlari paling dahulu karena mengenali suara yang berteriak itu adalah suara istrinya! Kami semua berlari menuruni tangga dengan secepat-cepatnya. Dilantai tiga kami bertemu dengan Bu Tata yang napasnya tersengal-sengal. Pakaiannya tampak berantakan dengan wajah yang pucat pasi seakan baru saja melihat setan: “Tolong paaaaa..!!!” itu saja kalimat yang sempat diucapkannya sebelum ambruk dalam dekapan Pak Tata, suaminya. Selintas berkelebat bayangan seorang lelaki memakai seragam pekerja berwarna biru dengan tutup kepala (kafiyeh) berwarna kotak-kotak merah putih, yang berlari menuruni tangga dan lenyap dari pandangan. Saya dan beberapa orang lagi berusaha mengejar sampai ke pintu keluar, tapi sosok laki-laki itu sudah lenyap dijalanan yang lengang didepan penginapan. Jelas dia lebih paham lika-liku jalanan kota ini dibanding dengan kita yang pendatang.
Setelah reda kepanikannya, Bu Tata lalu bercerita sambil menangis terisak-isak. 
Alkisah siang itu dia memang sedang berada sendirian saja didalam kamar. Semua temannya memilih tinggal berada di Masjid untuk menunggu salat ashar. Bu Tata tentu saja  ikut pulang ke penginapan, karena diajak oleh suaminya. Dalam keadaan setengah tidur, tiba-tiba dia merasa ada seseorang yang memasuki kamar. Ketika terbangun, dilihatnya seorang lelaki Arab berpakaian pekerja memandangnya tanpa berkedip. Semula dikiranya laki-laki itu seorang petugas kebersihan kamar. Tapi mendadak laki-laki Arab setengah baya berkulit legam itu mencoba untuk menubruk dan mendekapnya.  Bu Tata meloncat dari tempat tidur sambil berusaha melepaskan diri dengan sekuat tenaga. Untung pintu kamar masih terbuka, sehingga dia bisa berlari keluar sambil berteriak sekeras-kerasnya.
Astagfirullah. Kami yang mendengar cerita itu ikut bergidik. Andai saja Bu Tata terlambat bangun dari tidurnya beberapa saat saja…Masya Allah, kita tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Untuk sekedar diketahui, bahwa Bu Tata adalah tipe wanita setengah baya yang berpenampilan sangat sederhana, bukan tipe wanita yang berpenampilan ‘aduhai’ dan menggoda.
Akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa siang itu sungguh dahsyat. Bu Tata mengalami trauma psikis yang sangat hebat.  Setiap melihat lelaki Arab berkafiyeh, badannya langsung lunglai, gemetaran dan wajahnya menjadi pucat pasi! Pak Tata pun tak kurang terpukul batinnya. Oleh karena itu teman-teman anggota TPOH akhirnya bisa memaklumi pada saat Pak Tata minta ijin untuk membawa istrinya kedalam kamar.
Kejadian itu mengingatkan saya pada beberapa kisah seram yang pernah diceritakan orang tentang wanita-wanita yang menjadi korban pelecehan seksual selama berada ditanah suci. Termasuk diantaranya -katanya- adalah cerita tentang sopir taksi yang sering membawa lari penumpang wanita yang naik taksi sendirian! 
Semula saya berpikir bahwa kisah itu semua hanya “kabar burung” atau “isapan jempol” belaka.
Sekarang saya melihat dengan mata kepala sendiri sebuah percobaan pelecehan seksual, yang alhamdulillah bisa digagalkan.

      Antri menunggu pesawat untuk pulang ketanah air.

Proses Pemulangan Jemaah Haji Indonesia tahun 1992 sangat bermasalah.
Yang menjadi penyebabnya adalah adanya ‘permainan’ dari para pengelola biro perjalanan haji non ONH, atau yang biasa disebut sebagai ONH Plus, dengan pihak penyedia layanan penerbangan haji (dalam hal ini Garuda). 
Jemaah Haji ONH Plus mendapatkan berbagai kemudahan termasuk prioritas pemulangannya ketanah air. Hal tersebut sangat mengganggu proses Debarkasi Jemaah Haji regular. Ketiadaan pesawat terbang untuk mengangkut jemaah haji regular, karena adanya ‘pihak berwenang’ yang  memberikan prioritas memakai pesawat untuk memulangkan jemaah haji ONH Plus lebih dahulu, menyebabkan kacaunya jadwal pemulangan di Madinatul Hujjaj (Asrama Penampungan Haji).  
Hal itu berakibat menumpuknya Kloter Jemaah Haji reguler di tempat Debarkasi Jeddah.
Suasana penuh ketidak pastian bagi pemulangan jemaah haji reguler ini berjalan selama berhari-hari. Semua pihak seolah saling ‘cuci tangan’, dan saling lempar tanggung jawab sehingga menambah kacaunya keadaan.

foto: ummatonline.net


Di Madinatul Hujjaj Jeddah suasana kacau terjadi hampir tiap hari. ‘Tumpukan’ Jemaah haji yang terdiri dari beberapa kloter, termasuk barang bawaannya yang terserak dihalaman Madinatul Hujjaj, betul-betul membuat pusing kepala petugas Pemulangan (Debarkasi).
Dan karena anggota TPOH juga termasuk didalam kloter, maka pemulangannya juga ikut mengalami penundaan. Setelah menunggu berhari-hari tanpa ada kepastian, maka anggota TPOH terpaksa mendatangi Madinatul Hujjaj untuk memantau sekaligus mencari kejelasan tentang sebab musabab karut marutnya pemulangan Jemaah haji yang terjadi.
Ternyata masalahnya memang tidak sederhana. “Permainan” yang terjadi melibatkan banyak sekali unsur tingkat tinggi. Baik dipihak travel biro besar yang cukup mempunyai pengaruh maupun pihak ‘orang dalam’ Garuda dan oknum di Departemen Agama sendiri.
TPOH menyimpulkan terjadi penyimpangan prosedur pemulangan yang ujung-ujungnya adalah masalah KKN yang terjadi pada ketiga unsur diatas tadi. TPOH juga memberikan saran dan pertimbangan kepada Menteri Agama agar kasus serupa tidak akan terulang dimasa yang akan datang. Penyimpangan yang terjadi dalam kasus pemulangan jemaah haji itu jelas hanya merugikan jemaah haji ONH reguler yang jumlahnya sangat besar dibanding dengan jumlah jemaah haji ONH Plus yang justru mendapatkan keuntungan dari terjadinya penyimpangan itu. 



bersambung.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar