Sabtu, 02 April 2011

"TERBANG KEMBALI KE JAKARTA VIA.......SYDNEY!!..."



(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (44)

 Melewati 'Sydney Opera House'

      Released  by mastonie, Tuesday, June 29, 2010 at 11.05 pm


 Pulang ke Jakarta lewat.......Sydney!

Bukan Pak Pardjo kalau tidak membuat kejutan.
Setelah rapat perbatasan JBC selesai, Pak Pardjo memanggil staf Protokol dan Konsuler KBRI yang mengurus tiket pesawat Delegasi JBC-RI. Beliau ternyata mau mengubah rute (re-route) pesawat dari rute semula Port Moresby – Manila – Jakarta, menjadi Port Moresby – Sydney – Jakarta, dengan memakai pesawat Qantas.  Dan yang diubah rutenya ternyata hanya tiket Pak Pardjo dan tiket saya! Anggota Delegasi JBC-RI yang lain tetap kembali ke Jakarta melalui rute semula. Mendengar rencana perubahan rute yang diminta Pak Pardjo itu, saya hanya bengong saja. Kali ini tak terduga saya bahkan harus pergi kenegara yang lain lagi: Australia. Visa masuk Australia ternyata sangat mudah didapat dari PNG. Apalagi yang mengurusnya  bagian konsuler KBRI.
Diam-diam saya bersyukur kepada Allah SWT yang berkat perkenan Nya melalui tangan Pak Pardjo, saya bisa pergi keluar negeri untuk yang kedua kali. Bahkan kepergian yang kedua ini langsung masuk ke tiga Negara: Singapura, Papua Nugini dan Australia. Alhamdulillah.
Hari Selasa, 24 September 1985 pagi hari. Waktu pulang ketanah air tibalah sudah. Delegasi JBC-RI harus berpisah di Bandara Jacksons Port Moresby. Anggota Delegasi pulang ke Jakarta dengan rute tetap lewat Singapura,  memakai pesawat SIA. Sedangkan Mendagri selaku Ketua Delegasi  JBC-RI bersama ajudannya pulang ke Jakarta lewat Sydney dengan memakai pesawat Qantas. Saya pikir kalimat ‘dari Port Moresby ke Jakarta LEWAT Sydney’ itu tidak tepat. Karena letak Sydney adalah di Benua Australia yang artinya semakin jauh dari Jakarta. Yang lebih tepat (mungkin) adalah ‘ke Jakarta, tapi MAMPIR dulu di Sydney’. Tapi itulah ‘gaya’ Pak Pardjo.

Boeing 737 Qantas         foto: googleuser
Penerbangan dari Port Moresby ke Sydney ternyata menyusuri pantai Samudra Pasifik di sebelah timur Benua Australia. Pesawat  Boeing 737 Qantas melakukan ‘stop over’ di Brisbane, untuk menurunkan penumpang yang bertujuan pergi kekota ini, sekaligus untuk melakukan refuel. Saya minta ijin turun sebentar dari pesawat untuk melihat-lihat keadaan Bandara Brisbane sambil membeli minuman ringan.
Mendarat di Bandara Internasional ‘Kingsford Smith’ Sydney, Pak Pardjo telah dijemput oleh Konsul Jenderal RI di Sydney beserta stafnya. Pak Konjen mewakili Pak Dubes RI untuk Australia yang berkedudukan di Melbourne, masih sekitar 900 kilometer kearah pantai selatan Australia.
Di Sydney Pak Pardjo menginap di Hotel “Holiday Inn”. Saya tentu saja ikut mendapat kamar standar di hotel yang berbintang 5 itu.

     “Uji nyali” : dilepas di Sydney sendirian.

Hari pertama berada di Sydney, Mendagri juga mengadakan kunjungan resmi ke Kantor Konsulat Jenderal RI di Sydney. Saya baru mengerti kalau staf Konjen ataupun KBRI diluar negeri akan senang sekali jika mendapat kunjungan dari seorang Pejabat Tinggi Negara setingkat Menteri. Para Menteri yang datang biasanya akan diminta untuk   memberikan pengarahan tentang situasi terakhir di Indonesia. Demikian pula dengan Pak Pardjo, apalagi beliau adalah Mendagri, pejabat paling bertanggung jawab soal-soal dalam negeri. Oleh karena itu malam harinya Pak Pardjo mendapatkan undangan untuk berceramah sekaligus jamuan makan malam di Kantor Konjen RI.
Hari kedua Pak Pardjo minta bantuan Konjen untuk meminjam mobil sekaligus pengemudi dan staf Konjen yang faham seluk beluk Australia. Rupanya beliau ingin pergi menemui salah seorang keponakannya. Di kota Sydney ini ada seorang putri dari Pak Sungkono (kakak sulung Ibu Soepardjo) yang sudah beberapa tahun kuliah di Australia.
Sepulang dari kunjungan itu,  tiba-tiba Pak Pardjo bertanya:
“Ton, kalau jij saya tinggal sendiri di Sydney berani nggak?”
Karena mengira beliau sedang menguji ‘nyali’ saya, langsung saja saya menjawab:
Wantun (berani) Pak, lajeng bapak badhe tindak pundi malih  (lalu bapak mau pergi kemana lagi)?”
“Besok saya mau ke Tokyo. Ada perlu. Kita check out dari hotel ini pagi-pagi. Setelah itu terserah jij mau cari penginapan dimana. Zak geld (Bld: uang saku) mu masih cukup kan? Tonny saya beri ijin beberapa hari tinggal di Sydney. Tapi jangan lupa konfirmasi tiket pulangmu. Minta bantuan ke Konjen saja”
“Inggih pak matur sembah nuwun (Ya pak, terima kasih)” jawab saya tak terlalu semangat. Ini benar-benar “uji nyali” gaya Pak Pardjo.
Bayangkan. Saya baru kedua kali ini pergi keluar negeri. Dan Pak Pardjo dengan santai saja melepas saya ‘menggelandang’ sendirian di kota Sydney. Mengapa tidak beliau biarkan saja saya pulang bersama anggota Delegasi JBC di Port Moresby? Saya pasrah sekaligus berusaha menguatkan hati. Pak Pardjo memang terkadang ‘unpredictable’. Lalu keluar arogansi (atau barangkali kenekatan) saya: Ah masa, Ajudan Mendagri tidak berani pergi keluar negeri sendiri. Malu-maluin dong!
Que sera sera, what ever will be will be……apapun yang akan terjadi, terjadilah. Gusti Allah ora sare (Allah tidak tidur). Semua ini pasti adalah kehendak Nya.
Keesokan harinya saya ikut mengantar Pak Pardjo ke Bandara Kingsford Smith. Pulang dari Bandara ada rasa seperti orang yang ‘terbuang’. Staf bagian konsuler yang ditugaskan oleh Sekretaris Konjen bertanya kepada saya, dimana saya mau menginap malam ini. Astagfirullah, saya baru sadar bahwa saya harus mencari hotel. Tapi pasti bukan di “Holiday Inn”, mana kuat saya membayarnya. Dalam hati saya menghitung-hitung lagi sisa uang saku yang masih ada. Waktu itu saya belum mengenal uang plastik alias kartu kredit. Untung (untung lagi) Pak Pardjo biasa memberikan uang representasi beliau sebanyak beberapa ratus dolar untuk saya simpan guna membayar hal-hal sepele atau tak terduga. Jadi saya agak besar hati juga. Akhirnya saya dicarikan penginapan setaraf dengan losmen kelas melati (kalau di Indonesia). Ya, bagaikan bumi dengan langit perbedaannya dibandingkan Holiday Inn. Tapi yang penting saya bisa sekedar istirahat.
Saya rasa satu hal yang membuat saya berani ‘berkelana’ sendirian dinegeri orang. Karena saya adalah seorang kapiten, eh, maksud saya seorang Pramuka. Pramuka memberikan dasar-dasar kehidupan yang bersifat ‘long life education’.
Di arena kepramukaan saya biasa berkemah dimana saja. Ditempat yang kata orang ‘wingit’ dan angker sekalipun. Seorang Pramuka juga diajari ilmu survival, bagaimana bertahan hidup dengan bekal seadanya.
Dan kota Sydney jelas jauh lebih menyenangkan dibanding dengan “camping ground” (bumi perkemahan) dimanapun didunia

     Tower of Sydney,  Sydney Harbour Bridge, dan Opera House …

Dengan didampingi seorang home staff  yang khusus diperintah oleh Sekretaris Konjen RI,  sayapun menjelajahi kota Sydney, yang merupakan ibukota dari Negara bagian New South Wales.
Meskipun benua Australia sudah ditemukan oleh James Cook sekitar tahun 1770, akan tetapi kota Sydney sendiri konon baru ‘ditemukan’ pada tanggal 28 Januari 1788 oleh kapten Arthur Phillip, pelaut Inggris yang mendarat disebuah teluk dipantai Samudra Pasifik yang kemudian dijadikannya sebagai kota dengan nama “Sydney”, diambil dari nama salah seorang Pejabat Tinggi Kerajaan Inggris, Viscount Sydney.  Itu sebabnya sebagian besar penduduk Sydney adalah keturunan orang Inggris. Orang Aborigin (pribumi Australia) sendiri malah merupakan penduduk minoritas saja.
Sebagai negara persemakmuran Inggris, Australia menganut sistem lalu lintas  “right hand drive”, (setir kanan) sama dengan yang berlaku di Inggris dan (anehnya) juga Indonesia. Oleh karena itu saya pasti juga tidak akan ‘kagok’ seandainya harus menyopir sendiri di Sydney. 


Di Loby KJRI Sydney        foto: dokpribadi
Mengendarai mobil Mercedes station wagon milik pribadi, Pak Pratomo yang merupakan salah seorang home staff di KJRI Sydney, adalah seorang lelaki penyabar yang dengan tekun menjadi special tour leader saya. Semua point of interests (daerah tujuan wisata) di Sydney ditunjukkannya kepada saya yang kali ini betul-betul seperti “si Kabayan saba kota”!
Berawal dari ‘China town’  yang suasananya persis seperti daerah pecinan di Glodok. Di Sydney banyak sekali imigran Cina, yang merantau (tentu saja) lengkap dengan membawa kebudayaan dan kulinernya. Selain berbahasa Mandarin (kalau berbicara sesama mereka), orang-orang Cina juga banyak yang fasih bicara dengan bahasa Inggris beraksen Australia. Segala macam ‘chinese food’ dijual disini. Yang mengherankan ada juga restoran yang menjual ‘gado-gado’! Konon bumbu dapur a la Indonesia juga bisa dengan mudah dibeli disini.
Kata orang, belum ke Sydney kalau tidak pergi ke Harbour Bridge, Opera House dan Sydney Tower. Oleh sebab itu saya juga minta diantar ke tiga tempat terkenal itu. Sebelum menuju Sydney Tower, Pak Pratomo mengajak saya ke “Kings Cross”, daerah hiburan malam dan perjudian yang sangat terkenal di Sydney.  Beruntung saya diajak datang pada siang hari. Jadi ‘gegap gempita’ nya belum mulai. Kings Cross menawarkan segala macam ‘kesenangan duniawi’. Selain tempat perjudian, disini banyak kios menjual benda pornografi dan tempat hiburan yang menawarkan pertunjukan ‘strip tease’ (tarian telanjang), sampai dengan prostitusi terselubung maupun terang-terangan.
Di Kings Cross inilah saya diajak kesebuah ‘kios’ kecil yang terletak didepan sebuah Bank. Pak Pratomo memasukkan semacam KTP ke lubang yang ada disebuah kotak segi empat dilengkapi layar monitor dan panel yang ada tombol angkanya. Kemudian mulailah ia menekan beberapa tombol dan …….….. Bim salabim!! Tiba-tiba kotak itu mengeluarkan beberapa lembar uang dolar Australia! Melihat saya bengong, Pak Pratomo menjelaskan:
“Pak Tony, ini alat yang disebut ATM (Automated Teller Machine). Sebuah alat yang bisa mengeluarkan sejumlah uang sesuai permintaan kita. Tapi syaratnya kita harus punya tabungan atau rekening dengan jumlah saldo yang cukup di Bank yang punya mesin ini”.
Jadi begitu rupanya, saya manggut-manggut berlagak faham. (Harap maklum pada tahun 1985-an,  belum ada ATM di Jakarta). Jadi harap maklum juga kalau saya terheran-heran pada “kotak ajaib penghasil duit” itu. 

Tower of Sydney          foto: googleusitinfo
Siang itu sampailah saya ke “Tower of  Sydney”. Menara kebanggaan kota Sydney yang konon menjulang setinggi 305 meter dari permukaan tanah itu berdiri dengan gagah. Tidak banyak antrian orang membeli tiket masuk. Jadi sebentar saja saya dan Pak Pratomo sudah berada dalam lift menuju ke bagian atas menara dimana ada ruangan untuk melihat pemandangan kota Sydney. Disitu ada sebuah ruangan yang sekeliling dindingnya terbuat dari kaca lebar. Terlihat ada beberapa teleskop yang harus diisi koin 25 sen dolar Australia untuk mengaktifkannya. Dengan teleskop itu seantero kota Sydney bisa kita lihat dengan jelas. Saya sebetulnya bukan penderita fobia ketinggian. Akan tetapi melihat kota Sydney dari ketinggian lebih dari 300 meter dalam sebuah ruangan tertutup, sekonyong-konyong timbul kegamangan. Apalagi saya seperti merasakan menara itu seolah bergoyang kekiri dan kekanan! Ternyata perasaan saya benar adanya. Menara Sydney itu dirancang tahan terhadap terpaan angin (bahkan angin topan sekalipun!). Untuk itulah dia didisain mempunyai kelenturan sampai hampir 30 sentimeter kesegala arah, tergantung arah tiupan angin. Pantas saja saya merasa bergoyang-goyang. Dipuncak Menara Sydney ini juga terdapat sebuah “revolving restaurant” (restoran berputar) dimana pengunjung bisa menikmati makanan sambil melihat pemandangan kota Sydney.

 Sydney Harbour Bridge and Opera House by night, foto: useitinfo

Dari menara Sydney perjalanan diteruskan ke tepi pantai (Sydney memiliki lebih dari 30 pantai tujuan wisata yang membentang sepanjang 32 kilometer). Salah satu pantainya yang paling masyhur adalah yang mempunyai ‘menu wajib’ dikunjungi: Sydney Harbour Bridge dan Opera House. Dua buah bangunan yang terkenal diseantero dunia ini sudah merupakan ‘landmark’ kota Sydney.

Diatas kapal melewati 'Sydney Harbour Bridge'
Jembatan di pelabuhan Sydney letaknya berdekatan dengan Opera House (Gedung Teater Opera), sehingga dengan naik ferry yang sebagian besar tempat duduknya berada digeladak terbuka, kita bisa menyaksikan keduanya dalam jarak yang relatif dekat, sambil menikmati makanan yang bisa kita beli direstoran yang ada didalam ferry. Angin laut berhembus cukup kencang, suhu udara terasa sangat sejuk. Tapi saya masih bisa bertahan hanya dengan mengenakan sweater diluar pakaian yang saya kenakan. Saya menganggap Jembatan Pelabuhan Sydney tidak terlalu istimewa. Jembatan berwarna abu-abu keperakan itu malah mengingatkan saya pada salah satu jembatan buatan kolonial Belanda yang dibangun diatas kali Serayu didaerah Banyumas. Tapi jembatan Sydney berukuran lebih besar. 

foto2: dok.pribadi

Gedung Opera jauh lebih menarik. Pusat kesenian dan pentas teater ini mempunyai arsitektur yang menarik dan sangat ‘eye catching’ (menyolok). Bangunan yang terdiri dari beberapa gedung itu dirancang oleh arsitek Joern Utzon dari Denmark. Atapnya berbentuk kerucut segitiga saling bertumpuk dan berlapis tiga. Sangat khas dan unik. Apalagi gedung itu dibangun ditepi pantai dan agak menjorok ketengah laut.
Banyak sekali pengalaman yang saya dapat di Sydney, yang kelak kemudian hari baru terdapat di Indonesia. Selain ATM tadi, saya juga baru melihat bahwa pompa bensin (BBM, bahan bakar minyak) di Sydney dimiliki oleh bermacam perusahaan minyak Mereka saling bersaing dengan memasang harga BBM yang setiap hari bisa berubah. Disetiap pompa bensin akan dipasang harga BBM hari itu dengan tulisan yang dibuat mudah terlihat dari jauh. Dengan demikian para pembeli bisa memilih harga BBM termurah. Disini pula saya pertama kali melihat orang yang membeli bensin secara swalayan. (Pada waktu itu -tahun 85an- di Indonesia hanya ada pompa bensin yang dimiliki atau dikelola oleh satu perusahan milik pemerintah saja: Pertamina). Saya iseng membayangkan, kalau di Indonesia ada orang membeli bensin dengan cara swalayan begini, bisa-bisa sesudah mengisi, alih-alih membayar, dia langsung…..kabuurrr….
Selama dua hari dua malam ‘keluyuran’ di Sydney, saya merasa bahwa saya telah berhasil menempuh “uji nyali” yang diberikan oleh Pak Pardjo. Bahkan saya banyak sekali mendapatkan pengalaman baru yang sangat berharga. Saya sungguh banyak berhutang budi kepada Pak Pratomo dan Sekretaris Konjen RI di Sydney, yang telah banyak membantu ‘petualangan’ saya di kota Sydney.
Saya tidak pernah tahu berapa nilai yang saya dapat dalam “uji nyali”  itu. Saya kira hanya Pak Pardjo sendiri yang tahu. Sayangnya beliau tidak pernah bertanya dan berkomentar masalah itu.

      Kembali ke Jakarta ‘melabrak’ Pramugari.

Hari Sabtu, 28 September 1985, saya kembali ke Jakarta dengan pesawat 747-200 milik Garuda Indonesia, yang ternyata penuh dengan penumpang wisatawan ‘bule’ Australia yang akan pesiar ke Denpasar Bali. Rute Sydney – Denpasar – Jakarta PP waktu itu termasuk rute ‘gemuk’ yang menguntungkan Garuda.
foto: Rob Finlayson/GarudaIndonesia

Inilah saatnya saya mewujudkan impian naik pesawat “Jumbo Jet “. Disebut sebagai ‘Jumbo’ (gajah) karena ukuran pesawat buatan Boeing ini memang serba besar. Ketika pertama kali diperkenalkan kepada publik, pesawat yang sejak semula dirancang untuk bisa mengangkut 550 penumpang,  mempunyai rentang sayap sepanjang 200 kaki dengan panjang badan hampir 230 kaki dan mempunyai berat total saat ‘take off’  300 ton! Pesawat berbadan lebar (wide body) ini dilengkapi dengan 4 buah mesin turbofan buatan Pratt & Whitney JT9D-7A. Terbang perdana secara komersial oleh Pan Am pada 22 Januari 1979.

Nampang sebelum boarding di B-747 Garuda
foto: dok pribadi

Rasa kagum dan kebanggaan saya ketika pertama kali memasuki kabin pesawat terbesar yang pernah saya naiki ini kemudian seakan pupus dalam sekejap mata.
Walaupun Garuda adalah Maskapai Penerbangan milik pemerintah Indonesia, tetapi saya mendapat pengalaman yang cukup tidak menyenangkan ketika berada didalam pesawat Jumbo 747 Garuda ini. Sewaktu Pramugari menyajikan hidangan kepada penumpang, saya mendapat perlakuan sangat diskriminatif. Saya duduk bersebelahan dengan seorang ‘bule’ Australia. Si  Pramugari dengan ramah tamah  memberikan sekaleng minuman ringan kepadanya dengan penuh senyum. Ketika tiba giliran memberikan minum kepada saya, yang diberikannya adalah minuman ringan yang sama tapi dalam gelas plastik kecil saja.  Tentu saja saya protes keras. Saya duduk bersebelahan dengan ‘bule’ itu dalam satu kelas di pesawat, jadi tentu saya membayar tiket dengan harga yang sama dengan si ‘bule’ itu. Saya minta jatah yang sama, satu kaleng. Tapi apa jawaban yang diberikan Pramugari itu?
“Maaf pak, penumpang lain masih banyak”!
Tentu saja saya naik pitam. Saya hardik dia. Tidak pantas dia sebagai sesama orang Indonesia memperlakukan penumpang bangsanya sendiri dengan perlakuan seperti itu. Saya datangi “Purser” yang memimpin ‘Cabin Crew’ diatas pesawat.  Saya laporkan perlakuan tidak senonoh itu kepadanya. Rupanya dia agak kaget juga mendapatkan protes dari penumpang yang notabene adalah bangsanya sendiri. Dia minta maaf dan berjanji akan memberitahu dan menegur Pramugari yang telah berlaku tidak pantas itu. Sejak saat itu saya dilayani Pramugari (lain) dengan lebih baik. Hal seperti itu kelihatannya sepele. Tapi perlakuan diskriminatif kepada penumpang (siapapun saja) sangat tidak pantas dilakukan. Apalagi dilakukan oleh seorang Pramugari dari Maskapai Penerbangan yang merupakan “Flag Carrier” Negara Republik Indonesia.
Saya tiba kembali di Jakarta dengan selamat dan perasaan lega. Saya telah menjalani sebuah ‘ujian’ yang berhasil saya lalui dengan ‘baik-baik’ saja. Dan itu adalah pengalaman yang sangat berharga dalam sejarah perjalanan hidup saya.
Tiga Negara (Singapura, Papua Nugini dan Australia) inilah yang menjadi kisah pembuka ‘petualangan’ saya (nantinya) ke berbagai Negara diberbagai benua dibelahan dunia.
Alhamdulillah.



bersambung.....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar