Rabu, 13 April 2011

"BERSALAMAN DENGAN 'RI-1' DAN 'RI-2'......"



(dari draf buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (102)


Saya bersalaman dengan Presiden Soeharto


Released by mastonie, Friday, June 18, 2010 at 10.26 am



      Munas KORPRI  ke IV, 13 - 16 April 1994

Salah satu kegiatan yang merupakan hasil kerja kelompok yang cukup saya banggakan adalah terlaksananya Musyawarah Nasional Korpri ke IV tahun 1994.
Munas adalah pemegang mandat tertinggi dari anggota Korpri seluruh Indonesia, yang berhak menentukan perubahan Anggaran Dasar Korpri, menetapkan Program-program pokok Korpri dan menyusun Pedoman  Pengamalan Sapta Prasetya Korpri. Tentu saja didalamnya termasuk perubahan Anggaran Rumah Tangga dan perubahan susunan personalia Pengurus Korpri Pusat. Selama ini Ketua Umum Pengurus Korpri Pusat secara “tradisi” selalu dijabat oleh Sekretaris Jenderal Departemen Dalam Negeri. Sedangkan Sekretaris Jenderalnya dijabat oleh Kepala BAKN (Badan Administrasi Kepegawaian Negara, -kini BKN-). Kebiasaan itu berlaku sudah lama, sejak Sekjen Korpri dijabat oleh Bapak AE Manihuruk (Kepala BAKN,  almarhum).
Munas sesuai namanya adalah musyawarah, dimana pelaksanaannya merupakan pertemuan dari seluruh Pengurus Korpri seluruh Indonesia yang terdiri dari: Dewan Pembina Korpri Pusat, Pengurus Korpri Pusat, utusan dari Unit Korpri Tingkat Pusat dan utusan dari Korpri Provinsi yang mempunyai hak suara yang sama.
Diselenggarakan di Gedung Manggala Wanabhakti Departemen Kehutanan Jakarta, dari tanggal 13 sampai dengan 16 April 1994, Musyawarah Nasional Korpri IV dilaksanakan  dalam bentuk Sidang Pleno (Paripurna) dan sidang-sidang Komisi.
Munas dikendalikan oleh Steering Committee (Panitia Pengarah) dan Organizing Committee (Panitia Pelaksana/Panpel) yang dibentuk dari gabungan beberapa Instansi di tingkat Pusat. 
Didalam Organizing Committee saya duduk sebagai Ketua Sub Seksi Protokol, dengan anggota Protokol dari beberapa instansi termasuk Protokol Depdagri. Kini saatnya saya tunjukkan bahwa saya mampu bekerja walaupun bukan di  kantor Depdagri. 

Ide  ‘tiga lampu’ yang sukses.

Didalam rapat persiapan Munas, terjadi perdebatan cukup sengit tentang alokasi waktu berbicara yang diberikan kepada Peserta Munas dari seluruh Pengurus Korpri Tingkat Pusat maupun Daerah yang jumlahnya banyak sekali. Berdasarkan pengalaman Munas empat tahun yang lalu, Sidang Pleno menjadi kacau karena waktu yang diberikan kepada peserta untuk berbicara tidak dibatasi dengan aturan yang jelas dan tegas. Hal itu mengakibatkan  Sidang Pleno menjadi berlarut-larut waktunya sehingga mengganggu jadwal Sidang Komisi. 
Sebagai Ketua Sub Seksi Protokol yang bertanggung jawab atas semua jalannya Sidang, baik Pleno maupun Komisi, saya langsung mengajukan usul. Intinya adalah untuk membatasi waktu berbicara bagi peserta dengan menggunakan tanda “tiga lampu”. Ide ini terbersit begitu saja. Saya hanya teringat bahwa ketika menjadi Pembawa Acara pada MTQ Nasional di Jawa Tengah, saya melihat Qari dan Qari’ah yang tampil membacakan ayat-ayat Al-Qur’an juga dibatasi dengan memakai tanda tiga lampu. Yaitu lampu hijau, kuning dan merah. 
Lampu hijau merupakan tanda bahwa peserta dipersilakan mulai berbicara. Lampu kuning akan menyala sebagai peringatan bahwa waktu yang disediakan sudah hampir habis. Panitia yang menentukan waktu apakah akan disetel 2 atau 3 menit sebelum akhirnya lampu merah menyala. Lampu merah merupakan tanda bahwa waktu sudah habis, dan peserta harus berhenti bicara. 
Tiga lampu itu akan dipasang didua tempat. Satu diatas podium dimana peserta berbicara, lainnya ditempat petugas penjaga waktu (time keeper) yang ada di meja Protokol. Keduanya bisa dilihat dengan jelas oleh Pimpinan dan seluruh peserta Sidang. 
Konsekwensi dari diterapkannya sistem ini, Panitia harus menyediakan dua buah stop watch, dua set lampu dan kendali jarak jauh untuk mematikan mikropon yang ada dipodium. Jikalau lampu merah menyala maka mikropon diatas podium akan dimatikan dengan kendali jarak jauh oleh operator. 
Sehingga apabila peserta masih nekat berbicara, suaranya tidak akan terdengar lagi.
Usul saya yang cukup ‘revolusioner’ tersebut akhirnya disetujui dengan syarat saya harus bisa menjamin penghitungan waktu dilakukan secara akurat. Usul itu saya katakan revolusioner, sebab pemakaian lampu seperti dalam MTQ ini tidak lazim. 
Sistem ini baru pertama kali digunakan dalam sidang di Munas Korpri dan terkesan sebagai aturan yang sangat kaku. Tapi saya jamin apabila dilaksanakan akan berhasil efektif menepati waktu. 
Saya juga akan menjamin keakuratan waktu dengan alat stop-watch. Akan tetapi saya juga mengajukan syarat. Siapapun yang nantinya sedang menjadi Pimpinan Sidang Pleno, harus bersedia ikut membantu ditegakkannya ‘aturan main’ ini. 
Untuk usul yang ‘revolusioner’ dan agak nekat ini, saya mempertaruhkan reputasi sebagai Ketua Seksi Protokol. Setelah terjadi sedikit perdebatan, usul sayapun disetujui dan akan diberlakukan khusus pada saat Sidang Pleno. Yaitu pada waktu seluruh perwakilan Pengurus Korpri dari seluruh Indonesia akan mendapatkan giliran berbicara di podium untuk menyampaikan pendapat dan pandangannya.
Dalam Sidang Pleno akhirnya terbukti bahwa sistem tiga lampu yang saya usulkan itu berjalan sesuai dengan rencana dan sangat efektif. Bahkan berkali-kali mendapat applaus dari peserta sidang karena berhasil menyetop beberapa pembicara yang nekat hendak keluar dari ‘aturan main’.
Seusai Sidang Pleno pertama yang dipimpin oleh Bapak Suryatna Subrata, Sekjen Depdagri selaku Ketua Umum Pengurus Korpri Pusat, beliau menyempatkan diri menghampiri saya. Beliau mengucapkan terima kasih atas keberhasilan Protokol mengendalikan waktu, sehingga Sidang Pleno dapat selesai tepat pada waktunya. Saya merasa mendapat kehormatan yang sangat besar.
Didalam Munas Korpri IV ini pula  saya bertemu lagi dengan Bapak Drs. Amur Muchasim, mantan Kepala Biro Umum Depdagri yang kini (tahun 1994) telah menjadi Sekwilda Pemda Provinsi Sulawesi Tengah. Beliau hadir di Munas selaku Ketua Pengurus Korpri Provinsi Sulteng. Saya yakin  beliau pasti masih ingat ketika saya datang untuk melapor telah ‘dikembalikan’ dari kantor Menko Kesra. 
Beliau pada saat itu tampak ragu-ragu menerima saya, karena tidak yakin pada kapasitas saya yang hanya berpengalaman (sangat lama) jadi Ajudan saja. Akhirnya beliau  lalu memerintahkan saya untuk memilih sendiri tempat yang ‘layak’ dan saya sukai. Kini secara tidak langsung beliau melihat sendiri bahwa saya bisa bekerja dimana saja dengan cukup baik. 
Itu cukup untuk memberikan kesan yang baik bagi beliau, karena kelak kemudian hari ternyata Pak Amur Muchasim juga akan kembali lagi ke Depdagri dan menjabat sebagai Sekretaris Jenderal.

     Bersalaman dengan Presiden dan Wakil Presiden RI.

Istana Negara
Munas Korpri IV dibuka oleh Presiden RI selaku Pembina Utama Korpri Pusat,  di Istana Negara pada hari Rabu, 13 April 1994. Munas akan ditutup oleh Wakil Presiden RI selaku Wakil Pembina Utama Korpri Pusat di Istana Wakil Presiden pada hari Sabtu, 16 April 1994. 
Dengan demikian seluruh peserta Munas Korpri akan mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan Bapak Presiden dan Wakil Presiden, untuk mendengarkan pengarahan beliau sekaligus bersalaman diakhir pertemuan. Bagi para peserta yang berasal dari daerah, kesempatan ini menjadi momen yang sangat berharga. Bahkan juga bagi diri saya sendiri yang selama genap sepuluh tahun pernah mengikuti seorang Menteri Kabinet. Selama kurun waktu itu sudah tidak terhitung lagi berapa kali saya keluar masuk Istana Negara, Istana Merdeka, Bina Graha dan Istana Wakil Presiden. Malahan pernah ikut merasakan menginap di Wisma Negara dan bertemu dengan Presiden dan Wakil Presiden. Tapi saya belum sempat sekalipun bisa bersalaman dengan orang nomor satu dan nomor dua di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebagai Ketua Sub Seksi Protokol Munas, sayalah yang berkoordinasi dengan Protokol Istana. Kebanyakan sudah saya kenal sejak jaman masih jadi Ajudan Pak Pardjo dulu. 
Jadi semua urusan Protokoler bisa berjalan lancar.
Pada sekitar tahun 1994 itu Pak Harto (atas saran Tim Dokter Kepresidenan) memang sudah agak jarang diacarakan untuk bersalaman dengan seluruh peserta Seminar atau peserta apapun yang berjumlah agak banyak. Mungkin mengingat kesehatan beliau. 
Tapi untuk rombongan Peserta Munas Korpri IV ini Pak Harto berkenan bersalaman dengan seluruh peserta, walaupun jumlahnya mendekati 300 orang. 
Sebagai Pembina Utama Korpri, Pak Harto pasti tahu benar ‘andil’ Korpri dalam memenangkan setiap Pemilu. Oleh sebab itu perkenan beliau (untuk bersalaman) itu bisa jadi pembangkit semangat bagi para anggota Korpri yang selama ini juga tahu hanya diperhatikan dan di ”elus-elus“ (istilah yang diucapkan oleh Pak Harto sendiri) kalau mau dijadikan ujung tombak Golkar untuk maju “kemedan perang” Pemilu setiap 5 tahun sekali.  
Akhirnya tibalah saat bersejarah yang saya tunggu-tunggu itu. Setelah memberikan pengarahan dan membuka secara resmi Munas Korpri ke IV, Pak Harto didampingi Mendagri Yogie S.M selaku Ketua Dewan Pembina Korpri Pusat menerima jabat tangan peserta Munas satu persatu. 
Termasuk saya sendiri.
Istana Wakil Presiden
Setelah melaksanakan seluruh rangkaian acara Munas yang melelahkan, para peserta Munas pada hari Sabtu, 16 April 1994 langsung menuju ke Istana Wakil Presiden di jalan Medan Merdeka Selatan untuk mendengarkan pengarahan sekaligus penutupan Munas oleh Wakil Pembina Utama Korpri yang juga Wakil Presiden RI, Bapak Try Soetrisno. Pertemuan itu juga diakhiri dengan acara berjabat tangan dengan Bapak Wakil Presiden.
Kedua peristiwa bersejarah itu  saya tulis dengan tinta khusus dibuku catatan saya. Pak Harto berkenan bersalaman dengan saya pada hari Rabu Pahing, tanggal 13 April 1994 dan saya bersalaman dengan Pak Try Soetrisno pada hari Sabtu Kliwon, tanggal 16 April 1994.
Tanggal 11 September 1988, di Pyongyang saya bersalaman dengan Presiden Kim Il Sung dari Korea Utara, bahkan berfoto pula dengannya. Dua tahun kemudian, bulan September 1990, di Istana Presiden Chili di Santiago, saya bersalaman dengan mantan Presiden Chili Jenderal Augusto Pinochet dan Presiden Patricio Aylwin yang menggantikannya.
Tapi baru empat tahun kemudian (pada tahun 1994) di Istana Negara Jakarta, saya bisa bersalaman dengan Pak Harto, Presiden Republik Indonesia yang sudah 28 tahun jadi orang nomor satu di Indonesia. Dan beberapa  hari kemudian saya bisa bersalaman dengan Pak Try Soetrisno, Wakil Presiden RI yang ke 6.
Pada waktu bersalaman dengan Presiden Kim Il Sung, saya mendapat hadiah kenang-kenangan  berupa foto bersama dengan Presiden Korea Utara itu secara gratis alias cuma-cuma.
Tapi kali ini di negeri sendiri,  foto kenangan saat saya bersalaman dengan Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Try Soetrisno itu bisa saya peroleh dengan secara 'tidak percuma'.Alias harus bayar.
“The Unfogettable Moments” di Indonesia ternyata memang ada harganya.
Mungkin ini yang (oleh orang Jawa) disebut sebagai: “Jer basuki mawa beya”.
Untuk memperoleh sesuatu (apapun juga), memang diperlukan pengorbanan (termasuk biaya).



bersambung....

2 komentar:

  1. tepat hr ini tgl 13 April, 17 thn silam peristiwa bersejarah tsb yah pa'de? sweet seventeen nih..gmna perasaannya pa'de? skrg kepengen salaman sm sapa lg pa'de? Husni Mubarak tah?heheheee...

    BalasHapus
  2. Itu komen nya sy loh pa'de...Wong Mesir... binun kok namanya ga muncul...malah nomer2 kayak nomer togel.... heheheheeee.... pis!

    BalasHapus