Kamis, 07 April 2011

"BERKELANA DI HOLLYWOOD...BERTEMU 'MARILYN MONROE'...."


(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (79)

Released by mastonie, Wednesday, June 16 at 04.37 pm

       

      Kembali lagi ke Narita.

Tim Dokter Kepresidenan di RSPAD memang menganjurkan kepada Menko Kesra Soepardjo Roestam untuk selalu mengulangi pemeriksaan kesehatannya di RS Walter Reed Amerika Serikat. 
Setidaknya setiap dua tahun sekali.
Perintah Pak Pardjo kepada saya beberapa hari sebelum memutuskan untuk berangkat ke Amerika Serikat lagi, pendek saja:
“Ton, saya harus check up lagi ke Amerika, jij ikut. Mungkin agak lama” itu saja.
Kata-kata ‘agak lama’ itu saya terjemahkan sebagai: pemeriksaan kesehatan Pak Pardjo kali ini pasti agak serius. Dan ‘agak lama’ itu relatif. Bisa seminggu, bisa juga sebulan. Karena Pak Pardjo memang punya kebiasaan mengatur sendiri jadwal penerbangan beliau. Tapi saya selalu siap. Saya bahkan tak pernah mengira kepergian saya mengikuti beliau kali ini akan membuka cakrawala sejarah baru dalam kehidupan spiritual saya.
Hari Jum’at tanggal 21 Februari 1992, Pak Pardjo terbang ke Amerika Serikat dan ternyata melalui Tokyo lagi! Dari Bandara Soekarno-Hatta pesawat Jumbo jet Garuda menembus kegelapan malam menuju Narita, Tokyo.
Hari Sabtu, 22 Februari 1992 pagi hari pesawat mendarat di Bandara Internasional Narita Tokyo. Suhu udara di Jepang pada bulan Februari agak lebih dingin, rata-rata berkisar antara 2 sampai 10 derajat celcius.
Dalam rentang waktu dua tahun terakhir, saya sudah tiga kali ini mendarat di Bandara Narita. Tak sengaja saya mengingat kejadian ketika saya dan dokter Jarwo iseng-iseng membuang koin kedalam kolam di Kuil Narita-San Shinshoji dibulan Maret tahun 1990 dulu.  
Penduduk asli sekitar Narita (yang beragama Budha) sangat percaya bahwa barangsiapa -tamu atau pendatang- membuang koin dikolam yang ada ditengah area kuil dibukit Narita itu, suatu saat entah kapan dia pasti akan kembali lagi ke Narita. Believe it or not. 
Tapi itu jelas tahayul dan saya tetap menganggapnya sebagai suatu hal yang ‘kebetulan’ saja. Memang sangat kebetulan Pak Pardjo suka sekali memilih rute terbang ke Amerika lewat Jepang.
Kali ini malah beliau bermaksud menginap semalam di kediaman Dubes RI di Tokyo. Tampaknya ada beberapa alat bantu kesehatan yang disarankan oleh Tim Dokter Kepresidenan untuk Pak Pardjo yang harus dicari di Tokyo, Jepang.

 Hari Senin malam waktu setempat, 24 Februari 1992, pesawat Boeing 747-300 JAL, lepas landas dari Bandara Internasional Narita, Tokyo menuju Los Angeles, California, Amerika Serikat. Saya senang sekali terbang dengan Maskapai JAL karena pelayanan ‘cabin crew’ (awak kabin) yang sangat baik, walaupun untuk penumpang kelas ekonomi sekalipun. Apalagi penumpang yang duduk di First Class. Barangkali Pak Pardjo juga mempunyai pandangan yang sama dengan saya tentang pelayanan JAL ini.

Berkelana di “HOLLYWOOD” kota para selebriti.

Masih pada hari yang SAMA, Senin pagi 24 Februari 1992, pesawat mendarat di Bandara Internasional Los Angeles. Rupanya dalam perjalanan menuju Washington, DC kali ini, Bapak dan Ibu Soepardjo menyempatkan diri mampir (singgah) mengunjungi putra pertamanya, Eko Santoso (Mas Koko) yang tinggal di Pasadena, Los Angeles. Mas Koko sudah lama tinggal di Amerika untuk menyelesaikan kuliahnya di “Woodbury University”
Dari Bandara Internasional Los Angeles (LA), Pasadena yang hanya 16 kilometer jaraknya dari LA bisa ditempuh dengan mobil selama kurang lebih 20 menit saja. Ini perjalanan kedua saya di Los Angeles, California. Salah satu Negara Bagian di Amerika Serikat yang tidak pernah mengenal salju dimusim dingin (November sampai Maret) sekalipun. 

Suhu udara di bulan Februari berkisar antara 7 – 20 derajat Celcius. Seperti lazimnya kota yang mempunyai banyak lembaga pendidikan, maka Pasadena termasuk ‘kota Pelajar’ yang bersih dan tenang. Untuk pertama kalinya saya melihat dijalan raya ada “bike lane” (jalur khusus untuk sepeda). Di Pasadena juga ada stadion terkenal bernama “Rose Bowl” untuk olahraga “sepakbola Amerika” yang pemainnya paling suka saling bertabrakan itu. Setiap awal tahun di Pasadena diadakan ‘Tournament of Roses Parade’ (Parade bunga mawar) yang terkenal diseantero Amerika, bahkan diseluruh dunia. Indonesia juga pernah menjadi salah satu peserta paradenya. Ini adalah parade (pawai) kendaraan berhias (bunga) yang karena banyaknya kendaraan peserta, panjangnya bisa sampai 10 kilometer.

Karena mas Koko tinggal disebuah Flat yang terbatas kamarnya, maka saya harus mencari penginapan sendiri didaerah Pasadena. Saya akhirnya menginap disebuah motel bernama “Quality Inn” yang sangat sederhana, tidak jauh dari rumah Mas Koko. Barangkali Pak Pardjo sudah paham bahwa saya bisa (dan berani) dilepas sendiri dimana saja (saya sudah diuji di Sydney -tahun 1985- , Tokyo -tahun 1986-, kemudian New York -tahun 1990-). Jadi di Pasadena ini saya juga diberi kebebasan untuk pergi ‘semau gue’.
Mas Koko justru yang tidak tega sehingga ia mencarikan seorang kawan untuk menemani saya keliling Pasadena sampai Los Angeles.
Pak Heru Adiningrat adalah putra seorang mantan pejabat di Konsulat Jenderal RI di LA. Ia sudah lama bermukim di LA, jelas ia sangat fasih bahasa Inggris, bahkan bahasa Indonesianya tinggal ‘sedikit-sedikit’, dan saya cuma bisa berbahasa Inggris ‘little-little’, jadi klop sudah. 
Dengan mengendarai sedan Toyotanya, saya diajak keliling kota, dengan tujuan utama Universal Studio di Hollywood, Los Angeles, di negara bagian California.
Berasal dari bahasa Spanyol, nama kota yang berdiri sejak tanggal 4 September 1781 (dan menjadi kota nomor dua terbesar di Amerika Serikat) itu berarti “Malaikat” (The Angels). Saya kagum dengan kota yang penuh dengan rumah orang kaya dan bintang film serta selebriti paling terkenal didunia ini. Teratur rapi, hijau dengan banyak pepohonan dan taman. Jalanan bersih dari sampah. Lalu lintas tertib. Dan yang mengherankan adalah, hampir semua rumah mewah di LA tidak berpagar! Mobil-mobil mewah hanya diparkir begitu saja didepan atau samping rumah. Jarang yang mempunyai garasi mobil. Sebuah refleksi dari ‘self confident’ (kepercayaan diri) yang tinggi dari sebuah bangsa. Setidaknya itulah yang saya lihat pada tahun 1992. Sangat jauh berbeda dengan bangsa Cina yang rumahnya selalu berpagar tinggi, bahkan negaranyapun sampai dibuatkan tembok raksasa, takut diserbu musuh. 


Dikota inilah saya melihat bukit paling terkenal (dan paling diimpikan oleh para pendatang baru dan calon bintang) didunia film, yang dari jarak sangat jauhpun sudah terbaca dengan sangat jelas sebuah tulisan berwarna putih menyolok: “HOLLYWOOD”. 
Sebuah ‘land mark’ kota yang tiada bandingnya, LA adalah Hollywood, dan Hollywood adalah LA.


Dipeluk ‘Marylin Monroe’, diterkam ‘King Kong’

Jangan bilang pernah pergi ke Los Angeles -yang warga kotanya menyebut dirinya sebagai “Angelenos”-, kalau tidak mengunjungi “Universal Studio” Hollywood. Inilah sejatinya Taman hiburan pertama yang dibangun oleh Universal Studio. Nama yang identik dengan film-film besar dan terkenal, karena distudio itulah film tersebut dibuat. 

 Walaupun saya sudah lebih dahulu menikmati Universal Studio yang ada di Orlando, tapi saya masih tetap penasaran ingin membandingkan Taman Hiburan yang merupakan ‘cikal bakal’ milik Universal Studio ini. Universal Studio Hollywood dibangun pada tahun 1962, sebelum akhirnya dibangun pula dikota-kota besar lainnya didalam maupun diluar Amerika.
Dengan membayar tiket terusan yang (menurut saya) agak mahal, sekitar 35 USD/orang, hari Rabu pagi, 26 Februari 1992, mulailah saya berkelana di “negeri dimana dongeng dan fantasi diwujudkan”. 
Baru saja melangkah masuk pintu gerbang yang persis seperti kalau kita masuk TIJA di Ancol (atau Ancol yang meniru ya?), mendadak saya sudah dipeluk erat sekali oleh Miss “Marylin Monroe” yang berambut pirang dengan gaun putih berbelahan dada rendah dan bibir merah menyala! Nafas saya sampai ‘ngos-ngosan’ bahna terpana dan terpesona. 
“MM” yang ‘imitasi’ saja bisa membuat saya mabuk kepayang begini, apalagi kalau aslinya. Sebelum saya dilepas, sempat dihadiahinya saya dengan sebuah kecupan sangat mesra di…..PIPI! Padahal saya mengharapkan kecupan ditempat lainnya. 
He he he, maunya.

Pak Heru langsung bersegera menarik tangan saya untuk pergi ketempat lainnya, ketika melihat saya masih saja ‘asyik masyuk’ dengan si ‘MM’. Saya kemudian diajak memasuki daerah dimana film-film ‘monster’ dan ‘horor’ dibuat. Untung saya datang disiang hari, jadi jin, setan, demit, iblis, drakula dan monster yang ada disitu tidak terlalu menakutkan saya.

Ketika saya dan Pak Heru baru sibuk berdiskusi masalah tata rias wajah para setan yang tampak sangat realistis itu, sekonyong-konyong ada suara menggeram sangat keras. Tiba-tiba saja tubuh saya sudah terangkat keudara. Sebuah tangan berbulu lebat yang sangat besar dan kuat dengan mudahnya ‘menenteng’ tubuh saya. Mungkin wajah saya tampak pucat pasi saking kagetnya, terbukti Pak Heru terbahak-bahak menertawakan saya. Terlalu! Ada orang kaget dan ketakutan malah ditertawakan. Ternyata saya sedang dicengkeram oleh “King Kong”!  
Mahluk berbulu lebat berwajah seram dengan taring sebesar pisang itu betul-betul besar. Tingginya satu setengah kali tinggi tubuh saya. Kalau yang dicengkeramnya seorang bocah atau wanita, pasti dia sudah jejeritan dan ngompol tanpa permisi. 
Saya sih hanya kaget saja. Malu dong kalau orang segede saya sampai ‘pipis’ dicelana.

Universal Studio ternyata memang gede bohongnya. Jikalau anda pernah melihat film “Jaws” yang mengisahkan seekor ikan Hiu ganas di samudra, ternyata ‘ikan Hiu’ itu hanya terbuat dari semacam karet. Dan lautannya itu cuma sebuah kolam yang tidak lebih besar dari kolam renang untuk anak balita saja. Jadi semua hanya tipuan kamera belaka. Masih banyak lagi wahana lain yang juga menampilkan cuplikan adegan seperti dalam film “Indiana Jones”, “Earthquake” dan sebagainya. Tapi disitulah barangkali letak seninya, karena penonton tetap senang-senang saja meski tahu kalau dikibuli.
Sama dengan yang di Orlando, Kompleks Universal Studios Hollywood juga dibagi-bagi sesuai tema film yang dibuatnya. Ada daerah ‘Wild West’ dengan para Cowboynya, ada daerah gangster jaman Al Capone. Ada juga sebuah rumah kuno diatas bukit yang dipakai untuk pembuatan serial ‘Psycho’ film horor buatan Alfred Hitchcock yang terkenal sadis dan mencekam itu. 
Area Universal Studio memang luas sekali. Disamping itu juga ada permainan roller coaster dan tur dengan kereta api yang terbuka gerbongnya. KA lokal ini membawa pengunjung memasuki daerah-daerah pembuatan film-film terkenal, sekaligus diminta ikut merasakan jadi pemain figuran sebagai bagian dari proses pembuatan filmnya.
Tanpa terasa hari sudah menjelang sore. Saya kasihan juga pada Pak Heru yang dengan setia mengikuti saya kemana saja. Maklum saya baru sekali-kalinya masuk ke Universal Studio. Jadi saya benar-benar tampak ‘kampungan’.
Sambil menuju pulang ke motel saya di Pasadena, Pak Heru masih berbaik hati melewati “Hollywood Walk of Fame”. Trotoar (tempat pejalan kaki) berhiaskan bintang dan nama-nama pesohor Hollywood, baik yang sudah meninggal maupun yang masih hidup. Trotoar ini membentang sepanjang hampir 2 kilometer dari arah timur kebarat di Hollywood Boulevard.
Saking lelahnya, saya sempat tertidur dalam perjalanan dimobil Pak Heru.
Saya baru dibangunkan ketika sudah sampai didepan kamar motel.
Ah. Pak Heru it’s really an unforgettable day. Thank you so much indeed.

Malam itu saya lelap tertidur, sampai lupa makan malam karena saya ada janji bertemu lagi dengan Miss “MM”…..dalam mimpi.
Keesokan harinya, Kamis 27 Februari kita sudah terbang dengan pesawat Boeing 737-200 American Airways (AA) ke Washington, DC.
Pak Pardjo harus menjalani general check up (pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh) di Walter Reed Army Hospital. Rumah Sakitnya Angkatan Darat Amerika Serikat.



bersambung.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar