Sabtu, 09 April 2011

"NANAR MENATAP 'TEROWONGAN MAUT' DI MINA....."


(dari draft buku: "Catatan seorang mantan Ajudan" oleh mastonie)
Tulisan bersambung (86)

Released by mastonie, Sunday, June 6, 2010 at 07.21 pm
    

      Kisah tentang “Terowongan Maut” (Al- Muaisin) di Mina…

Dari semua tempat ziarah yang kita kunjungi, (Arafah dengan Jabbal Rahmah dan unta nya, lokasi pemondokan jamaah haji Indonesia dan tempat untuk melempar Jumrah di Mina), maka hanya ada satu tempat di Mina yang membuat saya bergidik: Terowongan Al-Muaisin!
Mina, foto: mastonie
Meski hanya bisa menyaksikan dari jarak sekitar 200 meter (karena pada saat itu -tahun 1992-sedang ada proyek pembuatan Terowongan Mina yang kedua), saya membayangkan terowongan itu penuh dengan darah dan jenazah jamaah haji yang bertumpukan!
Musibah yang terjadi pada musim haji tahun 1991 yang lalu itu sungguh tidak mudah untuk dilupakan. Pikiran saya seolah tersedot masuk ke terowongan itu. Kebetulan saya mempunyai seorang teman yang isterinya sedang bertugas sebagai dokter kloter pada saat peristiwa  tragis itu terjadi. Bu dokter termasuk salah satu  diantara korban yang tewas. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. 
Teman saya itu sendiri  menderita “trauma psikis’ yang sangat berat selama beberapa tahun kemudian.   
Ia terus menerus merasa menyesal karena pada waktu itu tidak ikut serta mendampingi sang isteri menunaikan ibadah haji. Sampai saat ia akhirnya berpulang menyusul isterinya kembali kehadirat Allah SWT (karena sakit) beberapa tahun kemudian, ia tidak pernah bisa melihat makam almarhumah isterinya di Makkah. Ia hanya tahu bahwa almarhumah dimakamkan di Ma’la dipinggiran kota Makkah. Semoga Allah telah mempertemukan keduanya di sorga saat ini. Amien.

Jamarat (Jumrah) tahun 90-an       foto: google         
   
Setelah kejadian sangat tragis yang memakan banyak korban jiwa tersebut, pemerintah Arab Saudi akhirnya menyadari kekeliruan mereka. Yaitu hanya menyediakan SATU terowongan yang diberlakukan untuk DUA arah. Padahal jamaah haji yang masuk terowongan dalam sekali waktu saja jumlahnya bisa mencapai PULUHAN RIBU!
Itulah sebabnya pada saat rombongan Menko Kesra RI mengunjungi lokasi ini, sedang dilakukan pembuatan terowongan baru atas perintah Raja. Letaknya persis disebelah terowongan lama yang “bersejarah kelam” itu. Terowongan baru ini dikerjakan secara estafet siang dan malam agar bisa segera dipakai pada musim haji tahun berikutnya (tahun 1992 M). Diharapkan terowongan yang kedua ini menjadi penampung bagi jemaah haji yang akan berangkat melempar jumrah. Sedangkan terowongan lama dipergunakan bagi jemaah haji yang kembali dari melempar jumrah. Atau sebaliknya.
Yang penting satu terowongan dipergunakan untuk SATU ARAH.
Jadi menghindarkan jemaah haji saling bertemu dalam satu terowongan. Sejarah nanti yang akan membuktikan apakah keputusan yang diambil oleh Pemerintah Kerajaan Arab Saudi untuk membangun dua terowongan ini sudah tepat, sehingga  “Tragedi Mina tahun 1411 H / 1991 M” tidak akan terulang kembali.
Insya Allah, itu adalah keputusan terbaik. Dan tragedi yang memilukan dan menelan banyak korban jiwa itu jangan sampai terulang lagi. 
Cukup sekali saja.

     Berbuka puasa ditanah suci dengan “rutop” dan “kopi Arab”

       Semula saya agak pesimistis menjalankan ibadah puasa di tanah suci, yang pada siang hari cuacanya sangat menyengat. Setelah dijalani ternyata rasanya biasa-biasa saja. 
Rasa lapar dan dahaga alhamdulillah bisa teratasi dengan melakukan kegiatan atau aktifitas yang  bisa membuat kita lupa kalau sedang berpuasa.
Ketika magrib tiba dan azan magrib dikumandangkan,  rasanya sungguh sangat  beda dengan suasana kalau kita berbuka puasa di tanah air.   
Pada sore hari itu rombongan Menko Kesra dijamu berbuka puasa oleh Konjen RI di Wisma Indonesia  yang berada didaerah Aziziah. 

'Rutop' (kurma segar)
Diruangan yang disediakan untuk berbuka hanya terhampar karpet-karpet tebal. Tidak ada kursi satupun. Hidangan berbuka puasa dihamparkan ditengah-tengahnya. Tentu tak bisa mengharapkan berbuka puasa dengan “kolak pisang” disini. Yang ada adalah “rutop” (kurma segar yang matang pohon) dan kopi arab serta makanan khas Timur Tengah lain. Pertama kali menikmati rutop, saya terperangah. Rasanya sungguh berbeda dengan rasa kurma yang selama ini pernah saya makan. 
Seperti buah segar lain, rutop terasa sangat segar, renyah serta manisnya terasa alami. Dan ternyata bisa mengenyangkan.
Karena penasaran, saya mencoba untuk minum “kopi Arab”. Disajikan dalam teko khas arab yang antik, maka kopi ini dituangkan kedalam cangkir-cangkir kecil yang lucu bentuknya. Aromanya sungguh menggoda. Campuran antara bau kopi kental dan aroma rempah-rempah. Rasanya? Masya Allah, tidak terbayangkan sebelumnya. Seperti tengah menghirup jamu. Betul-betul yang dominan rasa jamunya dibanding rasa kopinya. 
Weleh-weleh, bagaimana orang-orang disini bisa minum lebih dari satu cangkir? 
Mungkin karena kebiasaan.
Setelah shalat magrib berjama’ah, maka jamuan santap malam segera dihidangkan. Jangan membayangkan ada piring dulu. Sajian makan malam disediakan dalam tempat semacam tampah. Disitu ada nasi -berwarna kuning- dan segala macam lauknya. Daging domba adalah sajian utamanya! Satu “tampah” disajikan untuk empat atau enam orang. Kita makan sambil duduk bersila mengelilingi tampah dan menyuap makanan dengan tangan. Tidak ada sendok, apalagi garpu. Konon inilah cara Rasulullah SAW ketika beliau bersantap. Saya perhatikan beberapa “mukimin” -orang yang sudah menetap lama di Arab-. yang menjadi pendamping rombongan. Mereka tampak santai sekali makan dengan “tangan telanjang”. Bahkan sisa-sisa makanan yang tertinggal di jari-jari tanganpun akan dijilati sampai bersih tandas! Sebuah pengalaman baru yang luar biasa: makan bersama dengan tangan telanjang. Subhanallah.
Saya berfikir mungkin suasana “Arabian style”nya itulah  yang sangat mendukung terciptanya atmosfir yang lain dari suasana berpuasa di tanah air. Dan itu menimbulkan kesan yang sangat mendalam.

     “Haji kecil”, pulangnya mampir di KL

       Menurut acara yang telah dipersiapkan, sesudah melakukan Tawaf Wadha’ (tawaf pamitan sesaat sebelum meninggalkan kota Makkah), rombongan segera kembali ke Jeddah untuk berkemas kembali ketanah air. Pada saat melakukan Tawaf Wadha’ itulah sekali lagi saya dengan khusuk dan berlinangan air mata, kembali mengulangi do’a versi saya sendiri didepan multazam:
(“Ya Allah ijinkanlah saya datang kembali memenuhi panggilan Mu baik untuk ber haji maupun ber umrah, baik sendiri maupun bersama keluarga. Dan dengan kebesaran kuasa Mu mohon ijinkan  kami sekeluarga untuk dapat mengunjungi tanah suci Mu bukan hanya untuk sekali saja. Amien Ya Rabbal Alamin”).

fotos: google
Rombongan "haji kecil baru"  meninggalkan tanah suci dengan pesawat Jumbo Saudia Arabia Airlines. Tujuannya bukan Jakarta! Pak Pardjo ternyata masih menyempatkan ‘mampir’ untuk bernostalgia ke Kuala Lumpur, Malaysia. Harap maklum, Negara tetangga yang satu ini memang menjadi sebuah kenangan tersendiri bagi beliau suami istri, karena Pak Pardjo pernah bertugas sebagai Atase Militer KBRI (tahun 1959-1962) dan pernah pula menjabat Yang Mulia Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Malaysia (tahun 1972-1974). Bahkan karena Pak Pardjo dianggap berhasil mempererat hubungan kedua Negara, maka beliau  mendapat gelar “Tan Sri” dari Yang Dipertuan Agung Raja Malaysia.
Dikediaman resmi Bapak Soenarso Djajusman, Duta Besar RI untuk Malaysia di Kuala Lumpur,  dr. Abdul Muthalib nyelethuk:
“Untung sesudah Umrah, kita mampirnya di “Ka El” (KL), ya Pak. Coba kalau mampirnya di “Be Ka Ka” (BKK)” katanya sambil senyum-senyum.
Saya maklum yang dimaksud sebagai ‘Be Ka Ka’  itu adalah Bangkok.
“Memangnya kenapa dok?” Tanya saya penasaran.
“Ya kalau sehabis Umrah kita mampir ke Bangkok, bisa nggak jadi tobat dong, kita” jelasnya.
Saya tertawa. Benar juga ya?  Kita ini “ndugalnya” sudah pol dihabis-habiskan di Paris, setelah itu baru pergi Umrah.
Saya langsung teringat pada salah satu hadits, Rasulullah SAW bersabda:
“Masa dari satu Umrah ke Umrah berikutnya, adalah masa penghapusan dosa. Dan ganjaran haji yang mabrur tidak lain hanyalah surga”. (HR. Muslim).
Insya Allah..
Saya juga terus saja terkenang-kenang pada doa saya didepan Multazam, yang saya lakukan dengan sangat khusyuk. Intinya: Saya mohon kepada Allah SWT agar dapat kembali dan kembali  lagi ke tanah suci. Kalau bisa langsung ‘naik haji’ atau setidaknya pergi umrah lagi. Kalau bisa dalam waktu yang tidak terlalu lama. Kalau bisa sendiri atau (syukur) bisa dengan keluarga. 
Kalau bisa…. Aah…Semoga Allah SWT mengijabahi (mengabulkan).  . . . .Amiiiiinnn….

      Merindukan Ka’bah, ingin segera kembali ketanah suci.

Menjelang akhir bulan Ramadhan 1412 H/1992 H, saya sering mengikuti siaran langsung salat tarawih dari Masjidil Haram, di Mekah al-Mukaramah yang disiarkan salah satu stasiun TV swasta Jakarta. Saya melihat ribuan orang yang sedang sujud didepan Baitullah. Kenangan saya berkelebat melihat ‘kubus berwarna hitam’ yang memancarkan aura pesona yang menggetarkan jiwa itu. Subhanallah.  
Baru beberapa hari yang lalu saya melihatnya dengan mata kepala saya. Dan tak bisa saya ingkari lagi betapa saya merindukan untuk menatapnya lagi, melakukan tawaf sambil tak henti mengagumi kebesaran Illahi Rabbi. Saya harus kembali lagi kesana, ketanah suci yang didamba umat muslim sedunia. Saya harus kembali lagi kesana, segera. Ya Allah berikanlah jalan kemudahan kepada hambaMu untuk dapat kembali lagi ketanahMu yang suci.
Idul Fitri 1412 H berlangsung meriah seperti biasa. Sewaktu halal bi halal dengan jajaran kantor Menko Kesra, saya bertanya kepada salah seorang Staf Ahli Menko Kesra, dr. H. Fahmi Syaifuddin namanya. Dokter umum (putra mantan Menteri Agama, almarhum KH. Syaifuddin Zuhrie) yang merangkap Kiai sekaligus Ustad ini adalah orang alim yang penuh perhatian dan mudah diajak ngobrol.
“Pak, saya ingin sekali naik haji tahun ini, bagaimana caranya?”, saya bertanya. Pak Fahmi tampak serius menatap saya.
“Bagus itu. Wis manteb tenan (sudah mantab betul)? Saya rasa sebaiknya Dik Tonny segera matur Pak Menko. Mumpung masih ada waktu. Nanti saya bantu kalau ada kesulitan”.
“Sejak pulang umroh Ramadhan kemarin, sudah saya niatkan Pak. Kira-kira saya bisa dapat free seat dari Departemen Agama atau tidak ya Pak?”.
‘Free seat’ (kursi gratis) adalah istilah yang dipakai oleh Depag (waktu itu) untuk memberikan kemudahan bagi para Pejabat guna menjalankan ibadah haji. Tapi yang gratis hanya tiket pesawat Jakarta-Jeddah PP saja.
“Maka itu segera lapor Pak Menko, makin cepat makin baik. Biasanya sih sampai saat-saat akhir Depag masih punya cadangan free seat. Tapi yang bisa menentukan pemberian free seat itu hanya Pak Menteri Agama” jelas Pak Fahmi.
“Saya senang Dik Tonny sudah punya niat naik haji, mumpung masih muda. Pokoknya saya dukung seratus persen. Insya Allah berhasil”
Merasa mendapat dorongan moril dari Pak Fahmi, sayapun berketetapan hati.
Entah bagaimana ada sesuatu yang seperti mendorong-dorong saya untuk segera kembali ketanah suci lagi. Magnet berkekuatan besar yang saya rasakan waktu memandang Ka’bah dengan takjub dulu seperti menarik jiwa raga saya dengan begitu kuatnya. Aneh tapi nyata.
Inikah yang dinamakan “Panggilan” dari Allah Subhanahu wa Ta’ala itu?
Perasaan ini bahkan lebih kuat daripada ketika saya merindukan wajah gadis yang saya taksir (dan kini sudah jadi istri saya) ketika masih bujangan dulu.
Insya Allah saya harus berani matur (bicara) kepada Pak Pardjo. Karena menurut Pak Fahmi ‘kunci’nya ada di Pak Menteri Agama, sedang yang bisa ‘membuka kunci’ itu adalah Pejabat yang setingkat diatas Menteri Agama.
Salah satunya adalah Menteri Koordinator bidang  Kesejahteraan Rakyat Soepardjo Roestam.
Karena beliau adalah Menteri yang bertugas mengkoordinasikan Menteri-menteri lain dibidang kesejahteraan rakyat, termasuk Menteri Agama.
Jadi niat saya sudah sangat bulat.
Bismillahi Rahmanir Rahim.  
Saya HARUS NAIK HAJI tahun ini.



bersambung.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar