Minggu, 17 April 2011

"KISAH SEORANG 'WTS'...."

(cuplikan dari: "kisah2 spritiual" mastonie)

( 6 )
in action didepan Ka'bah
 
Released by mastonie on Monday, August 9, 2010 at 8:17pm

(Mohon jangan berprasangka buruk dulu. Singkatan yang saya jadikan judul pada tulisan ini adalah hadiah dari teman-teman saya yang merasa sangat ‘bahagia’ kalau sukses menjahili orang lain. ‘WTS’ yang ini adalah singkatan dari ‘Wartawan Tanpa Suratkabar’).


Predikat itu saya dapatkan dari teman-teman sesama jemaah calon haji Anubi. (Mungkin) karena kegemaran saya menenteng kamera foto kemana saja saya pergi. Sebetulnya banyak juga julukan lain yang saya dapatkan sebelumnya, antara lain: ‘Ceklek Boy’ yang saya dapat dari teman-teman Pramuka jaman ‘Noroyono’ dulu. Dari teman semasa kuliah di Publisistik, saya dijuluki: ‘Mat Krodit’ (dari bahasa Inggris ‘Crowded’, ruwet) yang lalu diplesetkan agar mirip ‘Mat Kodak’. 
Ini karena kehadiran saya katanya selalu bikin ruwet.
Tapi yang bisa ‘nyangkut’ dihati saya entah kenapa koq malah yang ‘we te es’ ini.
Padahal agak nyrempet-nyrempet sedikit ya?
Ah, kan istilah untuk yang satu itu sekarang sudah diganti dengan PSK.

Saya ingat betul sewaktu lepas dari SMA, saya suka sekali bidang yang berbau jurnalistik. Terutama fotografi. Namun “maksud hati memeluk gunung, apa daya kantong tak sampai”. Saya betul-betul tidak punya modal untuk bisa membeli kamera foto.
Apalagi jaman ‘sepeda onthel’ dulu (sekitar tahun 70 - 80an)) masih belum banyak merek kamera foto. Dan harganya? Ampun seribu ampun. Jelas tak terjangkau kantong saya yang untuk makan genap 3 kali sehari saja belum pasti. Tapi saya kan bisa minjam?
Nah, dari bekal nekat meminjam itulah jalan saya satu-satunya untuk bisa belajar jadi ‘ceklek boy’ tadi. Dengan semangat ‘bonek’ saya menekuni hobi yang sebetulnya mahal ini (mulai dari harga film sampai biaya cetaknya). Memakai bekal ‘tustel’ pinjaman (dari teman, dari saudara, dari kantor) mulailah saya sibuk jeprat-jepret diacara yang diadakan diingkungan keluarga, pesta teman-teman sampai akhirnya merambah kekantor dan acara resmi lainnya.
 foto dok kelahiran anak bungsu saya
Setelah menikah, saya juga selalu mendokumentasikan kelahiran anak-anak saya sejak mereka baru lahir (dalam gendongan suster sewaktu diumumkan kelahirannya) sampai beranjak remaja. Ternyata banyak gunanya lho. Kalau sekarang melihat album foto-foto lama itu, kita masih suka senyum-senyum bahkan ketawa ketiwi. Selain posenya lucu, sudut pengambilan gambarnya juga terlihat masih ‘amatiran’.
Pada bulan Ramadhan tahun 1992 sewaktu menunaikan ibadah Umroh, saya -dengan sedikit nekat- berhasil mengabadikan teman-teman dan juga diri sendiri berpose dengan latar belakang Ka’bah (beneran). Saya memergunakan kamera saku kecil (masih berisi film negatif, belum digital) yang saya sembunyikan dalam tas pinggang. Pada saat itu larangan untuk tidak memotret disekitar Masjidil Haram masih sangat ketat. Jemaah diperiksa oleh para askar dengan sangat teliti, sebelum bisa masuk melalui pintu masjid. 
Sewaktu pada bulan Dzulhijah tahun yang sama (1992) saya berangkat menunaikan ibadah haji, saya membeli kamera di Pasar Seng. Sebuah kamera ‘full otomatis’ merek terkenal buatan Jepang. Tapi kali ini saya tidak bisa bebas ber’aksi’. Saya hanya berani jeprat-jepret ditempat yang tidak terlarang saja. Walupun demikian toh saya punya dokumentasi foto sewaktu melaksanakan ibadah haji di tanah suci yang cukup lengkap (kecuali potret didepan Ka’bah).


 saya & istri 'mejeng' dgn latar belakang Ka'bah
Subhanallah, Allah SWT ternyata masih memberikan kesempatan kepada saya untuk mengunjungi tanah suci lagi. Bulan Mei tahun 2006 saya melakukan ibadah umroh. Kali ini saya melengkapi diri dengan sebuah kamera digital kecil dan dua buah ponsel berkamera. Semuanya bisa masuk dalam tas pinggang saya. 
Allahu Akbar, berkat lindungan Allah SWT, saya selalu lolos dari pemeriksaan askar baik di Masjidil Haram maupun di Masjid Nabawi. Padahal teman teman serombongan banyak yang terpaksa ‘balik kanan grak’ karena tertangkap tangan membawa kamera ataupun ponsel berkamera. 
Jadi, so pasti saya mempunyai dokumentasi yang sangat berharga pada saat umroh kali ini. Diantaranya saya berhasil berpose dengan back ground Ka’bah yang sangat dekat dibelakang saya. Foto ini saya ambil dengan Nokia komunikator 9500, yang hanya ber kamera VGA, namun menghasilkan gambar yang cukup bagus. Saya juga berhasil dengan bagus mengabadikan ‘Raudah’ (yang dijaga askar dengan sangat ketat) di masjid Nabawi, foto itu saya ‘curi’ dengan menggunakan ponsel Nokia 6230.

Pada bulan haji tahun 1428 H/2007 M saya kembali dapat melaksanakan ibadah haji, persiapan saya jauh agak lebih lengkap. Saya mulai dengan mendokumentasikan semua kegiatan sebelum hari keberangkatan ketanah suci. Selain ponsel berkamera (Nokia 6230, -yang juga saya bawa pada waktu umrah tahun 2006- dan N 73 dengan kartu memori 2GB), saya juga membawa handycam dan kamera digital kecil yang dapat dengan mudah ‘hilang’ dalam lipatan kain ihram atau tas pinggang saya. Doa saya kepada Allah SWT adalah, saya berniat membuat dokumentasi perjalanan ibadah haji ini bukan untuk ‘’riya”. 
Semua dokumentasi itu Lillahi Taa’la saya buat agar bisa dilihat oleh anak cucu saya, keluarga dan kerabat, baik yang sudah ataupun belum berkesempatan menunaikan ibadah haji, dengan maksud menggugah niat mereka untuk menunaikan rukun Islam yang kelima sesegera mungkin apabila telah mampu. 
Niat saya itu ternyata mendapat ujian berkali-kali. Setiap saya tampil ‘meliput’ dengan kamera ataupun handycam, ada saja yang bisik-bisik: “Nah ini dia WTS nya mulai beraksi”.

 didalam kabin Jumbo 747-300 Garuda menuju Jeddah 

Saya sih bersikap cuek beibeh saja. Saya abadikan semua momen sesuai dengan skenario yang ada dikepala saya. Saya sudah ‘in action’ sejak masih berada di lobby hotel Quality di Bandara Soekarno – Hatta, (tempat berkumpul jemaah Anubi), didalam pesawat terbang dan di ruang tunggu terminal haji Bandara King Abdul Aziz Jeddah.

foto wanita Arab bercadar
Diruang tunggu Terminal Haji Bandara Jeddah inilah saya dikejar-kejar oleh seorang wanita Arab, hanya gara-gara saya mengabadikan serombongan wanita berabaya hitam dengan cadar hitam yang menutup hampir seluruh wajah. Yang tampak hanya matanya saja. Dalam pandangan saya, wanita ‘hitam-hitam’ yang duduk bergerombol ini sangat eye catching. Mirip segerombolan burung gagak yang sedang 'me-rame' beristirahat. Saya sungguh tidak tahu, bahwa para wanita bercadar itu mengharamkan dirinya untuk difoto. Hampir saja handycam saya direbut wanita yang naik pitam itu kalau tidak ditolong oleh staf Anubi yang fasih berbahasa Arab. 
Memang saya akui terkadang keluar juga sifat ‘iseng’ dan ‘jail’ saya.
Selesai wukuf dan melempar Jumrah di Mina, rombongan Jemaah Haji Anubi kembali ke Mekah untuk melaksanakan Tawaf Ifadah, Tahalul dan Tawaf Wada’. Sang ‘WTS’ pun beraksi lagi. Semua kegiatan ziarah disekitar kota Mekah lengkap saya abadikan. Demikian juga dengan saat-saat beribadah di Masjidil Haram. Banyak yang heran dan tidak percaya melihat saya selalu ‘lolos’ dari pemeriksaan askar waktu masuk Masjidil Haram dan Masjid Nabawi dengan membawa kamera dan handycam. Adapula yang sinis menilai saya tidak khusyu’ ibadah karena sibuk mengambil gambar.
Tapi saya bergeming. Hanya Allah SWT yang berhak menilai ibadah hambaNya.

Tawaf mengelilingi Ka'bah
Diantara liputan yang menurut saya sangat berharga yang dapat saya abadikan -paling tidak buat saya pribadi-, adalah ketika melakukan ‘Tawaf Wada". Saya dengan isteri melakukan tawaf pamitan itu sekitar pukul 07.30 waktu Arab. Cuaca sudah sangat terang. Dengan membaca kalimat “Bismillahir rahmanir rahim, Allahu Akbar” saya memulai tawaf.
Ketika saya lihat tidak ada askar didekat saya, dengan tenang saya keluarkan handycam dari tas pinggang saya. Dengan tangan kiri saya operasikan handycam untuk ‘meliput’ seluruh bagian Ka’bah dan kerumunan jemaah haji dari berbagai Negara yang sedang melakukan Tawaf. Tentu tetap dengan membaca doa-doa Tawaf yang saya tirukan melalui earphone dari alat perekam. Hampir seluruh putaran tawaf (7 kali) saya liput. Sebagian besar tanpa melihat layar monitor, karena handycam harus saya rendahkan posisinya ketika saya melihat ada askar.




 interior masjid Nabawi                              foto-2: mastonie
Sedangkan liputan saya yang paling berkesan di Masjid Nabawi adalah ketika saya mengambil gambar interior masjid Nabawi saat dikumandangkannya azan Duhur. Meski dengan hati berdebaran, saya mengambil gambar dari kalimat pertama azan: Allahu Akbar sampai kalimat terakhir Laillaha ilallah..
Sewaktu hasil rekaman (yang sudah saya transfer menjadi VCD) saya putar pada acara Temu Kangen Jemaah haji Anubi di Jakarta, maka langsung ‘gempar’ lah yang ikut menyaksikan rekaman itu. 
Banyak yang berkomentar bahwa saya orang ‘super nekat’. Saya memang ber-‘jibaku’ mengambil gambar ditempat dimana tidak semua orang berani atau bisa mengambil gambar. 
Apalagi mengingat ketatnya pengawasan askar di kedua Masjid Suci itu.
Tapi saya tak ingin menanggapi komentar kecuali hanya bisa berucap: “Laa chaula walaa quwwata illaa billaah” (tidak ada daya upaya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah)
Sejak awal niat saya bukan ‘riya’. Sebab saya haqul yakin,  jika tanpa ijin dan pertolongan Allah SWT, saya tak akan bisa berbuat apapun.
Akhirnya toh dokumentasi rekaman video dan foto yang saya buat itu kemudian diperbanyak oleh  PT. Anubi Travel untuk dibagikan -secara gratis- kepada para Jemaah Haji Anubi tahun 2007. 
Itu berarti hasil kerja saya sebagai ‘WTS’ dianggap bermanfaat dan bisa dinikmati oleh orang banyak.

Alhamdulillahi robbil 'alamin...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar