Jumat, 15 April 2011

"SAYA MENCIUM HAJAR ASWAD (LAGI)..."




(cuplikan dari "kisah2 spiritual" mastonie)

( 4 )

 Saya dan isteri didepan Ka'bah   foto2: mastonie     

Released by mastonie on Tuesday, April 13, 2010 at 8:09pm    
 

(Setiap menjelang datangnya bulan Dzulhijah (bulan haji), saya selalu teringat pengalaman pada saat menunaikan ibadah haji ditanah suci. Termasuk peristiwa-peristiwa yang terjadi ditanah ‘haram’, yang sungguh sangat sulit saya lupakan. Kadang tak terasa air mata saya menetes. Ada semacam rasa ‘rindu’ tak terperi dihati. Akankah Allah SWT berkenan memberikan kesempatan bagi saya -dan keluarga- untuk pergi ketanah suci lagi?)

Seperti yang sudah saya kisahkan dalam tulisan terdahulu yang saya persiapkan sebagai sebagai bahan buku, kali ini akan saya kisahkan  pengalaman saya beserta anak isteri sewaktu berjuang untuk mencium Hajar Aswad.
Sebagai ‘penyegar ingatan’, baiklah saya flash back (putar balik) dulu ke tahun 1992 M sewaktu saya berkesempatan pergi menunaikan ibadah haji untuk yang pertama kali.

Mereka yang pernah pergi ketanah suci untuk menunaikan ibadah umroh atau haji pasti pernah mendengar (atau mungkin bahkan mengalami sendiri) terjadinya suatu peristiwa yang ‘luar biasa’.
Sayapun demikian pula.
Salah satu diantara peristiwa tidak biasa yang saya alami pada saat menunaikan ibadah haji yang pertama pada bulan Dzulhijjah tahun 1992, adalah ketika saya diajak oleh teman-teman satu kamar untuk mencoba mencium ‘Hajar Aswad’. 
Batu hitam yang terletak disudut Ka’bah itu konon memang selalu dicium oleh Rasulullah SAW pada waktu beliau melakukan ibadah tawaf. Kebiasaan itulah yang kemudian ditiru oleh para sahabat dan (hampir semua) umat Islam yang menjalankan ibadah tawaf, baik pada musim haji ataupun umroh.
Pada suatu siang hari yang panasnya menyengat dibulan April tahun 1992 itu, saya bersama kurang lebih sembilan orang teman anggota TPOH (Tim Pemantau Operasional Haji) Departemen Agama mencoba untuk mencium Hajar Aswad. 
Setelah berjuang susah payah setengah hidup, karena harus melawan desakan dan dorongan dari ribuan jemaah haji dari beberapa Negara, ternyata pada akhirnya hanya saya seorang  yang berhasil mendekat dan mencium Hajar Aswad. Anggota TPOH yang lain tercerai berai akibat desakan jamaah dari Negara  lain yang rata-rata postur tubuhnya jauh lebih besar dari orang Indonesia. Mereka tentu saja juga berjuang mati-matian   untuk dapat  mencium batu hitam yang terletak dipojokan Ka’bah itu.
Subhanallah, saya hanya dapat mensyukuri keberhasilan saya itu.
Saya yakin bahwa itu semua adalah berkat karunia dan pertolongan Allah SWT semata.

Suasana Tawaf disekeliling Ka'bah
 Pengalaman saya yang kedua mencium Hajar Aswad terjadi lebih dari empatbelas tahun kemudian. Yaitu ketika saya bersama istri dan anak bungsu saya melaksanakan ibadah umroh pada bulan Mei tahun 2006. Cuaca di Arab Saudi pada bulan Mei itu memang tidak sepanas ketika saya menunaikan ibadah haji pada bulan April–Mei tahun 1992 dahulu.
Namun saya selalu berusaha memberikan pengertian kepada isteri dan anak perempuan saya untuk tidak terlalu memaksakan diri melakukan ibadah ibadah sunah selain ibadah wajib dalam rangkaian ibadah Umroh.
nampang didepan pintu Raja Fahd
Oleh karena itu selama berada dikota Mekah Al-Mukaromah, kami bertiga dengan khuyuk mengutamakan ibadah wajib yang harus dilaksanakan dalam rangkaian ibadah Umroh. Beruntung kami mendapat tempat penginapan disebuah hotel kecil bernama Mawaddah yang terletak hanya beberapa puluh meter saja dari Masjidil Haram. 
Pada suatu siang setelah melaksanakan ibadah shalat dhuhur berjamaah di Masjidil Haram dan istirahat makan siang di hotel, kami bertiga berniat melaksanakan ibadah tawaf sunah. Niat itu timbul karena pada siang hari itu cuaca terlihat agak sedikit ‘bersahabat’.
Kami bertiga selalu masuk ke Masjidil Haram melalui pintu yang paling dekat dari Hotel, yaitu pintu utama nomor 79 (King Fahd Gate).
“Pintu Raja Fahd” ini dengan mudah dapat dikenali karena dihiasi dua menara kembar yang sangat megah. Dari depan pintu sudah tampak dikejauhan Ka’bah yang diselimuti kiswah (sarung penutup Ka’bah) yang berwarna hitam dengan tulisan kaligrafi berwarna emas. 
Kiswah ini selalu digulung keatas hampir setengah badan Ka’bah. Konon untuk menghindari tangan-tangan jahil yang sering iseng menyobek kain kiswah itu untuk dibuat jimat.




Pelataran Ka'bah yang sedang sepi jemaah

Entah mengapa pada siang hari itu jemaah yang melaksanakan ibadah tawaf tidak begitu banyak jumlahnya. Kami bertiga langsung sepakat memutuskan untuk melaksanakan tawaf sunah. Dengan tambahan catatan, apabila nanti situasi dan keadaan memungkinkan, kami akan berusaha untuk bisa mendekat dan mencium Hajar Aswad.
Pada putaran terakhir tawaf (putaran ketujuh), saya melihat antrian orang yang mendekati Hajar Aswad tampak tidak terlalu banyak. Oleh karena itu saya memutuskan untuk mengajak isteri dan anak saya ikut dalam antrian itu. Dengan heran saya melihat beberapa orang menunjuk-nunjuk kearah isteri dan anak perempuan saya sambil berteriak-teriak:
“Haram haji, haram, haram!!”.
Rupanya kaum perempuan tidak diperbolehkan ikut dalam antrian para lelaki. Saya langsung minta isteri dan anak perempuan saya untuk bergabung diantrian para perempuan yang berada agak kesamping depan, tapi sebetulnya malah lebih dekat jaraknya dari Hajar Aswad.
Meskipun suasana antrian tidak segaduh kalau musim haji, tapi tetap saja untuk bisa mendekat dan mencium ‘sang batu hitam’ membutuhkan perjuangan dan kekuatan fisik. 


 Hajar Aswad
Sama persis dengan kejadian empatbelas tahun silam, saya begitu tersihir dengan kekuatan pesona sang batu. Akhirnya ketika dengan susah payah tiba giliran saya untuk mengusap dan mencium Hajar Aswad, saya hanya bisa menangis sesenggukan sambil berleleran air mata. 
Saya tak kuasa membaca doa sepatah katapun!
Keluar dari kerumunan dan keroyokan orang yang masih berjuang mendekati Hajar Aswad, saya melihat isteri dan anak perempuan saya masih berjuang susah payah mengggapai-gapaikan tangan sambil berusaha sekuat tenaga mendekati Hajar Aswad.
Saya mencoba mendekati Askar penjaga Hajar Aswad yang berdiri ‘bergelantungan’ didekat pintu Ka’bah:
“Would you help my wife….. please…”
teriak saya keras-keras kepada sang Askar Penjaga Hajar Aswad dengan setengah menghiba.
“Come …come” ia membalas berteriak diantara riuh dan hiruk pikuknya suara ratusan orang itu. 
Saya dorong isteri dan anak saya lebih kedepan dan segera saja sang Askar menarik mereka lebih dekat kearah Hajar Aswad.
Alhamdulillah…..akhirnya dengan susah payah pula mereka berdua berhasil mencium Hajar Aswad!
Lalu saya saksikan isteri dan anak saya keluar dari kerumunan sambil menangis dan berteriak setengah histeris: “Allahu Akbar…Allahu Akbar”.
Saya rengkuh mereka berdua dalam dekapan. Dan kita menangis bertiga penuh keharuan!
Disiang hari yang panas terik itu, anehnya kami bertiga sama sekali tak merasa kepanasan. 

Yang ada hanya rasa syukur yang tak habis-habisnya kita panjatkan kepada Allah yang Maha Pemurah yang telah berkenan memberikan kesempatan dan pertolongan kepada kami untuk dapat mencium Hajar Aswad. 

Laa haula walaa quwwata illaa billaah.
(Tiada daya ataupun kekuatan selain karena pertolongan Allah)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar